Wednesday, October 4, 2017

MAKALAH DINASTI UMAYYAH



DINASTI UMAYYAH:
PARADIGMA BARU DALAM
 PERADABAN ISLAM

PENGANTAR

Dinasti Umayyah adalah sebuah rezim pemerintahan Islam yang berkembang setelah masa Khulafa’ al-Rasyidin, dinasti ini berada di bawah kekuasaan keluarga Umayyah sejak tahun 661 sampai 750 Masehi dan berpusat di Damaskus, Syiria. Diberi nama Dinasti Bani Umayyah karena pendiri dinasti ini adalah keturunan Umayyah bin Abd Syams bernama Muawiyah (661-680), putra Abu Sufyan yang pernah menentang Rasulullah saw, tetapi kemudian masuk Islam bersama keluarganya ketika terjadi fath Makkah dimana kota Mekah ditaklukkan oleh pasukan Islam Madinah. [1]
Dinasti Umayyah memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan dinasti lain. Dinasti ini tidak hanya merupakan peralihan kekuasaan, namun membawa perubahan prinsip dasar dan ajaran dalam Islam, termasuk juga sistem pemerintahan yang berbeda dari sistem pendahulunya yaitu Rasulullah saw dan para khulafa’ Rasyidin. Akan tetapi di sisi lain, dinasti ini juga berperan penting dalam membangun peradaban dan kebudayaan Islam.
Dalam makalah ini, penulis berusaha memaparkan kondisi kekuasaan pada masa bani Umayyah, kekuasaan pasca Ali yang disinyalir diperoleh dengan cara licik dan proses diplomasi yang penuh tipu daya. Namun separah apapun cara yang dipakai Muawiyah dalam merebut kekuasaan Islam, secara obyektif, tak dapat dipungkiri bahwa pemerintahan bani Umayyah ini pun membawa kemajuan dalam beberapa sektor termasuk juga dalam penyebaran Islam seperti halnya yang dilakukan para pendahulunya.

AWAL KEKUASAAN

Sejak Utsman terbunuh, Ali dibaiat sebagai khalifah sebagai pengganti Utsman. Akan tetapi, sejak Ali memimpin umat Islam, perpecahan dan perang sipil terjadi sebagai bentuk perlawanan terhadap posisi Ali. Berarti secara politik dengan kondisi yang tidak stabil tersebut menunjukkan bahwa Ali belum diterima oleh sebagian umat Islam, sehingga mereka melakukan kekacauan sebagai simbol penolakan terhadap Ali. Mua’wiyah termasuk salah seorang oposisi yang giat melakukan perlawanan atas kekuasaan Ali.
Beberapa hal yang melatarbelakangi perlawanan Mu’awiyah diantaranya adalah karena tuntutan Mu’awiyah untuk menyelesaikan pembunuhan Utsman kepada Ali tidak berhasil dibongkar oleh Ali, serta pemecatan Ali terhadap beberapa gubernur dimana Mu’awiyah, yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur di Damaskus, Siria, menolak pemecatan tersebut dengan didukung oleh sejumlah mantan pejabat tinggi yang telah dipecat ‘Ali r.a dan sekaligus ia tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah. Hal inilah yang menjadi awal konflik politik antara keduanya yang berujung pada perang yang bernama Shiffin pada 11 Shafar 37 H (28 Juli 657 M).[2]
Akan tetapi perang ini pun menemui kebuntuan dan mengarah pada tahkim atau arbitrase dengan dua mediator, mediator dari pihak Ali adalah Abu Musa al-Asy’ari (gubernur Kuffah), sedangkan mediator dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn al-Ash. Namun tahkim tersebut tetap tidak menyelesaikan masalah, malah memunculkan kelompok baru yang memisahkan diri dari kubu Ali yaitu Khawarij dan memperkuatkan posisi Muawiyah untuk mengembangkan sayap perlawanannya terhadap kelompok Ali.[3]
Konflik antara Ali dan Muawiyah ini menunjukkan betapa kepentingan politik dan perebutan kekuasaan menjadi latar belakang perselisihan, sehingga jalan damai seperti yang pernah diajarkan rasulullah saw tidak dapat menjadi solusi keduanya. Di satu sisi, pemerintahan Islam sangat membutuhkan seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi, namun di sisi lain umat Islam sendiri pada saat itu pecah menjadi beberapa kelompok demi mendukung pimpinan yang mereka anggap pantas menjadi khalifah.
Namun demikian, Ibnu Khaldun memandang bahwa setelah fitnah antara ‘Ali – Mu’awiyah, jalan yang ditempuh adalah jalan kebenaran dan ijtihad. Mereka berperang bukan untuk menyebar kebatilan atau menimbulkan kebencian, tapi sebatas perbedaan dalam ijtihad dan masing-masing menyalahkan hingga timbul perang. Walaupun yang benar adalah ‘Ali, Mu’awiyah tidak melakukan tindakan berlandaskan kebatilan, tetap orientasinya dalam kebenaran.[4]
Perjuangan Ali dalam menghadapi perlawanan pihak-pihak yang menentangnya baik itu dari kalangan Muawiyah, Khawarij dan para pengikutnya di Iraq yang bersifat murtad dan munafik kepadanya serta enggan untuk menolongnya, berakhir saat ia ditikam oleh Ibnu Muljim yang membawanya pada kematian.[5]
Tragedi pembunuhan Ali menunjukkan adanya praktik keji dalam politik sejarah Islam, sejak masa Umar, Utsman dan Ali. Pergolakan politik yang tajam dan perebutan kekuasaan yang keras, telah meruntuhkan sendi-sendi ajaran Islam yang sebenarnya. Metode politik bahwa halal menggunakan segala cara untuk kepentingan politik, termasuk menggunakan cara pembunuhan menjadi saksi sejarah politik umat Islam. Ali kemudian terbunuh menyusul pembunuhan yang dilakukan pada Umar dan Utsman. Setelah kematian Ali, Mu’awiyah mengambil alih kekuasaan. Dari luar Jazirah Arab, Mu’awiyah membangun kekuatannya untuk mempertahankan kekuasaannya dan selanjutnya mengupayakan pemindahan ibukota kerajaan dari Madinah ke Damaskus.
Sementara itu, kematian Ali membuat penduduk Kufah mengalihkan kursi jabatan kekhalifahan kepada anaknya, Hasan ibn ‘Ali. Hasan diangkat oleh pengikutnya (Syi’ah) yang masih setia di Kuffah. Tetapi pengangkatan ini hanyalah suatu percobaan yang tidak mendapat dukungan yang kuat. Hasan menjabat sebagai khalifah hanya dalam beberapa bulan saja.[6] Kesulitan yang sama juga dirasakan Hasan dalam menghadapi perlawanan lawan-lawan politiknya, sedang posisi Mu’awiyah makin menguat, sehingga selayaknya ia mencari jalan demi keselamatannya dengan mengadakan akomodasi dan perjanjian damai dengan Mua’wiyah. Syarat-syarat yang diajukan Hasan kepada Mu’awiyah sebagai berikut:
  1. Agar Mu’awiyah tidak menaruh dendam terhadap seorangpun dari penduduk Irak.
  2. Menjamin keamanan dan memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
  3. Agar pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepadanya dan diberikan tiap tahun.
  4. Agar Mu’awiyah membayar kepada saudaranya, yaitu Husain, dua juta dirham.
  5. Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams [7]
Hasan lalu mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Mu’awiyah, kemudian mengumumkan bahwa ia taat dan patuh kepada Mu’awiyah. Hal ini diikuti pula oleh orang-orang Kufah, karenanya tahun itu disebut “Tahun Persatuan” dimana rakyat bersatu dibawah pimpinan seorang khalifah. Setelah itu, Mu’awiyah kembali ke Damaskus yang telah ia persiapkan untuk menjadi ibukota kerajaannya, tepatnya pada tahun 41 H.


KONDISI SOSIAL POLITIK

Pemerintahan Umayyah berumur 90 tahun, dengan khalifah-khalifahnya yang berjumlah 14 orang. Dimulai dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan diakhiri oleh khalifah Marwan II. Khalifah-khalifah yang dianggap paling besar pengaruhnya adalah Mu’awiyah (661-680 M), Abdul Malik bin Marwan (685-705 M), Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) dan Hasyim ibn Abdul Malik (724-743 M).
Masa kekuasaan Mu’awiyah yang menjadi awal dari kekuasaan bani Umayyah telah merubah sistem pemerintahan Islam dari demokratis menjadi monarchiheriditas (kerajaan turun menurun). Hal ini tampak jelas sejak proses awal pengangkatan Mu’awiyah sebagai khalifah, dimana pada masa al- Khulafa’ ar- Rasyidin seorang khalifah dipilih berdasarkan musyawarah dan pemilihan atau suara terbanyak, sebaliknya kekhalifahan Mu’awiyah diperoleh melalui jalan kekerasan – diantaranya dalam perang Shiffin – jalan diplomasi, tipu daya dan tidak dengan musyawarah.
Selain itu, Mu’awiyah juga telah memplopori tren baru dengan menunjuk seorang putra mahkota sebagai penerusnya dan mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Bentuk pengukuhan sistem baru secara turun menurun yang dibangun oleh Mu’awiyah ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berada di luar garis keturunan Mu’awiyah, secara substansial tidak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk memimpin pemerintah Umat Islam. Padahal sejak zaman Rasulullah saw pemerintahan kepemimpinan berjalan di atas asas permusyawaratan seperti yang termaktub dalam al-Qur’an, dimana seorang khalifah dipilih oleh para pemuka dan tokoh di Madinah kemudian dilanjutkan dengan bai'at oleh seluruh pemuka Arab. Namun hal ini tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan dinasti Umayyah.
Di samping itu juga, Selama masa pemerintahan demokratis khulafa' al-Rasyidun, khalifah didampingi oleh dewan penasihat yang terdiri dari pemuka-pemuka Islam, di mana seluruh kebijaksanaan yang penting dimusyawarahkan secara terbuka terutama ketika negara menghadapi kesulitan, bahkan rakyat biasa mempunyai hak menyampaikan pertimbangan dalam pemerintahan. Tradisi musyawarah dan kebebasan menyampaikan pendapat ini tidak berlaku dalam pemerintahan Bani Umayyah. Dewan pemusyawaratan dan dewan penasihat tidak berfungsi secara efektif, kebebasan dalam menyampaikan kritik atas kebijakan pemerintahan sangat dilarang, bahkan sering kali bertindak otoriter. Sehingga hal ini menimbulkan kecemburuan dan permusuhan antara keluarga sendiri. [8]
Pada masa pemerintahan khulafa' al-Rasyidun, baitul mal berfungsi sebagai harta kekayaan rakyat sehingga setiap orang memiliki hak yang sama terhadap baitul mal, namun sejak Mu'awiyah mendirikan dinasti Umayyah, baitul mal menjadi harta kekayaan keluarga raja. Seluruh raja dinasti Umayyah kecuali Umar Ibn Abdul Azis memperlakukan baitul mal sebagai harta kekayaan pribadi sehingga raja berhak menggunakannya sekehendak hati.
Dalam hal penyebaran Islam, para raja dinasti Umayyah ini melakukan ekspansi yang sempat terhenti pada masa Utsman dan Ali karena konflik internal, baik itu ke kawasan barat yang meliputi wilayah Romawi (Turki) dan Afrika, maupun ke kawasan timur meliputi negara Asia tengah dan Sindh.[9]
Ekspansi ke kawasan barat secara besar-besaran dilakukan pada masa khalifah Al-Walid bin Abdul Malik dimana telah tercatat ekspedisi militer dari Afrika Utara menuju benua Eropa pada tahun 711 M dibawah pimpinan panglima Thariq bin Ziyad. sehingga, wilayah kekuasaan umat Islam pada masa bani Umayyah betul-betul sangat luas. Masa ini merupakan masa-masa kejayaan kekuasaan Bani Umayah, karena Umat Islam benar-benar mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman, kemakmuran dan ketertiban.
Tampaknya kebijaksanaan Mu’awiyah dalam sistem pemerintahan dan administrasi banyak merujuk kepada Byzantium dan Persia. Contoh yang paling menonjol adalah sistem monarkhi absolut dan pembagian departemen-departemen. Disamping itu, secara pribadi, Mu’awiyah menggunakan aksesoris khalifah seperti kaisar-kaisar Persia. Misalnya, menggunakan pakaian kebesaran dan mahkota di atas kepala. Jika berjalan didampingi para pengawal-pengawal khusus bersenjata, termasuk dalam menjalankan kedudukan dan fungsi khalifah, seperti menyampaikan khutbah dan menjadi imam shalat Jum'at. Mu’awiyah juga terlalu menjaga jarak dengan kehidupan masyarakat dan hidup dalam kemewahan istana yang selalu dijaga ketat. Hal ini kemudian diikuti oleh para penerusnya dari dinasti Umayyah. [10]
Jasa-jasa dalam pembangunan di berbagai bidang banyak dilakukan Bani Umayyah. Mu’awiyah mendirikan dinas pos, menertibkan angkatan bersenjata, mencetak mata uang, dan jabatan Qadhi (hakim) mulai berkembang menjadi profesi sendiri. Abdul Malik ibn Marwan adalah khalifah yang pertama kali membuat mata uang dinar dan menuliskan di atasnya ayat-ayat al-Qur’an.[11] Ia juga melakukan pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam.
Pada masa khalifah Al-Walid ibn Abdul Malik di bangun panti-panti untuk orang cacat, membangun jalan-jalan raya, pabrik-pabrik, gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah. Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memprioritaskan pembangunan dalam negeri, keberhasilannya antara lain ialah menjalin hubungan baik dengan golongan Syi’ah, memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya, pungutan pajak diperingan, dan kedudukan mawali (non Arab) disejajarkan dengan muslim Arab. Dengan keberhasilan dan keteladanannya, maka Umar ibn Abdul Aziz sering disebut-sebut sebagai khalifah kelima setelah Ali ibn Abi Thalib.


PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN SENI SASTRA

Pada era dinasti Umayyah ini mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan eksakta. Ilmu pengetahun pun berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan filsafat. Yuhana al-Dimaski, tokoh filsafat beragama Nashrani yang terkenal dalam agama Kristen. Kota-kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan selama pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda dan lain sebagainya. Disamping itu juga, cakupan keilmuan pada masa bani Umayyah tentang teologi dan keagamaan, misalnya legalisasi penyusunan al-Qur’an pada masa Utsman yang telah disusun oleh Abu Bakar.
Pada masa Umayah, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu : pertama, Al-Ada>b al-Hadi>th (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulu>m al-Isla>miyah (ilmu al-Qur’an, Hadist, Fiqh, al-Ulu>m al-Lisa>niyah, Al-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulu>m al-Da>khiliyah (ilmu yang diperlukan untuk kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu kedokteran, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari Persia dan Romawi ; Al-Ada>b al-Qada>mah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasca zaman Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtha>l.
Di bidang kesastraan, muncul para penyair terkenal, seperti Umar ibn Abi Rabi’ah, Tuwais, Ibnu Suraih, dan Al-Garidh. Pada masa ini muncul Sibawaih yang menyusun buku tata bahasa Arab pertama bernama “Al-Kitab” sehingga ia disebut sebagai “Bapak Ilmu Nahwu” Arab karena buku itu menjadi standar awal pengembangan ilmu nahwu.[12]
Pada masa ini telah banyak bangunan hasil rekayasa umat Islam dengan mengambil pola Romawi, Persia dan Arab. Contohnya adalah bangunan masjid Damaskus yang dibangun pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik, dan juga masjid Agung Cordova yang terbuat dari batu pualam.
Perkembangan seni ukir yang paling menonjol adalah penggunaan khat Arab sebagai motif ukiran atau pahatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya dinding masjid dan tembok-tembok istana yang diukur dengan khat Arab. Salah satunya yang masih tertinggal adalah ukiran dinding Qushair Amrah (Istana Mungil Amrah), istana musim panas di daerah pegunungan yang terletak lebih kurang 50 mil sebelah Timur Amman.[13]

GERAKAN OPOSISI DAN RUNTUHNYA DINASTI

Berbagai kemajuan memang telah dicapai oleh bani Umayyah, namun konflik internal tetap terjadi. Hal ini terbukti dengan banyaknya gerakan pemberontakan yang muncul dan pada akhirnya menimbulkan perang saudara.
Diantara gerakan-gerakan perlawanan tersebut antara lain:
  1. Syi’ah
Gerakan ini merupakan gerakan yang paling kuat, paling berani dan solidaritas kaumnya sangat tinggi, hingga dapat menjatuhkan kekuasaan Bani Umayyah. Pemberontakan kaum ini didasarkan atas kebencian mereka teradap Bani Umayyah dan rasa cinta mereka terhadap keluarga ‘Ali. Gerakan ini erat kaitannya dengan pemikiran. Salah satu contoh yaitu dukungan kepada Hussain ibn Ali agar menolak bai’at terhadap Yazid. Karena Hussain tetap mempertahankan keteguhannya, ia bersama pasukannya dibunuh di Karbela.
  1. Perlawanan Abdullah ibn Zubair
Ia adalah seorang yang berambisi ingin menjadi pemimpin. Pertama kali perlawanannya pada saat perang Jamal. Ia adalah seseorang yang memiliki tipu daya. Ia juga tidak mempunyai falsafah, revolusinya tidak berdasar kepada prinsip-prinsip yang benar dan bukan pula militer. Hampir dalam setiap pemberontakan, ia turut ambil bagian, tetapi hanya sebagai provokator.
  1. Khawarij
Gerakan ini merupakan kumpulan dari orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali atau tidak mendukung ‘Ali. Meskipun benci terhadap ‘Ali, kaum ini lebih benci lagi terhadap Bani Umayyah. Nama lain dari golongan ini adalah Muakkimah. Pemberontakannya terjadi di Kufah dan di Madinah. Mazhab kaum ini sangat sedikit menggunakan falsafah dan pemikiran-pemikirannya kurang mendalam.

  1. Mu’tazilah
Gerakan ini bersifat keagamaan, tidak mengumpulkan pasukan dan tidak pernah menghunuskan pedang. Gerakan ini sangat berkaitan dengan mazhab Khawarij. Dalam gerakan ini, muncul lagi pendapat golongan, seperti Murji’ah, Jabariyah dan Mu’tazilah itu sendiri.
Karena konflik internal dalam negeri yang tidak bisa diselesaikan, akhirnya dinasti ini tumbang pada 750 M dan digantikan dengan Daulat Bani Abbasyiyah.



KESIMPULAN

Ada beberapa faktor yang menyebabkan Bani Umayya melemah dan membawanya pada kehancuran, yaitu:
1.      Latar belakang Bani Umayyah tidak lepas dari konflik politik pada masa ‘Ali, banyak perlawanan dari golongan oposisi. Terutama sisa-sisa Syi'ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
2.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat di kalangan anggota keluarga istana.
3.      Terjadi pertentangan antar etnis, antar suku dan status golongan mawali. Golongan mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puas karena status mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.       Seperti pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
5.      Lemahnya pemerintahan daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Disamping itu, golongan agama banyak yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
6.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan dinasti Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi'ah, dan kaum mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.




DAFTAR PENGUASA DINASTI UMAYAH

NO
NAMA
MASA BERKUASA
1
Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan 
661-681 M
2
Yazid ibn Mu’awiyah
681-683 M
3
Mua’wiyah ibnu Yazid
683-685 M
4
Marwan ibnu Hakam
684-685 M
5
Abdul Malik ibn Marwan
685-705 M
6
Al-Walid ibnu Abdul Malik
705-715 M
7
Sulaiman ibnu Abdul Malik
715-717 M
8
Umar ibnu Abdul Aziz
717-720 M
9
Yazid ibnu Abdul Malik
720-824 M
10
Hisyam ibnu Abdul Malik
724-743 M
11
Walid ibn Yazid         
734-744 M
12
Yazid ibn Walid [ Yazid III]
744 M
13
Ibrahim ibn Malik
744 M
14
Marwan ibn Muhammad
745-750 M

 
DAFTAR PUSTAKA
  1. Ibnu Khaldun. Al-Muqaddimah.
  2. Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Prof. H. Mukhtar Yahya&Drs. M. Sanusi Latief, Jilid 2, Pustaka Alhusna, Jakarta, 1988.
  3. Moh. Nurhakim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, UMM Press,Malang:2003.
  4. Fadhil Munawwar Manshur, Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab pada Masa Dinasti Umayyah, Humaniora Volume XV, no.2:2003
  5. Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Terj. H.Samson Rahman, Akbar media Eka Aksara,Jakarta:2007.
  6. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT. Rajagrafindo Perkasa,Jakarta:2007
  7. Dr. Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyah, Maktabah Gharib Mesir.
  8. Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003
  9. Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam MA, Karya Toha Putra
  10. Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim history:Religion and Politics in Early Islam, Terj. Munir M. Mu’in, Mizan, Bandung, 2004.


[1]Moh. Nurhakim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (UMM Press,Malang:2003), hal.53, lihat juga fadhil Munawwar Manshur, Pertumbuhan dan Perkembangan Budaya Arab pada Masa Dinasti Umayyah, Humaniora Volume XV, no.2:2003, hal.172
[2] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam, Terj. H.Samson Rahman (Akbar media Eka Aksara,Jakarta:2007), hal.187
[3] Dr. Ahmad Umar Hasyim, As-Sunnah an-Nabawiyah (Mesir, Maktabah Gharib, tt), hlm. 56,
[4] Ibnu Khaldun,al-Mukaddimah
[5] Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Prof. H. Mukhtar Yahya&Drs. M. Sanusi Latief, Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Alhusna,1988), hlm.33
[6] Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hlm.33-34
[7] Prof. DR. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hlm.34-35
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (PT. Rajagrafindo Perkasa,Jakarta:2007) hal. 42
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, hal. 53-56
[10] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, hal. 56       
[11] Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 258.
[12] Moh. Nurhakim, Sejarah dan peradaban Islam, hal. 57
[13] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam MA, Karya Toha Putra, Hal 43

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...