PENDAHULUAN
Potret sejarah
perkembangan Islam merupakan salah satu standart bagi setiap umat Islam untuk
menata Islam sebagai suatu agama menuju era perkembangan yang lebih cemerlang.
Era kegemilangan yang dimulai sejak pertama kali lahir dengan di bawa oleh
Rosul yang berasal dari Negara Arab asli
benar-benar telah membuktikan adanya secara eksistensial sebagai agama yang
melahirkan peradaban kemanusiaan yang madani (civil).
Peradaban yang ditelorkan oleh islam sebagai
suatu agama telah mampu memberikan warna baru bagi perkembangan hidup manusia
secara kualitas maupun kuantitas. Udara kemerdekaan yang dihirup oleh
masyarakat islam pada masa jahiliyah menjadikan islam sebagai salah satu
pilihan keyakinan begi mereka yang mampu menciptakan keharmonisan dalam hidup,
sehing[1]ga
paradigma statis kapitalis, dan keterkungkungan pemikiran akibat perbudakan
menjadi debu yang dihembus udara islam sebagai agama yang rahmatan lil a>lami>n.
Islam sebagai agama rahmatan lil a>lami>n
secara historis memiliki pengaruh [2]yang
luar biasa dan mampu merombak terhadap peradaban dan tradisi yang telah kental
ditubuh masyarakat Arab pada saat itu. Kebejatan sikap dan tirani kaum priyayi
terhadap kaum pribumi telah mengubur nilai-nilai kemanusiaan pada saat itu.
Sehingga secara naluriah mereka haus terhadap udara kebebasan dan ketenangan
dalam hidup.
Perkembangan peradaban islam mulai baru lahir
sangat pesat dan cepat, karena Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai
kemanusiaan, realitasnya mampu memberikan
alternatif yang betul-betul dapat dirasakan langsung oleh berbagai
kalangan masyarakat, khususnya masyarakat Arab sehingga pada akhirnya, islam
yang sejak awal lahir sebagai suatu keyakinan menjadi bagian dari alternatif
hidup dalam setiap dimensi kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, dan lain
sebagainya. Terhapusnya stratifikasi sosial yang dahulunya menjadi wajah tradisi bangsa Arab merupakan
inti dari islam itu sendiri, sehingga sampai sekarang, islam masih tetap
memberikan peluang umatnya untuk terus berubah
dan berkembang dengan kebebasan yang menjadi modal pegangannya dalam hidup
dengan tetap mengacu kepada prinsip-prinsip ajaran islam itu sendiri.
Pasca wafatnya Rosulullah saw, pimpinan tunggal
islam pada waktu itu,, peradaban islam terus memperlihatkan perkembangannya
dengan terbentuknya Negara islam yang berdiri di bawah sistem kekh\alifahan
yang dikenal dengan istilah khulafaur Ra>shidu>n. Salah satu bukti nyata
yang dapat dilihat adalah terkumpulnya al-qur’a>n sebagai pedoman umat
islam, dan tegaknya politik islam dibawah pemerintahan khalifah Ustman,[3]
kemudian dilanjutkan oleh bani Muawiyah dan Bani Abbasiyah sehingga islam
mencapai puncak kecemerlangan.
Akan tetapi, perkembangan peradaban islam pada
abad klasik, tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, termasuk
faktor politik, terutama ketika islam masih di bawah kendali Rosulullah dan khulafaur
Ra>shidu>n, sehingga menjadi penting kemudian kepada umat islam pada
umumnya untuk mengetahui warna perpolitikan yang terjadi di dalam islam pasca
masa Nabi Saw.
Oleh karena itulah, maka penulis di dalam
makalah ini akan berusaha mengulas kembali islam pada masa khulafaur Ra>shidu>n,
terutama dalam aspek teologis dan politis yang spesifik kepada masa Utsman dan
Ali bin Abi Thalib. Untuk memperluas pembahasan ini, maka penulis mengulas
semua itu dan hal yang berkaitan dengannya di bab pembahasan.
PEMBAHASAN
A. Sekilas
tentang Ustman Dan Ali
Nama lengkapnya adalah Ustman bin Affan bin Abi
Ash bin Umayyah bin Abdu Syam bin Abd Manaf, biasa dipanggil dengan Abu
Abdillah dan dikenal dengan julukan Dzun Nu>rain (pemilik dua
cahaya). Ia lahir di Mekkah lima tahun setelah kelahiran Rasulullah Saw, atau
lima tahun setelah pasukan gajah menyerang ka’bah. Ia termasuk salah satu dari
sepuluh orang yang mendapat jaminan masuk surga dan termasuk salah satu dari
juru tulis wahyu (al-Qur’an).
Gelar dzunnu>rain ia dapatkan karena
ia menikahi dua putri Rosulullah, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kulstum. Ia termasuk
sosok yang pemalu dan dermawan. Itu terbukti bahwa dia pernah menanggung semua
kebutuhan perlengkapan separuh dari pasukan kaum muslimin dalam perang Al-
Ashrah, yaitu mendarmakan 300 ekor unta dan 50 ekor kuda lengkap dengan segala
peralatannya, membeli sumur Raumah dan diwaqafkan kepada umat islam.[4]
Ustman merupakan salah satu sahabat yang berjasa
dalam penyempurnaan penyusunan Al-qur’an, sahabat memperluas pertama kali bangunan Masjidil
Haram, dan Masjid Nabawi, membangun pangkalan angkatan laut, membangun gedung
peradilan. Dia juga yang pertama kali mendahulukan khutbah dalam shalat I>d
dan menambah adzan pada shalat jum’at.
Sedangkan Ali, nama lengkapnya adalah Ali bin
Abi Thalib Ibn Abdul Muthalib Ibn Hasyim al- quraisy al- Hasyimi, biasa
dipanggil dengan panggilan Abu Hasan. Rosulullah memanggilnya dengan Abu Turab.
Dia lahir di Mekkah 32 setelah kelahiran Rosulullah Saw, atau 10 tahun sebelum bi’stah.[5]
Dia termasuk salah satu sahabat yang dijamin masuk surga, dia pernah ditugaskan
untuk membawa panji Rosulullah Saw di setiap peperangan.
Dia memiliki anak 29 orang, 14 laki-laki dan 15
perempuan setelah kawin dengan putri Nabi, yaitu Fatimah. Dan di antara
putranya adalah Hasan dan Husain yang juga mendapatkan surga . dia memangku jabatan
sebagai kh|alifah tahun 35 hijriyah setelah kematian ustman ditangan para
pemberontak. Dia meninggal di Kufa>h saat dia sedang keluar rumah untuk
menunaikan shalat subuh pada tanggal 17 Romadlan 40 H dalam usia 63 tahun.
B. Akar
konflik politik dan teologi
Ustman bin Affan termasuk salah seorang dari
yang paling awal masuk islam. Dia menggantikan Umar bisa diartikan dengan
proses pergantian keradikalan dan kekerasan menjadi kelonggaran, kelemahan, dan
sikap ragu-ragu. Pada masa enam tahu
pertama pemerintahannya ummat islam mengalami kemajuan. Ustman memerintah
dengan baik dan umat islam dapat menaklukkan Cyiprus dari tangan Byzantium.
Kemudian di daerah timur, tentara islam dapat menaklukkan Armenia, Kaukasus,
dan menegakkan hukum islam sampai ke sungai Oxus di Iran, Heart di Afganistan,
dan Sind di anak benua India.[6]
Akibatnya banyak kaum muslimin yang meninggalkan utsman yang berarti hilangnya
tempat ia mencurahkan kepercayaan, kecuali kaum kerabatnya. Kesetiaan para
pejabat kepada Ustman semakin surut, sehingga sedikit sekali yang dijamin
kepercayaannya kepadanya kecuali kerabatnya, oleh karena itu, banyak pejabat
yang dipecat dan diganti dengan sanak kerabatnya. Pada saat itu, dia dituduh
melakukan nepotisme oleh lawan-lawan politiknya,[7]
korupsi dengan cara menggunakan uang negara secara tidak pantas, menghina
sahabat dan menyalah gunakan wewenang atas tuduhan ini. Tetapi, dia menyangkal
semua tuduhannya dengan mengatakan bahwa apa yang diberikan kepada kerabatnya
adalah uang pribadinya.
Nepotisme yang dia lakukan adalah dengan cara
mengangkat Marwan Ibnul Hakam menjadi sekretaris Negara, Muawiyah diangkat
menjadi gubernur Syiria, mengangkat Abdullah Ibn Sa’d Ibn Abi Sarh menjadi
gubernur di Mesir sebagai ganti dari Amr bin ‘Ash, dan mengangkat Ibn Amir
menjadi guberbur di Bashrah, mengangkat Sa’d Ibn Ash menjadi gubernur di Kufah. Tetapi semua itu bukan menjadi
tuduhan kuat nepotisme terhadap Ustman, karena dia juga mengangkat orang-orang
yang bukan kerabatnya untuk menempati posisi strategis di luar Bani Umayyah
seperti Zaid Ibn Tsabit menjadi kepala di Baitul Mal.[8]
Dengan dasar bahwa mereka berasal dari keluarga yang kaya dan tidak akan
mengambil bagian orang lain dengan semestinya. Dia mengatakan kepada
pengkitutnya “tidakkah kamu memperoleh bagian kekayaan sesuai dengan haknya ?
lalu mengapa aku tidak boleh mengambil kelebihan sesuai dengan yang aku
inginkan ? jika tidak bisa, mengapa aku jadi Imam (pemimpin) ?.[9]
Termasuk salah satu kekecewaan masyarakat
terhadap kebijakan Ustman dalam hal kepemimpinannya adalah kurangnya
kebijaksanaan dalam mengangkat keluarga menempati kedudukan yang tinggi, seperti
pengangkatan Marwan Ibn Hakam, karena sepertinya ia yang menjalankan
pemerintahan, sementara Ustman hanya berpangkat sebagai khalifah. Ia terlalu
lemah kepada keluarganya dan tidak bisa menindak tegas terhadap pelaku kesalahan,
dan membagi-bagikan kekayaan Negara tanpa terkontrol kepada keluarganya. kemudian
juga, salah seorang yang menentang keras terhadap kebijakan Ustman adalah
sahabat Abdullah Ibn Mas’ud, dia kecewa dengan kebijakan perpanjangan waktu
bagi Walid kerabatnya yang diangkat menjadi gubernur, sebab dia meminjam uang
dari kas Negara dan tidak bisa mengembalikannya pada waktu yang ditentukan.
Aksi protes itu semakin memanas, ketika Ustman memerintahkan untuk membakar
semua mushaf kecuali hanya satu, yang dia sendiri kumpulkan sehingga Abdullah
bin Mas’ud menuduh Ustman telah melakukan bid’ah (inovasi baru), kemudian
Ustman melarang Abdullah bin Mas’ud untuk pulang ke Madinah dan bayarannya
ditangguhkan sampai dia wafat di bawah pengawasan Ustman.[10]
Kebijakan Ustman dalam memberikan jabatan
kepada kerabatnya adalah merupakan tindakan monopoli jabatan tertinggi dan
membiarkan dirinya dikuasai oleh mereka, sehingga hal ini membuat kecewa
tentara Anshar di Madinah yang menyebabkan, ketidakpuasan tersebut mencapai
puncaknya dalam pemberontakan. Sekelompok tentara Arab dari Fustat kembali ke
Madinah kemudian menuntut hak mereka, karena mereka tidak memperoleh apa yang
mereka inginkan, maka mereka menyerang rumah Ustman, memaksa masuk kemudian
membunuhnya, dan kemudian mengangkat Ali sebagai khalifah pengganti.[11]
Kebijakan-kebijakan Ustman dan gaya hidupnya
telah menimbulkan banyak kritikan dan menyebabkan krisis kepercayaan kepadanya
dari sebagian sahabat. Di antara kebijakan yang tidak disukai dalah :
1.
Kebijakan tentang
pembayaran tebusan untuk kasus pembunuhan yang dilakukan Ubaidillah bin Umar
yang menimbulkan debat panas antara para sahabat.
2.
Pada saat Ustman
gagal meniru apa yang dilakukan Rosulullah Saw dan dua khalifah sebelumnya
dalam hal mengqashar shalat di Mina di saat melakukan haji, Utsman melakukan
shalat tanpa qashar. Karena dia telah menganggap sebagai penduduk Mekkah dan
bukan musafir.
3.
Kebijakan untuk
mengambil zakat atas kuda, sementara Rosulullah telah mengecualikannya, karena
pada saat itu kuda-kuda sangat sedikit. Kebijakan ini oleh sahabat dianggap
bid’ah
4.
Kebijakan untuk
membuka lahan kosong untuk ternak-ternak Negara sebagai tempat merumput.
Padahal menurut tradisi sebelumnya, air, rumput, dan ladang rumput bisa
digunakan oleh semua masyarakat.
5.
Ustman juga
dituduh melakukan diversi (perluasan) penggunaan zakat dan shadaqah untuk
kepentingan perang dan kesejahteraan social, meskipun telah dijelaskan oleh
al-qur’an bagaimana seharusnya distribusi zakat dan shadaqah itu dilakukan.
6.
Ustman memaksa
kaum muslimin untuk membaca satu mushaf yang dikumpulkan atas dasar
supervisinya(nasehatnya) sehingga dia dituduh melakukan bid’ah.
7.
Kebijakan akan
bolehnya paman Hakam al- Ash untuk kembali ke Madinah, padahal dia termasuk
orang yang diusir dari Madinah oleh Rosulullah Saw berdasarkan apa yang dia
ketahui.
8.
Tuduhan nepotisme
atas banyaknya kerabat Ustman yang diangkat untuk menempati posisi tertinggi
Negara.[12]dampak
ekonomi yang meluas bagi orang islam. Untuk mengurangi tekanan-tekanan penduduk
di kota-kota tertentu dipropensi-propensi kependudukan seperti Kufah, ia berani
mengambil langkah memperbolehkan pertukaran tanah-tanah yang dimiliki oleh
orang-orang Arab Hijaz di propensi-propensi
pendudukan dengan tanah-tanah yang ada di Hijaz sendiri, dan sebaliknya.
Sementara hal seperti itu, ketika Umar memerintah masih dibatasi dalam rangka
dalam rangka menghindari penguasaan orang-orang yang memiliki modal. Keputusan
itu berani dibuat oleh Ustman dengan asumsi bahwa orang-orang Hijaz lebih suka
tinggal di Hijaz sendiri, dan tekanan-tekanan penduduk di propensi pendudukan
yang menimbulkan kehawatiran para pejabat pemerintah bisa dikurangi. Akan
tetapi, target jangka panjang tersebut ternyata gagal, dan hanya menjadi pemicu awal munculnya revolusi
ekonomi baru di Arab yang mengubah semua komposisi kelas dari masyarakat karena diijinkannya
mengadakan pertukaran tanah tanpa adanya batas.
Salah satu indikator yang dapat diketahui
adalah adanya penukaran tanah yang tidak subur di Hijaz oleh Thalhah dengan
tanah-tanah yang subur di Irak. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat ia
menjadi penguasa lahan tanah-tanah yang subur dan luas dan mendatangkan keuntungan yang sangat luas.
Kemduian, ia berhasil menggaet para budak dan pekerja untuk turut mengelola
tanah tersebut. Dan juga, banyak para sahabat yang diuntungkan dengan keputusan
Utsman tersebut.[13]
9.
Menurut Thaha
Husein, bahwa Ustman membuat keputusan yang menimbulkan pemberontakan dan
turunnya kharisma kekhalifahannya. Dia menyerukan kepada masyarakatnya untuk
mentaati terhadap pemerintah, akan tetapi dia sendiri merasa tidak terikat
dengan syarat yang mendasari ketaatan itu.[14]
Dalam hal ini ia memberikan preseden kekuasaan yang berlawanan dengan
prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran moral yang menjadi sifat kekuasaan khilafah.
Sikap Ustman terhadap para pengkritiknya adalah
tidak toleran, sehingga sangsi yang diberikan berupa pukulan sampai patah
tulang, di keluarkan dari kota tempat tinggalnya. Sehingga hal seperti yang
melahirkan antagonisme dan resistensi yang demikian kuat terhadap pemerintahan.
Sementara Ali bin Abu Thalib merupaka sosok
khalifah terkhir yang memiliki keluasan ilmu pengetahuan, ia seorang perwira
yang sangat baik dan menulis banyak risalah dan memberikan banyak ilham bagi
para pejabatnya, mengajarkan perlunya keadilan. Sehingga ia merupaka salah
seorang khalifah yang murni diangkat oleh rakyat. Para pendukung Ali melihat
naiknya Ali ke jabatan khalifah merupaka wujud kemenangan terhadap aristokrasi
Quraisy dan sebagai perwujudan dari penegakan kebenaran agama.[15]
Walaupun dekat dengan Nabi,[16]
pemerintahannya tidak diterima secara menyeluruh. Ali didukung oleh orang-orang
Anshar dari Madinah dan orang-orang Mekkah yang tidak suka terhadap
pemerintahannya Umayyah, termasuk Muawiyah bin Abi Sufyan, karena motif
pembunuhan Utsman. Tetapi pristiwa pembunuhan Ustman bagi Ali merupakan
pristiwa yang menjadi pemicu perang saudara selama lima tahun di kalangan
ummat.
Setelah tertunda sementara waktu, istri
kesayangan Nabi Muhammad Saw menyerang Ali bersama dengan kerabat-kerabatnya
seperti Thalhah dan Zubair karena tidak mengadili pembuhanan Ustman. Sementara
Ali sendiri tidak tahu dan terkejut dengan pristiwa terbunuhnya Ustman sebagai
orang shaleh.[17]
Ali merupakan salah satu khalifah yang memiliki
kualitas intlektual yang memadai, tetapi didalam bidang politik, ia lemah,
sehingga Muawiyah lawan politiknya dapat menjatuhkannya dalam waktu yang sangat
singkat. Muawiyah yang sangat berambisi untuk menjadi seorang khalifah telah
diketahui sebelumnya oleh Ali, dan sebagai khalifah, ia bisa menentukan
kebijakan sesuai dengan segala yang diinginkannya dan menghentikan Muawiyah
menjadi gubernur Syiria dengan digantikan dengan orang-orang yang lebih loyal
kepadanya. Akan tetapi Ali dinasehati oleh para sahabatnya dengan alasan bahwa,
Muawiyah telah menjadi pusat kekuasaan independen dan telah memiliki bala
tentara yang setia kepadanya. Ali tidak mempedulikan nasihat mereka dan memecat
Muawiyah menjadi gubernur, sehingga api pemberontakan mencuat dengan dalih
pembalasan atas terbunuhnya Ustman. Tetapi karena posisi yang masih belum
signifikan dengan didukung integritas yang dimiliki oleh Ali, maka Muawiyah
mengangkat isu pembunuhan Ustman menjadi isu politik yang mencuat dalam rangka
memojokkan Ali dan untuk mencari pembenaran dalam hal menentang Ali.
Kemudian beberapa sahabat seperti Thalhah,
Zubair dan yang lain, yang telah mengumpulkan kekayaan berambisi untuk
mengontrol segala kebijakan pemerintah dalam rangka menjaga kekayaan mereka,
akan tetapi setelah Ali dilantik menggantikan Ustman, mereka menganggap bahwa
Ali akan menerapkan sistem yang lebih ketat, sehingga pada akhirnya keinginan
tersebut gagal dan mereka bergabung dengan pemberontakan yang dilakukan oleh
Muawiyah dengan motif merongrong kekuasaan Ali. Bahkan Zubair sendiri berhasrat
untuk menjadi khalifah dengan dukungan Aisyah istri Nabi. Aisyah sangat tidak
menyukai Ali, dia mendukung pemberontakan atas nama pembalasan atas kematian
Ustman.
Karena proses menentang yang dilakukan
oleh Thalhah, Zubair, dan Aisyah bermotif
politik kelompok, mereka bergabung menjadi kelompok oposisi yang tangguh untuk
menggulingkan kekuasaan Ali. Smentara Ali ingin menerapkan hukum islam, ia
melarang untuk menumpuk kekayaan dalam rangka kepentingan pribadi. Ia sangat
hati-hati dalam hal pembagian harta rampasan perang. Ia memberi semua dengan
bagian yang sama tanpa memandang status, suku, dan asal usul mereka. Karena
idealisme dari kepemerintahannya adalah penghapusan terhadap stratifikasi sosial
yang telah terbangun sebelumnya oleh Umar dan Ustman dan dimanfaatkan oleh
keluarganya sendiri, memberikan jabatan beradasarkan kesalehan pribadi dan
kejujuran administratif, dan mengembalikan semua kekayaan yang telah diambil
secara tidak sah oleh keluarga Utsman.[18]
Hal ini tentunya mengecewakan orang-orang Arab
yang menganggap bahwa mereka adalah ras penguasa, namun memuaskan non-arab,
budak-budak asing, dan lapisan masyarakat bawah. Dengan alasan ini pula, maka
Kufah yang penduduknya berasal dari budak dan non-Arab menjadi pusat kekuatan
Syi’ah. Dan kelompok ini merasakan penindasan yang dirasakan sebelumnya,
sehingga mereka semakin kuat ketika kondisi mereka diperhatikan oleh Ali dan
semakin kokoh kepada Ali dukungannya.[19]
Kekuasaan Ali yang berlangsung dengan begitu
singkat ternyata penuh dengan kekacauan. Disatu pihak ia dirongrong oleh
orang-orang yang ingin merampas kekuasaannya, seperti Thalhah, Zubair, dan
Aisyah. Dan di pihak lain, ia dirong rong oleh Muawiyah dengan slogan yang
sama, yaitu menuntut balas kematian Ustman untuk menyembunyikan tujuan mereka
sendiri, kemudian pemerintahan Ali di Syiria tidak diterima sehingga ia lari ke
Kufah dan menjadikan kota itu sebagai pusat pemerintahannya. Ia dengan
pasukannya bergerak ke Basrah, dan dengan mudah ia dapat menaklukkan para
pemberontak itu, dalam perang Unta(perang jamal).[20]
Pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah atas
nama kerabat Ustman menimbulkan simpatik dari kelompok orang-orang kaya di
Syiria dan Mekkah, sehingga secara tidak langsung mendukungnya. Dan sebenarnya
Ali simpati dengan prilaku yang dilakukan Muawiyah, tetapi karena menjaga
identitas sebagai sahabat dan untuk menjaga kemungkinan terjadinya konflik,
kedua belah pihak baik Ali maupun Muawiyah mengadakan perundingan sebuah
perjanjian di Shiffin, di Efrat pada tahun 657 M. tetapi perundingan tersebut
tidak menghasilkan apa-apa, bahkan pendukung Muawiyah menancapkan ujung tombak
mereka ke atas Mushaf, dan mereka meminta muslim yang netral untuk menengahi
hal ini, dan ini tidak diterima oleh Ali walaupun oleh para pendukungnya ia
dibujuk untuk menerimanya. Akan tetapi Ali tidak gentar dengan semua itu,
Muawiyah mengirimkan pasukan ke Irak dan Muawiyah menyatakan diri sebagai
khalifah.
Sementara itu, beberapa pendukung radikal Ali
sangat dikejutkan dengan penyerahan Ali terhadap Muawiyah, menurut mereka
Ustman telah gagal menerapkan standart al-Qur’an dan menganggap Ali telah
melanggar aturan al-Qur’an. mereka menganggap Ali bukan lagi seorang muslim,
sehingga mereka keluar dari barisan ummah, menjadi kelompok yang bernama khawarij.
Tetapi Ali tidak menerima semua itu dan
memperlakukan begitu keras terhadap kelompok Khawarij. Sementara di Kufah tetap
mendapatkan dukungan kuat sebagai khalifah, tetapi masih juga banyak orang arab
yang netral dan berusaha untuk mencari calon khalifah yang menengahi konflik
tersebut, akan tetapi pencarian tersebut gagal, dan Muawiyah kemudian dapat
mengalahkan pemerintahan Ali pada tahun 661 M, dan Ali dibunuh oleh kelompok
Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam.[21]
Meskipun kekhalifahan Ali mendapatkan berbagai
macam tantangan, akan tetapi kekayaan diberbagai daerah banyak terjadi,
sementara ketika Ali menjadi khalifah, kondisi telah berubah dan keluar dari
prinsip-prinsip dasar islam. Kenyataan semua ini bisa menjadi bantahan argumen
orang-orang yang mengatakan bahwa jika kebijakan-kebijakan dibangun atas dasar
prinsip islam, segalanya akan baik-baik saja. Dan masyarakat yang adil dan
bebas dari kejahatan akan terbagun.
Dengan demikian, meskipun Khulafa al- Rasyidun
memiliki watak dan karakter yang berbeda dalam memimpin pemerintahan selama
berkuasa, tetapi semangat dan corak kepemimpinannya tetap konsisten terhadap
apa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Dalam hubungan dengan sistem pemerintahan,
mereka sama-sama mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip islam, di antaranya
adalah :
1. Prinsip
Musyawarah
2. Jabatan
khalifah merupakan amanah dari Allah yang harus dijalankan dengan baik
3. Menggunakan
prinsip bai’at, yaitu pernyataan akan adanya pengakuan dan janji setia dari
rakyat untuk mengikuti khalifah terpilih.
4. Teknik
pemilihan khalifah antara yang satu dengan yang lain tidak sama. Abu Bakar
terpilih dengan musyawarah terbutka, Umar dipilih berdasarkan tunjukan dan
wasiat dari sebelumnya, namun dikonsultasikan kepada para sahabat senior.
Utsman dipilih melalui rapat terbuka oleh Dewan formatur, dan Ali diangkat
melalui pertemuan terbuka.[22]
C. Pengaruh
Pemerintahan khalifah Utsman dan Ali terhadap peradaban islam
Salah satu pengaruh secara teologis yang dapat
dilihat dari konflik politik tersebut adalah apa yang diterapkan oleh Utsman
masih tetap mengacu dan mentradisikan apa yang telah diajarkan oleh Rosulullah,
seperti keadilan, ketaatan terhadap pemerintah, penataan terhadap kenegaran. Ini
dapat menjadi salah satu modal penting untuk kekuatan media dalam rangka dakwah
isla>miyah dan politik islam. Kemudian juga, meneguhkan prinsip-prinsip
politik dalam rangka terwujudnya cita-cita islam sebagai agama, yaitu
kedamaian.
Kemudian
juga, hal yang menjadi pengaruh besar terhadap peradaban islam adalah, Ali
sebagai sosok khalifah terkhir mencoba untuk kembali kepada prinsip-prinsip
ajaran islam, ia berusaha untuk menghapus stratifikasi sosial, melakukan
pemberdayaan terhadap masyarakat kelas bawah dengan membagikan secara merata
harta rampasan perang, dan berusaha untuk mengembalikan segala harta-harta
penyelewengan para keluarga Utsman ke Baitul Maa>l. Hal secara tidak
langsung mendorong umat islam untuk senantiasa memposisikan islam tetap seperti
cita-cita awal diturunkannya, yaitu sebagai agama rahmatan lil ‘a>lami>n.
Kemudian komitmen pendukung Ali terhadap
nilai-nilai al- Qur’an dengan mempertahankan prinsip-prinsip keadilan tetap
teguh, sehingga kelompok ini disebut dengan Syi’ah. Dan di sisi lain, kelompok
yang menganggap Ali bukan lagi seorang muslim karena tidak menjalankan
prinsip-prinsip islam. Mereka menekankan bahwa penguasa islam tidak boleh
terdiri dari muslim yang berkuasa, akan tetapi yang paling dapat dipercaya,
khalifah mereka tidak boleh dipilih dari orang-orang yang haus akan kekuasaan
seperti Muawiyah. Kelompok khawarij adalah kelompok ekstrim, akan tetapi mereka
menuntut umat islam untuk menjelaskan siapa yang disebut muslim sejati dan
siapa pula yang disebut dengan bukan muslim.
Dengan demikian, kondisi politik yang terjadi
sebagai suatu gagasan relegius mengarah kepada pembahasan seputar sifat Tuhan,
takdir, dan kebebasan manusia yang menyebabkan lahirnya kelompok-kelompok
Mutakallim(teolog) yang pro terhadap Ali bin Abi Thalib, yaitu Syi’ah yang
berkembang samapai sekarang. Kelompok ini berawal dari konflik politik di
kalangan tokoh-tokoh islam.
Pada masa Ali berkuasa, peperangan yang terjadi
antara Muawiyah dengan Aisyah memberikan pengaruh terhadap ajaran islam yang
sangat mendasar, tidak hanya prinsip-prinsip kesatuan muslim di dunia, akan
tetapi juga, perang secara tidak langsung membenarkan cara kekerasan dalam
menyelesaikan suatu kasus, baik politik, agama, dan sosial. Tetapi secara
prinsip kepemerintahan, bahwa keputusan yang diambil oleh Ali untuk berperang
melawan Muawiyah atau Sitti Aisyah merupakan salah satu bentuk sikap kepedulian
terhadap amanah dan tanggung jawab sebagai pemimpin.
BIBLIOGRAFI
1.
Abu Zahrah
Muhammad, Prof, Membangun Masyarakat Islami, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), hal.8
2.
A. Hasjmy, Sejarah
Kebudayaan Isla>m, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1995)
3.
Syeikh
Muhammad Sa’id Mursi, Udzama>’ul Isla>m, Edisi Terj.(tokoh-tokoh
Isla>m berpenagruh sepanjang sejarah), (Jakarta, Pustaka al- Kaustar 2008)
4.
Karen Amstrong, Islam: A Short
History, Edisi Terj, (London, Poenex Press 2001),
5.
Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Isla>m dari Masa Klasik hingga Modern,
(Jogjakarta, LESFI 2004),
6.
Nourouzzaman
Siddiqi, Tamaddun Muslim, (Jakarta; Bulan Bintang, 1986)
7.
Mahmoud M. Ayyub, Akar-Akar
krisis politik dalam Sejarah Muslim, (England, Oxford: Oneworld
Publication, 2003)
8.
Afzal Iqbal, Diplomasi Islam,
(Jakarta: Pustaka al- Kaustar 2000),
9.
Asghar Ali
Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Isla>m, (Jogjakarta: Pustaka
Pelajar 1999)
10.
Mohammad S.
El- Awa, On The political system of the Islamic State, (Indiana:
American Trust Publication, 1998)
11.
Thahir
Ahmad Hamid, DR, Hayatu al- Shaha>bah, Edisi Terj, (Bandung; Irsyad
Baitus Salam, 1`999)
12.
Moh.
Nurhakim, Sejarah dan Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2003)
[4] Syeikh
Muhammad Sa’id Mursi, Udzama>’ul Isla>m, Edisi Terj.(tokoh-tokoh Isla>m berpenagruh sepanjang sejarah), (Jakarta , Pustaka al-
Kaustar 2008), hal. 18-10
[6] Karen Amstrong, Islam: A Short History, Edisi Terj, (London , Poenex Press
2001), hal. 39
[7] Dudung
Abdurrahman, Sejarah Peradaban Isla>m
dari Masa Klasik hingga Modern, (Jogjakarta , LESFI 2004), hal.53-55
[9] Mahmoud M. Ayyub, Akar-Akar krisis politik dalam Sejarah Muslim,
(England , Oxford : Oneworld Publication, 2003), hal. 109
[10] Afzal Iqbal, Diplomasi Islam, (Jakarta : Pustaka al- Kaustar 2000), hal. 184
[13] Asghar Ali
Engineer, Asal Usul dan Perkembangan Isla>m, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar 1999), hal. 254
[14] Lihat, Mahmoud M. Ayyub, hal. 106
[15] Keyakinan ini disuarakan oleh Tsabit Ibn Qais Ibn Syammas yang
mewakili kaum Anshar. Pernyataan itu adalah “ Demi Allah, wahai Ami>rul Mu’mini>n,
meskipun mereka telah mendahului kamu dalam kekuasaan khalifah, mereka tidak dapat
menandingimu dalam agama, kedudukanmu tidak pernah dapat ditutup-tutupi, juga
derajatmu yang tidak dapat diabaikan. Mereka semua membutuhkanmu ketika
menghadapi situasi yang tidak mereka kuasai ilmunya. Namun dengan pengetahuamu
kamu tidak membutuhkan siapapun. Lihat, Mahmoud M.
Ayyub, hal. 130
[16] Mohammad S.
El- Awa, On The political system of the Islamic State, (Indiana:
American Trust Publication, 1998), hal. 44
[17] Ibid, hal. 46
[21] At- Thahir
Ahmad Hamid, DR, Hayatu al- Shaha>bah, Edisi Terj, (Bandung ;
Irsyad Baitus Salam), hal. 85-86

No comments:
Post a Comment