PENDAHULUAN
Pasca
kepemimpinan Rasulullah saw. yang berakhir dengan wafatnya beliau sebagai perintis Negara islam Madinah, dunia
islam menampilkan bentuk kepemimpinan baru dengan system khilafah yang
dilanjutkan oleh shahabat-shahabat setia beliau yang dikenal dengan khulafa’
al-rasyidun (para pengganti Rasul yang mendapatkan petunjuk). Secara bahasa
istilah khalifah (tunggal) atau khulafa’ (jamak) mengandung arti
pengganti yaitu pengganti Rasulullah saw.
Peran
sebagai khalifah ini - terkenal dalam sejarah - digantikan oleh empat orang
shabat setia nabi yaitu khalifah abu Bakar Al-Siddik, Umar bin Khattab, Uthman
bin Affan, dan Ali bin Abi Tallib yang selama hidup Rasulullah banyak bergaul dengan
beliau dan telah banyak mengenal karakter beliau. Sehingga dalam banyak hal
mereka banyak mencontoh beliau termasuk dalam hal pemerintahan semuanya tetap
mengikuti gaya kepemiminan Rasul sekalipun dalam beberapa segi terlihat berbeda
tapi secara esensi adalah sama. Hal itu terkait erat dengan perbedaan kondisi
sosio-cultural yang dihadapi oleh masing-masing khalifah yang empat ini dan terkait
pula dengan kapasitas pribadi masing-masing. Walaupun secara kepribadian dan
perilaku terkait dengan kearifan, kejujuran dan kebijakannya, para shahabat ini
tidak dapat diragukan lagi karena mereka adalah para generasi terbaik umat.
Institusi pemerintahan yang berada dibawah
kepemimpinan para khalifah ini dikenal dengan istilah khilafah. Khilafah
merupakan institusi pemerintahan islam yang berdasarkan pada ajaran al-Qur’an dan
al-Hadith[1].
Walaupun pada masa-masa selanjutnya setelah pemerintahan khalifah yang empat
juga menggunakan gelar khalifah, seperti kerajaan bani Umayyah, bani Abbasiyah,
hingga kerajaan-kerajaan kecil seperti kerajaan Turki Uthmani, tapi pelaksanaan
system khilafah sepenuhnya hanya berlaku pada masa pemerintahan khulafa’
al-rasyidun. Karena proses pengangkatan yang dilakukan pada masa-masa
sesudahnya tidak lagi dengan jalan
musyawarah tapi dengan sistem pewarisan secara turun temurun. Sementara yang di
contohkan Rasulullah adalah diupayakan adanya musyawarah dalam segala persoalan
termasuk dalam hal kepemimpinan ini.
Ide
khilafah ini muncul setelah secara mendesak dibutuhkan adanya kepemimpinan
pengganti setelah wafatnya Rasulullah saw. System khilafah ini adalah gambaran
bagi system pemerintahan yang berada dibawah pemimpin yang memimpin suatu
komunitas besar tanpa adanya tahta atau
pangkat tertentu sebagaimana
system kerajaan di bawah raja pada masa-masa berikutnya yang biasa mendapat
penghormatan, dan sanjungan yang tinggi dan memiliki otoritas penuh untuk membuat
kebijakan apapun. Walaupun dalam kepemimpinan Rasulullah, beliau juga mungkin
untuk berbuat yang sama tapi beliau lebih mengedepankan system persamaan antar
sesama manusia. Sehingga antara pemimpin dan yang dipimpin tidak ada batasan
tinggi rendah yang itu dilanjutkan oleh para pengganti beliau dengan tetap
memegang teguh prinsip dasar yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an yang
artinya: “sesungguhnya kemulyaan kalian di sisi Allah diukur atas nilai
ketaqwaan kalian”.
Dikatakan
bahwa masa khulafa’ al-rasyidun adalah masa keemasan islam yang sebenarnya (the
age of the pious caliphs is the real golden age of islam)[2].
Karena cukup banyak keberhasilan yang
telah dicapai pada masa kepemimpinan para khalifah ini. Satu diantaranya yang
paling monumental dan banyak memberikan efek yang besar bagi kemajuan peradaban
manusia hingga sekarang adalah keberhasilan mereka dalam mengumpulkan
lembaran-lembaran wahyu dan membukukannya menjadi satu mushaf al-Qur'an yang
utuh. Al-Qur'an sebagai pegangan dan rujukan utama, yang dalam islam merupakan
warisan paling berharga yang tak ternilai harganya. Disamping itu para khalifah
telah merhasil menciptakan dasar-dasar tatanan pemerintahan demokatis yang baik
yang oleh para ahli dinilai sudah sangat modern untuk zamannya terutama yang
dilaksanakan pada masa pemerintahan umar. Walaupun begitu, harus disadari pula
bahwa tidak sedikit juga ditemukan adanya kelemahan-kelemahan dalam masa
kepemimpinan para khalifah, baik yang timbul dari diri khalifah sendiri,[3]
dari kalangan umat islam dan dari pihak luar yang cukup mengganggu stabilitas
mayarakat islam waktu itu. Hal itu terlihat pada beberapa contoh persoalan
seperti munculnya kaum murtad pada masa Abu bakar, terbunuhnya Umar, nepotisme
pada masa Uthman, dan perpecahan umat islam pada masa Ali. persoalan-persoalan
itu bukanlah persoalan kecil yang hal itu nampaknya menjadi akar persoalan di
masa-masa berikutnya.
Pembicaraan
dalam makalah ini akan fokus pada dua khalifah pertama yaitu khalifah Abu bakar
dan Umar mulai dari proses pengangkatannya hingga masa akhir jabatannya sebagai
khalifah serta pengaruhnya pada perkembangan peradaban islam selanjutnya yang
akan dibicarakan pada bagian-bagaian berikut.
Ω
KHALIFAH ABU BAKAR AL-SIDDIK
A. Tentang Abu Bakar
Untuk
lebih jauh berbicara tentang peranan Abu Bakar terutama sebagai khalifah harus
lebih dulu sedikit banyak kita telusuri tentang latar belakang kehidupannya. Nama
lengkap Abu bakar adalah Abdullah bin Uthman bin ‘Amir bin Ka’b bin Taim bin
Murrah At Taimi.[4]
Dalam buku yang lain dijelaskan bahwa nama lengkapnya adalah Abdullah ibnu Abi
Quhafah al-Tamimi. Di masa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah (penyembah ka’bah),
lalu ditukar oleh Nabi menjadi Abdullah mendapat kunyah Abu Bakar. Beliau
diberi kunyah Abu Bakar karena dari pagi-pagi[5]
telah masuk islam. Gelarnya al-Siddik (yang amat membenarkan). Diberi gelar itu
karena amat segera membenarkan Rasul dalam berbagai macam peristiwa terutama
peristiwa isra’ dan mi’raj.[6]
Dia mendapat gelar al-‘Atiq karena pengorbanan harta bendanya di jalan Allah.[7]
Dia
dilahirkan kira-kira dua tahun setengah setelah kelahiran Rasulullah[8]
dari keturunan keluarga yang tidak begitu berpengaruh secara status social tapi
mulia dalam perspektif nilai. Ayahnya adalah manusia biasa yang tidak begitu
terkenal dikalangan masyarakat kota Makkah. Begitu juga suku Taim merupakan
suku yang tidak berpengaruh. Sebelum
masuk islam dia adalah orang yang terkenal jujur dan tidak pernah melakukan
tindakan tindakan sebagaimana yang telah membudaya di masyarakat jahiliyah
waktu itu, seperti berjudi, minum khamer dan lain sebagainya. Bahkan beliau
merasa sangat jijik terhadap perilaku-perilaku menyimpang mereka. Karena sejak
kecil beliau terbiasa dididik dengan akhlaq yang baik.
Sebagai
orang yang dilahirkan di keluarga pedagang juga, maka tidak diragukan lagi
bahwa dia memiliki banyak pengalaman dalam dunia perdagangan. Pengalaman
berdagangnya tidak hanya beliau lakukan di kawasan Arab saja bahkan sampai ke
Palestina dan Syria. Dari aktivitas perniagaannya diketahui bahwa beliau pernah
memiliki capital stock hingga mencapai empat puluh ribu dirham.[9]
Dan semuanya beliau dermakan untuk kelanjutan perjuangan islam.[10]
Dari harta yang beliau miliki pula, tidak sedikit budak yang telah beliau
merdekakan termasuk Bilal sang Muaddhin.
Beliau
berhenti melakukan kegiatan perdagangan setelah beliau masuk islam. Beliau
fokuskan segala perhatian dalam hidupnya membantu Rasulullah sepenuhnya dalam
menyebarkan islam. Tatakala islam datang Rasulullah lebih tertarik kepada Abu
Bakar ketimbang yang lainnya. Dia begitu tulus dalam menemani Rasulullah
sehingga tidak sedikitpun dia pernah meragukan apa yang disampaikan oleh beliau
sampai Rasulullah menamainya al-Siddik. Pada saat Rasulullah hijrah yang
pertama ke Madinah beliau adalah orang yang pertama pula yang menemani Rasul. Dapat
dipastikan dimana ada Rasulullah tentunya di sana juga ada Abu Bakar. Sehingga
akhlaq beliau tercermin dalam sikap dan kepribadian Abu Bakar.
Para
sejarawan sepakat bahwa dia tidak pernah absen dari menghadiri seluruh
peristiwa yang dilalui Rasulullah. Dia termasuk orang-orang yang tetap bersama Rasulullah
dalam peristiwa yang terjadi saat perang Uhud dan perang Hunain.[11]
Pada waktu Rasulullah sakit beliau pula yang diperintahkan untuk menggantikan beliau
menjadi imam shalat yang kemudian atas dasar ini pulalah sebagaian shahabat
memilih dan menyetujui Abu Bakar sebagai pengganti Rasul setelah Rasulullah
saw. wafat.
B. Pengangkatan Abu Bakar Menjadi Khalifah
Setelah Rasulullah wafat orang-orang
islam merasa perlu adanya pengganti Rasul sebagai pemimpin agama sekaligus
pemimpin Negara. Karena adanya pertimbangan apabila tidak dilakukan pergantian
kepemimpinan dengan segera, maka keberadaan madinah sebagai basis umat islam
berada dalam ancaman. Oleh karena Rasulullah tidak pernah meninggalkan wasiat
tentang siapa yang akan dijadikan pengganti beliau, maka terjadi perselisihan
di antara kaum Ansar dan Muhajirin.
Waktu itu kaum Ansar beranggapan bahwa
setelah meninggalnya Rasulullah kaum Muhajirin akan pulang ke Makkah, maka
berkumpullah sebagian golongan Ansar di Saqifah bani Sa’idah[12]guna
memba’iat Sa’d bin Ubadah seorang pemimpin kaum Khasraj yang berpengaruh untuk
menjabat sebagai khalifah. Kemudian datanglah sekelompok kaum Muhajirin dan
terjadilah adu debat diantara kedua kelompok, dan masing-masing saling
mengemukakan argument untuk mendukung pendapat mereka. Hampir saja terjadi
sengketa sengit diantara kedua kelompok. Kaum Muhajirin mengemukakan slogan
yang di klaim sebagai hadith Nabi untuk menguatkan argumennya yaitu “al-aimmah
min Quraisy, nahnu al-khulafa wa antum wuzara” (pemimpin itu dari etnis
Quraisy, kami khalifahnya dan kalian mentrinya).[13]
Hingga waktu Abu Bakar tampil dan menyampaikan pernyataannya yang secara inti
menyatakan bahwa urusan khalifah adalah urusan orang Quraisy dan segala urusan
tidak akan berjalan dengan baik dan mulus kecuali kepemimpinan dipegang oleh orang
Quraisy. Disamping itu alasan Abu Bakar yang kedua yang dianggap lebih logis
adalah apabila jabatan khalifah dipegang oleh kaum ansar tentunya dari salah
seorang dari suku Aus atau Khasraj. Ketika dipilih salah seorang dari suku Aus
maka akan memunculkan persaingan di kalangan suku khasraj dan begitu juga
apabila jabatan itu dipegang oleh seorang dari suku khasraj maka akan
memunculkan persaingan dari kalangan suku Aus.
Orang-orang Ansar mengusulkan agar
pucuk kekuasaan dipegang secara bergilir, pertama kali dipegang oleh seorang
dari Muhajirin dan berikutnya dipegang oleh seorang Ansar, demikian
selanjutnya. Usulan lain menyatakan bahwa di kalangan Muhajirin ada seorang pemimpin
dan dari Ansar ada seorang pemimpin.[14]
Namun semua usulan ditolak dengan tegas.
Perlu digarisbawahi dari pernyataan
pertama yang disampaikan Abu Bakar dan dari penolakan semua usulan tanpa adanya
pertimbangan lain itu beliau terkesan a priori dan cenderung mendeskreditkan
pihak Ansar. Yang mana pernyataan pertama itu akan cenderung menyebabkan
persoalan diantara Muhajirin dan Ansar dan cenderung membeda-bedakan keduanya. walaupun
apa yang disampaikan Abu bakar tersebut terkesan timpang tapi untuk sementara telah
cukup meredakan persengketaan yang hampir memunculkan kerusuhan itu dengan mereka
mau menerima pendapat Abu Bakar itu. Dan semua itu juga di setujui oleh Umar
bin Khattab. Kemudian Umar tampil kedepan dan membaiat Abu bakar sebagai
Khalifah nabi dan diikuti oleh yang lainya yang hadir di balai pertemuan bani Sa’idah
itu. Baru keesokan harinya abu Bakar duduk di atas mimbar masjid nabawi dan
sejumlah besar umat islam membai’atnya.[15]
Kecuali Ali bin Abi Tallib dan beberapa orang shahabat lainnya karena waktu itu
sedang sibuk mengurus pemakaman Rasulullah. Dengan pembai’atan itu terlintas
dalam diri Ali bin Abi Tallib bahwa Abu Bakar dan Orang-orang yang membai’atnya
mengabaikan posisi dia dan haknya[16].
Sementara Ali sendiri pernah mengklaim bahwa dirinyalah yang lebih berhak
menggantikan Rasulullah karena dia adalah keluarganya dan lebih dekat dengan Rasul.[17]
Kalau para pendukung khalifah abu Bakar
mendasarkan pengangkatannya pada perintah terhadapnya untuk menggantikan Rasulullah
untuk menjadi imam shalat, demikian pula klaim Ali terhadap hak dirinya untuk
menjadi khalifah dapat pula dibenarkan. Hal ini didasarkan pada adanya riwayat dari
Ibnu Ishaq bahwa pada suatu hari Rasululah telah memberitahu para shahabatnya
bahwa “Dia (Ali) adalah imam, saudaraku, penggantiku, dan khalifahku. Maka
hendaklah kamu sekalian dengar dan patuh kepadanya”.[18]
Dengan memperhatikan hadith di atas
maka yang lebih berhak menggantikan Rasulullah adalah Ali. Karena secara garis
kekeluargaan Ali memang lebih dekat dengan Rasulullah. Inilah sebenarnya yang
menjadi titik awal pengingkaran kaum syiah atas kekhalifahan selain khalifah
Ali bin Abi Tallib. Tapi penjelasan al-Qur’an untuk selalu mengedepankan
musyawarah (jalur demokrasi) dalam setiap persoalan lebih mendominasi tindakan
para shahabat dan pembai’atan Abu Bakar adalah sah. Rasulullah sendiri tidak
pernah secara tegas menyatakan tentang siapa yang akan di jadikan pengganti
beliau. Sehingga hasil kesepakatan sebagian besar umat islam menyetujui Abu
bakar untuk menjadi khalifah.
Setelah Abu bakar ditetapkan sebagai
khalifah dengan dibai’at oleh sebagian besar kaum muslimin termasuk kaum Ansar
sendiri yang telah kalah dalam diplomasi politik di Saqifah bani Sa’idah, bukan
berarti kondisi politik sudah stabil. Malah gelombang protes masih muncul dari
sebagian kalangan Ansar. Mereka masih bersikukuh perlunya menciptakan keseimbangan
peran politik antara penduduk asli madinah dan kaum pendatang. Mencermati
kondisi politik yang masih memanas, Umar sebagai pendukung utama pembai’atan
Abu Bakar merasa bertanggung jawab menjaga stabilitas Negara dengan menghadapi
setiap protes dengan tindakan represif. Sosok Umar yang sejak awal disegani di
semua kalangan cukup memberikan pengaruh sehingga gelombang protes mulai dapat
di kendalikan.
Setelah kondisi masyarakat madinah
dapat distabilkan, secara resmi Abu Bakar tampil sebagai pengganti Rasulullah
pertama yang secara perlahan posisinya semakin kokoh walaupun waktu itu Ali
sendiri masih belum membai’at beliau. Dalam pidato kekhalifahannya beliau
menjelaskan tentang siasat pemerintahannya yang akan beliau jalankan. Dalam
pidatonya beliau menyampaikan:
wahai manusia! Saya telah diangkat
untuk mengendalikan urusanmu padahal aku bukanlah orang yang terbaik
diantaramu. Maka, jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tapi
jika aku berbuat salah, maka betulkanlah. Orang yang kamu pandang kuat, saya
pandang lemah hinggga aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedang orang yang
kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan haknya
kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasulnya,
tetapi bilamana aku tidak taat kepada Allah dan Rasulnya kamu tidak perlu
mentaatiku.[19]
C. Persoalan-Persoalan Yang Timbul Pada
Masa Khalifah Abu bakar
Setelah Rasulullah
wafat, mulai muncul berbagai persoalan di kalangan umat islam. Tidak hanya
persoalan seputar siapa yang akan menggantikan kepemimpinan Rasulullah, akan
tetapi persoalan-persoalan lain menyangkut syariah, aqidah termasuk juga
siyasah (politik). karena saat Nabi Muhammad masih hidup semuanya
berjalan dengan tanpa mengalami persoalan. Fungsi ganda Rasulullah di dunia
disamping sebagai pemimpin keagamaan dan sebagai pemimpin pemerintahan berjalan
seimbang tanpa terjadi dominasi diantara keduanya.[20]
Namun, setelah
wafatnya Rasulullah secara otomatis peran ganda Rasulullah menjadi tidak
efektif. Khalifah Abu Bakar sebagai khalifah pertama - termasuk pula
khalifah-khalifah berikutnya - lebih banyak berperan sebagai pemimpin Negara
daripada sebagai pemimpin keagamaan. Hal itu disebabkan hilangnya otoritas
penuh para shahabat terhadap interpretasi teks-teks keagamaan sebagaimana otoritas
yang dimiliki Rasulullah, dan disebabkan pula oleh kesetaraan tingkat
intelektualitas khalifah dengan shahabat-shahabat lainnya.
Ketika
khalifah hanya tampil sebagai pemimpin Negara tidak sebagai pemimpin keagamanan
juga, yang terjadi adalah kesan adanya pemisahan antara agama dan Negara. Padahal
keduanya adalah dua sisi mata uang yang harus selalu menyatu. Sementara pula
persoalan Negara tanpa melibatkan peranan agama, maka persoalan tersebut sulit
untuk dapat diselesaikan dengan baik.
Walaupun
Rasulullah telah mewariskan al-Qur’an dan Hadith sebagai pegangan dan rujukan
bagi setiap persoalan yang terjadi tapi teks-teks yang ada itu sarat dengan
interpretasi. Sehingga apabila terjadi perbedaan interpretasi terhadap suatu
teks maka sulit menentukan yang mana interpretasi yang dianggap benar dan harus
diikuti. Salah satu contoh dari perbedaan dalam memahami teks adalah timbulnya gelombang
penolakan untuk membayar zakat oleh sebagian kelompok. Landasan penolakan itu karena
mereka memahami kata “Khudz” (ambillah/pungutlah) pada surat al-Taubah: 103[21]
hanya tertentu kepada Rasul sementara selain Rasul tidak berhak untuk mengambil
zakat, dan menurut paham mereka pemungutan yang dilakukan Rasul saja yang dapat
membersihkan dan menghapus kesalahan.[22]
Persoalan tersebut sebenarnya adalah persoalan syariah yang kemudian merembet
pada persoalan politik.
Persoalan
lain yang menarik adalah status tanah fada’, seperlima rampasan Khaibar
dan beberapa peninggalan nabi Muhammad saw. di Madinah. Kasus ini cukup menyita
perhatian publik karena melibatkan Fatimah binti Muhammad saw. dan khalifah Abu Bakar. Di satu sisi
Fatimah yakin punya hak atas kepemilikan tanah yang ditinggalkan Rasulullah.
Sedangkan di sisi lain Abu Bakar dengan kekuasaannya berpendapat bahwa nabi
Muhammad saw. tidak mewariskan apapun selain al-Qur’an dan al-Hadith. Kasus ini
dimenangkan oleh Negara. Tetapi perlawanan argumentatif Fatimah al-Zahrah telah menggambarkan ketidak
efektifan peran kepemimpinan keagamaan Abu bakar.[23]
Berbagai macam interpretasi atas
teks-teks keagamaan ini terus berlanjut dan tak jarang melibatkan unsur
kekuasaan. Contoh persoalan diatas pada mulanya hanyalah persoalan beda
penafsiran atas naskah hadith yang kemudian memasuki ranah politik. Sikap tegas
khalifah Abu Bakar atas kekayaan Rasulullah di respon Fatimah dengan tindakan
melakukan delegitimasi terhadap kekhalifahan Abu Bakar dengan cara tidak
memberikan bai’at sampai akhir hayatnya. Sebagaiman juga yang dilakukan Ali
walaupun mutivasinya berbeda.
Dengan
kasus di atas, seakan mendapatkan legitimasi dan menganggap sebagai tindakan
yang wajar, beberapa kelompok Arab yang masih lemah imannya dan masih
mempertahankan fanatisme kesukuan juga mulai menampakkan sikap konfrontatif
terhadap khalifah Abu Bakar. Sehingga tidak lama setelah dilantiknya Abu Bakar
menjadi khalifah, terjadi gelombang sikap keluar dari islam (murtad) yang
dilakukan oleh hampir seluruh kabilah Arab kecuali Madinah, Makkah dan Thaif.[24]
Selain itu gelombang penolakan membayar pajak sebagaimana telah di jelaskan
diatas dan munculnya nabi-nabi palsu dengan para pengikutnya dalam jumlah besar
yang itu merupakan bagian dari rentetan persoalan yang merupakan pembangkangan
yang cukup radikal yang secara otomatis merupakan pernyataan sikap tidak tunduk
lagi kepada khalifah.
D. Langkah dan Kebijakan Pemerintahan Abu
Bakar
Walaupun masa pemerintahannya hanya
berlangsung selama dua tahun lebih, tapi sebagai sosok yang piawai dan telah
banyak mengenyam pengalaman sejak sekian lama, cukup banyak yang diperbuat oleh
Abu Bakar (kalau tidak mau mengatakan suatu keberhasilan) terkait kebijakan
pemerintahan yang dijalankannya.
Selama masa pemerintahannya, beliau
lebih banyak menangani stabilitas dalam negeri yang waktu itu mulai digoyang.
Munculnya gelombang riddah,[25]
para pembangkang yang tidak mau membayar zakat dan para pengaku nabi cukup
menyita perhatian beliau. Di dalam menghadapi kesulitan yang memuncak inilah
tampak kebesaran jiwa dan ketabahan Abu Bakar. Dengan tegas dia menyatakan
seraya bersumpah bahwa beliau akan memerangi semua golongan yang telah
menyeleweng dari kebenaran, baik yang murtad, yang mengaku nabi maupun yang
tidak mau membayar zakat, sehingga semuanya kembali kepada jalan kebenaran atau
beliau gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah.[26]
Pernyataan tersebut mengandung tekad yang
kuat. Beliau tunjukkan dengan meneruskan pengiriman tentara Usamah sesuai
dengan pesan Rasulullah yang menurut istilah modern serangan untuk menghajar
agar kabilah-kabilah yang mengacau di jalan antara Hijaz dan Syam menjadi jera
dan untuk mengamankan jalan itu dan mengamankan kehebatan islam dan jiwa
kabilah-kabilah itu.[27]
Pengiriman pasukan Usamah dinilai lebih
sebagai bentuk taktik dan kebijakan politik ketimbang sebagai upaya
pertahanan. Karena dengan diberangkatkannya pasukan Usamah menunjukkan bahwa
kekuatan islam masih tetap kokoh. Secara psykologis ini akan memunculkan rasa ciut
terhadap musuh-musuh islam. Dan ternyata
pasukan islam dengan segala kesulitannya mampu menumpas pemberontakan kaum
murtad dengan segala resikonya mendapatkan kemenangan yang gemilang dan
berhasil mengembalikan mereka pada jalan
yang benar sementara banyak dari para pemimpin mereka yang terbunuh seperti
Musailamah.
Setelah kondisi di tanah Arab dapat
dipulihkan, perjuangan terus dilanjutkan untuk memperteguh kedudukan umat
islam. Perjuang tersebut dilanjutkan untuk melawan kedua kekuatan besar Persia
dan Rumawi yang selama itu berambisi untuk menghancurkan islam yang pada
akhirnya pasukan muslim mampu mendobrak perbatasan Perisa dan Romawi itu dengan
segala kehebatan dan ketangguhannya walaupun puncak kemenangannya sebenarnya terjadi
pada masa pemerintahan Umar.
Dalam berbagai peperangan yang terjadi
terutama dalam perang Yamamah banyak dari kaum muslimin yang shahid termasuk
pula diantaranya para penghafal al-Qur’an dan dikhawatirkan semakin banyak pula
yang akan shahid dalam perang melawan Persia dan Romawi. Atas pertimbangan itu,
Umar menyarankan agar Abu Bakar mengambil inisiatif untuk mengumpulkan
al-Qur’an dalam satu mushaf. Walaupun awalnya beliau juga ragu karena beliau
berfikir tidak mungkin untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah,
tapi pada akhirnya, saran itu beliau turuti lalu ia memusatkan seluruh
perhatiannya pada pekerjaan besar itu dan menurut pendapat yang mashhur, ketika
kekhalifahannya berakhir al-Qur’an sudah selesai ditulis dalam mushaf.[28]
Sekalipun Allah telah menjamin
keutuhannya, tapi tindakan yang dilakukan Abu Bakar atas inisiatif umar ini merupakan
tindakan antisipatif yang patut di hargai. Dengan dikumpulkannya al-Qur’an menjadi
satu mushaf - walaupun belum dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan sebagaimana
yang dilakukan pada masa Uthman - telah memberikan sumbangan berharga bagi
peradaban islam selanjutnya. Karena al-Qur’an adalah satu-satunya rujukan utama
bagi perkembangan peradaban untuk masa-masa berikutnya.
Sosok khalifah Abu Bakar yang arif dan
sarat pengalaman pada akhirnya mampu mengendalikan keadaan dan mengembalikan
kondisi Negara seperti semula. Masa transisi tentu menyisakan catatan penting
bahwa sisi siyasah (politik) umat islam mulai ternoda meskipun secara aqidah
dan syariah masih tetap utuh dan terjaga.
E. Akhir Pemerintahan dan Wafatnya Abu
Bakar
Masa
pemerintahan abu Bakar berakhir dengan wafatnya beliau. Peristiwa wafatnya Abu
Bakar terjadi pada saat pasukan kaum Muslimin sedang terlibat peperangan sengit
di pinggiran sungai Yordania yang dikenal dengan Yarmuk yang dipimpin oleh
panglima Khalid bin Walid yang terjadi pada tanggal 13 H/634 M.[29]
Sekalipun
masa pemerintahannya cukup singkat dan di masa-masa awal pemerintahannya banyak
diwarnai dengan berbagai persoalan yang rumit, tetapi berkat tekadnya yang
kuat, keteguhan hatinya dan keimanannya yang kokoh beliau mampu mengatasinya
dengan sangat baik. Para pemberontak dari kaum murtad dapat beliau tumpas, perluasan
islam dapat diwujudkan bahkan beliau mampu menyelesaikan tugas besar dalam
upaya pembukuan al-Qur’an.
Satu
hal yang perlu di catat bahwa dalam masa kekhalifahannya Abu Bakar tidak hanya
melakukan langkah-langkah kebijakan seperti yang dilakukan di atas. Disamping
itu pula beliau sering kali meneliti berita-berita tentang para pejabat dan
bertanya langsung kepada rakyat kalau-kalau ada yang mendapat perlakuan tidak
adil. Kalau ia mendapatkannya maka ia akan membantu si teraniaya menurut cara
yang sudah di gariskannya, yaitu bahwa seorang pembesar itu sama kedudukannya
dengan rakyat biasa sehingga ia mengambil dari padanya hak-hak si teraniaya.[30]
Kebijaksanaannya dalam memimpin Negara
dan kelihaiannya dalam menangani setiap masalah yang dihadapi termasuk
jasa-jasanya dalam menyebarkan islam telah memberikan sumbangan yang besar bagi
perkembangan peradaban islam. Walaupun juga tidak dapat dipungkiri bahwa
melihat posisinya sebagai manusia biasa dia juga telah ikut andil dalam
menciptakan benih-benih pertentang yang terjadi di masa-masa selanjutnya.
Karena yang pasti hingga akhir kepemimpinannya masih banyak yang tidak mengakui
posisinya sebagai khalifah Rasulullah yang pertama.
Ω
KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
A. Tentang Khalifah Umar Bin Khattab
Umar
bin Khattab adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar. Ia dikenal dengan Umar
al-Faruq. Nama lengkapnya adalah Umar Ibnu Al-Khattab Bin Nufail Bin Abd.
Al-Uzza Bin Ribah Bin Abdullah Bin Qurat Bin Zurah Bin ‘Adi Bin Ka’ab Bin Luway
Bin Fihr Bin Malik. Pada garis lurus Umar adalah keturunan ‘Adi yang
mempunyai saudara laki-laki bernama Murrah dan ia adalah nenek moyang nabi.
Jadi dapat dilihat bahwa garis keturunan masing-masing dari umar dan nabi
berkonvergensi pada derajad ke delapan.[31]Sebelum
masuk islam dia adalah orang yang sangat memusuhi islam dan kaum muslimin.
Sosoknya yang keras dan pemberani menjadikannya sebagai orang yang sangat
disegani dan ditakuti di kalangan kaum Quraisy termasuk orang-orang yang telah
memeluk islam.Tidak segan-segan dia menyiksa siapa saja yang diketahui masuk
islam termasuk budak gadisnya sendiri yang bernama Labinah.
Seperti
diketahui bahwa pada masa-masa awal pertumbuhan islam, umat islam sangat lemah
dan membutuhkan dukungan yang kuat. Maka dari itu Rasulullah pernah berdo’a:
“ya Allah kuatkanlah islam dengan salah satu dua Umar yaitu Amr ibnu
al-Hisyam(Abu jahl) dan Umar Ibnu al-Khattab”. Do’a nabi ini terkabul
setelah lima tahun kerasulan nabi Muhammad.[32]
Ada yang mengatakan masuk islamnya Umar terjadi pada tahun ke enam kenabian.[33]
Proses
awal masuk islamnya Umar berawal dari niatnya membunuh Rasululah hingga
pertemuannya dengan Na’im bin Mas’ud yang mengabarkan bahwa adik perempuannya
beserta adik iparnya telah masuk islam. Dengan hati geram dia mendatangi rumah
adiknya dan di sana dia mendapati Khabbab sedang membacakan ayat al-Qur’an
kepada adiknya. Dengan hati yang diliputi amarah dia memukul adik iparnya yaitu
Said bin Zaid dan adiknya sendiri hingga berdarah. Melihat keteguhan pendirian
yang terlihat dalam diri saudaranya tergugahlah hatinya untuk mengetahui apa
yang tadi dibaca. Setelah dia membaca sendiri lembaran ayat suci al-Qur’an itu,
semakin mantaplah hatinya untuk memeluk islam. Dengan diantar Khabbab dia
menghadap Rasulullah dan menyatakan keislamannya.
Dengan
masuknya Umar kedalam islam merupakan babak baru bagi penyebaran Islam. Umar
yang dulunya keras terhadap mereka yang memeluk islam sekarang berbelok arah
menentang dengan keras
terhadap orang-orang yang memusuhi islam. Abdullah bin Mas’ud berkata:
“sesungguhnya masuk islamnya umar adalah penaklukan, hijarahnya adalah sebuah
kemenangan dan pemerintahannya adalah rahmat”.[34]
Yang pada awalnya umat islam tidak berani melaksanakan ajaran islam secara
terang-terangan, dengan tampilnya umar, umat islam mulai berani dan penyebaran
islam pun tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan dengan
keberaniannya Umar shalat secara terang-terangan di depan ka’bah. Pada waktu
kaum muslimin hendak berhijrah ke Madinah, dialah orang pertama yang melakukan
hijrah secara terang-terangan.
Sebagai
salah seorang sahabat yang setia dia adalah orang yang sangat mencintai dan
melindungi Rasulullah. Seperti halnya Abu Bakar dia adalah shabat yang sangat dekat
dengan Rasul dan selalu mendampingi beliau. Karena dekatnya dan cintanya kepada
Rasulullah, mendengar berita wafatnya Rasulullah spontan dia mencabut pedangnya
dan mengancam bahwa siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal akan
dipenggal lehernya, kaki dan tangannya sampai Abu Bakar menyadarkannya dengan
perkataannya yang bijak bahwa “siapa yang menyembah Muhammad sesungguhnya
Muhammad telah meninggal dan siapa yang menyembah Allah sesungguhnya Allah
tidak akan pernah mati”.
Disamping
itu dia juga termasuk shahabat yang menjadi teman diskusi bagi Rasulullah dalam
setiap persoalan baik yang menyangut persoalan agama ataupun persoalan Negara.
Seringkali pula Umar berbeda pendapat dengan Rasul dan pendapat Umar seringkali
juga mendapat pembenaran dari Allah. Dari hal itu dapat diketahui bahwa sosok
Umar adalah sosok shahabat yang cerdas, peka dan memiliki pandangan jauh
kedepan. Sehingga tidak heran kalau di masa pemerintahannya islam mengalami
suatu bentuk kemajuan yang sangat fantastis sepanjang periode Khulafa’ al-Rasyidun.
B. Pengangkatan Umar Menjadi Khalifah
Sepeninggal Abu bakar kursi
kekhalifahan diserahkan kepada Umar bin Khattab. Proses pengangkatan Umar
sebagai Khalifah berbeda dengan proses yang terjadi pada masa Abu bakar. Karena
ketika Abu bakar merasa bahwa ajalnya sudah dekat beliau merasa khawatir akan
adanya percekcokan dan perpecahan dikalangan umat islam karena memperebutkan
jabatan khalifah seperti yang terjadi sebelum beliau diangkat menjadi khalifah.
Sementara waktu itu umat islam sedang mengahadapi perang besar melawan pasukan
Persia dan Romawi dan sangat membutuhkan persatuan yang utuh.
Apabila kegoncangan terjadi akibat perebutan
itu, maka akan mengancam keberadaan islam. Karena perkiraan Abu Bakar apabila
hal itu di biarkan dapat dipastikan sebagaian tentara muslim akan mendukung
calon yang satunya, sedang sebagian yang lain akan mendukung calon yang
lainnya. Jika hal itu terus dibiarkan, pasti kekuatan islam akan tergoyahkan.
Oleh karenanya, Abu Bakar memperhatikan para shahabatnya untuk dipilih siapa
diantara mereka seorsng laki-laki yang tegas tetapi tidak kejam dan lembut tapi
tidak lemah. Kemudian dia mendapatkan diantara mereka sifat-sifat yang menjsdi kriteria
pilihannya adalah salah satu diantara Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Tallib. Hanya
saja yang pertama dalam menyelesaikan dan mengatasi sesuatu mengacu pada konsep
biarkan airnya tetap bening namun ikannya tetap didapat, sedang yang
kedua mengacu pada konsep sekali hitam harus tetap dikatakan hitam seberat
apapun resikonya. Dengan demikian menurut penilaian Abu Bakar yang kedua
cenderung dalam mengatasi masalah lebih memilih jalan tegas dari pada jalan
halus.[35]
Penilaian Abu Bakar terhadap Umar
sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Salah satu gambara sikap halusnya dalam
menyikapi sebuah masalah tergambar dalam pernyataannya pada saat Abu Bakar
menyatakan dengan tegas akan menumpas dan memerangi semua orang murtad. Beliau
menyatakan “hai khalifah Rasulullah, perlakukanlah manusia dengan baik dan
kasihanilah mereka. Bagaimana engkau memerangi mereka sedangkan Rasulullah saw.
telah bersabda bahwa “aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka
mengucapkan la ilaha illallah. Barang siapa yang mengucapkan la ilaha
illallah maka terpeliharalah jiwanya dan hartanya kecuali dengan alasan yang
benar.[36]
Sikap tersebut menunjukkan bahwa sifat lembut Umar dapat terlihat pada hal-hal
tertentu begitu pula sikap keras Abu Bakar juga terlihat pada hal-hal tertentu.
Setelah melalui berbagai pertimbangan
dan dengan meminta pendapat dari shahabat-shahabat terkemuka lainnya akhirnya
pilihan terletak pada diri Umar bin Khattab. Dengan pilihan itu maka
dibai’atlah umar sebagai khalifah kedua. Walau bagaimanapun, Pembai’atan Umar
sebagai khalifah juga melalui proses musyawarah sebagaimana pengangkatan dirinya. Pertanyaannya, apakah jatuhnya pilihan Abu
Bakar terhadap Umar sebagai khalifah kedua bukan karena rasa sentiment pribadi
Abu Bakar terhadap Ali karena tidak secara langsung membai’atnya? Atau apakah
penunjukan itu juga tidak akan memunculkan sentiment tersendiri bagi pribadi
Ali yang dalam dua fase kepemimpinan selalu tersingkir?. sebenarnya, sebagai
orang yang arif, jujur dan terpercaya,
Abu bakar terpelihara dari sifat-sifat yang demikian. Hal itu dapat
dilihat dalam pidato pengangkatannya bahwa beliau mengakui akan ketidak
pantasan dirinya atas jabatan itu dan pengakuannya bahwa beliau bukanlah orang
terbaik diantara para shahabat. Dalam hal itu kejujuran dan ketulusan Abu Bakar
tidak dapat diragukan.
Dalam posisinya sebagai manusia biasa
pernah juga Ali merasa haknya diabaikan. Terbukti pada zaman khalifah Abu bakar,
Ali baru membai’atnya setelah masa enam bulan kepemimpinannya. Tapi dengan melihat
posisinya juga sebagai shahabat yang memiliki keimanan yang teguh, ilmu yang
luas dan kepribadian dan jiwa yang berakhlaq mulia, yang pasti seluruh sikap
dan hatinya lebih banyak tercerahkan oleh keimanannya sehingga beliau akan
lebih mengedepankan kemaslahatan bersama dan kepentingan umat ketimbang ambisi
dirinya.
Said agil Siradj menambahkan, Ali juga sempat
mempertanyakan penunjukan Umar bin Khattab. Tapi diplomasi Umar bin Khattab mampu
mengatasi percik-percik perbedaan tafsir pola suksesi tersebut. Umar bin Khattab
pun secara terbuka pernah mengatakan, “law la Ali lahalaka Umar” (jika
tidak ada Ali maka hancurlah Umar). Selama memegang tampuk kekuasaan umar juga
sering berkonsultasi dengan Ali dalam menyelesaikan persoalan besar kenegaraan.[37]
Dengan demikian secara formalitas kekhalifahan, kedudukan Umar dan Ali berbeda
tapi secara peran keduanya adalah sama.
C. Kekhalifahan Umar Dan Kemajuan Yang
Dicapai
Dengan terpilihnya umar sebagai
khalifah Rasul kedua berarti islam memasuki fase baru, fase di mana sejarah
telah mencatat bahwa di masa itu islam mengalami banyak kemajuan yang sangat
berarti. Pribadi Umar yang yang tegas dan jujur telah mampu membawa dunia islam
mencapai puncak keberhasilan dalam berbagai sektor kehidupan. Khalifah Umar
telah banyak melakukan kerja-kerja besar. Sehingga tidak berlebihan kalau pada
masa Umar disebut sebagai masa keemasan periode Khulafa’ al-Rasyidun.
Berbeda sekali dengan pada masa
pemerintahan Abu bakar yang sejak awal diwarnai dengan banyaknya persoalan,
pada masa pemereintahan Umar kondisinya relatif lebih stabil. Sehingga,
pemerintahannya lebih banyak fokus pada hal-hal yang menyangkut kemajuan islam.
Dalam upaya memperluas wilayah kekuasaan islam, Umar berupaya keras memperluas
pengaruhnya dengan melakukan berbagai penaklukan dan ekspansi ke luar wilayah
Arab. Kemenangan islam melawan dua kekuatan adi daya yang belum tercapai
sepenuhnya pada masa Abu Bakar dapat diraihnya pada masa Umar bahkan banyak
wilayah-wilayah lain yang dapat ditaklukannya.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan
wilayah yang ditaklukkan Umar bin Khattab mencapai 2.251.030 mil persegi,
membentang dari wilayah Makkah 1.036 mil ke utara, 1.087 mil ke timur, dan 483
mil ke selatan. Di arah barat negeri itu hanya membentang sampai ke Jeddah.
Sementara wilayah-wilayah yang sangat luas meliputi negeri-negeri Suriah,
Mesir, Khuzistan, Irak, Armenia, Adzarbaijan, Fars, Kirman Khurasan dan Makran
termasuk bagian-bagian Buluchistan, Asia Kecil yang oleh orang Arab disebut Rum
diserbu dalam tahun 20 H.[38] Jelasnya, daerah kekuasaan islam pada
masa Umar membentang hingga ke perbatasan Sempadan india di sebelah timur dan ke
afrika utara dan Mediteranian di sebelah baratnya.[39]
Dengan ekspansi besar-besaran ini dan dengan segala keberhasilannya memberikan
pengaruh yang sangat besar bagi dunia islam dan bagi pandangan dunia terhadap
islam. Disamping itu cahaya Islam tidak hanya memancar di dunia Arab saja tapi
pada dunia luar yang berada di bawah kekuasaannya.
Hal yang perlu di catat bahwa
penaklukan yang dilakukan oleh kaum muslimin tidak sebagaimana yang dilakukan
oleh Jengis Khan yang penuh dengan penyimpangan dan kebiadaban. Bahkan
penaklukan oleh umat islam-dengan meminjam bahasa Norcholish Madjid-sebenarnya
bukanlah penaklukan melainkan pembebasan (fath) manusia dari segala
kedzaliman menuju keadilan, pembebasan dari kegelapan menuju kebenaran, dan
pembebasan dari penindasan menuju penghormatan terhadap nilai kemanusiaan. Dia
menjelaskan bahwa tentara Islam ketika keluar dari Jazirah Arabia, mereka
melakukan ekspedisi meliter dan ekspansi politik sebenaranya bukanlah untuk
tujuan penaklukan malainkan untuk tujuan pembebasan.[40]
Terdapat dua alasan utama yang menjadi
rahasia dari setiap kemenangan yang diraih umat islam dalam setiap ekspedisi
dan ekspansi. Pertama adalah karena keterbukaan dan penghargaan yang
diberikan bagi kelompok yang lemah dan tertindas. Seperti ketika melawan
tentara Persia yang lalim umat islam dengan cukup mudah mendapat kemenangan
karena satu-satunya tumpuan kekuatan Persia adalah tentara dan pasukannya tanpa
adanya dukungan dari rakyatnya sehingga menyebabkan kekalahan berpihak
terhadapnya. Sementara kaum muslimin dengan segala toleransi dan keterbukaannya
mendapat dukungan yang besar dan
diterima sebagai penguasa oleh semua pihak. Kedua adalah karena semangat yang
besar dari umat islam secara umum dan dari Umar sebagai seorang pemimpin secara
khusus. Gelora semangat, keteguhan, keuletan, ketabahan dan keberanian yang
telah ditanamkan hati suci, kemudian oleh Umar dipertajam dan diperkokoh dengan
pembawaan dan perawakannya.
Jadi, dengan ditaklukannya berbagai
wilayah pada masa pemerintahan Umar menjadikan kekuasaan islam semakin luas dan
semakin berpengaruh. Dengan demikian pula dituntut adanya manajemen
pemerintahan yang baik guna mengatur pemerintahan di masing-masing wilayah.
Dengan begitu pemerintahan yang efektif tetap terlaksana dan berjalan dengan
baik. Usaha selanjutnya yang dilakukan adalah dengan membagi wilayah-wilayah
yang ada kedalam beberapa bagian. Dan pada masing-masing wilayah diangkat
beberapa orang pegawai yang bertugas yang terdiri dari seorang gubernor dan
seorang setia usaha yang dibantu oleh beberapa orang pegawai seperti badan
ketentaraan (katib al-duwan), percukaian (sahib al-kharaj),
pegawai polisi (sahib al-syurtah), pegawai perbendaharaan Negara (sahib
bait al-mal), dan seorang hakim.[41]
Para pejabat ini diangkat secara resmi
oleh khalifah dengan tugas masing-masing yang telah diberikan. Sebelum
dilantik semua pegawai diperiksa jumlah kekayaannya sebagai antisipasi adanya
penyalah gunaan wewenang kekuasaan. Hal yang sangat menarik pula adalah setiap
pejabat dilarang menunggangi tunggangan yang mewah, dilarang memakai pakaian
mewah, dilarang menggunakan pengawal, dan harus melayani rakyat kapanpun
dibutuhkan. Kebijakan ini adalah suatu wujud demokrasi yang nyata yang pro
terhadap kepentingan umat yang telah diwujudkan oleh Umar.
Disamping usaha-usaha diatas tidak
kalah pentingnya adalah usaha dalam memajukan bidang pendidikan. Khalifah Umar
sangat menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan. Perhatiannya ini
beliau wujudkan dengan usaha pengkajian al-Qur’an diseluruh kawasan islam.[42]
Upaya-upaya besar lainnya yang dilakukan oleh khalifah Umar adalah pendirian
baitul mal sebagai badan yang mengatur keuangan dan asset negara, penetapan
tahun kalender hijriyah yang dimulai pada 1 muharram, pelaksanaan system
penggajian pegawai dan tentara, pembentukan badan pengambilan tentara, pembentukan
badan peradilan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang merujuk
langsung pada al-Qur’an, pendirian masjid-masjid sebagai tempat ibadah, pusat
musyawarah dan pusat penyatuan masyarakat islam, melanjutkan usaha pengumpulan
al-Qur’an, dan pembentukan tim formatur atau majlis syura yang dikenal dengan Ahlul
Halli Wal ‘Aqdi yang bertugas menangani pengangkatan khalifah, dan lain
sebagainya. Semua gambaran usaha itu merupakan wujud kemajuan dan keberhasilan dalam
masa pemerintahan Umar, keberhasilan yang pada akhirnya mengantarkan dirinya
pada posisi yang terancam karena banyak pihak-pihak yang tidak menyukai
keberhasilan dan kejayaan islam dan merasa iri terhadap keberhasilan masa
kekhalifahan Umar terutama dari musuh-musuh islam.
D. Meninggalnya Umar
Sebagaimana telah disinggung diatas
bahwa berbagai kemajuan yang telah diciptakan pada masa kekhalifahannya
memunculkan rasa tidak suka dan kecemburuan dari orang-orang non-muslim. Atas
motif inilah mereka berusaha melakukan penyingkiran secara fisik terhadap
khalifah. Dalam aksinya mereka berkoalisi dengan orang-orang munafik (termasuk
dari sebagian suku Umayah).[43]
Puncaknya pada waktu khalifah melaksanakan shalat subuh pada hari rabu tanggal 4 Dzulhijjah tahun
ke-23 hijriyah, beliau ditikam dari belakang oleh seorang berkebangsaan Persia
bernama Abu Lu’luah Fairuz seorang budak al-Mughirah yang tertawan di Nahawand
yang kemudian menjadi milik al-Mughirah bin Syu’bah.[44]
Para orientalis, diantaranya B. Lewis
beranggapan bahwa pembunuhan atas khalifah disebabkan rasa dendam atas
penindasan yang dilakukan oleh Umar terhadap orang non-islam dalam hal ini
orang Persia.[45]
Pendapat ini sama sekali tidak memiliki landasan dan fakta dalam sejarah karena khalifah Umar tidak pernah melakukan
tindakan kedzaliman seperti yang mereka tuduhkan semasa menjabat sebagai
khalifah bahkan beliau sangat menghormati dan memperhatikan rakyatnya tanpa
membedakan baik muslim atau non-muslim. Malah beliau adalah sosok pemimpin
besar yang diterima oleh semua pihak karena kebijaksanaan dan keadilannya.
Sebelum meninggal beliau tidak pernah
berwasiat tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai khalifah.
Tapi dengan adanya majlis syura yang beliau bentuk sudah sangat berarti bagi
proses pengankatan khalifah berikutnya secara demokratis.
Ω
KESIMPULAN
Dalam kesimpulan ini kita akan mencoba menganalisis secara
lebih detail tentang kontribusi dua khalifah (Abu Bakar dan Umar) bagi perkembangan
peradaban islam. Untuk memahami seberapa besar kontribusi kedua khalifah tersebut
bagi peradaban islam berikutnya, maka harus dilihat pula peran dan jasa
keduanya dalam upaya penyebaran islam terutama selama pemerintahan yang mereka
jalankan dengan melihat beberapa hal, baik yang bersifat politik, sosial, maupun
bersifat keagamaan. Dalam tiga hal tersebut kedua khalifah di atas menunjukkan
peran dan keberhasilan yang tidak dapat diabaikan. Walaupun hal itu mereka
lakukan dengan perjuangan yang besar dan dengan berbagai kendala yang menjadi
penghambatnya. Salah satu contoh adalah kendala politis yang dihadapi Abu Bakar
di masa-masa awal pemerintahannya. Kendala tersebut bukanlah kendala yang kecil,
karena disamping harus menanggung beban moral akibat adanya sekelompok shahabat
yang merasa kurang puas dengan pengangkatan dirinya, di sisi lain juga harus
menghadapi gelombang pemberontakan yang hal itu membutuhkan pemikiran yang
kritis dan solutif.
Dengan dihadapkan pada berbagai kendala semacam itu, kedua
khalifah di atas semakin menunjukkan tingkat kematangan dirinya. Terbukti selama
pemerintahan yang dipegang oleh kedua khalifah tersebut menunjukkan cukup
banyak prestasi yang cukup diakui pula. Prestasi tersebut bisa ditinjau melalui
dua perspektif yaitu perspektif historisitas dan normatifitas. Secara historis,
diantara sekian banyak prestasi yang telah di capai, satu diantaranya yang
paling berpengaruh dan paling monumental adalah pembukuan al-Qur’an menjadi
satu mushaf yang utuh dengan tidak bermaksud mengabaikan segi prestasi lainnya.
Walaupun secara eksplisit motivasi awalnya adalah sekedar memelihara keutuhan
al-Qur’an, tapi secara implisit kekhawatiran keduanya akan hilangnya ayat-ayat
Allah menunjukkan kesadaran akan betapa berharganya al-Qur’an bagi peradaban
manusia di masa-masa selanjutnya. Bagaimanapun juga dalam hal itu keduanya
sama-sama memiliki andil yang sangat besar. Di satu sisi Umar sebagai pencetus
ide pertama kali dan di sisi lain Abu Bakar sebagai pelaksana yang ulet.
Al-Qur’an sebagaimana sudah dipahami memiliki banyak fungsi,
yang disamping berfungsi sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup (bayyinat),
dan lain sebagainya; ia juga berfungsi sebagai sumber informasi.[46]Ia
mengajarkan banyak hal kepada manusia mulai dari persoalan keyakinan, moral,
prinsip-prinsip ibadah dan mu’amalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan,
yang intinya fungsi-fungsi tersebut menjadi pijakan bagi peradaban manusia.
Berdasarkan pemahaman ini al-Qur’an berperan sebagai inspirator dan motivator
bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang sudah dimulai pada zaman
pertengan islam yang di pelopori oleh para pemikir-pemikir islam dan hampir
mencapai puncaknya pada zaman modern saat ini merupakan efek dari inspirasi dan
motivasi melalui isyarat yang telah diberikan oleh al-Qur’an untuk meneliti
ayat-ayat Allah baik yang bersifat kauniyah (alam raya) atau bersifat qauliyah
(al-Qur’an). Dapat dibayangkan bagimana jadinya peradaban manusia secara umum
dan peradaban islam secara khusus apabila al-Qur’an tidak dikumpulkan atau
diabadikan dan larut bersama larutnya zaman islam klasik (yaitu sejak Rasululah
masih hidup hingga berakhirnya masa shahabat). Tapi kenyataannya al-Qur’an yang
menjadi rujukan bagi segala segi kehidupan manusia dan yang menjadi tumpuan dan
batu loncatan kemajuan peradaban manusia tetap terpelihara sampai saat ini, hal
itu juga berkat jasa besar dua khalifah di atas.
Pengkajian al-Qur’an sebagai upaya fungsionalisasi ajarannya
telah mulai diupayakan pada masa pemerintahan Umar dengan menggelar pengajian
dan pengkajian al-Qur’an di tiap-tiap wilayah kekuasaan islam. Hal itu
didasarkan pada kesadaran akan pentingnya aktualisasi nilai-nilai ajaran
al-Qur’an tersebut. Karena tanpa adanya upaya aktualisasi kitab suci ini, umat
islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qur’ani
sebagai upaya pembentukan pribadi umat yang beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia,
cerdas, maju dan mandiri; beriman, bertaqwa, dan berakhlaq mulia sebagai
manifestasi spiritualitas manusia sedangkan cerdas, maju dan mandiri sebagai
manifestasi kreatifitas mereka.
Karena dapat dilihat, secara normatif terdapat tiga dimensi[47]
yang ingin dicapai dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qur’ani ini, yaitu
dimensi: pertama, dimensi spiritual yang meliputi iman, taqwa dan akhlaq
mulia. Dimensi spiritual ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlaq
al-karimah.[48]
Karena tanpa akhlaq, manusia akan berada dalam kumpulan hewan dan binatang yang
tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya. Begitu pula, prinsip akhlaq ini
adalah prinsip yang berpegang teguh pada nilai kebaikan serta menjauhi
keburukan dan kemungkaran. Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap
dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Ketiga, dimensi
kecerdasan yang membawa pada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil,
disiplin, beretos kerja tinggi, profesional inovatif dan produktif.
Ketiga dimensi tersebut bisa terwujud dengan melalui
pendidikan yang menjadi tonggak semua peradaban manusia. Yang mana pelaksanaan
pendidikan di masa-masa awal perkembangan islam belum terlembagakan secara
formal dan hanya melalui pendidikan dasar dalam keluarga.
Kemudian secara normatif, di satu sisi dapat dilihat pula
bahwa kedua khalifah di atas juga telah banyak memberikan sumbangan yang besar.
Hal tersebut dapat dilihat dari upaya mereka dalam menyebarkan ajaran islam
berikut mencerminkannya dalam pola hidup dan tingkah laku kehidupan mereka
sehari-hari yang tercermin dalam keimanan, ketaqwaan dan akhlaq mulia mereka
sebagaimana yang juga telah diteladankan oleh Rasulullah saw. Banyak
bukti-bukti yang menunjukkan akan kepribadian mereka yang mulia, baik dengan
melihat kapasitas mereka sebagai makhluk sosial, hamba Allah, dan sebagai
pemimpin suatu negara. Seperti halnya sikap mereka dalam memimpin negara yang
pro kesetaraan umat (musawah), akomodatif bagi kalangan lemah, anti
kemewahan, ulet dan tangguh, dan banyak hal lainnya yang tidak dapat disebutkan
secara keseluruhan di sini.
Di sisi yang lain, harus diakui juga bahwa terdapat pula
kelemahan-kelemahan mereka yang tidak dapat dipungkiri. Satu yang sangat
menonjol adalah hilangnya fungsi sebagai pemimpin keagamaan dalam diri mereka
sebagaimana yang dimiliki Rasulullah disamping fungsi sebagai kepala negara. Sehingga
dalam masa kepemimpinannya nampak kurang akomodatif terhadap
persoalan-persoalan yang menyangkut keagamaan. Dalam artian kurang mampu
memberikan solusi melalui pendekatan keagamaan, kecuali hanya dengan melakukan
tindakan prefentif terhadap adanya penyimpangan di luar ketentuan al-Qur’an dan
Hadith dan dengan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan. Seperti yang telah
dijelaskan di bagian-bagian awal tentang sikap kaum penolak membayar zakat, dan
tuntutan Fatimah atas harta peninggalan Rasulullah.
Apabila dinilai secara positif, hal tersebut juga merupakan hikmah
bagi upaya berfikir kritis untuk mencari solusi pemecahan terhadap
persoalan-persoalan yang berkembang pasca wafatnya Rasulullah. Secara logika hal
itu cukup logis, apabila fungsi sebagai pemimpin keagamaan masih dapat
digantikan oleh para khalifah, maka semua persoalan yang muncul akan selalu
dikembalikan kepada pemimpin itu sendiri sebagai tumpuan solusi satu-satunya
dan yang terjadi adalah pengabaian terhadap berkembangnya daya pikir masyarakat.
Maka tidak akan ada yang namanya ijtihad dan hal-hal lain yang merupakan hasil
dari proses berfikir.
Dari semua itu dapat dipahami bahwa bagimanapun juga telah
banyak kontribusi yang telah diberikan oleh kedua khalifah diatas bagi kemajuan
peradaban manusia terutama peradaban islam dengan juga tidak mengabaikan
kelemahan–kelemahan mereka menyadari posisi mereka sebagai manusia biasa yang
memang menjadi tempat salah dan lupa (Mahallu Al-khatha’ Wa Al-Nisyan).
“Allahu A’lam”
[1] Mahayudin Hj. Yahya;
Ahmad Jelani Halimi, Sejarah Islam, Cet.V, (Kuala Lumpurr: Penerbit
Fajar Bakti Sdn. Bhd, 1995). hal. 125
[2] Jurzy Zaydan, History Of Islamic
Civilization, ( ).
hal.36
[3] Terkait
persoalan-persoalan yang menyangkut diri khalifah berkenaan dengan kondisi, sikap,
tindakan, dan kebijakan yang membuat pihak lain dari kalangan umat islam
sendiri merasa tidak suka dan tidak sependapat seperti kondisi pengangkatan
pertama Abu Bakar, pengangkatan para pejabat pemerintah dengan mengambil orang–orang
dari kalangan keluarga dekat yang terjadi pada masa pemerintahan Uthman, dan
lain sebagainya.
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al Islam As Siyasi wa Al-Tsaqafi Wa Al-Ijtima(Terj.), (Jakarta : Kalam Mulia, 2002). hal. 393.
Mengutip pula dari kitab Al Ishabah fi Tamyiz ash Shahabah, jilid 4, hal.
101, karya Ibnu Hajar.
[5] Paling awal masuk
islam.
[6] H. Mukhtar Yahya, Sejarah
dan Kebudayaan Islam, (Jakarta :
PT. Pustaka Al-Husna Baru, 2003). hal. 195
[7] Mahayudin Hj. Yahya;
Ahmad Jelani Halimi, Sejarah …., hal. 129.
[8] Ibid. hal. 128
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al Islam…, hal. 394
[10] Jurzy Zaydan, History
Of Islamic…., hal.36
[11] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam…., hal.
399
[12] Merupakan sebuah
tempat atau balai musyawarah yang terletak berdekatan dengan masjid nabi di
perkampungan bani Sa’idah dan berfungsi sebagai Darun Nadwah di Makkah.
Lihat: Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah…, hal. 134.
[13] Sulthan Fatoni, Peradaban
Islam: desain awal peradaban Konsolidasi Teologi, Konstruk Pemikiran dan Pencarian Madrasah, (Jakarta : eLSAS, 2006). hal. 11
[14] Ahmad al-‘Usairy, Al-Tarikh
al-Islami(Terj.), (Jakarta :
Akbar Media Eka Sarana, 2003). hal. 144.
[15] Pembai’atan pertama
berlangsung pada hari senin dan pembai’atan berikutnya terjadi pada malam senin
hingga selasa pagi. Lihat: Sulthan Fatoni, Peradaban Islam…, hal. 11
[16] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al Islam…., hal. 397
[17] H. Mukhtar Yahya, Sejarah
dan Kebudayaan…, hal. 195
[18] Mahayudin Hj. Yahya;
Ahmad Jelani Halimi, Sejarah…, hal. 131
[19] H. Mukhtar Yahya, Sejarah
dan Kebudayaan…, hal. 196
[20] Sulthan Fatoni, Peradaban Islam….,
hal. 09
[21] Artinya: “ambillah
sedekah daripada harta mereka guna membersihkannya (menyucikannya) dan
menghapuskan kesalahan mereka”
[22] H. Mukhtar Yahya, Sejarah dan Kebudayaan…, hal.
199
[23] Al-Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarh Al-Nawawi,
Jilid 6, (Beirut :
Daar Al-Ikhya’, 1972). hal. 76.
[24] Sulthan Fatoni, Peradaban Islam…, hal.
13
[25] Kata murtad dari kata dasar riddah
tidak hanya berarti berbalik menjadi kafir, tapi juga mengandung konotasi mengadakan
perlawanan. Lihat: Muhammad Husain Haikal, Abu Bakar As-Siddik: Sebuah
Biografi Dan Studi Analisis Tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi
(Terj.), Cet. IX, (Jakarta :
PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2009). hal. 98
[26] H. Mukhtar Yahya, Sejarah
dan Kebudayaan…, hal. 200
[27] Imam Munawwir, Mengenal
pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari masa Ke masa, Cet. II, (Surabaya : PT. Bina Ilmu,
2006). hal. 49
[28] Ibid. hal. 51
[29] Ahmad al-‘Usairy, Al-Tarikh…,hal.
149
[30] Imam Munawwir, Mengenal pribadi…, hal.
52
[31] Ibid.Hal. 54
[32] H. Mukhtar Yahya, Sejarah
dan Kebudayaan…, hal. 203
[33] Ahmad al-‘Usairy, Al-Tarikh…,
hal. 152
[34] Ibid.
hal. 153
[35] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al Islam…., hal. 408
[36] Imam Munawwir, Mengenal
pribadi…, hal. 48
[37] Sulthan Fatoni, Peradaban
Islam…, hal. 93
[38] Imam Munawwir, Mengenal pribadi…, hal.
59
[39] Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah…,
hal. 171
[40] Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan Dan Kemodernan, Cet. IV, (Jakarta :
Paramadina, 2000). hal. 143
[41] Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah…,
hal. 173
[42] Ibid. hal. 175
[43] Sulthan Fatoni, Peradaban
Islam…, hal. 13
[44] Lihat: Muhammad Husain
Haikal, Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam
Dan Kedaulatannya Masa Itu (Terj.), Cet. IX, (Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2008).
hal. 773-774
[45] Mahayudin Hj. Yahya;
Ahmad Jelani Halimi, Sejarah…, hal. 176
[46] H.
Said Agil Husin Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003). hal. 04
[48] Sesuai
dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw.: “sesungguhnya aku
diutus ke dunia tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”.

No comments:
Post a Comment