Saturday, October 14, 2017

MAKALAH SHAHABAT UTSMAN DAN ALI KARROMALLOHU WAJHAH

PENDAHULUAN

Potret sejarah perkembangan Islam merupakan salah satu standart bagi setiap umat Islam untuk menata Islam sebagai suatu agama menuju era perkembangan yang lebih cemerlang. Era kegemilangan yang dimulai sejak pertama kali lahir dengan di bawa oleh Rosul  yang berasal dari Negara Arab asli benar-benar telah membuktikan adanya secara eksistensial sebagai agama yang melahirkan peradaban kemanusiaan yang madani (civil).
Peradaban yang ditelorkan oleh islam sebagai suatu agama telah mampu memberikan warna baru bagi perkembangan hidup manusia secara kualitas maupun kuantitas. Udara kemerdekaan yang dihirup oleh masyarakat islam pada masa jahiliyah menjadikan islam sebagai salah satu pilihan keyakinan begi mereka yang mampu menciptakan keharmonisan dalam hidup, sehing[1]ga paradigma statis kapitalis, dan keterkungkungan pemikiran akibat perbudakan menjadi debu yang dihembus udara islam sebagai agama yang rahmatan lil a>lami>n.
Islam sebagai agama rahmatan lil a>lami>n secara historis memiliki pengaruh [2]yang luar biasa dan mampu merombak terhadap peradaban dan tradisi yang telah kental ditubuh masyarakat Arab pada saat itu. Kebejatan sikap dan tirani kaum priyayi terhadap kaum pribumi telah mengubur nilai-nilai kemanusiaan pada saat itu. Sehingga secara naluriah mereka haus terhadap udara kebebasan dan ketenangan dalam hidup.
Perkembangan peradaban islam mulai baru lahir sangat pesat dan cepat, karena Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, realitasnya mampu memberikan  alternatif yang betul-betul dapat dirasakan langsung oleh berbagai kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Arab sehingga pada akhirnya, islam yang sejak awal lahir sebagai suatu keyakinan menjadi bagian dari alternatif hidup dalam setiap dimensi kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya. Terhapusnya stratifikasi sosial yang dahulunya  menjadi wajah tradisi bangsa Arab merupakan inti dari islam itu sendiri, sehingga sampai sekarang, islam masih tetap memberikan peluang umatnya untuk terus  berubah dan berkembang dengan kebebasan yang menjadi modal pegangannya dalam hidup dengan tetap mengacu kepada prinsip-prinsip ajaran islam itu sendiri.
Pasca wafatnya Rosulullah saw, pimpinan tunggal islam pada waktu itu,, peradaban islam terus memperlihatkan perkembangannya dengan terbentuknya Negara islam yang berdiri di bawah sistem kekh\alifahan yang dikenal dengan istilah khulafaur Ra>shidu>n. Salah satu bukti nyata yang dapat dilihat adalah terkumpulnya al-qur’a>n sebagai pedoman umat islam, dan tegaknya politik islam dibawah pemerintahan khalifah Ustman,[3] kemudian dilanjutkan oleh bani Muawiyah dan Bani Abbasiyah sehingga islam mencapai puncak kecemerlangan.
Akan tetapi, perkembangan peradaban islam pada abad klasik, tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, termasuk faktor politik, terutama ketika islam masih di bawah kendali Rosulullah dan khulafaur Ra>shidu>n, sehingga menjadi penting kemudian kepada umat islam pada umumnya untuk mengetahui warna perpolitikan yang terjadi di dalam islam pasca masa Nabi Saw.
Oleh karena itulah, maka penulis di dalam makalah ini akan berusaha mengulas kembali islam pada masa khulafaur Ra>shidu>n, terutama dalam aspek teologis dan politis yang spesifik kepada masa Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Untuk memperluas pembahasan ini, maka penulis mengulas semua itu dan hal yang berkaitan dengannya di bab pembahasan.













PEMBAHASAN

A.  Sekilas tentang Ustman Dan Ali

Nama lengkapnya adalah Ustman bin Affan bin Abi Ash bin Umayyah bin Abdu Syam bin Abd Manaf, biasa dipanggil dengan Abu Abdillah dan dikenal dengan julukan Dzun Nu>rain (pemilik dua cahaya). Ia lahir di Mekkah lima tahun setelah kelahiran Rasulullah Saw, atau lima tahun setelah pasukan gajah menyerang ka’bah. Ia termasuk salah satu dari sepuluh orang yang mendapat jaminan masuk surga dan termasuk salah satu dari juru tulis wahyu (al-Qur’an).
Gelar dzunnu>rain ia dapatkan karena ia menikahi dua putri Rosulullah, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kulstum. Ia termasuk sosok yang pemalu dan dermawan. Itu terbukti bahwa dia pernah menanggung semua kebutuhan perlengkapan separuh dari pasukan kaum muslimin dalam perang Al- Ashrah, yaitu mendarmakan 300 ekor unta dan 50 ekor kuda lengkap dengan segala peralatannya, membeli sumur Raumah dan diwaqafkan kepada umat islam.[4]
Ustman merupakan salah satu sahabat yang berjasa dalam penyempurnaan penyusunan Al-qur’an, sahabat   memperluas pertama kali bangunan Masjidil Haram, dan Masjid Nabawi, membangun pangkalan angkatan laut, membangun gedung peradilan. Dia juga yang pertama kali mendahulukan khutbah dalam shalat I>d dan menambah adzan pada shalat jum’at.
Sedangkan Ali, nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib Ibn Abdul Muthalib Ibn Hasyim al- quraisy al- Hasyimi, biasa dipanggil dengan panggilan Abu Hasan. Rosulullah memanggilnya dengan Abu Turab. Dia lahir di Mekkah 32 setelah kelahiran Rosulullah Saw, atau 10 tahun sebelum bi’stah.[5] Dia termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk surga, dia pernah ditugaskan untuk membawa panji Rosulullah Saw di setiap peperangan.
Dia memiliki anak 29 orang, 14 laki-laki dan 15 perempuan setelah kawin dengan putri Nabi, yaitu Fatimah. Dan di antara putranya adalah Hasan dan Husain yang juga mendapatkan surga . dia memangku jabatan sebagai kh|alifah tahun 35 hijriyah setelah kematian ustman ditangan para pemberontak. Dia meninggal di Kufa>h saat dia sedang keluar rumah untuk menunaikan shalat subuh pada tanggal 17 Romadlan 40 H dalam usia 63 tahun.

B.   Akar konflik politik dan teologi

Ustman bin Affan termasuk salah seorang dari yang paling awal masuk islam. Dia menggantikan Umar bisa diartikan dengan proses pergantian keradikalan dan kekerasan menjadi kelonggaran, kelemahan, dan sikap ragu-ragu. Pada  masa enam tahu pertama pemerintahannya ummat islam mengalami kemajuan. Ustman memerintah dengan baik dan umat islam dapat menaklukkan Cyiprus dari tangan Byzantium. Kemudian di daerah timur, tentara islam dapat menaklukkan Armenia, Kaukasus, dan menegakkan hukum islam sampai ke sungai Oxus di Iran, Heart di Afganistan, dan Sind di anak benua India.[6] Akibatnya banyak kaum muslimin yang meninggalkan utsman yang berarti hilangnya tempat ia mencurahkan kepercayaan, kecuali kaum kerabatnya. Kesetiaan para pejabat kepada Ustman semakin surut, sehingga sedikit sekali yang dijamin kepercayaannya kepadanya kecuali kerabatnya, oleh karena itu, banyak pejabat yang dipecat dan diganti dengan sanak kerabatnya. Pada saat itu, dia dituduh melakukan nepotisme oleh lawan-lawan politiknya,[7] korupsi dengan cara menggunakan uang negara secara tidak pantas, menghina sahabat dan menyalah gunakan wewenang atas tuduhan ini. Tetapi, dia menyangkal semua tuduhannya dengan mengatakan bahwa apa yang diberikan kepada kerabatnya adalah uang pribadinya.
Nepotisme yang dia lakukan adalah dengan cara mengangkat Marwan Ibnul Hakam menjadi sekretaris Negara, Muawiyah diangkat menjadi gubernur Syiria, mengangkat Abdullah Ibn Sa’d Ibn Abi Sarh menjadi gubernur di Mesir sebagai ganti dari Amr bin ‘Ash, dan mengangkat Ibn Amir menjadi guberbur di Bashrah, mengangkat Sa’d Ibn Ash menjadi gubernur  di Kufah. Tetapi semua itu bukan menjadi tuduhan kuat nepotisme terhadap Ustman, karena dia juga mengangkat orang-orang yang bukan kerabatnya untuk menempati posisi strategis di luar Bani Umayyah seperti Zaid Ibn Tsabit menjadi kepala di Baitul Mal.[8] Dengan dasar bahwa mereka berasal dari keluarga yang kaya dan tidak akan mengambil bagian orang lain dengan semestinya. Dia mengatakan kepada pengkitutnya “tidakkah kamu memperoleh bagian kekayaan sesuai dengan haknya ? lalu mengapa aku tidak boleh mengambil kelebihan sesuai dengan yang aku inginkan ? jika tidak bisa, mengapa aku jadi Imam (pemimpin) ?.[9]
Termasuk salah satu kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan Ustman dalam hal kepemimpinannya adalah kurangnya kebijaksanaan dalam mengangkat keluarga menempati kedudukan yang tinggi, seperti pengangkatan Marwan Ibn Hakam, karena sepertinya ia yang menjalankan pemerintahan, sementara Ustman hanya berpangkat sebagai khalifah. Ia terlalu lemah kepada keluarganya dan tidak bisa menindak tegas terhadap pelaku kesalahan, dan membagi-bagikan kekayaan Negara tanpa terkontrol kepada keluarganya. kemudian juga, salah seorang yang menentang keras terhadap kebijakan Ustman adalah sahabat Abdullah Ibn Mas’ud, dia kecewa dengan kebijakan perpanjangan waktu bagi Walid kerabatnya yang diangkat menjadi gubernur, sebab dia meminjam uang dari kas Negara dan tidak bisa mengembalikannya pada waktu yang ditentukan. Aksi protes itu semakin memanas, ketika Ustman memerintahkan untuk membakar semua mushaf kecuali hanya satu, yang dia sendiri kumpulkan sehingga Abdullah bin Mas’ud menuduh Ustman telah melakukan bid’ah (inovasi baru), kemudian Ustman melarang Abdullah bin Mas’ud untuk pulang ke Madinah dan bayarannya ditangguhkan sampai dia wafat di bawah pengawasan Ustman.[10]
Kebijakan Ustman dalam memberikan jabatan kepada kerabatnya adalah merupakan tindakan monopoli jabatan tertinggi dan membiarkan dirinya dikuasai oleh mereka, sehingga hal ini membuat kecewa tentara Anshar di Madinah yang menyebabkan, ketidakpuasan tersebut mencapai puncaknya dalam pemberontakan. Sekelompok tentara Arab dari Fustat kembali ke Madinah kemudian menuntut hak mereka, karena mereka tidak memperoleh apa yang mereka inginkan, maka mereka menyerang rumah Ustman, memaksa masuk kemudian membunuhnya, dan kemudian mengangkat Ali sebagai khalifah pengganti.[11]
Kebijakan-kebijakan Ustman dan gaya hidupnya telah menimbulkan banyak kritikan dan menyebabkan krisis kepercayaan kepadanya dari sebagian sahabat. Di antara kebijakan yang tidak disukai dalah :
1.              Kebijakan tentang pembayaran tebusan untuk kasus pembunuhan yang dilakukan Ubaidillah bin Umar yang menimbulkan debat panas antara para sahabat.
2.              Pada saat Ustman gagal meniru apa yang dilakukan Rosulullah Saw dan dua khalifah sebelumnya dalam hal mengqashar shalat di Mina di saat melakukan haji, Utsman melakukan shalat tanpa qashar. Karena dia telah menganggap sebagai penduduk Mekkah dan bukan musafir.
3.              Kebijakan untuk mengambil zakat atas kuda, sementara Rosulullah telah mengecualikannya, karena pada saat itu kuda-kuda sangat sedikit. Kebijakan ini oleh sahabat dianggap bid’ah
4.              Kebijakan untuk membuka lahan kosong untuk ternak-ternak Negara sebagai tempat merumput. Padahal menurut tradisi sebelumnya, air, rumput, dan ladang rumput bisa digunakan oleh semua masyarakat.
5.              Ustman juga dituduh melakukan diversi (perluasan) penggunaan zakat dan shadaqah untuk kepentingan perang dan kesejahteraan social, meskipun telah dijelaskan oleh al-qur’an bagaimana seharusnya distribusi zakat dan shadaqah itu dilakukan.
6.              Ustman memaksa kaum muslimin untuk membaca satu mushaf yang dikumpulkan atas dasar supervisinya(nasehatnya) sehingga dia dituduh melakukan bid’ah.
7.              Kebijakan akan bolehnya paman Hakam al- Ash untuk kembali ke Madinah, padahal dia termasuk orang yang diusir dari Madinah oleh Rosulullah Saw berdasarkan apa yang dia ketahui.
8.              Tuduhan nepotisme atas banyaknya kerabat Ustman yang diangkat untuk menempati posisi tertinggi Negara.[12]dampak ekonomi yang meluas bagi orang islam. Untuk mengurangi tekanan-tekanan penduduk di kota-kota tertentu dipropensi-propensi kependudukan seperti Kufah, ia berani mengambil langkah memperbolehkan pertukaran tanah-tanah yang dimiliki oleh orang-orang Arab Hijaz di propensi-propensi  pendudukan dengan tanah-tanah yang ada di Hijaz sendiri, dan sebaliknya. Sementara hal seperti itu, ketika Umar memerintah masih dibatasi dalam rangka dalam rangka menghindari penguasaan orang-orang yang memiliki modal. Keputusan itu berani dibuat oleh Ustman dengan asumsi bahwa orang-orang Hijaz lebih suka tinggal di Hijaz sendiri, dan tekanan-tekanan penduduk di propensi pendudukan yang menimbulkan kehawatiran para pejabat pemerintah bisa dikurangi. Akan tetapi, target jangka panjang tersebut ternyata gagal, dan hanya  menjadi pemicu awal munculnya revolusi ekonomi baru di Arab yang mengubah semua komposisi  kelas dari masyarakat karena diijinkannya mengadakan pertukaran tanah tanpa adanya batas.
Salah satu indikator yang dapat diketahui adalah adanya penukaran tanah yang tidak subur di Hijaz oleh Thalhah dengan tanah-tanah yang subur di Irak. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat ia menjadi penguasa lahan tanah-tanah yang subur dan luas  dan mendatangkan keuntungan yang sangat luas. Kemduian, ia berhasil menggaet para budak dan pekerja untuk turut mengelola tanah tersebut. Dan juga, banyak para sahabat yang diuntungkan dengan keputusan Utsman tersebut.[13]
        
9.              Menurut Thaha Husein, bahwa Ustman membuat keputusan yang menimbulkan pemberontakan dan turunnya kharisma kekhalifahannya. Dia menyerukan kepada masyarakatnya untuk mentaati terhadap pemerintah, akan tetapi dia sendiri merasa tidak terikat dengan syarat yang mendasari ketaatan itu.[14] Dalam hal ini ia memberikan preseden kekuasaan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran moral yang menjadi sifat kekuasaan khilafah.
Sikap Ustman terhadap para pengkritiknya adalah tidak toleran, sehingga sangsi yang diberikan berupa pukulan sampai patah tulang, di keluarkan dari kota tempat tinggalnya. Sehingga hal seperti yang melahirkan antagonisme dan resistensi yang demikian kuat terhadap pemerintahan.
Sementara Ali bin Abu Thalib merupaka sosok khalifah terkhir yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan, ia seorang perwira yang sangat baik dan menulis banyak risalah dan memberikan banyak ilham bagi para pejabatnya, mengajarkan perlunya keadilan. Sehingga ia merupaka salah seorang khalifah yang murni diangkat oleh rakyat. Para pendukung Ali melihat naiknya Ali ke jabatan khalifah merupaka wujud kemenangan terhadap aristokrasi Quraisy dan sebagai perwujudan dari penegakan kebenaran agama.[15]
Walaupun dekat dengan Nabi,[16] pemerintahannya tidak diterima secara menyeluruh. Ali didukung oleh orang-orang Anshar dari Madinah dan orang-orang Mekkah yang tidak suka terhadap pemerintahannya Umayyah, termasuk Muawiyah bin Abi Sufyan, karena motif pembunuhan Utsman. Tetapi pristiwa pembunuhan Ustman bagi Ali merupakan pristiwa yang menjadi pemicu perang saudara selama lima tahun di kalangan ummat.
Setelah tertunda sementara waktu, istri kesayangan Nabi Muhammad Saw menyerang Ali bersama dengan kerabat-kerabatnya seperti Thalhah dan Zubair karena tidak mengadili pembuhanan Ustman. Sementara Ali sendiri tidak tahu dan terkejut dengan pristiwa terbunuhnya Ustman sebagai orang shaleh.[17]
Ali merupakan salah satu khalifah yang memiliki kualitas intlektual yang memadai, tetapi didalam bidang politik, ia lemah, sehingga Muawiyah lawan politiknya dapat menjatuhkannya dalam waktu yang sangat singkat. Muawiyah yang sangat berambisi untuk menjadi seorang khalifah telah diketahui sebelumnya oleh Ali, dan sebagai khalifah, ia bisa menentukan kebijakan sesuai dengan segala yang diinginkannya dan menghentikan Muawiyah menjadi gubernur Syiria dengan digantikan dengan orang-orang yang lebih loyal kepadanya. Akan tetapi Ali dinasehati oleh para sahabatnya dengan alasan bahwa, Muawiyah telah menjadi pusat kekuasaan independen dan telah memiliki bala tentara yang setia kepadanya. Ali tidak mempedulikan nasihat mereka dan memecat Muawiyah menjadi gubernur, sehingga api pemberontakan mencuat dengan dalih pembalasan atas terbunuhnya Ustman. Tetapi karena posisi yang masih belum signifikan dengan didukung integritas yang dimiliki oleh Ali, maka Muawiyah mengangkat isu pembunuhan Ustman menjadi isu politik yang mencuat dalam rangka memojokkan Ali dan untuk mencari pembenaran dalam hal menentang Ali.
Kemudian beberapa sahabat seperti Thalhah, Zubair dan yang lain, yang telah mengumpulkan kekayaan berambisi untuk mengontrol segala kebijakan pemerintah dalam rangka menjaga kekayaan mereka, akan tetapi setelah Ali dilantik menggantikan Ustman, mereka menganggap bahwa Ali akan menerapkan sistem yang lebih ketat, sehingga pada akhirnya keinginan tersebut gagal dan mereka bergabung dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah dengan motif merongrong kekuasaan Ali. Bahkan Zubair sendiri berhasrat untuk menjadi khalifah dengan dukungan Aisyah istri Nabi. Aisyah sangat tidak menyukai Ali, dia mendukung pemberontakan atas nama pembalasan atas kematian Ustman.
Karena proses menentang yang dilakukan oleh  Thalhah, Zubair, dan Aisyah bermotif politik kelompok, mereka bergabung menjadi kelompok oposisi yang tangguh untuk menggulingkan kekuasaan Ali. Smentara Ali ingin menerapkan hukum islam, ia melarang untuk menumpuk kekayaan dalam rangka kepentingan pribadi. Ia sangat hati-hati dalam hal pembagian harta rampasan perang. Ia memberi semua dengan bagian yang sama tanpa memandang status, suku, dan asal usul mereka. Karena idealisme dari kepemerintahannya adalah penghapusan terhadap stratifikasi sosial yang telah terbangun sebelumnya oleh Umar dan Ustman dan dimanfaatkan oleh keluarganya sendiri, memberikan jabatan beradasarkan kesalehan pribadi dan kejujuran administratif, dan mengembalikan semua kekayaan yang telah diambil secara tidak sah oleh keluarga Utsman.[18]
Hal ini tentunya mengecewakan orang-orang Arab yang menganggap bahwa mereka adalah ras penguasa, namun memuaskan non-arab, budak-budak asing, dan lapisan masyarakat bawah. Dengan alasan ini pula, maka Kufah yang penduduknya berasal dari budak dan non-Arab menjadi pusat kekuatan Syi’ah. Dan kelompok ini merasakan penindasan yang dirasakan sebelumnya, sehingga mereka semakin kuat ketika kondisi mereka diperhatikan oleh Ali dan semakin kokoh kepada Ali dukungannya.[19]
Kekuasaan Ali yang berlangsung dengan begitu singkat ternyata penuh dengan kekacauan. Disatu pihak ia dirongrong oleh orang-orang yang ingin merampas kekuasaannya, seperti Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Dan di pihak lain, ia dirong rong oleh Muawiyah dengan slogan yang sama, yaitu menuntut balas kematian Ustman untuk menyembunyikan tujuan mereka sendiri, kemudian pemerintahan Ali di Syiria tidak diterima sehingga ia lari ke Kufah dan menjadikan kota itu sebagai pusat pemerintahannya. Ia dengan pasukannya bergerak ke Basrah, dan dengan mudah ia dapat menaklukkan para pemberontak itu, dalam perang Unta(perang jamal).[20]
Pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah atas nama kerabat Ustman menimbulkan simpatik dari kelompok orang-orang kaya di Syiria dan Mekkah, sehingga secara tidak langsung mendukungnya. Dan sebenarnya Ali simpati dengan prilaku yang dilakukan Muawiyah, tetapi karena menjaga identitas sebagai sahabat dan untuk menjaga kemungkinan terjadinya konflik, kedua belah pihak baik Ali maupun Muawiyah mengadakan perundingan sebuah perjanjian di Shiffin, di Efrat pada tahun 657 M. tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan apa-apa, bahkan pendukung Muawiyah menancapkan ujung tombak mereka ke atas Mushaf, dan mereka meminta muslim yang netral untuk menengahi hal ini, dan ini tidak diterima oleh Ali walaupun oleh para pendukungnya ia dibujuk untuk menerimanya. Akan tetapi Ali tidak gentar dengan semua itu, Muawiyah mengirimkan pasukan ke Irak dan Muawiyah menyatakan diri sebagai khalifah.
Sementara itu, beberapa pendukung radikal Ali sangat dikejutkan dengan penyerahan Ali terhadap Muawiyah, menurut mereka Ustman telah gagal menerapkan standart al-Qur’an dan menganggap Ali telah melanggar aturan al-Qur’an. mereka menganggap Ali bukan lagi seorang muslim, sehingga mereka keluar dari barisan ummah, menjadi kelompok yang bernama khawarij. Tetapi Ali  tidak menerima semua itu dan memperlakukan begitu keras terhadap kelompok Khawarij. Sementara di Kufah tetap mendapatkan dukungan kuat sebagai khalifah, tetapi masih juga banyak orang arab yang netral dan berusaha untuk mencari calon khalifah yang menengahi konflik tersebut, akan tetapi pencarian tersebut gagal, dan Muawiyah kemudian dapat mengalahkan pemerintahan Ali pada tahun 661 M, dan Ali dibunuh oleh kelompok Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam.[21]
Meskipun kekhalifahan Ali mendapatkan berbagai macam tantangan, akan tetapi kekayaan diberbagai daerah banyak terjadi, sementara ketika Ali menjadi khalifah, kondisi telah berubah dan keluar dari prinsip-prinsip dasar islam. Kenyataan semua ini bisa menjadi bantahan argumen orang-orang yang mengatakan bahwa jika kebijakan-kebijakan dibangun atas dasar prinsip islam, segalanya akan baik-baik saja. Dan masyarakat yang adil dan bebas dari kejahatan akan terbagun.
Dengan demikian, meskipun Khulafa al- Rasyidun memiliki watak dan karakter yang berbeda dalam memimpin pemerintahan selama berkuasa, tetapi semangat dan corak kepemimpinannya tetap konsisten terhadap apa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Dalam hubungan dengan sistem pemerintahan, mereka sama-sama mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip islam, di antaranya adalah :
1.   Prinsip Musyawarah
2.   Jabatan khalifah merupakan amanah dari Allah yang harus dijalankan dengan baik
3.   Menggunakan prinsip bai’at, yaitu pernyataan akan adanya pengakuan dan janji setia dari rakyat untuk mengikuti khalifah terpilih.
4.   Teknik pemilihan khalifah antara yang satu dengan yang lain tidak sama. Abu Bakar terpilih dengan musyawarah terbutka, Umar dipilih berdasarkan tunjukan dan wasiat dari sebelumnya, namun dikonsultasikan kepada para sahabat senior. Utsman dipilih melalui rapat terbuka oleh Dewan formatur, dan Ali diangkat melalui pertemuan terbuka.[22]

C.   Pengaruh Pemerintahan khalifah Utsman dan Ali terhadap peradaban islam

Salah satu pengaruh secara teologis yang dapat dilihat dari konflik politik tersebut adalah apa yang diterapkan oleh Utsman masih tetap mengacu dan mentradisikan apa yang telah diajarkan oleh Rosulullah, seperti keadilan, ketaatan terhadap pemerintah, penataan terhadap kenegaran. Ini dapat menjadi salah satu modal penting untuk kekuatan media dalam rangka dakwah isla>miyah dan politik islam. Kemudian juga, meneguhkan prinsip-prinsip politik dalam rangka terwujudnya cita-cita islam sebagai agama, yaitu kedamaian.
 Kemudian juga, hal yang menjadi pengaruh besar terhadap peradaban islam adalah, Ali sebagai sosok khalifah terkhir mencoba untuk kembali kepada prinsip-prinsip ajaran islam, ia berusaha untuk menghapus stratifikasi sosial, melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat kelas bawah dengan membagikan secara merata harta rampasan perang, dan berusaha untuk mengembalikan segala harta-harta penyelewengan para keluarga Utsman ke Baitul Maa>l. Hal secara tidak langsung mendorong umat islam untuk senantiasa memposisikan islam tetap seperti cita-cita awal diturunkannya, yaitu sebagai agama rahmatan lil ‘a>lami>n.
Kemudian komitmen pendukung Ali terhadap nilai-nilai al- Qur’an dengan mempertahankan prinsip-prinsip keadilan tetap teguh, sehingga kelompok ini disebut dengan Syi’ah. Dan di sisi lain, kelompok yang menganggap Ali bukan lagi seorang muslim karena tidak menjalankan prinsip-prinsip islam. Mereka menekankan bahwa penguasa islam tidak boleh terdiri dari muslim yang berkuasa, akan tetapi yang paling dapat dipercaya, khalifah mereka tidak boleh dipilih dari orang-orang yang haus akan kekuasaan seperti Muawiyah. Kelompok khawarij adalah kelompok ekstrim, akan tetapi mereka menuntut umat islam untuk menjelaskan siapa yang disebut muslim sejati dan siapa pula yang disebut dengan bukan muslim.
Dengan demikian, kondisi politik yang terjadi sebagai suatu gagasan relegius mengarah kepada pembahasan seputar sifat Tuhan, takdir, dan kebebasan manusia yang menyebabkan lahirnya kelompok-kelompok Mutakallim(teolog) yang pro terhadap Ali bin Abi Thalib, yaitu Syi’ah yang berkembang samapai sekarang. Kelompok ini berawal dari konflik politik di kalangan tokoh-tokoh islam.
Pada masa Ali berkuasa, peperangan yang terjadi antara Muawiyah dengan Aisyah memberikan pengaruh terhadap ajaran islam yang sangat mendasar, tidak hanya prinsip-prinsip kesatuan muslim di dunia, akan tetapi juga, perang secara tidak langsung membenarkan cara kekerasan dalam menyelesaikan suatu kasus, baik politik, agama, dan sosial. Tetapi secara prinsip kepemerintahan, bahwa keputusan yang diambil oleh Ali untuk berperang melawan Muawiyah atau Sitti Aisyah merupakan salah satu bentuk sikap kepedulian terhadap amanah dan tanggung jawab sebagai pemimpin.







BIBLIOGRAFI

1.                               Abu Zahrah Muhammad, Prof, Membangun Masyarakat Islami, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal.8
2.   A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Isla>m, (Jakarta:  Bulan Bintang, 1995)
3.                               Syeikh Muhammad Sa’id Mursi, Udzama>’ul Isla>m, Edisi Terj.(tokoh-tokoh Isla>m berpenagruh sepanjang sejarah), (Jakarta, Pustaka al- Kaustar 2008)
4.                               Karen Amstrong, Islam: A Short History, Edisi Terj, (London, Poenex Press 2001),
5.                               Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Isla>m dari Masa Klasik hingga Modern, (Jogjakarta, LESFI 2004),
6.   Nourouzzaman Siddiqi, Tamaddun Muslim, (Jakarta; Bulan Bintang, 1986)
7.                               Mahmoud M. Ayyub, Akar-Akar krisis politik dalam Sejarah Muslim, (England, Oxford: Oneworld Publication, 2003)
8.   Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, (Jakarta: Pustaka al- Kaustar 2000),
9.                               Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Isla>m, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar 1999)
10.                           Mohammad S. El- Awa, On The political system of the Islamic State, (Indiana: American Trust Publication, 1998)
11.                           Thahir Ahmad Hamid, DR, Hayatu al- Shaha>bah, Edisi Terj, (Bandung; Irsyad Baitus Salam, 1`999)
12.               Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2003)




[1] Abu Zahrah Muhammad, Prof, Membangun Masyarakat Islami, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal.8
[2] Lihat, QS. Al Hujarat (49): 13
[3] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Isla>m, (Jakarta:  Bulan Bintang, 1995), hal. 128
[4] Syeikh Muhammad Sa’id Mursi, Udzama>’ul Isla>m, Edisi Terj.(tokoh-tokoh Isla>m berpenagruh sepanjang sejarah), (Jakarta, Pustaka al- Kaustar 2008), hal. 18-10
[5] Ibid. hal, 20                                                                                                  
[6] Karen Amstrong, Islam: A Short History, Edisi Terj, (London, Poenex Press 2001), hal. 39
[7] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Isla>m dari Masa Klasik hingga Modern, (Jogjakarta, LESFI 2004), hal.53-55
[8] Nourouzzaman Siddiqi, Tamaddun Muslim, (Jakarta; Bulan Bintang, 1986), hal. 125-126
[9] Mahmoud M. Ayyub, Akar-Akar krisis politik dalam Sejarah Muslim, (England, Oxford: Oneworld Publication, 2003), hal. 109
[10] Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, (Jakarta: Pustaka al- Kaustar 2000), hal. 184                   
[11] Lihat, Karen Amstrong, Islam: A Short History,hal, 40-41
[12] Ibid. hal. 191.
[13] Asghar Ali Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Isla>m, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar 1999), hal. 254
[14] Lihat, Mahmoud M. Ayyub, hal. 106
[15] Keyakinan ini disuarakan oleh Tsabit Ibn Qais Ibn Syammas yang mewakili kaum Anshar. Pernyataan itu adalah “ Demi Allah, wahai Ami>rul Mu’mini>n, meskipun mereka telah mendahului kamu dalam kekuasaan khalifah, mereka tidak dapat menandingimu dalam agama, kedudukanmu tidak pernah dapat ditutup-tutupi, juga derajatmu yang tidak dapat diabaikan. Mereka semua membutuhkanmu ketika menghadapi situasi yang tidak mereka kuasai ilmunya. Namun dengan pengetahuamu kamu tidak membutuhkan siapapun. Lihat, Mahmoud M. Ayyub, hal. 130
[16] Mohammad S. El- Awa, On The political system of the Islamic State, (Indiana: American Trust Publication, 1998), hal. 44
[17] Ibid, hal. 46
[18] Ibid, hal. 131
[19] Ibid, hal. 262
[20] Karen Amstrong, hal. 42-43
[21] At- Thahir Ahmad Hamid, DR, Hayatu al- Shaha>bah, Edisi Terj, (Bandung; Irsyad Baitus Salam), hal. 85-86
[22] Moh. Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2003), hal. 44-46

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...