SEKOLAH
SYARIAH DAN PENDIDIKAN INKLUSI[1]
M.A.
Fattah Santoso[2]
Abstract
The goal of this paper is to study
critically the new phenomenon of the institutional development of Islamic
education, that is an innovation of ‘shari`ah school’ established by Muhammadiyah
elementary school with special program at Surakarta.
The innovation is that of curriculum oriented in hospitality in approaching the
students based on tauhid (the unity of science and religion). The study
is carried out in the prespective of Islamic education concept and that of
inclusive education.
Through comparative analysis, the study
finds five same characteristics of Islamic education and inclusive education:
(1) education as a right/duty; (2) education for all; (3) the principle of non-segregation; (4) the holistic view of
the pupil; (5) handicap seen in relation to external factors, especially school
environment.
‘Shari`ah
school’ can be viewed as an application of both the
principle of non-segregation and the holistic view of the pupil. The principle
of non-segregation is applicated in the process of education with the
hospitality to all students: everyone is admitted in accordance with his
faculty and potentiality, and receives educational services without
discrimination. Moreover, the holistic view of the pupil is applicated in the
intended design to meet the faculty of reasoning with that of intuition in the
process of learning by the integration the revealed signs from the Qur’an and
Sunnah with the cosmic signs (matters of natural and social sciences). The
innovation, then, has made the revealed signs the first data as well as the
source of values—both are marginalized in the contemporary practice of
education.
Other principles are
being challenges the ‘shari`ah school’ should anticipate in the future. One of them is the way of
student recruitment vis a vis the principle of education for all.
Key
words: ta`lîm, tarbiyah, ta’dîb, dîn, madînah, tamaddun, education as a right/duty, education for all, non-segregation, the holistic view
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji
secara kritis fenomena baru dalam perkembangan institusi pendidikan Islam di
Indonesia, berupa inovasi ‘sekolah syariah’ pada jenjang sekolah dasar yang
dirintis SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta. Inovasi berupa inovasi
kurikulum yang berorientasi kepada pendidikan yang ramah kepada semua anak di
bawah naungan ketauhidan—dalam makna menegasikan dikhotomi antara ilmu dan
agama. Dan kajian dilakukan dalam perspektif konsep pendidikan Islam dan konsep
pendidikan inklusi.
Melalui analisis komparatif, didapat lima titik singgung
antara pendidikan Islam dan pendidikan inklusi: (1) pendidikan sebagai
kewajiban/hak; (2) prinsip pendidikan untuk semua; (3) prinsip non-segregasi;
(4) perspektif holistik dalam memandang peserta didik; dan (5) cara memandang
hambatan yang lebih berorientasi pada faktor eksternal, terutama lingkungan
sekolah.
‘Sekolah syariah’ dapat dipandang sebagai
terapan dari prinsip non-segregasi dan perspektif holistik dalam memandang
peserta didik. Terapan prinsip non-segregasi dapat dilihat dalam proses
pendidikan yang ramah kepada semua siswa: masing-masing diakui sesuai dengan
daya dan potensinya, dan memperoleh layanan pendidikan tanpa perbedaan,
disesuaikan dengan daya dan potensinya tersebut. Adapun terapan yang menonjol
dari perspektif holistik sekaligus menjadi faktor pembeda dari inovasi-inovasi
pendidikan Islam Indonesia yang belakangan ini terjadi, adalah rancangan yang
sengaja untuk mempertemukan daya nalar dan daya dzikr dalam proses pembelajaran
melalui integrasi ayat-ayat qauliyah (yang bersumber dari Al-Qur’an
dan/atau Sunnah) dan ayat-ayat kauniyah (materi-materi ilmu pengetahuan
alam [IPA] atau ilmu pengetahuan sosial [IPS]). Inovasi ini telah mengangkat
sesuatu yang selama ini termarjinalisasikan atau tersisih dalam praktik dunia
pendidikan, yaitu ayat qauliyah baik sebagai data awal maupun—lebih dari
itu—sebagai sumber nilai.
Adapun prinsip-prinsip yang lain menjadi
tantangan ke depan yang harus dihadapi ‘sekolah syariah’, seperti ‘cara rekrutmen
siswa’ vis a vis ‘prinsip pendidikan untuk semua’.
Kata kunci: ta`lîm, tarbiyah, ta’dîb, dîn, madînah, tamaddun,
pendidikan sebagai hak/ kewajiban, pendidikan untuk semua, non-segregasi,
perspektif holistik
A. Pendahuluan
Ada perkembangan menarik dalam perkembangan Islam Indonesia
kontemporer, setidak-tidaknya pada dasawarsa terakhir, sebagai perwujudan dari
upaya menanamkan nilai-nilai Islam, baik dalam pengembangan kepribadian manusia
maupun dalam pengembangan kebudayaan. Perkembangan yang dimaksud adalah
penggunaan kata ‘syariah’ sebagai label bagi institusi-insitusi yang
dikembangkan umat yang mendasarkan segenap kegiatannya atas pandangan dan
nilai-nilai Islam. Ketika operasi bank yang didasarkan pada prinsip bagi hasil
diijinkan pemerintah, misalnya, walau pada awalnya (paroh pertama dasawarsa
1990-an) label yang dipakai adalah ‘muamalat’ (seperti pada Bank Muamalat Indonesia),
namun pada perkembangan terakhir label yang banyak digunakan adalah ‘syariah’
(seperti pada Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah).
Asuransi Takaful Keluarga yang didirikan pada pertengahan dasawarsa 1990-an
bermetamorfosis juga namanya menjadi Takaful Indonesia Asuransi Syariah.
Pelabelan kata ‘syariah’ nampaknya mulai
merambah institusi pendidikan. Ketika pada dasawarsa 1990-an didirikan
sekolah-sekolah Islam dengan sistem pembelajaran sepanjang hari (Islamic
full-day school)—dikenal dengan nama SDIT, SMPIT atau SMAIT—dan kemudian
diperkenalkan sekolah-sekolah
Islam internasional, maka dalam perkembangan terakhir kata ‘syariah’
diperkenalkan sebagai label baru, sebagaimana sedang dirintis oleh SD
Muhammadiyah Program Khusus Kotta Barat, Surakarta. Label baru tersebut
menambah label-label yang telah ada: ‘Islam’, ‘terpadu’ (full-day) dan
‘internasional’.
Munculnya label-label tersebut, menurut
hemat penulis, tidak terlepas dari arus besar gerakan global ‘kebangkitan
Islam’ yang momentumnya dimulai seperempat abad yang lalu ketika terjadi
peralihan dari abad ke-14 ke abad ke-15 Hijriyah. Di peralihan abad ini telah
terjadi perumusan ulang konsep pendidikan Islam yang dilakukan para pakar
pendidikan Islam dunia (Al-Attas, 1979; Ashraf, 1985; Sahadat, 1997), disusul
kemudian dengan eksperimentasi dan praksisnya, di samping wacana yang terus
berkembang (Sarwar, 1996; Ould Bah, 1998).
Seiring dengan gema kebangkitan pendidikan
Islam, pada tataran global berkembang tuntutan perlunya kesempatan pendidikan
yang merata kepada semua manusia, tanpa membedakan kemampuan fisik (normal atau
tuna), strata sosial, jender, dan latar belakang etnis, budaya dan agamanya.
Tuntutan global ini telah melahirkan sebuah deklarasi dunia yang dikenal dengan
Education for All (1990) (UNESCO, 1990). Aplikasi dari deklarasi
tersebut telah melahirkan kesadaran akan ‘Pendidikan Inklusi’ yang dinyatakan
secara eksplisit dalam Salamanca Statement and Framework for Action,
produk World Conference on Special Needs Education (Salamanca, Spanyol,
1994) (UNESCO, 1994), dan kemudian diperteguh dalam Dakar Framework for
Action, produk World Education Forum (Dakar, Senegal, 2000) (UNESCO,
2003).
Atas dasar asumsi bahwa pelabelan
‘syariah’ pada kata sekolah tidaklah dimaksudkan untuk menjelaskan lembaga
pendidikan yang memproduk lulusan yang memiliki kompetensi di bidang ilmu fikih
dan/atau kemampuan menjalankan tugas dalam profesi-profesi yang terkait dengan
bidang muamalat (perbankan, asuransi, peradilan), sebagaimana tujuan pelabelan
‘syariah’ pada kata fakultas di IAIN/UIN, namun dimaksudkan untuk menjelaskan
lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap kegiatannya atas pandangan dan
nilai-nilai Islam dan sekaligus mensosialisasikannya, tulisan ini mencoba
mengelaborasi konseptualisasi pendidikan Islam untuk dijadikan basis sekolah
syariah, dan kemudian dikaitkan dengan isu global pendidikan inklusi.
B.
Konseptualisasi
Pendidikan Islam sebagai Basis Sekolah Syariah
Konseptualisasi di sini dilakukan dengan
dua pendekatan, yaitu pendekatan filosofis-normatif dan pendekatan
historis-linguistik. Pendekatan pertama digunakan untuk mencari apa itu hakekat
manusia dengan bertolak dari norma-norma Qur’ani, sementara pendekatan terakhir
digunakan untuk melacak tradisi Muslim dalam mengembangkan pendidikannya
terutama di era klasik, termasuk penggunaan kata-kata kunci yang terkait dengan
pendidikan Islam dalam tradisi Muslim tersebut. Produk kajian dari dua
pendekatan tersebut kemudian dijadikan dasar bagi perumusan konsep pendidikan
Islam yang dijadikan basis bagi sekolah syariah.
Hakekat Manusia.
Banyak cara dipakai untuk menjelaskan hakekat manusia, namun dalam tulisan
ini lebih terfokus pada ‘sesuatu yang amat vital yang menentukan hidup
manusia,’ baik di tengah masyarakat maupun di mata Allah SWT. Dengan mengkaji
pesan-pesan Al-Qur’an, sesuatu yang amat vital yang menentukan hidup manusia
itu tidak lain adalah amalnya yang mencakup gagasan, perbuatan dan karya
[Q.S. Al-Mulk (67): 2; At-Taubah (9): 105][3],
sebagai wujud penjelmaan kepribadiannya yang dikembangkan melalui pelatihan
potensi-potensinya [Q.S. Asy-Syams (91): 7-10][4],
untuk melaksanakan mandatnya, baik
sebagai hamba Allah [Q.S. Adz-Dzâriyât (51): 5][5]
maupun sebagai khalifah-Nya [Q.S. Al-Baqarah (2): 30]; Hûd (11): 61][6].
Pendidikan dalam Tradisi Muslim Klasik.
Pendidikan adalah
kewajiban pertama seorang Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Pengetahuan
Tuhan diasosiasikan dengan proses belajar dan mengajar [Al-`Alaq (96): 1-5][7].
Proses pendokumentasian secara baik teks-teks Islam (terutama Al-Qur’an dan
As-Sunnah) memperlihatkan kemunculan awal ‘tradisi melek huruf’ dan
pewarisannya di antara sesama Muslim sebagai sebuah prioritas sosial. Telah
menjadi tradisi kuat dalam masyarakat Muslim sejak awalnya untuk membaca,
menulis dan menghafal firman-firman Allah SWT dan hadis-hadis Rasulullah SAW.
Ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an dan penafsirannya dan ilmu-ilmu tentang Hadis
berikut kritik sanad dan matannya (otentisitas perawi dan
subtansi hadis) kemudian menjadi fondasi bagi keahlian dalam berbagai disiplin
ilmu, terutama hukum Islam (Douglass dan Shaikh, 2004).
Menjelang periode kekhalifahan Abbasiyah
awal, tradisi melek huruf telah menjadi mapan dalam berbagai macam bidang
studi. Penulisan sejarah menjadi menonjol untuk mencatat peristiwa-peristiwa
penting dalam perkembangan awal Islam. Wilayah-wilayah baru Islam umumnya
memiliki komitmen pertamanya pada penulisan, dan kemunculan ‘sejarah universal’
telah mensintesiskan banyak pengetahuan Yunani Klasik dan peradaban India dan Persia (Duri,
1983). Kemanusiaan berkembang dengan berkembangnya peradaban Islam. Sains telah
berkembang di atas landasan pengetahuan praktis komunitas Muslim dalam
pelayaran, navigasi, astronomi, perdagangan, peternakan dan pertanian.
Perkembangan hukum Islam telah memotivasi pembuatan penunjuk waktu dan kalender
yang baku, arah
kiblat yang akurat, dan kalkulasi yang tepat dalam warisan, timbangan dan
pengukuran. Rasa ingin tahu yang besar, akses geografis yang mudah dan
fasilitas yang memadai—termasuk suplai dana dari khalifah dan wakaf dari
umat—telah mendorong dinamika penerjemahan, penyerapan, pengembangan dan
penyebaran pengetahuan dalam berbagai bidang secara masif (Hassan dan Hill,
1986). Kedatangan teknologi pembuatan kertas dari Cina telah memberikan daya
dorong tambahan pada dinamika tersebut (Sardar dan Malik, 1997).
Tumbuh-kembangnya tradisi melek huruf ini
telah mengakibatkan pembentukan institusi-institusi pendidikan yang memajukan
gagasan tentang pendidikan Islam, seperti pemerataan pendidikan atau pendidikan
untuk semua untuk konteks kurun saat itu. Dinamika perkembangan ilmu
pengetahuan, sebagai bentuk konkret tradisi melek huruf, telah menyumbangkan
suatu konsep tentang pendidikan Islam yang menempatkan tidak adanya rintangan
antara belajar yang relijius dan belajar yang sekuler. Al-Qur’an
sendiri merupakan sumber inspirasi yang kaya bagi banyak bidang ilmu,
baik karena anjurannya untuk mencari dan berbagi ilmu maupun karena
penjelasannya tentang fenomena alam yang sungguh sangat menggugah rasa ingin
tahu [Al-An`âm (6): 96-97][8].
Kata Arab bagi agama, yaitu dîn—Islam
disebut sebagai dîn, ternyata memiliki hubungan yang kuat dengan
kehidupan yang intelektual dan beradab. Akar kata dîn adalah d-y-n, yang
maknanya menekankan hubungan antara kehidupan yang spiritual, intelektual dan
beradab. Empat makna pokok dari akar kata tersebut adalah: kewajiban bersama,
ketundukan atau pengakuan, kewenangan yudisial dan kecenderungan hati. Dîn mengekspresikan
(pemenuhan) kewajiban terhadap Tuhan Yang Esa, berdasarkan kecenderungan hati
terhadap Sang Pencipta. Akar kata d-y-n juga berkonotasi gagasan tentang
hutang, sebuah transaksi yang melibatkan pertukaran kepercayaan dan kewajiban.
Kata kota—madînah—berasal
dari akar kata yang sama. Kota
adalah suatu komunitas dengan relasi dan transaksi sosial yang kompleks,
berbasis pada pemenuhan kewajiban secara bertanggung jawab dan timbal balik, dan
ketundukan kepada keputusan dan otoritas sipil. Dua basis tersebut
mengimplisitkan keadaban. Sedangkan kata peradaban—tamaddun—terkait juga
dengan akar kata d-y-n. Kata kerja tamaddana berarti mendirikan kota atau memanusiakan
pemikiran, sehingga tamaddun berarti sivilisasi atau pengadaban
masyarakat. Dengan demikian, agama dan pendidikan dibawa bersama dalam usaha
manusia untuk mengetahui dan mengagungkan Tuhan Pencipta, serta mencari
pengetahuan dan menggunakannya untuk kemanfaatan masyarakat. Pengetahuan
tersebut dikembangkan dan diwariskan untuk kesinambungan masyarakat yang
beradab (Douglass dan Shaikh, 2004).
Dalam tradisi Islam, ada dua kata kunci
yang memiliki akar kata yang sama, yaitu `ilm (jamaknya `ulûm, pengetahuan)
dan `alîm (jamaknya `ulamâ’, orang yang mengembangkan dan
mewariskan pengetahuan). Dikenal dua klasifikasi pengetahuan yang berasal dari
sumber yang sama, Tuhan Sang Pemilik Khazanah Pengetahuan, yaitu
`ulûm qauliyah (pengetahuan yang dikembangkan dari fenomena
Allah yang terdapat dalam wahyuNya) dan `ulûm kauniyah (pengetahuan yang
dikembangkan dari fenomena Allah yang terdapat dalam alam ciptaanNya) (Santoso,
1992). `Ulamâ’ yang perannya tidak hanya sebagai pendidik, namun juga
sebagai sarjana dan ahli hukum, menjadi kelompok sosial yang berpengaruh
sepanjang sejarah peradaban Muslim dengan menjadi hakim dan dipercaya memimpin
yayasan sosial, dan bahkan bila perlu menjadi pengontrol penguasa, di samping
sebagai aktor yang memadukan kepercayaan dan praktik Islam dan memelihara tradisi
melek huruf dalam masyarakat Muslim (Douglass dan Shaikh, 2004).
Masih ada dua kata
kunci tambahan. Pertama, adab yang berarti suatu kebiasaan atau norma
perilaku yang diwariskan antar generasi. Seiring dengan perkembangan peradaban
Muslim, kata tersebut lalu bermakna ‘kualitas kejiwaan yang tinggi, pengasuhan
yang baik, kehalusan budi dan kesopanan’. Pada masa Abbasiyah, adab
telah diterima sebagai produk pendidikan yang bernilai. Dalam sistem
pendidikan, adab menerima pemaknaan intelektualnya, yaitu sejumlah
pengetahuan yang membuat seseorang sopan dan halus budinya. Pengetahuan yang
dimaksud disajikan melalui retorika, tata bahasa, leksikografi, metrik, puisi,
sastra dan sains. Konsep adab, dengan demikian, membantu pengembangan
estetik dari kehidupan yang beradab dan menjadi bagian yang integral dari
pendidikan dalam spirit Islam. Kedua, tarbiyah yang merujuk pada
pendidikan moral, dan berasal dari suatu akar kata r-b-w yang terkait dengan
akumulasi. Pendidikan moral disebut tarbiyah karena memerlukan akumulasi
latihan dan contoh (Douglass dan Shaikh, 2004).
Penerimaan pengetahuan, etika dan suatu
pandangan hidup moral merupakan suatu landasan bagi pencapaian apa yang diminta
Allah terhadap setiap manusia—untuk melaksanakan apa yang disebut baik dan menghindari
apa yang disebut jahat. Pendidikan memberikan seseorang pengetahuan untuk
mengenal tugas, fondasi moral untuk mengetahui apa yang harus dikerjakan, dan
sumber-sumber personal (baca: etika) untuk melaksanakan tugas.
Individu-individu
yang dididik secara Islam akan mengkombinasikan aspek-aspek pendidikan Islam
yang telah dijelaskan di atas. Mereka akan benar-benar mengetahui secara baik
sumber-sumber orisinal Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana juga mengenal secara
baik disiplin-disiplin keilmuan. Dalam mempelajari dîn, mereka akan
belajar melaksanakan kewajiban-kewajiban iman dan bertindak sesuai dengan
prinsip-prinsipnya. Melalui pengajaran etika dan moral, individu terdidik akan
bertindak penuh tanggung jawab secara sosial, menerima penghormatan sosial
kehidupan beradab, dan ikut serta dalam menyumbangkan sejumlah ketrampilan dan
pengetahuan.
Konsep Pendidikan
Islam. Dengan memahami hakekat manusia dan pendidikan dalam tradisi
Muslim seperti diuraikan di atas, dapatlah dirumuskan konsep pendidikan Islam,
yaitu proses membantu pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia secara
menyeluruh dan seimbang melalui pelatihan segenap daya dan
potensi (termasuk daya dzikir dan nalarnya) yang dilaksanakan sedemikian
rupa sehingga nilai-nilai Islam tertanam dalam kepribadiannya dan melahirkan
amal dan kebudayaan yang berorientasi kepada nilai-nilai tersebut,
sehingga mandatnya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya
dapat diaktualisasikan (Cf. al-Attas, 1979; Ashraf, 1985).
Pelatihan
dilaksanakan dengan keterpaduan tiga kata kunci ta`lîm, tarbiyah dan ta’dîb.
Ta`lîm, yang kata dasarnya `ilm (telah diuraikan di atas) dan
bermakna pembelajaran, dilaksanakan dengan strategi yang sarat dengan cinta dan
keramahan namun dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Tarbiyah dilaksanakan
dengan penanaman perilaku yang merefleksikan moral dan nilai Islam seperti
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ta’dîb, yang kata dasarnya adab
(telah diuraikan juga di atas) dan bermakna pengadaban, dilaksanakan dengan
membantu peserta didik mengembangkan dimensi estetik dan meraih tujuan-tujuan
spiritual melalui pencarian pengetahuan dan pelayanan kepada masyarakat.
Akhirnya keterpaduan ta`lîm, tarbiyah dan ta’dîb—disebut tiga
dimensi proses pendidikan Islam—akan memperkuat spirit penelitian dan
pengembangan yang terbuka di mana iman dan nalar mengantarkan peserta didik
menuju pengetahuan yang tinggi, kemampuan yang produktif, perilaku bermoral dan
estetik, pilihan hidup individual yang logis dan sehat, dan kewarganegaraan
yang bertanggung jawab. Dengan demikian, operasionalisasi ta`lîm, tarbiyah dan
ta’dîb tidak hanya mengambil bentuk-bentuk formal, namun juga
non-formal, dan bahkan informal.
Tiga dimensi proses
pendidikan di atas, ta`lîm, tarbiyah dan ta’dîb, bagaimanapun,
menyiratkan fungsi-fungsi pendidikan Islam. Pendidikan Islam tidak hanya
berfungsi secara internal untuk mengembangkan kepribadian dan mengembangkan
kemampuan produktif, tetapi secara eksternal berfungsi juga untuk mengembangkan
ilmu dan peradaban. Selain itu, tiga dimensi proses pendidikan di atas
menyiratkan juga inter-relasi antara manusia, masyarakat, dan lingkungannya,
dan antara ketiganya dengan Allah, dan sebagai konsekuensinya, pendidikan
merupakan tanggung jawab individu, masyarakat (termasuk keluarga) dan negara.
Ketika dikaitkan
dengan dîn, madînah, dan tamaddun, maka pendidikan dalam
perspektif Islam dalam kerangka hubungan
vertikal (hubungan manusia dengan Allah) merupakan ibadah, bahkan suatu
kewajiban prasyarat untuk dapat memahami kewajiban Islam yang lain, dan dalam
kerangka hubungan horisontal (hubungan antara sesama manusia dan dengan makhluk
lainnya) pendidikan merupakan kewajiban prasyarat untuk membangun
kebudayaan/peradaban (memelihara mandat sebagai khalifah Allah).
C.
Pendidikan Inklusi: Pengenalan
Konsep
Latar Belakang.
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, pendidikan
inklusi merupakan konsekuensi lanjut dari kebijakan global Education for All
(Pendidikan untuk Semua) yang dicanangkan oleh UNESCO 1990. Kebijakan Education
for All itu sendiri merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia
dalam pendidikan yang dicanangkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi
Manusia 1949. Konsekuensi logis dari hak ini adalah bahwa semua anak
memiliki hak untuk menerima pendidikan yang tidak diskriminatif atas dasar
hambatan fisik, etnisitas, agama, bahasa, jender dan kecakapan. Pendidikan
inklusi yang dideklarasikan dalam Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk
(Mereka Yang Membutuhkan) Kebutuhan Khusus di Salamanca, Spanyol, 1994, dan
diperteguh dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal, 2000, merupakan
suatu pendekatan yang berusaha memenuhi kebutuhan belajar semua anak, pemuda
dan orang dewasa dengan fokus khusus pada mereka yang termarjinalisasikan dan
tersisihkan. Dari tahun ke tahun, jumlah
yang termarjinalisasikan dan tersisihkan ternyata tidak berkurang, bahkan terus
bertambah. Pada tahun 2000 diperkirakan ada sekitar 113 juta anak usia sekolah
dasar yang tidak masuk sekolah, 90 % dari mereka hidup di negara-negara dengan
pendapatan rendah dan menengah rendah dan lebih dari 80 juta anak tinggal di
Afrika (UNESCO, 2003).
Defenisi
Pendidikan Inklusi. Pendidikan
inklusi adalah sebuah proses yang memusatkan perhatian pada dan merespon
keanekaragaman kebutuhan semua peserta didik melalui partisipasi dalam belajar,
budaya dan komunitas, dan mengurangi ekslusi dalam dan dari pendidikan (UNESCO,
2003). Pendidikan inklusi mengakomodasi semua peserta didik tanpa
mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik
mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti mencakup anak yang cacat dan berbakat,
anak jalanan dan yang bekerja, anak dari penduduk terpencil dan nomadik
(berpindah-pindah), anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan
anak dari kelompok atau wilayah yang termarjinalisasikan lainnya. Sekolah
reguler dengan orientasi inklusi merupakan sarana yang sangat efektif untuk
memberantas diskriminasi, menciptakan masyarakat yang hangat relasinya,
membangun masyarakat inklusif, dan mensukseskan pendidikan untuk semua (UNESCO,
1994; UNESCO, 2003). Pendidikan inklusi bertujuan memungkinkan guru dan peserta
didik merasa nyaman dalam keragaman, dan memandang keragaman bukan sebagai
masalah, namun sebagai tantangan dan pengayaan bagi lingkungan belajar (UNESCO,
2003).
Semua karakteristik pendidikan inklusi di
atas berimplikasi pada perubahan dan modifikasi pada materi, pendekatan,
struktur dan strategi, dengan suatu visi umum yang mengkover semua peserta
didik dan suatu pengakuan atau kesadaran bahwa menjadi tanggung jawab sistem
reguler untuk mendidik semua peserta didik (UNESCO, 2003).
Pentingnya Pendidikan Inklusi.
Pendidikan inklusi adalah hak asasi manusia, di samping merupakan pendidikan
yang baik dan dapat menumbuhkan rasa sosial. Itulah ungkapan yang
dipakai untuk menggambarkan pentingnya pendidikan inklusi. Ada beberapa argumen
di balik pernyataan bahwa pendidikan inklusi merupakan hak asasi manusia:
(1) semua anak memiliki hak untuk belajar bersama; (2) anak-anak seharusnya
tidak dihargai dan didiskriminasikan dengan cara dikeluarkan atau disisihkan
hanya karena kesulitan belajar dan ketidakmampuan mereka; (3) orang dewasa yang
cacat, yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai pengawas sekolah khusus,
menghendaki akhir dari segregrasi (pemisahan sosial) yang terjadi selama ini;
(4) tidak ada alasan yang sah untuk memisahkan anak dari pendidikan mereka,
anak-anak milik bersama dengan kelebihan dan kemanfaat untuk setiap orang, dan
mereka tidak butuh dilindungi satu sama lain (CSIE, 2005).
Adapun alasan-alasan di balik pernyataan
bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan yang baik: (1) penelitian
menunjukkan bahwa anak-anak akan bekerja lebih baik, baik secara akademik
maupun sosial, dalam setting yang inklusif; (2) tidak ada pengajaran
atau pengasuhan dalam sekolah yang terpisah/khusus yang tidak dapat terjadi
dalam sekolah biasa; (3) dengan diberi komitmen dan dukungan, pendidikan
inklusif merupakan suatu penggunaan sumber-sumber pendidikan yang lebih
efektif. Dan argumen-argumen dibalik pernyataan bahwa pendidikan inklusi dapat membangun
rasa sosial: (1) segregasi (pemisahan sosial) mendidik anak menjadi takut,
bodoh, dan menumbuhkan prasangka; (2) semua anak membutuhkan suatu pendidikan
yang akan membantu mereka mengembangkan relasi-relasi dan menyiapkan mereka
untuk hidup dalam arus utama; dan (3) hanya inklusi yang berpotensi untuk
mengurangi ketakutan dan membangun persahabatan, penghargaan dan pengertian
(CSIE, 2005).
Pertimbangan Filosofis. Pertimbangan
filosofis yang menjadi basis pendidikan inklusi paling tidak ada tiga. Pertama,
cara memandang hambatan tidak lagi dari perspektif peserta didik, namun dari
perspektif lingkungan sekolah. Lingkungan sekolah harus memainkan peran
sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Kedua, perspektif
holistik dalam memandang peserta didik. Dengan perspektif tersebut, peserta
didik dipandang mampu dan kreatif secara potensial. Sekolah bertanggung jawab
untuk menciptakan lingkungan di mana potensi-potensi tersebut berkembang.
Ketiga, prinsip non-segregasi. Dengan prinsip ini, sekolah memberikan
pemenuhan kebutuhan kepada semua peserta didik. Organisasi dan alokasi sumber
harus cukup fleksibel dalam memberikan dukungan yang dibutuhkan kelas. Masalah
yang dihadapi peserta didik harus didiskusikan terus menerus di antara staf
sekolah, agar dipecahkan sedini mungkin untuk mencegah munculnya
masalah-masalah lain (UNESCO, 2003).
Langkah-langkah menuju Inklusi Yang Nyata. Ada
tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata: komunitas, persamaan dan
partisipasi. Semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang
memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep
dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofis. Setiap anggota komunitas memiliki persamaan
(hak yang sama), dan—karena itu—sama-sama berpartisipasi dalam
mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai
evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan
tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan
untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Terkait dengan ini, ada ungkapan
bahwa komunitas (semua staf yang terlibat dalam pendidikan inklusi) ‘melampaui
dan di atas’ (over and above) kurikulum (UNESCO, 2003).
D.
Sekolah Syariah:
Perspektif Pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi
Yang dimaksud dengan sekolah syariah di
sini adalah sebuah program pendidikan dengan fokus perhatian pada inovasi
kurikulum yang sedang dirintis dan dikembangkan SD Muhammadiyah Program Khusus Kotta
Barat, Surakarta
sejak 2000. Inovasi kurikulum berorientasi kepada pendidikan yang ramah kepada
semua anak di bawah naungan ketauhidan—dalam makna menegasikan dikhotomi antara
ilmu dan agama—sebagai solusi terhadap kritik yang sering ditujukan kepada
dunia pendidikan selama ini, yaitu pendidikan sekolah yang prosesnya
diibaratkan penjara yang membatasi bahkan menghalangi perkembangan fitrah dan
kreativitas anak dan produknya yang cenderung sekularistik (lihat dokumen
sekolah). Dalam kesempatan ini, sekolah syariah akan dikaji dalam perspektif
pendidikan Islam dan pendidikan inklusi sebagaimana yang telah dijelaskan di
muka. Kajian dapat berbentuk evaluasi-kritis atau normatif-direksional. Kajian
evaluasi-kritis memerlukan prasyarat berupa pengetahuan yang memadai tentang objek
kajian, yaitu program sekolah syariah. Namun, karena keterbatasan informasi
tentang program tersebut, hanya sedikit dari uraian berikut yang bersifat
evaluasi-kritis. Selebihnya lebih bersifat normatif-direksional, memuat
rambu-rambu atau tantangan yang terlahir dari konsep pendidikan Islam dan
konsep pendidikan inklusi yang dapat menjadi arah atau pedoman dalam
mengembangkan program sekolah syariah. Namun, mendahului uraian tersebut akan
dikaji terlebih dahulu kemungkinan titik singgung antara pendidikan Islam dan
pendidikan inklusi.
Titik Singgung
Pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi. Ada beberapa titik singgung yang dapat teridentifikasi. Pertama, pendidikan
sebagai kewajiban/hak. Dalam perspektif Islam pendidikan merupakan
kewajiban prasyarat, baik untuk memahami kewajiban Islam yang lain maupun untuk
membangun kebudayaan/peradaban, sementara dalam perspektif inklusi pendidikan
merupakan hak asasi manusia. Pernyataan pendidikan sebagai hak atau kewajiban
bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan karena perbedaan hanya terletak pada
sudut pandang terhadap substansi yang sama: ‘pendidikan sebagai hak’ lebih
antroposentris dan ‘pendidikan sebagai kewajiban’ lebih teosentris. Kedua, prinsip
pendidikan untuk semua. Titik singgung kedua ini merupakan implikasi dari
titik singgung pertama. Pendidikan inklusi, seperti telah dijelaskan, merupakan
implikasi dari prinsip ‘pendidikan sebagai hak asasi manusia’ yang
penerjemahannya dalam kebijakan global 1990 menjadi ‘pendidikan untuk semua’,
sementara pendidikan Islam secara historis di masa peradaban klasik telah
memfasilitasi lingkungan yang kondusif bagi ‘pendidikan untuk semua’ melalui
pembentukan tradisi melek huruf. Ketiga, prinsip non-segregasi. Titik
singgung ketiga ini merupakan implikasi lain dari titik singgung pertama.
Dengan memandang pendidikan sebagai kewajiban/hak asasi manusia, maka setiap
manusia tidak boleh termarjinalisasikan dan tersisih dalam memperoleh layanan
pendidikan. Keempat, perspektif holistik dalam memandang peserta didik.
Baik pendidikan Islam maupun pendidikan inklusi berupaya menumbuh-kembangkan
kepribadian manusia dengan mengakui segenap daya dan potensi yang dimiliki
peserta didik. Kelima, cara memandang hambatan yang lebih berorientasi pada
faktor eksternal. Titik singgung kelima ini implikasi dari titik singgung
keempat dan pertama. Karena segenap daya dan potensi peserta didik wajib/berhak
ditumbuh-kembangkan, maka faktor eksternal (lingkungan sekolah) harus memainkan
peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik. Hambatan
belajar tidak lagi terletak pada diri peserta didik.
Sekolah Syariah: Perspektif Pendidikan
Islam. Bila program sekolah syariah dimaksudkan sebagai inovasi
kurikulum yang berorientasi kepada pendidikan yang ramah kepada semua anak di
bawah naungan ketauhidan—dalam makna menegasikan dikhotomi antara ilmu dan
agama, maka program sekolah syariah dapat dipandang sebagai terapan dari
prinsip non-segregasi dan perspektif holistik dalam memandang peserta didik. Terapan
prinsip non-segregasi dapat dilihat dalam proses pendidikan yang ramah kepada
semua anak. Adapun terapan yang menonjol dari perspektif holistik sekaligus
menjadi faktor pembeda dari inovasi-inovasi pendidikan Islam Indonesia yang
belakangan ini terjadi, adalah rancangan yang sengaja untuk mempertemukan daya
nalar dan daya dzikr peserta didik dalam proses pembelajaran. Inovasi yang
dilakukan tidak sekadar menambah pelajaran agama baik dalam bentuk kurikulum
formal (penambahan sejumlah mata pelajaran agama) maupun kegiatan ko-kurikuler
(seperti tahfîdh Al-Qur’an dan shalat berjamaah) dan ekstra
kurikuler yang tetap tidak terintegrasi dengan mata pelajaran umum, sebagaimana
terjadi pada inovasi pendidikan melalui sekolah-sekolah ‘Islam terpadu’ yang ‘fullday’,
namun betul-betul mencoba mengintegrasikan ayat-ayat qauliyah (yang
bersumber dari Al-Qur’an dan/atau Sunnah) dan ayat-ayat kauniyah
(materi-materi ilmu pengetahuan alam [IPA] atau ilmu pengetahuan sosial [IPS]).
Setiap paket pembelajaran dalam mata pelajaran IPA, misalnya, akan didahului
kajian tentang ayat qauliyah sebelum kemudian masuk dalam kajian tentang
ayat kauniyah. Secara implisit, inovasi ini telah mengangkat sesuatu
yang selama ini termarjinalisasikan atau tersisih dalam praktik dunia
pendidikan, yaitu ayat qauliyah baik sebagai nilai maupun sebagai data
awal. Inovasi kurikulum sekolah syariah mencoba mengintegrasikan data awal dari
ayat qauliyah dengan temuan-temuan keilmuan yang telah diperoleh dari
ayat kauniyah, dan lebih dari itu mengintegrasikan pengetahuan dengan
nilai.
Untuk ke depan, sebagai tantangan bagi
pengembangan kurikulum syariah, integrasi pengetahuan dan nilai tidak berhenti
pada dimensi ta`lîm saja (pembelajaran kognitif), tetapi berlanjut pada
dimensi tarbiyah (pendidikan moral) dan ta’dîb (pendidikan
estetik dan spiritual)—integrasi pengetahuan dan nilai (nalar dan iman) yang
memperkuat spirit penelitian dan pengembangan yang terbuka, dan mengantarkan
peserta didik menuju pengetahuan yang tinggi, kemampuan yang produktif,
perilaku yang bermoral dan estetik, pilihan hidup individual yang logis dan
sehat, dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab.
Tantangan lain yang perlu didiskusikan
bersama adalah penerapan prinsip ‘pendidikan sebagai kewajiban kemanusiaan’
atau prinsip ‘pendidikan untuk semua’ dalam rekrutmen siswa-siswa. Karena, bisa
saja dalam praktik rekrutmen siswa baru, yang terjadi adalah penerimaan
siswa-siswa pilihan/unggul saja—apa pun kriteria yang dipakai. Kalau ini
terjadi, akan ada calon-calon siswa yang termarjinalisasikan dan tersisih.
Bukankah ini berlawanan dengan prinsip
‘pendidikan sebagai kewajiban kemanusiaan’ atau prinsip ‘pendidikan untuk
semua’?
Tantangan yang tidak kalah penting untuk
diantisipasi adalah operasionalisasi cara memandang hambatan yang lebih
berorientasi pada faktor eksternal. Bila lingkungan sekolah harus memainkan
peran sentral dalam transformasi hambatan-hambatan peserta didik, maka akan
banyak terjadi perubahan—tidak sekedar modifikasi—dalam materi, pendekatan,
struktur dan strategi. Perubahan dalam materi (bahan belajar) telah dilakukan,
sementara kebijakan untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang ramah untuk
semua peserta didik dapat dipandang sebagai langkah awal antisipasi yang tepat.
Praktik dari kebijakan itu, seperti fleksibilitas guru dalam strategi pembelajaran
dan perlakuan terhadap siswa, memerlukan ruang tidak saja diskusi tetapi juga
terapannya dalam arti yang sebenarnya karena berhadapan dengan tembok-tembok
budaya selama ini yang terkesan lebih memenjarakan potensi dan kreativitas
siswa.
Sekolah Syariah: Perspektif Pendidikan
Inklusi. Secara evaluatif, dapatlah dikatakan bahwa kurikulum
sekolah syariah ini melalui strategi penciptaan lingkungan yang ramah untuk
semua peserta didik merupakan terapan dari beberapa prinsip pendidikan inklusi,
yaitu prinsip non-segregasi dan prinsip perspektif holistik dalam memandang
peserta didik. Dengan lingkungan yang ramah, setiap peserta didik diakui sesuai
dengan daya dan potensinya dan memperoleh layanan pendidikan tanpa perbedaan,
disesuaikan dengan daya dan potensinya tersebut.
Tentang tantangan ke depan, karena ada
beberapa titik singgung antara pendidikan Islam dan pendidikan inklusi,
beberapa prinsip/norma pendidikan inklusi telah dibicarakan dalam kajian di
atas tentang sekolah syariah dari perspektif pendidikan Islam, seperti
operasionalisasi cara memandang hambatan yang lebih berorientasi pada faktor
eksternal yang menuntut secara normatif-direksional peran sentral sekolah dalam
transformasi hambatan-hambatan peserta didik, dan berimplikasi pada
fleksibilitas kurikulum, termasuk strategi pembelajarannya. Sudah siapkah
sekolah syariah membangun komunitas pendukung yang melibatkan semua staf
pendidikan, memiliki persamaan (hak yang sama), dan—karena itu—sama-sama
berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari
perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya? Ini dipertanyakan karena
komunitas, persamaan, dan partisipasi merupakan norma-norma direksional menuju
inklusi yang nyata.
Terkait dengan prinsip ‘pendidikan sebagai
hak asasi manusia’ atau ‘pendidikan untuk semua’, tantangan ke depan yang harus
di antisipasi adalah apakah sekolah syari`ah akan dikembangkan dengan mengikuti
norma ‘pendidikan inklusi’ yang mengakomodasi semua peserta didik tanpa
mempertimbangkan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, linguistik
mereka dan kondisi lainnya. Ini berarti mencakup anak yang cacat dan berbakat,
anak jalanan dan yang bekerja, anak dari penduduk terpencil dan nomadik
(berpindah-pindah), anak dari kelompok minoritas bahasa, etnis atau budaya, dan
anak dari kelompok atau wilayah yang termarjinalisasikan lainnya.
E.
Penutup
Demikianlah, fenomena sekolah
syariah—dengan segala keterbatasan akses informasinya—telah dicoba dikaji.
Objektivitas kajian diusahakan melalui prinsip normatif pendidikan Islam dan
pendidikan inklusi, sehingga bila ada kesesuaian program sekolah syariah dengan
salah satu atau beberapa prinsip normatif pendidikan Islam atau pendidikan
inklusi, maka hal itu tidak dimaksudkan untuk legitimasi. Dan memang, yang
lebih banyak adalah tawaran tantangan ke depan yang perlu diantisipasi dalam
mengembangkan kurikulum/sekolah syariah. Semoga ada manfaatnya. Wallâhu a`lam bish-shawâb.
Daftar Pustaka
al-Attas, Syed Muhammad
al-Naquib (ed.) (1979), Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah:
King Abdulaziz University
dan Hodder & Stoughton.
Ashraf, Syed Ali (1985), New
Horizon in Muslim Education. Chippenham: Hodder & Stoughton.
CSIE (Centre for Studies
on Inclusive Education) (2005), Ten Reasons for Inclusion, http://inclusion.uwe.ac.uk/
csie/10rsns.htm.
Douglass, Susan L. dan
Shaikh, Munir A. (2004), ‘Defining Islamic Education: Differentation and
Aplications’ dalam CICE (Current Issues in Comparative Education) Journal:
Islam and Education, Vol. 7, No. 1, December 15.
Duri, A. A. (1983), The
Rise of Historical Writing among the Arabs, terjemahan L. I. Conrad. Princeton:
Princeton University Press.
Hassan, A. Y. & Hill,
D. (1986), Islamic Technology. Cambridge
: Cambridge University Press.
Ould Bah, M. (1998), Islamic
Education between Tradition & Modernity. Morocco: ISESCO.
Sahadat, John (1997),
‘Islamic Education: a Challenge to Conscience’ dalam The American Journal of
Islamic Social Sciences, Vol. 14, No. 4 (Winter).
Santoso, M.A. Fattah
(1992), ‘Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Islam’ dalam Akademika, Tahun
X, No. 1.
Sardar, Ziauddin dan
Malik, Zafar Abbas (1997), Mengenal Islam for Beginners, terjemahan
Qowayfa. Bandung:
Mizan.
Sarwar, G. (1996), ‘Islamic
Education: its Meaning, Problems and Prospects’ dalam Issues in Islamic
Education. London
: The Muslim Educational Trust.
UNESCO (1990), World Declaration on Education for All
and Framework for Action to Meet Basic Learning Needs. International
Consultative Forum on Education for All. Paris:
UNESCO.
UNESCO (1994), The Salamanca Statement and Framework for Action
on Special Needs Education, World Conference on Special Needs Education: Access
and Quality. Paris:
UNESCO and the Ministry of Education, Spain. Versi pdf., http://portal.unesco.org/education/en/ev.php.
UNESCO (2003), Conseptual Paper: UNESCO Inclusive
Education, a Challenge and a Vision.
http://portal.unesco.org/education/en/ev.php.
[1] Makalah ini merupakan versi revisi dari
makalah untuk Seminar Nasional dan Peluncuran “Kurikulum Sekolah Syariah dan
Panduan Implementasi Pendidikan Inklusi UNESCO” yang diselenggarakan oleh
Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
Jawa Tengah dengan dukungan Braillo, IDP-Norwegia dan SD Muhammadiyah Program
Khusus Surakarta, di UNS, 11 Juni 2005.
[2] Dosen Fakultas Agama Islam dan Program
Magister Studi Islam Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Q.S. At-Taubah (9): 105: "وقل
اعمـلوا فـسيرى الله عـملكم ورسوله والمؤمنون وستردّ ون إلى عالم الغيب والشـهادة
فسـيـنبّـئكم بما كـنتم تعــملون"
[4] Q.S. Asy-Syams (91): 7-10: "ونفـس وما سـوّاها، فأ لهـمها فـجـورها
وتـقواهـا، قـدأفـلح من زكـّـاها، وقـد خا ب من دسّــاها"
Q.S. Hûd (11): 61: "هـوأنـشأكم من الأرض واسـتعـمركم فــيهـا"
[7] Q.S. Al-`Alaq (96): 3-5: "إ قـرأ وربـّـك الأ
كـرم، الذى عـلـّم بالقــلم، عـلـّم الإ نــسان مالم يعــلم"
[8] Q.S. Al-An`âm (6): 96-97: "فالق الإصـباح وجـعل
الليـل سـكـنا والشـمس والقـمرحـسـبانا، ذلك تـقديرالعـزيـزالعـلـيم. وهـوالذى
جـعل لكم النـجـوم لتـهتـد وا بها فى ظـلمات البرّ والبـحر، قـد فـصّـلنا الآيـات
لقوم يعـلمون"

No comments:
Post a Comment