DINASTI UMAYYAH:
PARADIGMA BARU
DALAM
PERADABAN
ISLAM
PENGANTAR
Dinasti
Umayyah adalah sebuah rezim pemerintahan Islam yang berkembang setelah masa
Khulafa’ al-Rasyidin, dinasti ini berada di bawah kekuasaan keluarga Umayyah
sejak tahun 661 sampai 750 Masehi dan berpusat di Damaskus, Syiria. Diberi nama
Dinasti Bani Umayyah karena pendiri dinasti ini adalah keturunan Umayyah bin
Abd Syams bernama Muawiyah (661-680), putra Abu Sufyan yang pernah menentang
Rasulullah saw, tetapi kemudian masuk Islam bersama keluarganya ketika terjadi fath
Makkah dimana kota Mekah ditaklukkan oleh pasukan Islam Madinah. [1]
Dinasti
Umayyah memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan dinasti lain.
Dinasti ini tidak hanya merupakan peralihan kekuasaan, namun membawa perubahan
prinsip dasar dan ajaran dalam Islam, termasuk juga sistem pemerintahan yang
berbeda dari sistem pendahulunya yaitu Rasulullah saw dan para khulafa’
Rasyidin. Akan tetapi di sisi lain, dinasti ini juga berperan penting dalam
membangun peradaban dan kebudayaan Islam.
Dalam
makalah ini, penulis berusaha memaparkan kondisi kekuasaan pada masa bani
Umayyah, kekuasaan pasca Ali yang disinyalir diperoleh dengan cara licik dan
proses diplomasi yang penuh tipu daya. Namun separah apapun cara yang dipakai
Muawiyah dalam merebut kekuasaan Islam, secara obyektif, tak dapat dipungkiri
bahwa pemerintahan bani Umayyah ini pun membawa kemajuan dalam beberapa sektor
termasuk juga dalam penyebaran Islam seperti halnya yang dilakukan para
pendahulunya.
AWAL KEKUASAAN
Sejak Utsman
terbunuh, Ali dibaiat sebagai khalifah sebagai pengganti Utsman. Akan tetapi,
sejak Ali memimpin umat Islam, perpecahan dan perang sipil terjadi sebagai
bentuk perlawanan terhadap posisi Ali. Berarti secara politik dengan kondisi
yang tidak stabil tersebut menunjukkan bahwa Ali belum diterima oleh sebagian
umat Islam, sehingga mereka melakukan kekacauan sebagai simbol penolakan
terhadap Ali. Mua’wiyah termasuk salah seorang oposisi yang giat melakukan
perlawanan atas kekuasaan Ali.
Beberapa
hal yang melatarbelakangi perlawanan Mu’awiyah diantaranya adalah karena tuntutan
Mu’awiyah untuk menyelesaikan pembunuhan Utsman kepada Ali tidak berhasil
dibongkar oleh Ali, serta pemecatan Ali terhadap beberapa gubernur dimana
Mu’awiyah, yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Damaskus, Siria,
menolak pemecatan tersebut dengan didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi
yang telah dipecat ‘Ali r.a dan sekaligus ia tidak mau membaiat Ali sebagai
khalifah. Hal inilah yang menjadi awal konflik politik antara keduanya yang
berujung pada perang yang bernama Shiffin pada 11 Shafar 37 H (28 Juli 657 M).[2]
Akan
tetapi perang ini pun menemui kebuntuan dan mengarah pada tahkim atau arbitrase
dengan dua mediator, mediator dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari
(gubernur Kuffah), sedangkan mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn
al-Ash. Namun tahkim tersebut tetap tidak menyelesaikan masalah, malah
memunculkan kelompok baru yang memisahkan diri dari kubu Ali yaitu Khawarij dan
memperkuatkan posisi Muawiyah untuk mengembangkan sayap perlawanannya terhadap
kelompok Ali.[3]
Konflik
antara Ali dan Muawiyah ini menunjukkan betapa kepentingan politik dan
perebutan kekuasaan menjadi latar belakang perselisihan, sehingga jalan damai
seperti yang pernah diajarkan rasulullah saw tidak dapat menjadi solusi
keduanya. Di satu sisi, pemerintahan Islam sangat membutuhkan seorang khalifah
sebagai pemimpin tertinggi, namun di sisi lain umat Islam sendiri pada saat itu
pecah menjadi beberapa kelompok demi mendukung pimpinan yang mereka anggap
pantas menjadi khalifah.
Namun
demikian, Ibnu Khaldun memandang bahwa setelah fitnah antara ‘Ali – Mu’awiyah,
jalan yang ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang bukan
untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi sebatas perbedaan
dalam ijtihad dan masing-masing menyalahkan hingga timbul perang. Walaupun yang
benar adalah ‘Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan berlandaskan kebatilan,
tetap orientasinya dalam kebenaran.[4]
Perjuangan
Ali dalam menghadapi perlawanan pihak-pihak yang menentangnya baik itu dari
kalangan Muawiyah, Khawarij dan para pengikutnya di Iraq yang bersifat murtad
dan munafik kepadanya serta enggan untuk menolongnya, berakhir saat ia ditikam
oleh Ibnu Muljim yang membawanya pada kematian.[5]
Tragedi
pembunuhan Ali menunjukkan adanya praktik keji dalam politik sejarah Islam,
sejak masa Umar, Utsman dan Ali. Pergolakan politik yang tajam dan perebutan
kekuasaan yang keras, telah meruntuhkan sendi-sendi ajaran Islam yang
sebenarnya. Metode politik bahwa halal menggunakan segala cara untuk
kepentingan politik, termasuk menggunakan cara pembunuhan menjadi saksi sejarah
politik umat Islam. Ali kemudian terbunuh menyusul pembunuhan yang dilakukan
pada Umar dan Utsman. Setelah kematian Ali, Mu’awiyah mengambil alih kekuasaan.
Dari luar Jazirah Arab, Mu’awiyah membangun kekuatannya untuk mempertahankan
kekuasaannya dan selanjutnya mengupayakan pemindahan ibukota kerajaan dari
Madinah ke Damaskus.
Sementara
itu, kematian Ali membuat penduduk Kufah mengalihkan kursi jabatan kekhalifahan
kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang
masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang
tidak mendapat dukungan yang kuat. Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam
beberapa bulan saja.[6]
Kesulitan yang sama juga dirasakan Hasan dalam menghadapi perlawanan lawan-lawan
politiknya, sedang posisi Mu’awiyah makin menguat, sehingga selayaknya ia
mencari jalan demi keselamatannya dengan mengadakan akomodasi dan perjanjian
damai dengan Mua’wiyah. Syarat-syarat yang diajukan Hasan kepada Mu’awiyah
sebagai berikut:
- Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
- Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
- Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
- Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
- Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams [7]
Hasan lalu
mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah, kemudian
mengumumkan bahwa ia taat dan patuh kepada Mu’awiyah. Hal ini diikuti pula oleh
orang-orang Kufah, karenanya tahun itu disebut “Tahun Persatuan” dimana rakyat
bersatu dibawah pimpinan seorang khalifah. Setelah itu, Mu’awiyah kembali ke
Damaskus yang telah ia persiapkan untuk menjadi ibukota kerajaannya, tepatnya
pada tahun 41 H.
KONDISI SOSIAL
POLITIK
Pemerintahan
Umayyah berumur 90 tahun, dengan khalifah-khalifahnya yang berjumlah 14 orang.
Dimulai dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh khalifah Marwan II.
Khalifah-khalifah yang dianggap paling besar pengaruhnya adalah Mu’awiyah
(661-680 M), Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), Al-Walid bin Abdul Malik
(705-715 M), Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abdul Malik
(724-743 M).
Masa
kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal dari kekuasaan bani Umayyah telah merubah
sistem pemerintahan Islam dari demokratis menjadi monarchiheriditas
(kerajaan turun menurun). Hal ini tampak jelas sejak proses awal pengangkatan
Mu’awiyah sebagai khalifah, dimana pada masa al- Khulafa’ ar- Rasyidin seorang
khalifah dipilih berdasarkan musyawarah dan pemilihan atau suara terbanyak,
sebaliknya kekhalifahan Mu’awiyah diperoleh melalui jalan kekerasan –
diantaranya dalam perang Shiffin – jalan diplomasi, tipu daya dan tidak dengan
musyawarah.
Selain
itu, Mu’awiyah juga telah memplopori tren baru dengan menunjuk seorang putra
mahkota sebagai penerusnya dan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia
terhadap anaknya, Yazid. Bentuk pengukuhan sistem baru secara turun menurun yang
dibangun oleh Mu’awiyah ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berada di luar
garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan
kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam. Padahal sejak zaman
Rasulullah saw pemerintahan kepemimpinan berjalan di atas asas permusyawaratan seperti
yang termaktub dalam al-Qur’an, dimana seorang khalifah dipilih oleh para
pemuka dan tokoh di Madinah kemudian dilanjutkan dengan bai'at oleh seluruh
pemuka Arab. Namun hal ini tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan dinasti
Umayyah.
Di samping
itu juga, Selama masa pemerintahan demokratis khulafa' al-Rasyidun, khalifah
didampingi oleh dewan penasihat yang terdiri dari pemuka-pemuka Islam, di mana
seluruh kebijaksanaan yang penting dimusyawarahkan secara terbuka terutama
ketika negara menghadapi kesulitan, bahkan rakyat biasa mempunyai hak
menyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Tradisi musyawarah dan kebebasan
menyampaikan pendapat ini tidak berlaku dalam pemerintahan Bani Umayyah. Dewan
pemusyawaratan dan dewan penasihat tidak berfungsi secara efektif, kebebasan
dalam menyampaikan kritik atas kebijakan pemerintahan sangat dilarang, bahkan
sering kali bertindak otoriter. Sehingga hal ini menimbulkan kecemburuan dan
permusuhan antara keluarga sendiri. [8]
Pada masa
pemerintahan khulafa' al-Rasyidun, baitul mal berfungsi sebagai harta kekayaan
rakyat sehingga setiap orang memiliki hak yang sama terhadap baitul mal, namun
sejak Mu'awiyah mendirikan dinasti Umayyah, baitul mal menjadi harta kekayaan
keluarga raja. Seluruh raja dinasti Umayyah kecuali Umar Ibn Abdul Azis
memperlakukan baitul mal sebagai harta kekayaan pribadi sehingga raja berhak
menggunakannya sekehendak hati.
Dalam hal
penyebaran Islam, para raja dinasti Umayyah ini melakukan ekspansi yang sempat
terhenti pada masa Utsman dan Ali karena konflik internal, baik itu ke kawasan
barat yang meliputi wilayah Romawi (Turki) dan Afrika, maupun ke kawasan timur
meliputi negara Asia tengah dan Sindh.[9]
Ekspansi
ke kawasan barat secara besar-besaran dilakukan pada masa khalifah Al-Walid bin
Abdul Malik dimana telah tercatat ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju
benua Eropa pada tahun 711 M dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad.
sehingga, wilayah kekuasaan umat Islam pada masa bani Umayyah betul-betul
sangat luas. Masa ini merupakan masa-masa kejayaan kekuasaan Bani Umayah,
karena Umat Islam benar-benar mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman, kemakmuran
dan ketertiban.
Tampaknya
kebijaksanaan Mu’awiyah dalam sistem pemerintahan dan administrasi banyak
merujuk kepada Byzantium dan Persia. Contoh yang paling menonjol
adalah sistem monarkhi absolut dan pembagian departemen-departemen. Disamping
itu, secara pribadi, Mu’awiyah menggunakan aksesoris khalifah seperti
kaisar-kaisar Persia.
Misalnya, menggunakan pakaian kebesaran dan mahkota di atas kepala. Jika
berjalan didampingi para pengawal-pengawal khusus bersenjata, termasuk dalam
menjalankan kedudukan dan fungsi khalifah, seperti menyampaikan khutbah dan
menjadi imam shalat Jum'at. Mu’awiyah juga terlalu menjaga jarak dengan
kehidupan masyarakat dan hidup dalam kemewahan istana yang selalu dijaga ketat.
Hal ini kemudian diikuti oleh para penerusnya dari dinasti Umayyah. [10]
Jasa-jasa
dalam pembangunan di berbagai bidang banyak dilakukan Bani Umayyah. Mu’awiyah
mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan
jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn
Marwan adalah khalifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan
di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.[11]
Ia juga melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa
Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Pada masa
khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk orang cacat,
membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan dan
masjid-masjid yang megah. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memprioritaskan
pembangunan dalam negeri, keberhasilannya antara lain ialah menjalin hubungan
baik dengan golongan Syi’ah, memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk
beribadah sesuai dengan keyakinannya, pungutan pajak diperingan, dan kedudukan
mawali (non Arab) disejajarkan dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan
keteladanannya, maka Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut sebagai khalifah
kelima setelah Ali ibn Abi Thalib.
PENGEMBANGAN ILMU
PENGETAHUAN DAN SENI SASTRA
Pada era
dinasti Umayyah ini mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan
eksakta. Ilmu pengetahun pun berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang
diniyah, tarikh, dan filsafat. Yuhana al-Dimaski, tokoh filsafat beragama
Nashrani yang terkenal dalam agama Kristen. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu
pengetahuan selama pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain
sebagainya. Disamping itu juga, cakupan keilmuan pada masa bani Umayyah tentang
teologi dan keagamaan, misalnya legalisasi penyusunan al-Qur’an pada masa
Utsman yang telah disusun oleh Abu Bakar.
Pada masa
Umayah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama,
Al-Ada>b al-Hadi>th (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulu>m al-Isla>miyah
(ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulu>m al-Lisa>niyah, Al-Tarikh dan
al-Jughrafi), Al-Ulu>m al-Da>khiliyah (ilmu yang diperlukan untuk
kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu kedokteran, filsafat, ilmu pasti, dan
ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ; Al-Ada>b al-Qada>mah
(ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasca zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman
khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtha>l.
Di bidang
kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah, Tuwais,
Ibnu Suraih, dan Al-Garidh. Pada masa ini muncul Sibawaih yang menyusun buku
tata bahasa Arab pertama bernama “Al-Kitab” sehingga ia disebut sebagai
“Bapak Ilmu Nahwu” Arab karena buku itu menjadi standar awal
pengembangan ilmu nahwu.[12]
Pada masa
ini telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam dengan mengambil pola Romawi, Persia
dan Arab. Contohnya adalah bangunan masjid Damaskus yang dibangun pada masa
pemerintahan Walid bin Abdul Malik, dan juga masjid Agung Cordova yang terbuat
dari batu pualam.
Perkembangan
seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan khat Arab sebagai motif ukiran
atau pahatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dinding masjid dan
tembok-tembok istana yang diukur dengan khat Arab. Salah satunya yang masih
tertinggal adalah ukiran dinding Qushair Amrah (Istana Mungil Amrah), istana musim
panas di daerah pegunungan yang terletak lebih kurang 50 mil sebelah Timur
Amman.[13]
GERAKAN OPOSISI DAN
RUNTUHNYA DINASTI
Berbagai
kemajuan memang telah dicapai oleh bani Umayyah, namun konflik internal tetap
terjadi. Hal ini terbukti dengan banyaknya gerakan pemberontakan yang muncul
dan pada akhirnya menimbulkan perang saudara.
Diantara
gerakan-gerakan perlawanan tersebut antara lain:
- Syi’ah
Gerakan
ini merupakan gerakan yang paling kuat, paling berani dan solidaritas kaumnya
sangat tinggi, hingga dapat menjatuhkan kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan
kaum ini didasarkan atas kebencian mereka teradap Bani Umayyah dan rasa cinta
mereka terhadap keluarga ‘Ali. Gerakan ini erat kaitannya dengan pemikiran.
Salah satu contoh yaitu dukungan kepada Hussain ibn Ali agar menolak bai’at
terhadap Yazid. Karena Hussain tetap mempertahankan keteguhannya, ia bersama
pasukannya dibunuh di Karbela.
- Perlawanan Abdullah ibn Zubair
Ia adalah
seorang yang berambisi ingin menjadi pemimpin. Pertama kali perlawanannya pada
saat perang Jamal. Ia adalah seseorang yang memiliki tipu daya. Ia juga tidak
mempunyai falsafah, revolusinya tidak berdasar kepada prinsip-prinsip yang
benar dan bukan pula militer. Hampir dalam setiap pemberontakan, ia turut ambil
bagian, tetapi hanya sebagai provokator.
- Khawarij
Gerakan
ini merupakan kumpulan dari orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali atau
tidak mendukung ‘Ali. Meskipun benci terhadap ‘Ali, kaum ini lebih benci lagi
terhadap Bani Umayyah. Nama lain dari golongan ini adalah Muakkimah.
Pemberontakannya terjadi di Kufah dan di Madinah. Mazhab kaum ini sangat
sedikit menggunakan falsafah dan pemikiran-pemikirannya kurang mendalam.
- Mu’tazilah
Gerakan
ini bersifat keagamaan, tidak mengumpulkan pasukan dan tidak pernah
menghunuskan pedang. Gerakan ini sangat berkaitan dengan mazhab Khawarij. Dalam
gerakan ini, muncul lagi pendapat golongan, seperti Murji’ah, Jabariyah dan
Mu’tazilah itu sendiri.
Karena
konflik internal dalam negeri yang tidak bisa diselesaikan, akhirnya dinasti
ini tumbang pada 750 M dan digantikan dengan Daulat Bani Abbasyiyah.
KESIMPULAN
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan Bani Umayya melemah dan membawanya pada kehancuran, yaitu:
1.
Latar
belakang Bani Umayyah tidak lepas dari konflik politik pada masa ‘Ali, banyak
perlawanan dari golongan oposisi. Terutama sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Ali)
dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa
awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan
Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan
pemerintah.
2.
Sistem
pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi
tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
3.
Terjadi
pertentangan antar etnis, antar suku dan status golongan mawali. Golongan
mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa
tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah
dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.
Seperti pertentangan etnis antara suku Arabia
Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman
sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa
Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
5.
Lemahnya
pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di
lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat
kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama
banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat
kurang.
6.
Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi'ah, dan kaum mawali
yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
DAFTAR
PENGUASA DINASTI UMAYAH
|
NO
|
NAMA
|
MASA BERKUASA
|
|
1
|
Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan
|
661-681 M
|
|
2
|
Yazid ibn Mu’awiyah
|
681-683 M
|
|
3
|
Mua’wiyah ibnu Yazid
|
683-685
M
|
|
4
|
Marwan ibnu Hakam
|
684-685
M
|
|
5
|
Abdul Malik ibn Marwan
|
685-705
M
|
|
6
|
Al-Walid ibnu Abdul
Malik
|
705-715
M
|
|
7
|
Sulaiman ibnu Abdul Malik
|
715-717
M
|
|
8
|
Umar ibnu Abdul Aziz
|
717-720
M
|
|
9
|
Yazid ibnu Abdul
Malik
|
720-824
M
|
|
10
|
Hisyam ibnu Abdul
Malik
|
724-743
M
|
|
11
|
Walid ibn Yazid
|
734-744
M
|
|
12
|
Yazid ibn Walid [ Yazid III]
|
744 M
|
|
13
|
Ibrahim ibn Malik
|
744 M
|
|
14
|
Marwan ibn Muhammad
|
745-750
M
|
DAFTAR PUSTAKA
- Ibnu Khaldun. Al-Muqaddimah.
- Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Prof. H. Mukhtar Yahya&Drs. M. Sanusi Latief, Jilid 2, Pustaka Alhusna, Jakarta, 1988.
- Moh. Nurhakim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, UMM Press,Malang:2003.
- Fadhil Munawwar Manshur, Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab pada Masa Dinasti Umayyah, Humaniora Volume XV, no.2:2003
- Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Terj. H.Samson Rahman, Akbar media Eka Aksara,Jakarta:2007.
- Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Rajagrafindo Perkasa,Jakarta:2007
- Dr. Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyah, Maktabah Gharib Mesir.
- Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003
- Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam MA, Karya Toha Putra
- Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim history:Religion and Politics in Early Islam, Terj. Munir M. Mu’in, Mizan, Bandung, 2004.
[1]Moh. Nurhakim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (UMM Press,Malang:2003),
hal.53, lihat juga fadhil Munawwar Manshur, Pertumbuhan dan Perkembangan
Budaya Arab pada Masa Dinasti Umayyah, Humaniora Volume XV, no.2:2003,
hal.172
[2] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Terj. H.Samson Rahman (Akbar media
Eka Aksara,Jakarta:2007),
hal.187
[3] Dr. Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyah (Mesir, Maktabah
Gharib, tt), hlm. 56,
[4] Ibnu Khaldun,al-Mukaddimah
[5] Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Prof. H.
Mukhtar Yahya&Drs. M. Sanusi Latief, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1988),
hlm.33
[6] Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hlm.33-34
[7] Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hlm.34-35
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (PT. Rajagrafindo Perkasa,Jakarta:2007) hal. 42
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 53-56
[10] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 56
[11] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 258.
[12] Moh. Nurhakim, Sejarah dan peradaban Islam, hal. 57
[13] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam MA, Karya Toha Putra, Hal 43

No comments:
Post a Comment