SEJARAH AL-QUR'AN
A.
PENDAHULUAN.
Philip K. Hitti mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang paling
banyak dibaca sepanjang sejarah umat manusia.[1]
Al-Qur'an juga merupakan satu-satunya kitab yang terus-menerus dihafal oleh
ratusan ribu manusia. Bukan hanya oleh mereka yang mengerti bahasa Arab, namun
juga oleh mereka yang sama sekali tidak pernah belajar bahasa Arab. Mereka
membaca dengan tekun dan menghafal dengan telaten. Sehingga banyak diantara
mereka mengkhatamkan bacaan al-Qur'an beberapa puluh kali dalam hidupnya, dan
menyelesaikan hafalan al-Qur'an dari halaman pertama hingga terakhir, tanpa
satu huruf pun tertinggal. Tidak ada satu buku atau kitab suci pun yang bisa
menandingi atau paling tidak menyamai al-Qur'an dalam hal ini.
Itu baru dalam hal dibaca dan
dihafal. Bagaimana halnya dengan usaha menggali kandungan al-Qur'an? Ratusan
hingga ribuan buku telah diterbitkan dalam usaha manusia menggali kandungan
al-Qur'an. Dari buku yang, hanya memuat beberapa halaman hingga buku yang
memuat puluhan jilid. Dari buku paling sederhana yang ditujukan untuk
orang-orang awam, hingga buku yang jlimet yang hanya bisa dipahami orang-orang yang mempunyai
kapasitas keilmuan yang memadahi. Dari buku yang mengajarkan cara membaca al-Qur'an, hingga
buku yang membahas makna al-Qur'an kata perkata. Dari buku yang ditulis orang
yang sangat shaleh sampai orang yang amat thaleh; dari orang yang ingin
menunjukkan kemukjizatan al-Qur'an hingga orang yang mencoba menunjukkan
kepalsuan al-Qur'an sebagai wahyu dari Tuhan Semesta Alam. Dan seterusnya.
Sesungguhnyalah kenyataan ini
amat mengejutkan diri saya sendiri. Kenyataan ini baru saya sadari ketika menuliskan
kata-kata ini. Bila al-Qur'an sudah jelas terbukti sebagai kitab atau buku yang
paling menarik untuk dibaca dan dihafalkan, jelas al-Qur'an bukan kitab atau
buku sembarangan. la adalah buku atau kitab yang paling menarik untuk dikaji.
Di seluruh penjuru dunia. Di sepanjang sejarah umat manusia.
Untuk itu, marilah bersama-sama
kita mencermati al-Qur'an. Bukan karena kita sedang menjalani ritual perkuliahan
Studi al-Qur'an saia, atau karena al-Qur'an merupakan kitab suci kita sebagai
umat Islam. Namun karena al-Qur'an memang pantas memperoleh perhatian terbesar,
diatas buku atau kitab suci manapun di muka bumi ini.
B.
PEMBAHASAN.
a. Proses Turunya Wahyu Allah kepada
Muhammad saw.
Kata turun
berarti bergerak dari tempat yang lebih tinggi menuju tempata yang lebih
rendah. Seperti kita turun dari lantai 5 ke lantai 4. Namun turun juga berarti
bergerak dari posisi yang lebih tinggi ke posisi yang lebih rendah, Seperti
turunnya sebuah Surat Keputusan (SK) dari Rektorat ke Fakultas. Dan nampaknya
turun dalam pengertian yang kedua inilah yang lebih tepat untuk memahami makna
turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw.[2]
Proses turunnya
wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw. termasuk pengetahuan yang hanya diperoleh
dari keterangan Rasulullah Saw. Karena pengetahuan seperti ini tidak bisa
dinalar oleh akal maupun ditangkap oleh pancaindera manusia.
Terdapat banyak
hadits yang menjelaskan tentang proses, turunnya al-Qur'an. Diantara hadits itu
diriwayatkan oleh Ibn 'Abbas:
أنزل
القرأن جملة واحدة في ليلة القدر إلى السماء الدنيا وكان بموقع النجوم وكان الله
ينزله على رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضه في أثر بعض.
"Al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan pada Lailatul
Qadar ke langit dunia, yaitu pada posisi bintang-bintang. Lalu Allah
menurunkannya kepada Rasulullah Saw. sebagian demi sebagian (secara
berangsur-angsur)." (HR. al‑
Hakim
.)[3]
فصل القرأن من الذكر, فوضع في بيت العزة
في السماء الدنيا, فجعل جبريل عليه السلام ينزله على النبي صلى الله عليه وسلم,
ويرتله ترتيلا.
" Al-Qur'an itu dpisahkan dari az zikr,, lalu diturunkan ke
Bait al-'Izzah di langit dunia. Kemudian Jibril As. menurunkannya kepada Nabi
Saw. dan beliau pun membacakannya secara tartil."
(HR. al-Hakim.)[4]
Dalam Ulum al-Hadits, hadits diatas termasuk hadits mauquf.
Yaitu hadits yang disandarkan pada shahabat. Namun karena yang disampaikan
oleh Ibn 'Abbas itu berkaitan dengan hal yang ghaib, sementarata hal yang ghaib
hanya bisa diketahui melalui keterangan Rasulullah saw. maka hadits itu
dihitung sebagai hadits marfu'.
Pada hadits yang pertama, al-Hakim memberikan
komentar, bahwa hadits itu sesuai dengan standar hadits shahih Al-Bukhari dan
Muslim. Dan adz-Dzahabi membenarkannya.
Sedangkan hadits yang kedua, al-Hakim memberikan
komentar bahwa hadits itu adalah hadits shahih. Dan adz-Dzahabi pun
membenarkannya.
Berdasarkan keterangan Ibn 'Abbas tersebut, Allah
Swt. menurunkan al-Qur'an melalui dua tahapan:
1.
Allah
menurunkan al-Qur'an secara keseluruhan di Bait al-'Izzah pada langit dunia.
Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt.:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ
وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ …
"Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara
yang hak dan yang bati 1)(QS. Al
Baqarah: 183)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا
مُنْذِرِينَ
"Sesungguhnya
Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.
(QS. Ad Dukhan: 3)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya pada malam kernuliaan."(QS.
Al Qadr: 1)
Redaksi dalam ayat tersebut menggunakan lafadz anzala
atau unzila berarti menurunkan atau diturunkan secara keseluruhan.
Berbeda dengan kata nazzala yang berarti menurunkan secara bertahap atau
berangsur-angsur.
2.
Kemudian
Allah menurunkan al-Qur'an dari Bait al-'Izzah kepada Nabi Muhammad Saw.
dengan perantaraan malakat Jibril As. secara berangsur-angsur selama tenggang
waktu dua puluh tiga tahun[5].
Allah Swt.
berfirman:
bÎ)ur öNçFZà2 Îû 5=÷u $£JÏiB $uZø9¨tR 4n?tã $tRÏö7tã (#qè?ù'sù ;ouqÝ¡Î/ `ÏiB ¾Ï&Î#÷VÏiB (#qãã÷$#ur Nä.uä!#yygä© `ÏiB Èbrß «!$# cÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇËÌÈ
dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al
Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat
(saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar.(QS. Al Baqarah: 23)
ö@è% `tB c%x. #xrßtã @Îö9ÉfÏj9 ¼çm¯RÎ*sù ¼çms9¨tR 4n?tã y7Î6ù=s% ÈbøÎ*Î/ «!$# $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt Yèdur 2uô³ç0ur tûüÏYÏB÷sßJù=Ï9 ÇÒÐÈ
Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh
Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan
seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi
petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al Baqarah: 97)
Ungkapan
(untuk menerangkan) dalam ayat-ayat di atas menggunakan kata tanzil, bukan
inzal. Ini menunjukkan bahwa turunya itu secara bertahap dan berangsur-angsur.
Ulama’ bahasa membedakan antara Inzal dan Tanzil. Tanzil berarti
turun secara berangsur-angsur sedang inzal hanya menunjukan turun atau
menurunkan dalam arti umum.[6]
b. Proses Penyimpanan al-Qur'an dalam
Hafalan dan Tulisan
Yang dimaksud dengan proses penyimpanan dalam sub bab
ini adalah proses pemeliharaan al-Qur'an semenjak diturunkan oleh Allah Swt.
kepada Nabi Muhammad Saw. Proses penyimpanan ini ada dua macam, yaitu
penyimpanan al-Qur'an dalam ingatan atau hafalan manusia yang dimulai dari diri
Nabi Saw. sendiri, dan penyimpanan al-Qur'an melalui media alas tulis yang juga
bermula dari perintah Nabi Saw.[7]
1.
Proses
Penyimpanan al-Qur'an dalam Hafalan.
Pada masa turunnya al-Qur'an sampai
sekarang, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang amat kuat hafalannya. Selain
kehidupan mereka yang sederhana, mereka juga sangat menghargai karya sastra.
Dan telah menjadi kebiasaan umum pada masa itu, ketika seorang penyair
membacakan hasil karyanya, maka orang-orang pun mendengarkannya secara cermat,
dan seketika menghafalkannya pula, meskipun bait syair terdiri dari beberapa
puluh bait.
Setiap ayat-ayat al-Qur'an turun kepada
Rasulullah Saw., beliau bersegera berusaha menghafalkannya. Sehingga kadang
Malaikat Jibril belum selesai membacakan ayat-ayat yang dibawanya, Rasulullah
Saw. berusaha melafadhkannya. Oleh karenanya, pada saat pertama kali Allah Swt.
memberikan teguran:
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ/ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ/ ÇÊÏÈ
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
§NèO ¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmtR$ut/ ÇÊÒÈ
Janganlah kamu gerakkan
lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.(QS. Al Qiyamah: 16-19)
Setiap kali Nabi Saw. selesai
menerima wahyu, beliau memanggil para shahabat untuk menyampaikan wahyu yang baru
saja beliau terima itu. Dan banyak diantara shahabat yang melakukan apa yang
dilakukan Nabi Saw. Yaitu menyimpan wahyu itu dalam ingatan mereka. Dan jumlah
shahabat yang melakukan kegiatan ini tidaklah sedikit. Hal ini bisa dilihat
misalnya dari Tragedi Bi'r al-Ma’u-nah. dimana pada peristiwa itu
sebanyak 70 orang shahabat yang hafal al-Qur'an gugur ditangan orang kafir.
Hal ini tidaklah mengherankan,
mengingat kedudukan al-Qur'an demikian istimewa dalam kehidupan kaum muslimin.
Terdapat banyak ayat yang menjelaskan kemuliaan al-Qur'an. Demikian pula
sabda-sabda Nabi Saw. Bahkan lebih jauh Nabi Saw. memberikan motivasi kepada kaum
muslimin untuk melakukan kegiatan ini. Seperti hadits yang diriwayatkan Imam
Ahmad berikut ini:
"Pada hari kiamat nanti al-Qur'an menghadap Allah
kemudian al-Qur'an memohon, "Ya Allah, berilah dia (orang yang hafal
al-Qur'an) perhiasan." Maka orang itu diberikan mahkota kehormatan.
Kemudian Al-Qur'an memohon lagi, "Ya Allah, tambahkanlah." Maka orang
itu pun diberikan perhiasan kehormatan. Lalu al-Qur'an memohon lagi, "Ya
Allah, ridhailah dia." Maka Allah pun ridha padanya, dan diperintahkan
pada orang itu, "Baca dan naiklah. Engkau akan memperoleh satu nilai
tambah kebaikan bagi setiap ayat." (HR. at-14Tirmidzi.)[8]
Dan kegiatan menghafal
al-Qur'an ini tidak berhenti pada masa Rasulullah Saw. maupun masa shahabat. Namun kegiatan
ini telah menjadi tradisi umat Islam yang diwariskan dari generasi ke generasi
dan telah menjadi tradisi menghafal. Apalagi mereka menghafal al-Qur'an bukan
sekedar maknanya, karna menghafal makna tidak dihitung sebagai kegiatan
menghafal al-Qur'an. Namun mereka menghafal al-Qur'an kata perkata, bahkan huruf perhuruf. Dan
banyak diantara mereka bukan hanya hafal satu dua lembar, seperempat, atau
setengah al-Qur'an. Namun mereka
menghafalkan kitab suci mereka itu secara keseluruhan.
2.
Proses
Penyimpanan al-Qur'an dalam Bentuk Tulisan
Selain tersimpan dalam hafalan manusi, al-Qur'an juga tersimpan dalam bentuk
tulisan. Dimana setiap kali Rasulullah saw. menerima wahyu, beliau memanggil
para juru tulis beliau, seperti Zaid bin Tsabit, 'Ali ibn Abi Thalib, dan Ubai
bin Ka`b. Kemudian beliau memberikan perinitah kepada mereka untuk menuliskan
wahyu tersebut. Karena waktu itu belum ada kertas dan pena, mesin ketik,
apalagi komputer dan printer, Rasulullah Saw. memerintahkan para juru tulis
beliau untuk menuliskan ayat-ayat al-Qur'an pada alat tulis yang ada pada waktu
itu, seperti: pelepah kurma, lempengan bata, kulit binatang yang telah disamak,
dan tulang-belulang binatang.[9]
Dan atas inisiatif sendiri, banyak
shahabat yang tidak diperintah menuliskan al-Qur'an, namun mereka menuliskan
ayat-ayat al-Qur'an untuk diri mereka sendiri.[10]
c.
Nilai Keaslian dan Otentisitas Dokumen Arsip Tulisan
Mushaf al-Qur'an.
Sejarah penyimpanan al-Qur'an
melalui tradisi menghafal yang dilakukan umat Islam dan diwariskan dari
generasi ke generasi, sebenarnya telah cukup menjadi bukti kuat atas
otentisitas al-Qur'an. Bila kita pergi umrah atau haji ke Mekah, lalu ada
kesempatan shalat dibelakang Imam masjid
al-Haram, bisa dipastikan bacaan imam sama persis dengan bacaan imam
masjid manapun di Indonesia pada, ayat dan surat yang sama. Demikian pula bila
kita bandingkan dengan bacaan imam belahan bumi manapun. Semua melafadhkan
huruf-huruf yang sama. Kalaupun ada perbedaan, maka itu hanyalah konsekuensi
logis dari sejarah sosial-linguistik masyarakat Arab masa diturunkannya
al-Qur'an. Dimana pembahasan masalah ini akan dikaji secara mendalam pada
materi sab'ah ahruf dan qira-ah sab'ah.
Demikian pula bila kita pergi
ke masjid, toko buku, pondok pesantren atau perpustakaan pribadi manapun di
nusantara ini, lalu kita bandingkan isinya masing-masing mushaf al-Qur'an yang
ada disana, maka tidak ada keraguan sama sekali bahwa seluruh mushaf itu berisi
ayat-ayat dan surat-surat yang sama. Demikian pula bila kita pergi ke negara
manapun di muka bumi ini. Semua mushaf memuat ayat dan
surat yang sama. Kalaupun ada perbedaan dalam penulisan beberapa huruf pada
beberapa kata, maka itu hanyalah, perbedaan rasm atau cara penulisan
saja. Perbedaan yang disebabkan sebagai konsekuensi atas perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi hasil karya manusia. Mengingat budaya menulis juga merupakan hasil karya
manusia.
d. Pembukuan al-Qur'an oleh Khalifah Abu
Bakar
Pada masa Rasulullah Saw.
al-Qur'an belum dibukukan. Karena pada masa tersebut al-Qur'an belum selesai
diturunkan, ditambah adanya beberapa kisah nasih-mansukh ayat. Bila Rasulullah
Saw. melakukan pembukuan al-Qur'an, maka bisa dipastikan akan mengalami banyak
kendala. Sehingga tetap saja pembukuan tidak bisa berjalan lancar.
Setelah Rasulullah Saw. wafat,
maka proses diturunkannya al-Qur'an bisa diketahui telah selesai. Dengan kata
lain, setelah Rasulullah Saw. wafat, maka baru bisa diketahui bahwa seluruh
ayat al-Qur'an telah selesai diturunkan. Karena setelah Rasulullah Saw. tidak
akan ada lagi nabi. Tentu saja selain nabi-nabi palsu yang sekedar ingin
memperoleh popularitas atau tergoda imbalan materi.
Adalah 'Umar b. al-Khaththab,
shahabat yang dikenal banyak ide kemajuan dan terobosan, merupakan orang yang
pertarna kali mencetuskan pentingnya pembukuan al-Qur'an. 'Umar menemui
Khalifah untuk menyampaikan ide cemerlangnya itu. Meskipun pada mulanya Abu
Bakar merasa ragu menerima ide tersebut, namun akhirnya ia setuju. Maka
Abu Bakar menunjuk Zaid Ibn Tsabit untuk melaksanakan tugas mulia itu. Dan
meskipun pada awalnya Zaid juga keberatan menerima perintah itu, namun akhirnya
ia pun bergegas melaksanakan tugas tersebut.[11]
Dasar pemikiran dibukukannya
al-Qur'an pada masa ini adalah kekhawatiran akan semakin sedikitnya para
huffazh al-Qur'an. Apabila para huffazh sampai habis terbunuh, maka al-Qur'an
pun dikhawatirkan juga lenyap. Terutama pasca Perang Yamamah yang telah
menewaskan sekitar tujuh puluh orang shahabat yang semuanya adalah para
huffazh. Maka wajar saja kekhawatiran itu muncul.[12]
Arti penting pembukuan
al-Qur'an yang dilakukan atas perintah Khalifah yang pertama ini adalah terkumpulkannya
lembaran-lembaran al-Qur'an yang semula terpisah-pisah pada beberapa orang
shahabat. Dengan terbukukannya al-Qur'an ini, maka sirnalah
bayang-bayang akan lenyapnya al-Qur'an dari muka bumi.
Adapun keistimewaan yang dikandung
dalam mushaf pertama ini yaitu masih bercampurnya beberapa versi bacaan
al-Qur'an, yang biasa disebut sebagai sab'ah ahruf, menurut pendapat
sebagian ulama. Atau paling tidak, mushaf ini merupakan mushaf al-Qur'an yang,
pertama kali berhasil dibukukan.
e.
Pembukuan al-Qur'an ke-2
oleh 'Uthman Ibn Affan.
Dasar pemikiran pembukuan
al-Qur'an ke-2 yang dilakukan oleh 'Uthman Ibn'Affan adalah kekhawatiran yang
ditimbulkan dari banyaknya versi bacaan al-Qur'an. Di satu sisi, ragam bacaan
al-Qur'an merupakan kekayaan intelektual dan bukti keluwesan Islam dalam melayani
kebutuhan umatnya. Namun disisi lain, ragam bacaan al-Qur'an berpotensi
mengantarkan umat Islam menuju disintegrasi umat, atau paling tidak mengurangi semangat ukhuwah Islamiyah.
Hal ini menjadi kenyataan pada
beberapa peristiwa penting.
Ketika terjadi perang Armenia
dan azarbijan dengan penduduk Irak, diantara orang yang ikut menyerbu kedua
tempat itu aialah Huzaifah ibn yaman. Ia melihat banyak berpendapat dalam cara
membaca al Qur’an. Sebagain bacaan itu bercampur dengan kesalahan; akan tetai masing-masin
mempertahankan dan berpegang padda bacaannya, seerta menentang setaiporang yang
menyalahi bacaanya dan bahkan mereka saling mengafirkan. Melihat kenyataan ini,
Huzaifah segera menghadap Uthman san melaporkan kepadanya apa yang telah
dilihatnya. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau
perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat
untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yan ada pada Abu Bakar dan menyatukan
umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf[13].
Berdasarkan permintaan dari
para shahabat yang lain, akhirnya Khalifah memerintahkan pembukuan al-Qur'an
jilid 2 yang diketuai oleh Zaid Ibn Thabit. Hanya tujuan pembukuan kali ini
bukan mengumpulkan lembaran lembaran al-Qur'an saja, melainkan juga bertujuan
menyatukan bacaan umat Islam dalam membaca al-Qur'an. Maka Zaid Ibn Thabit pun
melakukan verifikasi ulang sebagaimana dia pernah melakukannya. Setelah selesai,
Khalifah meminta izin meminjam mushaf Abu Bakar yang disimpan oleh 'Umar
sekaligus istri Nabi Saw., yaitu Hafshah, untuk mencocokkannya. Lalu disalinlah
mushaf al-Qur'an tersebut. Setelah selesai disalin, maka 'Uthman rnenggandakan
salinan itu menjadi beberapa mushaf lagi. Kemudian ia mengirimkan salinan
mushaf itu bersama seorang qari' ke berbagai penjuru dunia sebagai
pedoman penulisan dan bacaan al-Qur'an[14]. Yang, selanjutnya
mushaf itu disebut sebagai mushaf 'Uthmani. Sedangkan semua tulisan al-Qur'an
yang tidak sama dengan mushaf tersebut diperintahkan untuk dibakar atau
setidaknya dirubah sesuai mushaf ini[15].
Adapun keistimewaan mushaf ini
dibandingkan mushaf yang dibukukan pada masa Abu Bakar, menurut sebagian ularna
adalah bahwa pada mushaf Abu Bakar masih bercampur sab'ah ahruf. Sementara pada
mushaf ' Utsmani tinggal satu harf saja. Sementara menurut sebagian ulama yang
lain tidak ada perbedaan dalam hal penulisan mushaf yang ditulis pada masa Abu
Bakar dan mushaf yang ditulis pada masa 'Utsman. Karena yang dilakukan oleh
Zaid pada tugasnya yang kedua ini hanyalah menyalin.
f.
Usaha menjaga Keaslian Arsip al-Qur'an Sejak Dahulu
Sampai Sekarang.
Telah banyak usaha yang
dilakukan umat Islam berkaitan dengan penjagaan keaslian al-Qur'an. Diantara adalah :
1. Rasulullah Saw. memanggil para juru
tulis beliau setiap kali turun ayat al-Qur'an. Rasulullah Saw. meminta para
juru tulis itu untuk menyimpan catatan mereka. Demikian seterusnya hingga
beliau W-afat. Dengan demikian al-Qur'an telah selesai ditulis
semasa Rasulullah Saw. masih hidup. Dengan kata lain, penulisan al-Qur'an telah
selesai pada masa Rasulullah Saw. masih hidup.
2. Pada masa
pemerintahan Abu Bakar, atas inisiatif 'Umar, Khalifah membukukan al-Qur'an
yang sebelumnya telah ditulis oleh para shahabat sejak Rasulullah Saw. masih
hidup. Dalam hal ini Abu Bakar telah berusaha membuat mushaf al-Qur'an yang
pertama dalam Islam. Hanya saja, karena terbatasnya sarana media penulisan,
pembukuan kali ini dilakukan dengan mencatatkan ayat-ayat al-Qur'an pada
lembaran kulit binatang yang tidak seluruhnya sama ukuran. Sehingga hasil
kegiatan ini tidak disebut sebagai mushaf, tapi disebut suhuf.
3. Pada masa
pemerintahan 'Uthman Ibn 'Affan, atas desakan para shahabat yang lain, ia
mengadakan verifikasi ulang dalam kerangka pembukuan al-Qur'an yang kedua.
Setelah mencocokkannya dengan mushaf al-Qur'an yang disusun pada masa Abu
Bakar, maka ia memerintahkan untuk memperbanyak jumlah mushaf standar itu atas
kesaksian para shahabat yang lain dan mengirimkannya ke berbagai penjuru negara
yang disertai oleh seorang qari'. Mengingat bahwa pada masa itu belum dikenal adanya tanda
baca yang berupa titik dan harakat (baris). Dengan demikian 'Uthman adalah
orang pertama kali menyebarkan mushaf standar beserta cara membacanya yang
menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia.
4. Kemudian usaha
mempertahankan keotentikan al-Qur'an dilakukan dengan adanya Lembaga Pentashih
al-Qur'an setiap kali ada pencetakan dan penerbitan al-Qur'an, atau minimal ada
pihak yang bertanggung jawab atas isi mushaf itu.
Telah banyak usaha berbagai
pihak untuk memalsukan teks al-Qur'an dengan menerbitkan al-Qur'an versi palsu.
Namun selalu saja usaha-usaha itu menemui kegagalan. Dan telah banyak pula
usaha yang dilakukan banyak pihak, baik yang nampak ilmiah maupun amatiran,
untuk memberikan kesan adanya kesalahan dalam penulisan al-Qur'an. Atau paling
tidak menunjukkan kemungkinan kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja dalam
proses pembukuan dan penyalinan al-Qur'an. Namun sejauh ini seluruh usaha itu
selalu menemui kegagalan demi kegagalan.
Hal ini merupakan janji Allah
dalam usahaNya memelihara Al Qur’an, firmanNya:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.(QS. Al Hijr: 9)
g. Perbandingan Kemurnian al-Qur'an dengan
Bibel.
Dalam al-Qur'an kita mendapati sebuah ayat yang
secara tegas Allah memberikan janji kepada umat Islam untuk menjaganya. Menjaga
dari semua perubahan yang akan dilakukan oleh manusia, baik disengaja maupun
tidak sebagaimana yang telah dijelaskan di depan.
Sementara dalam kitab-kitab yang sebelumnya Allah
tidak pernah memberikan janji yang sama. Sehingga wajar apabila kita pun
mendapati bahwa kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur'an telah mengalami
banyak perubahan. Terbukti dengan adanya beberapa revisi yang dilakukan
terhadap isi Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama. Sehingga wjar jika kitab-kitab
sebelum al-Qur'an tidak terjaga kesuciannya, tidak terjaga keasliannya, karena
kitab-kitab itu mulai ditulis setelah Nabi meninggal dunia.
Dalam
bukunya, A’Zmi mengatakan bahwa hanya tiga puluh satu teks masoretik[16]
yang masih selamat dari perjanjian lama (PL).
Secara lebih detail, penulis cuplik beberapa
paragraph darinya “The Hstory of Qur’an Text”, yaitu:
Teks
Masoretik (MT) memperingatkan kepada produk akhir, sebuah upaya yang
memperkenalkan tanda-tanda vowel,dan aksen ke dalam bodi Bibel Ibrani yang
hanya berhuruf konsonan dan tak memiliki vowel pada awal abad pertengahan.
Jumlah total Bibel Ibrani yang ditulis dalam bentuk Masoreti (balk yang komplet
maupun fragmentari) hanyalah tiga puluh satu, bertarikh dari akhir abad ke-9
sampai tahun 1100 M. Simbol (M) menunjukkan teks Masoretik baik
dalam Biblia Hebraica yang diedit oleh Rudolf Kittel (BHK) maupun Biblia
Hebraica Stuttgartensia (BHS). Keduanya merupakan edisiedisi PL yang
paling kritis dan sangat diagungkan; sesungguhnya keduanya merupakan manuskrip
yang sama, B 19A, di the Saltykov-Shchedrin Stale Public Library dari
St. Petersburg, ditulis pada tahun 1008 M.
Satu
ciri yang menarik dari Leningrad Codex ini, demikian dikenal, adalah sistem
penanggalannya. V. Lebedev menyatakan, Manuskrip ini mulai dengan sebuah tanda
penerbit yang besar, yang memberikan tanggal kopi manuskrip, yang disebut dalam
lima era yang berlainan: 4770 dari Penciptaan, 1444 dari pengasingan Raja
Yehoekin, 1319 dari `Dominion Yunani' (malkut ha-yamanim), 940 dari kehancuran
Rumah Tuhan yang kedua di Yerusalem, dan 399 dari Hijrah (qeren ze'irah). Bulan
itu adalah Siwan.
Keterangan
lain yang penting dicatat di sini adalah berasal dari Wiirthwein, bahwa
"pembagian ayat-ayat sudah dikenal pada periode Talmud, dengan
tradisi-tradisi Palestina dan Babilonia yang berlainan". Dengan tidak
adanya bentuk pemisahan apa pun antara ayat-ayat, Kodeks abad ke 11 ini (yang
ditulis begitu berabad-abad setelah masa Talmud) menyiratkan kesangsian pada
pernyataan ini. Bagaimanapun juga, "pembagian (PL) menjadi bab-bab, sebuah
sistem yang berasal dari Stephen Langton (1150-1228), adalah diadopsi dalam
manuskrip-manuskrip Ibrani dari terjemahan Injil berbahasa Latin pada abad ke
empat belas." Lebih dari itu, pembagian-pembagian ayat tidak dibubuhi
angka-angka sebagai sub- sub bagian dari bab-bab sampai pada abad ke-16.
Kodeks
Leningrad ini adalah sangat baru sekali.... ; manuskrip Ibrani keseluruhan PL yang
tertua yang ada kini, sesungguhnya hanya berasal dari abad ke-10 M.
Sejumlah
manuskrip Ibrani yang secara substansial lebih awal, yang sebagiannya bertarikh
dari era pra-Masehi, sebetulnya telah hilang tersembunyi pada masa abad-abad
pertama dan kedua M. di dalam berbagai gua di padang pasir
Yehuda ... dekat Laut Mati dan senantiasa di sana selama hampir dua milenium,
kemudian ditemukan dalam serangkaian penemuan mulai tahun 1947.
Temuan-temuan
ini meliputi penggalan-penggalan dari hampir semua buku-buku PL, namun untuk
naskah PL yang sempurna, para sarjana masih sepenuhnya bergantung pada
manuskrip-manuskrip yang bertarikh dari abad ke-10 dan setelahnya.
Lebih lanjut, A’zmi dalam analisanya mengatakan:
Dalam masa berabad-abad yang berselang antara naiknya Musa ke Gunung Sinai
dan standardisasi akhir sebuah teks Ibrani, teks itu tidak bisa terelakkan dart
kesalahan-kesalahan, perubahan-perubahan, dan pemalsuanpemalsuan dengan tidak
adanya mukjizat. Dan memang, setiap wajah sejarah Israel agaknya menegaskan
bahwa tidak pernah ada mukjizat seperti itu. Kita dapat dengan mudah mengamati
bahwa situasi politik di Palestina, bahkan dalam masa hadirnya sebuah negara
Yahudi yang bersatu pun, tidaklah menguntungkan bagi perkembangbiakan PL yang
dapat dianggap patut dan sakral; jarang sekali seorang raja memberikan
kecintaan dan ketulusan kepadanya, malahan mayoritas raja-raja itu mendirikan
patung-patung dan sebagian bahkan melakukan ritual-ritual pagan korhan anak
dsb..Di atas itu semua, teks itu sendiri menghilang berulang-ulang, dan selama
berabad-abad pada suatu waktu.
Dasar-dasar budaya kesusastraan dan keagamaan Yahudi itu sendiri berasal
dari masyarakat-masyarakat lain, yang menyebabkan infiltrasi lebih jauh ke
dalam PL mulai dari permulaan sejarah bangsa Israel yang paling awal. Misalnya:
(a) bahasa lbrani dipinjam dari bangsa Funisia; (b) orang-orang Yahudi tidak
mengembangkan tulisan mereka sendiri, tapi sekadar menyesuaikannya dengan Aram
dan Asyur; (c) sistem diakritik Taurat Ibrani dipinjam dari bahasa Arab; (d)
Kitab Perjanjian (secara umum Keluaran 20:2223:19) kemungkinan diadaptasi dari
Kode Hammurabi, dan seterusnya.
Teks itu sendiri masih senantiasa cair (fluid) sampai abad ke-10 M., hampir
2300 tahun setelah wafatnya Musa: cair dalam arti bahwa teks itu masih terbuka
untuk perubahan-perubahan sesuai dengan justifikasi doktrinal yang cukup. Dan
sekali perubahan itu sempurna, yang asli jadi `cacat' dan dirusak, yang
sehingga menghapus semua jejak yang mungkin mengantarkan kembali kepada sesuatu
yang lebih tua dan utuh.
tûïÏ%©!$# cqãèÎ7Ft
tAqß§9$#
¢ÓÉ<¨Z9$#
¥_ÍhGW{$#
Ï%©!$#
¼çmtRrßÅgs
$¹/qçGõ3tB
öNèdyYÏã
Îû
Ïp1uöqG9$#
È@ÅgUM}$#ur ÇÊÎÐÈ
"Mereka yang
mengikuti seorang Rasul, Nabi yang buta huruf, yang mereka temukan tertulis
dalam [kitab-kitab suci]mereka, dalam Taurat dan Injil.."(QS. Al ‘Araf)
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa bahkan
teks-teks PL dan PB yang telah diubah pun mengandung referensi-referensi
tentang nabi yang akan datang. Referensi-referensi semacam itu telah dilihat
oleh beberapa Sahabat Nabi dan para khalifah, [17] tetapi sejak itu kemudian dibersihkan
secara besarbesaran.
C.
PENUTUP.
Demikianlah keadaan Teks Perjanjian Lama dan
Perjanjian baru yang memang telah terbuk-ti tidak lagi otentik. Bahkan dalam
sejarah penulisannya pun terdapat masalah, bahkan di antara masalah itu tidak
dapat dipecahkan. Seperti masalah "inspirasi" dalam penulisan
sejarah.
Ala kulli
hal, Kitab Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru tidak bisa disamakan sama sekali dengan al-Qur'an.
Mulai dari proses pewahyuan, penulisan, pembukuan, penerjemahan, hingga
penafsiran adalah sama sekali berbeda.
Kita umat Islam memang meyakini bahwa Allah telah
menurunkan beberapa kitab sebelum al-Qur'an. Namun kita juga meyakini bahwa
semua kitab itu tidak ada yang masih asli. Hanya al-Qur'anlah satusatunya
kitab suci yang merupakan himpunan kalam Ilahi yang masih suci.
Daftar Pustaka
al-A'zami,
Muhammad Mustafa. The History of The Qur’niq Text. Jakarta: Gema Insani,
2005
al-Hakim, Muhammad bin 'Abdillah Abu
'Abdillah an-Naisa-buri. al-Almustadrak
'ala
al-Shahihain. Beirut: Dar al-Kutub
al-'llrniyyah, 1990. Tahqiq:
Mushthafa 'Abdul Qadir 'Atha. Dilengkapi dengan ta'liq:
adz-Dzahabi
dalam al-Talkhish.
Jumlah juz: 5.
al-Qata-n, Mann-a'. Maba-hith fi ulum al-Qur'a-n.Beirut: Mu'assasah
al-Risalah, 1973.
al-Shabuni, Muhammad 'Ali, Studi Ilmu al-Qur'an. Bandung:
Pustaka Sena. 1998 al-Tirmidzi, Muhammad b. 'Isa Abu 'Isa, a1-Jami' Shahih
Sunan at-Tirmidzi
(Beirut: Dar lhyd' at-Tura-ts- al-'Arabi, tanpa tahun), no.
2915. Tahqiq:
Ahmad Muhammad Syakir dk-k. Jumlah juz: 5.1
Az Zarqani, Muhammad 'Abdul 'Az-im. Manahil
al-'Irfdn fi 'Ulum al-Qur'an. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmi-vyah, 1996
Anwar, Rosihon. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka, Setia, 2004
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2005
Rofi'i, Ahmad Syadali
clan Ahmad. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2000
[1]
Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
2005), 158.
[2]
Muhammad 'Abdul 'AzimAz Zarqarni, Manahil al-`Iran fi'Ulum al-Qur'an (Beirut:
Dar al Kutub al-'Ilmiyyah, 1996), vol. I, hal. 42-44.
[3]
Muhammad b. 'Abdillah Abu 'Abdilldh al-Hakim an-Naisiburi, al-Almustadrak
‘ala al-Shahihain (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), No. 2878.
[4] Ibid., no. 2881.
[5] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofil, Ulumul Quran (Bandung:
Pusta-ka Setia, 2000), 42.
[6] Lihat Al Mufrodat Oleh Ar Ragib.
[7] Mannaa' Khalil al-Qattan, Mabahith fi ulm al Qur’an,
(Beirut: Manshurah al ‘Asr al Hadith, 1973)118-119.
[8] Muhammad b. 'Isa Abu 'Isa at-Tirmidzi, al-Jami'
ash-Shahih Sunan at-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, tanpa
tahun), no. 2915. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dkk.
[9] Lihat Manna` al-Qattin, Mabahith, 123-125.
[10]
Muhammad Mustafa al-A`zami, The History of The Qur'anic Text (Jakarta:
Gema Insani, 2005), 72-73.
[11] Rosihon Anwar, Uluniul Quran, (Bandung: Pustaka
Setia, 2004), 40-41.
[12] Rosihon Anwar, Ibid.
[14]
Uthman menahan satu mushaf untuk disimpan di madinah yang kemudian dikenal dengan
sebutan “Mushaf Imam”. Penamaan ini mushaf ini sesuai dengan apa yang terdapat
dalam riwayat-riwayat terdahulu yang mengatakan :”bersatulah wahai
sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf
Qur’an pedoman).(lihat manna al qataan, hal 198).
[15] Lihat: Muhammad 'Ali al Sabuni, Studi al-Qur'an,
108-110.
[16] Dalam Perjanjian Lama, Teks Ibrani diistilahkan
Masoretik sebab dalam bentuknya yang sekarang ia berdasarkan pada Masorah,
tradisi tekstual para sarjana Yahudi yang dikenal sebagai the Masoretes.
Masorah (Ibr. "tradition") merujuk pada sistem tanda-tanda huruf
hidup (vowel), ciri-ciri aksen, dan nada-nada marginal yang diciptakan
para juru tulis dan sarjana Yahudi awal abad pertengahan dan digunakan
dalam mengopi teks Bibel Ibrani untuk memeliharanya dari perubahanperubahan
(Lihat: Oxford Companion to the Bible, hlm. 500).
[17]
Untuk Iebih detail, lihat Ibn Kathir, Tafsir, iii:229-234.

No comments:
Post a Comment