Saturday, October 14, 2017

MAKALAH SHAHABAT ABU BAKAR AL-SIDDIQ

PENDAHULUAN

Pasca kepemimpinan Rasulullah saw. yang berakhir dengan wafatnya beliau  sebagai perintis Negara islam Madinah, dunia islam menampilkan bentuk kepemimpinan baru dengan system khilafah yang dilanjutkan oleh shahabat-shahabat setia beliau yang dikenal dengan khulafa’ al-rasyidun (para pengganti Rasul yang mendapatkan petunjuk). Secara bahasa istilah khalifah (tunggal) atau khulafa’ (jamak) mengandung arti pengganti yaitu pengganti Rasulullah saw.

Peran sebagai khalifah ini - terkenal dalam sejarah - digantikan oleh empat orang shabat setia nabi yaitu khalifah abu Bakar Al-Siddik, Umar bin Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi Tallib yang selama hidup Rasulullah banyak bergaul dengan beliau dan telah banyak mengenal karakter beliau. Sehingga dalam banyak hal mereka banyak mencontoh beliau termasuk dalam hal pemerintahan semuanya tetap mengikuti gaya kepemiminan Rasul sekalipun dalam beberapa segi terlihat berbeda tapi secara esensi adalah sama. Hal itu terkait erat dengan perbedaan kondisi sosio-cultural yang dihadapi oleh masing-masing khalifah yang empat ini dan terkait pula dengan kapasitas pribadi masing-masing. Walaupun secara kepribadian dan perilaku terkait dengan kearifan, kejujuran dan kebijakannya, para shahabat ini tidak dapat diragukan lagi karena mereka adalah para generasi terbaik umat.
 Institusi pemerintahan yang berada dibawah kepemimpinan para khalifah ini dikenal dengan istilah khilafah. Khilafah merupakan institusi pemerintahan islam yang berdasarkan pada ajaran al-Qur’an dan al-Hadith[1]. Walaupun pada masa-masa selanjutnya setelah pemerintahan khalifah yang empat juga menggunakan gelar khalifah, seperti kerajaan bani Umayyah, bani Abbasiyah, hingga kerajaan-kerajaan kecil seperti kerajaan Turki Uthmani, tapi pelaksanaan system khilafah sepenuhnya hanya berlaku pada masa pemerintahan khulafa’ al-rasyidun. Karena proses pengangkatan yang dilakukan pada masa-masa sesudahnya tidak lagi  dengan jalan musyawarah tapi dengan sistem pewarisan secara turun temurun. Sementara yang di contohkan Rasulullah adalah diupayakan adanya musyawarah dalam segala persoalan termasuk dalam hal kepemimpinan ini.
Ide khilafah ini muncul setelah secara mendesak dibutuhkan adanya kepemimpinan pengganti setelah wafatnya Rasulullah saw. System khilafah ini adalah gambaran bagi system pemerintahan yang berada dibawah pemimpin yang memimpin suatu komunitas besar  tanpa adanya tahta  atau  pangkat  tertentu sebagaimana system kerajaan di bawah  raja  pada masa-masa berikutnya yang biasa mendapat penghormatan, dan sanjungan yang tinggi dan memiliki otoritas penuh untuk membuat kebijakan apapun. Walaupun dalam kepemimpinan Rasulullah, beliau juga mungkin untuk berbuat yang sama tapi beliau lebih mengedepankan system persamaan antar sesama manusia. Sehingga antara pemimpin dan yang dipimpin tidak ada batasan tinggi rendah yang itu dilanjutkan oleh para pengganti beliau dengan tetap memegang teguh prinsip dasar yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an yang artinya: “sesungguhnya kemulyaan kalian di sisi Allah diukur atas nilai ketaqwaan kalian”.
Dikatakan bahwa masa khulafa’ al-rasyidun adalah masa keemasan islam yang sebenarnya (the age of the pious caliphs is the real golden age of islam)[2]. Karena  cukup banyak keberhasilan yang telah dicapai pada masa kepemimpinan para khalifah ini. Satu diantaranya yang paling monumental dan banyak memberikan efek yang besar bagi kemajuan peradaban manusia hingga sekarang adalah keberhasilan mereka dalam mengumpulkan lembaran-lembaran wahyu dan membukukannya menjadi satu mushaf al-Qur'an yang utuh. Al-Qur'an sebagai pegangan dan rujukan utama, yang dalam islam merupakan warisan paling berharga yang tak ternilai harganya. Disamping itu para khalifah telah merhasil menciptakan dasar-dasar tatanan pemerintahan demokatis yang baik yang oleh para ahli dinilai sudah sangat modern untuk zamannya terutama yang dilaksanakan pada masa pemerintahan umar. Walaupun begitu, harus disadari pula bahwa tidak sedikit juga ditemukan adanya kelemahan-kelemahan dalam masa kepemimpinan para khalifah, baik yang timbul dari diri khalifah sendiri,[3] dari kalangan umat islam dan dari pihak luar yang cukup mengganggu stabilitas mayarakat islam waktu itu. Hal itu terlihat pada beberapa contoh persoalan seperti munculnya kaum murtad pada masa Abu bakar, terbunuhnya Umar, nepotisme pada masa Uthman, dan perpecahan umat islam pada masa Ali. persoalan-persoalan itu bukanlah persoalan kecil yang hal itu nampaknya menjadi akar persoalan di masa-masa berikutnya.
Pembicaraan dalam makalah ini akan fokus pada dua khalifah pertama yaitu khalifah Abu bakar dan Umar mulai dari proses pengangkatannya hingga masa akhir jabatannya sebagai khalifah serta pengaruhnya pada perkembangan peradaban islam selanjutnya yang akan dibicarakan pada bagian-bagaian berikut.
Ω

KHALIFAH ABU BAKAR AL-SIDDIK

A.    Tentang Abu Bakar
Untuk lebih jauh berbicara tentang peranan Abu Bakar terutama sebagai khalifah harus lebih dulu sedikit banyak kita telusuri tentang latar belakang kehidupannya. Nama lengkap Abu bakar adalah Abdullah bin Uthman bin ‘Amir bin Ka’b bin Taim bin Murrah At Taimi.[4] Dalam buku yang lain dijelaskan bahwa nama lengkapnya adalah Abdullah ibnu Abi Quhafah al-Tamimi. Di masa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah (penyembah ka’bah), lalu ditukar oleh Nabi menjadi Abdullah mendapat kunyah Abu Bakar. Beliau diberi kunyah Abu Bakar karena dari pagi-pagi[5] telah masuk islam. Gelarnya al-Siddik (yang amat membenarkan). Diberi gelar itu karena amat segera membenarkan Rasul dalam berbagai macam peristiwa terutama peristiwa isra’ dan mi’raj.[6] Dia mendapat gelar al-‘Atiq karena pengorbanan harta bendanya di jalan Allah.[7]
Dia dilahirkan kira-kira dua tahun setengah setelah kelahiran Rasulullah[8] dari keturunan keluarga yang tidak begitu berpengaruh secara status social tapi mulia dalam perspektif nilai. Ayahnya adalah manusia biasa yang tidak begitu terkenal dikalangan masyarakat kota Makkah. Begitu juga suku Taim merupakan suku yang tidak berpengaruh.  Sebelum masuk islam dia adalah orang yang terkenal jujur dan tidak pernah melakukan tindakan tindakan sebagaimana yang telah membudaya di masyarakat jahiliyah waktu itu, seperti berjudi, minum khamer dan lain sebagainya. Bahkan beliau merasa sangat jijik terhadap perilaku-perilaku menyimpang mereka. Karena sejak kecil beliau terbiasa dididik dengan akhlaq yang baik.
Sebagai orang yang dilahirkan di keluarga pedagang juga, maka tidak diragukan lagi bahwa dia memiliki banyak pengalaman dalam dunia perdagangan. Pengalaman berdagangnya tidak hanya beliau lakukan di kawasan Arab saja bahkan sampai ke Palestina dan Syria. Dari aktivitas perniagaannya diketahui bahwa beliau pernah memiliki capital stock hingga mencapai empat puluh ribu dirham.[9] Dan semuanya beliau dermakan untuk kelanjutan perjuangan islam.[10] Dari harta yang beliau miliki pula, tidak sedikit budak yang telah beliau merdekakan termasuk Bilal sang Muaddhin.
Beliau berhenti melakukan kegiatan perdagangan setelah beliau masuk islam. Beliau fokuskan segala perhatian dalam hidupnya membantu Rasulullah sepenuhnya dalam menyebarkan islam. Tatakala islam datang Rasulullah lebih tertarik kepada Abu Bakar ketimbang yang lainnya. Dia begitu tulus dalam menemani Rasulullah sehingga tidak sedikitpun dia pernah meragukan apa yang disampaikan oleh beliau sampai Rasulullah menamainya al-Siddik. Pada saat Rasulullah hijrah yang pertama ke Madinah beliau adalah orang yang pertama pula yang menemani Rasul. Dapat dipastikan dimana ada Rasulullah tentunya di sana juga ada Abu Bakar. Sehingga akhlaq beliau tercermin dalam sikap dan kepribadian Abu Bakar.
Para sejarawan sepakat bahwa dia tidak pernah absen dari menghadiri seluruh peristiwa yang dilalui Rasulullah. Dia termasuk orang-orang yang tetap bersama Rasulullah dalam peristiwa yang terjadi saat perang Uhud dan perang Hunain.[11] Pada waktu Rasulullah sakit beliau pula yang diperintahkan untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat yang kemudian atas dasar ini pulalah sebagaian shahabat memilih dan menyetujui Abu Bakar sebagai pengganti Rasul setelah Rasulullah saw. wafat.

B.    Pengangkatan Abu Bakar Menjadi Khalifah
Setelah Rasulullah wafat orang-orang islam merasa perlu adanya pengganti Rasul sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin Negara. Karena adanya pertimbangan apabila tidak dilakukan pergantian kepemimpinan dengan segera, maka keberadaan madinah sebagai basis umat islam berada dalam ancaman. Oleh karena Rasulullah tidak pernah meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan dijadikan pengganti beliau, maka terjadi perselisihan di antara kaum Ansar dan Muhajirin.
Waktu itu kaum Ansar beranggapan bahwa setelah meninggalnya Rasulullah kaum Muhajirin akan pulang ke Makkah, maka berkumpullah sebagian golongan Ansar di Saqifah bani Sa’idah[12]guna memba’iat Sa’d bin Ubadah seorang pemimpin kaum Khasraj yang berpengaruh untuk menjabat sebagai khalifah. Kemudian datanglah sekelompok kaum Muhajirin dan terjadilah adu debat diantara kedua kelompok, dan masing-masing saling mengemukakan argument untuk mendukung pendapat mereka. Hampir saja terjadi sengketa sengit diantara kedua kelompok. Kaum Muhajirin mengemukakan slogan yang di klaim sebagai hadith Nabi untuk menguatkan argumennya yaitu “al-aimmah min Quraisy, nahnu al-khulafa wa antum wuzara” (pemimpin itu dari etnis Quraisy, kami khalifahnya dan kalian mentrinya).[13] Hingga waktu Abu Bakar tampil dan menyampaikan pernyataannya yang secara inti menyatakan bahwa urusan khalifah adalah urusan orang Quraisy dan segala urusan tidak akan berjalan dengan baik dan mulus kecuali kepemimpinan dipegang oleh orang Quraisy. Disamping itu alasan Abu Bakar yang kedua yang dianggap lebih logis adalah apabila jabatan khalifah dipegang oleh kaum ansar tentunya dari salah seorang dari suku Aus atau Khasraj. Ketika dipilih salah seorang dari suku Aus maka akan memunculkan persaingan di kalangan suku khasraj dan begitu juga apabila jabatan itu dipegang oleh seorang dari suku khasraj maka akan memunculkan persaingan dari kalangan suku Aus.
Orang-orang Ansar mengusulkan agar pucuk kekuasaan dipegang secara bergilir, pertama kali dipegang oleh seorang dari Muhajirin dan berikutnya dipegang oleh seorang Ansar, demikian selanjutnya. Usulan lain menyatakan bahwa di kalangan Muhajirin ada seorang pemimpin dan dari Ansar ada seorang pemimpin.[14] Namun semua usulan ditolak dengan tegas.
Perlu digarisbawahi dari pernyataan pertama yang disampaikan Abu Bakar dan dari penolakan semua usulan tanpa adanya pertimbangan lain itu beliau terkesan a priori dan cenderung mendeskreditkan pihak Ansar. Yang mana pernyataan pertama itu akan cenderung menyebabkan persoalan diantara Muhajirin dan Ansar dan cenderung membeda-bedakan keduanya. walaupun apa yang disampaikan Abu bakar tersebut terkesan timpang tapi untuk sementara telah cukup meredakan persengketaan yang hampir memunculkan kerusuhan itu dengan mereka mau menerima pendapat Abu Bakar itu. Dan semua itu juga di setujui oleh Umar bin Khattab. Kemudian Umar tampil kedepan dan membaiat Abu bakar sebagai Khalifah nabi dan diikuti oleh yang lainya yang hadir di balai pertemuan bani Sa’idah itu. Baru keesokan harinya abu Bakar duduk di atas mimbar masjid nabawi dan sejumlah besar umat islam membai’atnya.[15] Kecuali Ali bin Abi Tallib dan beberapa orang shahabat lainnya karena waktu itu sedang sibuk mengurus pemakaman Rasulullah. Dengan pembai’atan itu terlintas dalam diri Ali bin Abi Tallib bahwa Abu Bakar dan Orang-orang yang membai’atnya mengabaikan posisi dia dan haknya[16]. Sementara Ali sendiri pernah mengklaim bahwa dirinyalah yang lebih berhak menggantikan Rasulullah karena dia adalah keluarganya dan lebih dekat dengan Rasul.[17]
Kalau para pendukung khalifah abu Bakar mendasarkan pengangkatannya pada perintah terhadapnya untuk menggantikan Rasulullah untuk menjadi imam shalat, demikian pula klaim Ali terhadap hak dirinya untuk menjadi khalifah dapat pula dibenarkan. Hal ini didasarkan pada adanya riwayat dari Ibnu Ishaq bahwa pada suatu hari Rasululah telah memberitahu para shahabatnya bahwa “Dia (Ali) adalah imam, saudaraku, penggantiku, dan khalifahku. Maka hendaklah kamu sekalian dengar dan patuh kepadanya”.[18]
Dengan memperhatikan hadith di atas maka yang lebih berhak menggantikan Rasulullah adalah Ali. Karena secara garis kekeluargaan Ali memang lebih dekat dengan Rasulullah. Inilah sebenarnya yang menjadi titik awal pengingkaran kaum syiah atas kekhalifahan selain khalifah Ali bin Abi Tallib. Tapi penjelasan al-Qur’an untuk selalu mengedepankan musyawarah (jalur demokrasi) dalam setiap persoalan lebih mendominasi tindakan para shahabat dan pembai’atan Abu Bakar adalah sah. Rasulullah sendiri tidak pernah secara tegas menyatakan tentang siapa yang akan di jadikan pengganti beliau. Sehingga hasil kesepakatan sebagian besar umat islam menyetujui Abu bakar untuk menjadi khalifah.
Setelah Abu bakar ditetapkan sebagai khalifah dengan dibai’at oleh sebagian besar kaum muslimin termasuk kaum Ansar sendiri yang telah kalah dalam diplomasi politik di Saqifah bani Sa’idah, bukan berarti kondisi politik sudah stabil. Malah gelombang protes masih muncul dari sebagian kalangan Ansar. Mereka masih bersikukuh perlunya menciptakan keseimbangan peran politik antara penduduk asli madinah dan kaum pendatang. Mencermati kondisi politik yang masih memanas, Umar sebagai pendukung utama pembai’atan Abu Bakar merasa bertanggung jawab menjaga stabilitas Negara dengan menghadapi setiap protes dengan tindakan represif. Sosok Umar yang sejak awal disegani di semua kalangan cukup memberikan pengaruh sehingga gelombang protes mulai dapat di kendalikan.
Setelah kondisi masyarakat madinah dapat distabilkan, secara resmi Abu Bakar tampil sebagai pengganti Rasulullah pertama yang secara perlahan posisinya semakin kokoh walaupun waktu itu Ali sendiri masih belum membai’at beliau. Dalam pidato kekhalifahannya beliau menjelaskan tentang siasat pemerintahannya yang akan beliau jalankan. Dalam pidatonya beliau menyampaikan:
wahai manusia! Saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka, jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah. Orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah hinggga aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedang orang yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasulnya, tetapi bilamana aku tidak taat kepada Allah dan Rasulnya kamu tidak perlu mentaatiku.[19]
C.   Persoalan-Persoalan Yang Timbul Pada Masa Khalifah Abu bakar
Setelah Rasulullah wafat, mulai muncul berbagai persoalan di kalangan umat islam. Tidak hanya persoalan seputar siapa yang akan menggantikan kepemimpinan Rasulullah, akan tetapi persoalan-persoalan lain menyangkut syariah, aqidah termasuk juga siyasah (politik). karena saat Nabi Muhammad masih hidup semuanya berjalan dengan tanpa mengalami persoalan. Fungsi ganda Rasulullah di dunia disamping sebagai pemimpin keagamaan dan sebagai pemimpin pemerintahan berjalan seimbang tanpa terjadi dominasi diantara keduanya.[20]
Namun, setelah wafatnya Rasulullah secara otomatis peran ganda Rasulullah menjadi tidak efektif. Khalifah Abu Bakar sebagai khalifah pertama - termasuk pula khalifah-khalifah berikutnya - lebih banyak berperan sebagai pemimpin Negara daripada sebagai pemimpin keagamaan. Hal itu disebabkan hilangnya otoritas penuh para shahabat terhadap interpretasi teks-teks keagamaan sebagaimana otoritas yang dimiliki Rasulullah, dan disebabkan pula oleh kesetaraan tingkat intelektualitas khalifah dengan shahabat-shahabat lainnya.
Ketika khalifah hanya tampil sebagai pemimpin Negara tidak sebagai pemimpin keagamanan juga, yang terjadi adalah kesan adanya pemisahan antara agama dan Negara. Padahal keduanya adalah dua sisi mata uang yang harus selalu menyatu. Sementara pula persoalan Negara tanpa melibatkan peranan agama, maka persoalan tersebut sulit untuk dapat diselesaikan dengan baik. 
Walaupun Rasulullah telah mewariskan al-Qur’an dan Hadith sebagai pegangan dan rujukan bagi setiap persoalan yang terjadi tapi teks-teks yang ada itu sarat dengan interpretasi. Sehingga apabila terjadi perbedaan interpretasi terhadap suatu teks maka sulit menentukan yang mana interpretasi yang dianggap benar dan harus diikuti. Salah satu contoh dari perbedaan dalam memahami teks adalah timbulnya gelombang penolakan untuk membayar zakat oleh sebagian kelompok. Landasan penolakan itu karena mereka memahami kata “Khudz” (ambillah/pungutlah) pada surat al-Taubah: 103[21] hanya tertentu kepada Rasul sementara selain Rasul tidak berhak untuk mengambil zakat, dan menurut paham mereka pemungutan yang dilakukan Rasul saja yang dapat membersihkan dan menghapus kesalahan.[22] Persoalan tersebut sebenarnya adalah persoalan syariah yang kemudian merembet pada persoalan politik.
Persoalan lain yang menarik adalah status tanah fada’, seperlima rampasan Khaibar dan beberapa peninggalan nabi Muhammad saw. di Madinah. Kasus ini cukup menyita perhatian publik karena melibatkan Fatimah binti Muhammad  saw. dan khalifah Abu Bakar. Di satu sisi Fatimah yakin punya hak atas kepemilikan tanah yang ditinggalkan Rasulullah. Sedangkan di sisi lain Abu Bakar dengan kekuasaannya berpendapat bahwa nabi Muhammad saw. tidak mewariskan apapun selain al-Qur’an dan al-Hadith. Kasus ini dimenangkan oleh Negara. Tetapi perlawanan argumentatif  Fatimah al-Zahrah telah menggambarkan ketidak efektifan peran kepemimpinan keagamaan Abu bakar.[23] Berbagai macam  interpretasi atas teks-teks keagamaan ini terus berlanjut dan tak jarang melibatkan unsur kekuasaan. Contoh persoalan diatas pada mulanya hanyalah persoalan beda penafsiran atas naskah hadith yang kemudian memasuki ranah politik. Sikap tegas khalifah Abu Bakar atas kekayaan Rasulullah di respon Fatimah dengan tindakan melakukan delegitimasi terhadap kekhalifahan Abu Bakar dengan cara tidak memberikan bai’at sampai akhir hayatnya. Sebagaiman juga yang dilakukan Ali walaupun mutivasinya berbeda.
Dengan kasus di atas, seakan mendapatkan legitimasi dan menganggap sebagai tindakan yang wajar, beberapa kelompok Arab yang masih lemah imannya dan masih mempertahankan fanatisme kesukuan juga mulai menampakkan sikap konfrontatif terhadap khalifah Abu Bakar. Sehingga tidak lama setelah dilantiknya Abu Bakar menjadi khalifah, terjadi gelombang sikap keluar dari islam (murtad) yang dilakukan oleh hampir seluruh kabilah Arab kecuali Madinah, Makkah dan Thaif.[24] Selain itu gelombang penolakan membayar pajak sebagaimana telah di jelaskan diatas dan munculnya nabi-nabi palsu dengan para pengikutnya dalam jumlah besar yang itu merupakan bagian dari rentetan persoalan yang merupakan pembangkangan yang cukup radikal yang secara otomatis merupakan pernyataan sikap tidak tunduk lagi kepada khalifah.
D.  Langkah dan Kebijakan Pemerintahan Abu Bakar
Walaupun masa pemerintahannya hanya berlangsung selama dua tahun lebih, tapi sebagai sosok yang piawai dan telah banyak mengenyam pengalaman sejak sekian lama, cukup banyak yang diperbuat oleh Abu Bakar (kalau tidak mau mengatakan suatu keberhasilan) terkait kebijakan pemerintahan yang dijalankannya.
Selama masa pemerintahannya, beliau lebih banyak menangani stabilitas dalam negeri yang waktu itu mulai digoyang. Munculnya gelombang riddah,[25] para pembangkang yang tidak mau membayar zakat dan para pengaku nabi cukup menyita perhatian beliau. Di dalam menghadapi kesulitan yang memuncak inilah tampak kebesaran jiwa dan ketabahan Abu Bakar. Dengan tegas dia menyatakan seraya bersumpah bahwa beliau akan memerangi semua golongan yang telah menyeleweng dari kebenaran, baik yang murtad, yang mengaku nabi maupun yang tidak mau membayar zakat, sehingga semuanya kembali kepada jalan kebenaran atau beliau gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah.[26]
Pernyataan tersebut mengandung tekad yang kuat. Beliau tunjukkan dengan meneruskan pengiriman tentara Usamah sesuai dengan pesan Rasulullah yang menurut istilah modern serangan untuk menghajar agar kabilah-kabilah yang mengacau di jalan antara Hijaz dan Syam menjadi jera dan untuk mengamankan jalan itu dan mengamankan kehebatan islam dan jiwa kabilah-kabilah itu.[27]
Pengiriman pasukan Usamah dinilai lebih sebagai bentuk taktik dan kebijakan politik ketimbang sebagai upaya pertahanan. Karena dengan diberangkatkannya pasukan Usamah menunjukkan bahwa kekuatan islam masih tetap kokoh. Secara psykologis ini akan memunculkan rasa ciut terhadap musuh-musuh  islam. Dan ternyata pasukan islam dengan segala kesulitannya mampu menumpas pemberontakan kaum murtad dengan segala resikonya mendapatkan kemenangan yang gemilang   dan berhasil mengembalikan  mereka pada jalan yang benar sementara banyak dari para pemimpin mereka yang terbunuh seperti Musailamah.
Setelah kondisi di tanah Arab dapat dipulihkan, perjuangan terus dilanjutkan untuk memperteguh kedudukan umat islam. Perjuang tersebut dilanjutkan untuk melawan kedua kekuatan besar Persia dan Rumawi yang selama itu berambisi untuk menghancurkan islam yang pada akhirnya pasukan muslim mampu mendobrak perbatasan Perisa dan Romawi itu dengan segala kehebatan dan ketangguhannya walaupun puncak kemenangannya sebenarnya terjadi pada masa pemerintahan Umar.
Dalam berbagai peperangan yang terjadi terutama dalam perang Yamamah banyak dari kaum muslimin yang shahid termasuk pula diantaranya para penghafal al-Qur’an dan dikhawatirkan semakin banyak pula yang akan shahid dalam perang melawan Persia dan Romawi. Atas pertimbangan itu, Umar menyarankan agar Abu Bakar mengambil inisiatif untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf. Walaupun awalnya beliau juga ragu karena beliau berfikir tidak mungkin untuk melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah, tapi pada akhirnya, saran itu beliau turuti lalu ia memusatkan seluruh perhatiannya pada pekerjaan besar itu dan menurut pendapat yang mashhur, ketika kekhalifahannya berakhir al-Qur’an sudah selesai ditulis dalam mushaf.[28]
Sekalipun Allah telah menjamin keutuhannya, tapi tindakan yang dilakukan Abu Bakar atas inisiatif umar ini merupakan tindakan antisipatif yang patut di hargai. Dengan dikumpulkannya al-Qur’an menjadi satu mushaf - walaupun belum dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan sebagaimana yang dilakukan pada masa Uthman - telah memberikan sumbangan berharga bagi peradaban islam selanjutnya. Karena al-Qur’an adalah satu-satunya rujukan utama bagi perkembangan peradaban untuk masa-masa berikutnya.
Sosok khalifah Abu Bakar yang arif dan sarat pengalaman pada akhirnya mampu mengendalikan keadaan dan mengembalikan kondisi Negara seperti semula. Masa transisi tentu menyisakan catatan penting bahwa sisi siyasah (politik) umat islam mulai ternoda meskipun secara aqidah dan syariah masih tetap utuh dan terjaga.
E.   Akhir Pemerintahan dan Wafatnya Abu Bakar
Masa pemerintahan abu Bakar berakhir dengan wafatnya beliau. Peristiwa wafatnya Abu Bakar terjadi pada saat pasukan kaum Muslimin sedang terlibat peperangan sengit di pinggiran sungai Yordania yang dikenal dengan Yarmuk yang dipimpin oleh panglima Khalid bin Walid yang terjadi pada tanggal 13 H/634 M.[29]
Sekalipun masa pemerintahannya cukup singkat dan di masa-masa awal pemerintahannya banyak diwarnai dengan berbagai persoalan yang rumit, tetapi berkat tekadnya yang kuat, keteguhan hatinya dan keimanannya yang kokoh beliau mampu mengatasinya dengan sangat baik. Para pemberontak dari kaum murtad dapat beliau tumpas, perluasan islam dapat diwujudkan bahkan beliau mampu menyelesaikan tugas besar dalam upaya pembukuan al-Qur’an. 
Satu hal yang perlu di catat bahwa dalam masa kekhalifahannya Abu Bakar tidak hanya melakukan langkah-langkah kebijakan seperti yang dilakukan di atas. Disamping itu pula beliau sering kali meneliti berita-berita tentang para pejabat dan bertanya langsung kepada rakyat kalau-kalau ada yang mendapat perlakuan tidak adil. Kalau ia mendapatkannya maka ia akan membantu si teraniaya menurut cara yang sudah di gariskannya, yaitu bahwa seorang pembesar itu sama kedudukannya dengan rakyat biasa sehingga ia mengambil dari padanya hak-hak si teraniaya.[30]
Kebijaksanaannya dalam memimpin Negara dan kelihaiannya dalam menangani setiap masalah yang dihadapi termasuk jasa-jasanya dalam menyebarkan islam telah memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan peradaban islam. Walaupun juga tidak dapat dipungkiri bahwa melihat posisinya sebagai manusia biasa dia juga telah ikut andil dalam menciptakan benih-benih pertentang yang terjadi di masa-masa selanjutnya. Karena yang pasti hingga akhir kepemimpinannya masih banyak yang tidak mengakui posisinya sebagai khalifah Rasulullah yang pertama.
Ω

KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB

A.    Tentang Khalifah Umar Bin Khattab
Umar bin Khattab adalah khalifah kedua setelah Abu Bakar. Ia dikenal dengan Umar al-Faruq. Nama lengkapnya adalah Umar Ibnu Al-Khattab Bin Nufail Bin Abd. Al-Uzza Bin Ribah Bin Abdullah Bin Qurat Bin Zurah Bin ‘Adi Bin Ka’ab Bin Luway Bin Fihr Bin Malik. Pada garis lurus Umar adalah keturunan ‘Adi yang mempunyai saudara laki-laki bernama Murrah dan ia adalah nenek moyang nabi. Jadi dapat dilihat bahwa garis keturunan masing-masing dari umar dan nabi berkonvergensi pada derajad ke delapan.[31]Sebelum masuk islam dia adalah orang yang sangat memusuhi islam dan kaum muslimin. Sosoknya yang keras dan pemberani menjadikannya sebagai orang yang sangat disegani dan ditakuti di kalangan kaum Quraisy termasuk orang-orang yang telah memeluk islam.Tidak segan-segan dia menyiksa siapa saja yang diketahui masuk islam termasuk budak gadisnya sendiri yang bernama Labinah.  
Seperti diketahui bahwa pada masa-masa awal pertumbuhan islam, umat islam sangat lemah dan membutuhkan dukungan yang kuat. Maka dari itu Rasulullah pernah berdo’a: “ya Allah kuatkanlah islam dengan salah satu dua Umar yaitu Amr ibnu al-Hisyam(Abu jahl) dan Umar Ibnu al-Khattab”. Do’a nabi ini terkabul setelah lima tahun kerasulan nabi Muhammad.[32] Ada yang mengatakan masuk islamnya Umar terjadi pada tahun ke enam kenabian.[33]
Proses awal masuk islamnya Umar berawal dari niatnya membunuh Rasululah hingga pertemuannya dengan Na’im bin Mas’ud yang mengabarkan bahwa adik perempuannya beserta adik iparnya telah masuk islam. Dengan hati geram dia mendatangi rumah adiknya dan di sana dia mendapati Khabbab sedang membacakan ayat al-Qur’an kepada adiknya. Dengan hati yang diliputi amarah dia memukul adik iparnya yaitu Said bin Zaid dan adiknya sendiri hingga berdarah. Melihat keteguhan pendirian yang terlihat dalam diri saudaranya tergugahlah hatinya untuk mengetahui apa yang tadi dibaca. Setelah dia membaca sendiri lembaran ayat suci al-Qur’an itu, semakin mantaplah hatinya untuk memeluk islam. Dengan diantar Khabbab dia menghadap Rasulullah dan menyatakan keislamannya.
Dengan masuknya Umar kedalam islam merupakan babak baru bagi penyebaran Islam. Umar yang dulunya keras terhadap mereka yang memeluk islam sekarang berbelok arah menentang  dengan  keras  terhadap orang-orang yang memusuhi islam. Abdullah bin Mas’ud berkata: “sesungguhnya masuk islamnya umar adalah penaklukan, hijarahnya adalah sebuah kemenangan dan pemerintahannya adalah rahmat”.[34] Yang pada awalnya umat islam tidak berani melaksanakan ajaran islam secara terang-terangan, dengan tampilnya umar, umat islam mulai berani dan penyebaran islam pun tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bahkan dengan keberaniannya Umar shalat secara terang-terangan di depan ka’bah. Pada waktu kaum muslimin hendak berhijrah ke Madinah, dialah orang pertama yang melakukan hijrah secara terang-terangan.
Sebagai salah seorang sahabat yang setia dia adalah orang yang sangat mencintai dan melindungi Rasulullah. Seperti halnya Abu Bakar dia adalah shabat yang sangat dekat dengan Rasul dan selalu mendampingi beliau. Karena dekatnya dan cintanya kepada Rasulullah, mendengar berita wafatnya Rasulullah spontan dia mencabut pedangnya dan mengancam bahwa siapa yang mengatakan Muhammad telah meninggal akan dipenggal lehernya, kaki dan tangannya sampai Abu Bakar menyadarkannya dengan perkataannya yang bijak bahwa “siapa yang menyembah Muhammad sesungguhnya Muhammad telah meninggal dan siapa yang menyembah Allah sesungguhnya Allah tidak akan pernah mati”.  
Disamping itu dia juga termasuk shahabat yang menjadi teman diskusi bagi Rasulullah dalam setiap persoalan baik yang menyangut persoalan agama ataupun persoalan Negara. Seringkali pula Umar berbeda pendapat dengan Rasul dan pendapat Umar seringkali juga mendapat pembenaran dari Allah. Dari hal itu dapat diketahui bahwa sosok Umar adalah sosok shahabat yang cerdas, peka dan memiliki pandangan jauh kedepan. Sehingga tidak heran kalau di masa pemerintahannya islam mengalami suatu bentuk kemajuan yang sangat fantastis sepanjang periode Khulafa’ al-Rasyidun.

B.    Pengangkatan Umar Menjadi Khalifah
Sepeninggal Abu bakar kursi kekhalifahan diserahkan kepada Umar bin Khattab. Proses pengangkatan Umar sebagai Khalifah berbeda dengan proses yang terjadi pada masa Abu bakar. Karena ketika Abu bakar merasa bahwa ajalnya sudah dekat beliau merasa khawatir akan adanya percekcokan dan perpecahan dikalangan umat islam karena memperebutkan jabatan khalifah seperti yang terjadi sebelum beliau diangkat menjadi khalifah. Sementara waktu itu umat islam sedang mengahadapi perang besar melawan pasukan Persia dan Romawi dan sangat membutuhkan persatuan yang utuh.
Apabila kegoncangan terjadi akibat perebutan itu, maka akan mengancam keberadaan islam. Karena perkiraan Abu Bakar apabila hal itu di biarkan dapat dipastikan sebagaian tentara muslim akan mendukung calon yang satunya, sedang sebagian yang lain akan mendukung calon yang lainnya. Jika hal itu terus dibiarkan, pasti kekuatan islam akan tergoyahkan. Oleh karenanya, Abu Bakar memperhatikan para shahabatnya untuk dipilih siapa diantara mereka seorsng laki-laki yang tegas tetapi tidak kejam dan lembut tapi tidak lemah. Kemudian dia mendapatkan diantara mereka sifat-sifat yang menjsdi kriteria pilihannya adalah salah satu diantara Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Tallib. Hanya saja yang pertama dalam menyelesaikan dan mengatasi sesuatu mengacu pada konsep biarkan airnya tetap bening namun ikannya tetap didapat, sedang yang kedua mengacu pada konsep sekali hitam harus tetap dikatakan hitam seberat apapun resikonya. Dengan demikian menurut penilaian Abu Bakar yang kedua cenderung dalam mengatasi masalah lebih memilih jalan tegas dari pada jalan halus.[35]
Penilaian Abu Bakar terhadap Umar sebenarnya tidak terlalu berlebihan. Salah satu gambara sikap halusnya dalam menyikapi sebuah masalah tergambar dalam pernyataannya pada saat Abu Bakar menyatakan dengan tegas akan menumpas dan memerangi semua orang murtad. Beliau menyatakan “hai khalifah Rasulullah, perlakukanlah manusia dengan baik dan kasihanilah mereka. Bagaimana engkau memerangi mereka sedangkan Rasulullah saw. telah bersabda bahwa “aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan la ilaha illallah. Barang siapa yang mengucapkan la ilaha illallah maka terpeliharalah jiwanya dan hartanya kecuali dengan alasan yang benar.[36] Sikap tersebut menunjukkan bahwa sifat lembut Umar dapat terlihat pada hal-hal tertentu begitu pula sikap keras Abu Bakar juga terlihat pada hal-hal tertentu.
Setelah melalui berbagai pertimbangan dan dengan meminta pendapat dari shahabat-shahabat terkemuka lainnya akhirnya pilihan terletak pada diri Umar bin Khattab. Dengan pilihan itu maka dibai’atlah umar sebagai khalifah kedua. Walau bagaimanapun, Pembai’atan Umar sebagai khalifah juga melalui proses musyawarah sebagaimana pengangkatan dirinya.  Pertanyaannya, apakah jatuhnya pilihan Abu Bakar terhadap Umar sebagai khalifah kedua bukan karena rasa sentiment pribadi Abu Bakar terhadap Ali karena tidak secara langsung membai’atnya? Atau apakah penunjukan itu juga tidak akan memunculkan sentiment tersendiri bagi pribadi Ali yang dalam dua fase kepemimpinan selalu tersingkir?. sebenarnya, sebagai orang yang arif, jujur dan terpercaya,  Abu bakar terpelihara dari sifat-sifat yang demikian. Hal itu dapat dilihat dalam pidato pengangkatannya bahwa beliau mengakui akan ketidak pantasan dirinya atas jabatan itu dan pengakuannya bahwa beliau bukanlah orang terbaik diantara para shahabat. Dalam hal itu kejujuran dan ketulusan Abu Bakar tidak dapat diragukan.
Dalam posisinya sebagai manusia biasa pernah juga Ali merasa haknya diabaikan. Terbukti pada zaman khalifah Abu bakar, Ali baru membai’atnya setelah masa enam bulan kepemimpinannya. Tapi dengan melihat posisinya juga sebagai shahabat yang memiliki keimanan yang teguh, ilmu yang luas dan kepribadian dan jiwa yang berakhlaq mulia, yang pasti seluruh sikap dan hatinya lebih banyak tercerahkan oleh keimanannya sehingga beliau akan lebih mengedepankan kemaslahatan bersama dan kepentingan umat ketimbang ambisi dirinya.
Said agil Siradj menambahkan, Ali juga sempat mempertanyakan penunjukan Umar bin Khattab. Tapi diplomasi Umar bin Khattab mampu mengatasi percik-percik perbedaan tafsir pola suksesi tersebut. Umar bin Khattab pun secara terbuka pernah mengatakan, “law la Ali lahalaka Umar” (jika tidak ada Ali maka hancurlah Umar). Selama memegang tampuk kekuasaan umar juga sering berkonsultasi dengan Ali dalam menyelesaikan persoalan besar kenegaraan.[37] Dengan demikian secara formalitas kekhalifahan, kedudukan Umar dan Ali berbeda tapi secara peran keduanya adalah sama.

C.   Kekhalifahan Umar Dan Kemajuan Yang Dicapai
Dengan terpilihnya umar sebagai khalifah Rasul kedua berarti islam memasuki fase baru, fase di mana sejarah telah mencatat bahwa di masa itu islam mengalami banyak kemajuan yang sangat berarti. Pribadi Umar yang yang tegas dan jujur telah mampu membawa dunia islam mencapai puncak keberhasilan dalam berbagai sektor kehidupan. Khalifah Umar telah banyak melakukan kerja-kerja besar. Sehingga tidak berlebihan kalau pada masa Umar disebut sebagai masa keemasan periode Khulafa’ al-Rasyidun.
Berbeda sekali dengan pada masa pemerintahan Abu bakar yang sejak awal diwarnai dengan banyaknya persoalan, pada masa pemereintahan Umar kondisinya relatif lebih stabil. Sehingga, pemerintahannya lebih banyak fokus pada hal-hal yang menyangkut kemajuan islam. Dalam upaya memperluas wilayah kekuasaan islam, Umar berupaya keras memperluas pengaruhnya dengan melakukan berbagai penaklukan dan ekspansi ke luar wilayah Arab. Kemenangan islam melawan dua kekuatan adi daya yang belum tercapai sepenuhnya pada masa Abu Bakar dapat diraihnya pada masa Umar bahkan banyak wilayah-wilayah lain yang dapat ditaklukannya.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan wilayah yang ditaklukkan Umar bin Khattab mencapai 2.251.030 mil persegi, membentang dari wilayah Makkah 1.036 mil ke utara, 1.087 mil ke timur, dan 483 mil ke selatan. Di arah barat negeri itu hanya membentang sampai ke Jeddah. Sementara wilayah-wilayah yang sangat luas meliputi negeri-negeri Suriah, Mesir, Khuzistan, Irak, Armenia, Adzarbaijan, Fars, Kirman Khurasan dan Makran termasuk bagian-bagian Buluchistan, Asia Kecil yang oleh orang Arab disebut Rum diserbu dalam tahun 20 H.[38] Jelasnya, daerah kekuasaan islam pada masa Umar membentang hingga ke perbatasan Sempadan india di sebelah timur dan ke afrika utara dan Mediteranian di sebelah baratnya.[39] Dengan ekspansi besar-besaran ini dan dengan segala keberhasilannya memberikan pengaruh yang sangat besar bagi dunia islam dan bagi pandangan dunia terhadap islam. Disamping itu cahaya Islam tidak hanya memancar di dunia Arab saja tapi pada dunia luar yang berada di bawah kekuasaannya.
Hal yang perlu di catat bahwa penaklukan yang dilakukan oleh kaum muslimin tidak sebagaimana yang dilakukan oleh Jengis Khan yang penuh dengan penyimpangan dan kebiadaban. Bahkan penaklukan oleh umat islam-dengan meminjam bahasa Norcholish Madjid-sebenarnya bukanlah penaklukan melainkan pembebasan (fath) manusia dari segala kedzaliman menuju keadilan, pembebasan dari kegelapan menuju kebenaran, dan pembebasan dari penindasan menuju penghormatan terhadap nilai kemanusiaan. Dia menjelaskan bahwa tentara Islam ketika keluar dari Jazirah Arabia, mereka melakukan ekspedisi meliter dan ekspansi politik sebenaranya bukanlah untuk tujuan penaklukan malainkan untuk tujuan pembebasan.[40]
Terdapat dua alasan utama yang menjadi rahasia dari setiap kemenangan yang diraih umat islam dalam setiap ekspedisi dan ekspansi. Pertama adalah karena keterbukaan dan penghargaan yang diberikan bagi kelompok yang lemah dan tertindas. Seperti ketika melawan tentara Persia yang lalim umat islam dengan cukup mudah mendapat kemenangan karena satu-satunya tumpuan kekuatan Persia adalah tentara dan pasukannya tanpa adanya dukungan dari rakyatnya sehingga menyebabkan kekalahan berpihak terhadapnya. Sementara kaum muslimin dengan segala toleransi dan keterbukaannya mendapat dukungan yang besar  dan diterima sebagai penguasa oleh semua pihak. Kedua adalah karena semangat yang besar dari umat islam secara umum dan dari Umar sebagai seorang pemimpin secara khusus. Gelora semangat, keteguhan, keuletan, ketabahan dan keberanian yang telah ditanamkan hati suci, kemudian oleh Umar dipertajam dan diperkokoh dengan pembawaan dan perawakannya.
Jadi, dengan ditaklukannya berbagai wilayah pada masa pemerintahan Umar menjadikan kekuasaan islam semakin luas dan semakin berpengaruh. Dengan demikian pula dituntut adanya manajemen pemerintahan yang baik guna mengatur pemerintahan di masing-masing wilayah. Dengan begitu pemerintahan yang efektif tetap terlaksana dan berjalan dengan baik. Usaha selanjutnya yang dilakukan adalah dengan membagi wilayah-wilayah yang ada kedalam beberapa bagian. Dan pada masing-masing wilayah diangkat beberapa orang pegawai yang bertugas yang terdiri dari seorang gubernor dan seorang setia usaha yang dibantu oleh beberapa orang pegawai seperti badan ketentaraan (katib al-duwan), percukaian (sahib al-kharaj), pegawai polisi (sahib al-syurtah), pegawai perbendaharaan Negara (sahib bait al-mal), dan seorang hakim.[41]  
Para pejabat ini diangkat secara resmi oleh khalifah dengan tugas masing-masing yang telah diberikan. Sebelum dilantik semua pegawai diperiksa jumlah kekayaannya sebagai antisipasi adanya penyalah gunaan wewenang kekuasaan. Hal yang sangat menarik pula adalah setiap pejabat dilarang menunggangi tunggangan yang mewah, dilarang memakai pakaian mewah, dilarang menggunakan pengawal, dan harus melayani rakyat kapanpun dibutuhkan. Kebijakan ini adalah suatu wujud demokrasi yang nyata yang pro terhadap kepentingan umat yang telah diwujudkan oleh Umar.
Disamping usaha-usaha diatas tidak kalah pentingnya adalah usaha dalam memajukan bidang pendidikan. Khalifah Umar sangat menaruh perhatian yang besar terhadap pendidikan. Perhatiannya ini beliau wujudkan dengan usaha pengkajian al-Qur’an diseluruh kawasan islam.[42] Upaya-upaya besar lainnya yang dilakukan oleh khalifah Umar adalah pendirian baitul mal sebagai badan yang mengatur keuangan dan asset negara, penetapan tahun kalender hijriyah yang dimulai pada 1 muharram, pelaksanaan system penggajian pegawai dan tentara, pembentukan badan pengambilan tentara, pembentukan badan peradilan yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan yang merujuk langsung pada al-Qur’an, pendirian masjid-masjid sebagai tempat ibadah, pusat musyawarah dan pusat penyatuan masyarakat islam, melanjutkan usaha pengumpulan al-Qur’an, dan pembentukan tim formatur atau majlis syura yang dikenal dengan Ahlul Halli Wal ‘Aqdi yang bertugas menangani pengangkatan khalifah, dan lain sebagainya. Semua gambaran usaha itu  merupakan wujud kemajuan dan keberhasilan dalam masa pemerintahan Umar, keberhasilan yang pada akhirnya mengantarkan dirinya pada posisi yang terancam karena banyak pihak-pihak yang tidak menyukai keberhasilan dan kejayaan islam dan merasa iri terhadap keberhasilan masa kekhalifahan Umar terutama dari musuh-musuh islam.

D.  Meninggalnya Umar
Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa berbagai kemajuan yang telah diciptakan pada masa kekhalifahannya memunculkan rasa tidak suka dan kecemburuan dari orang-orang non-muslim. Atas motif inilah mereka berusaha melakukan penyingkiran secara fisik terhadap khalifah. Dalam aksinya mereka berkoalisi dengan orang-orang munafik (termasuk dari sebagian suku Umayah).[43] Puncaknya pada waktu khalifah melaksanakan shalat subuh  pada hari rabu tanggal 4 Dzulhijjah tahun ke-23 hijriyah, beliau ditikam dari belakang oleh seorang berkebangsaan Persia bernama Abu Lu’luah Fairuz seorang budak al-Mughirah yang tertawan di Nahawand yang kemudian menjadi milik al-Mughirah bin Syu’bah.[44]
Para orientalis, diantaranya B. Lewis beranggapan bahwa pembunuhan atas khalifah disebabkan rasa dendam atas penindasan yang dilakukan oleh Umar terhadap orang non-islam dalam hal ini orang Persia.[45] Pendapat ini sama sekali tidak memiliki landasan dan fakta dalam sejarah  karena khalifah Umar tidak pernah melakukan tindakan kedzaliman seperti yang mereka tuduhkan semasa menjabat sebagai khalifah bahkan beliau sangat menghormati dan memperhatikan rakyatnya tanpa membedakan baik muslim atau non-muslim. Malah beliau adalah sosok pemimpin besar yang diterima oleh semua pihak karena kebijaksanaan dan keadilannya.
Sebelum meninggal beliau tidak pernah berwasiat tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai khalifah. Tapi dengan adanya majlis syura yang beliau bentuk sudah sangat berarti bagi proses pengankatan khalifah berikutnya secara demokratis.
Ω
KESIMPULAN

Dalam kesimpulan ini kita akan mencoba menganalisis secara lebih detail tentang kontribusi dua khalifah (Abu Bakar dan Umar) bagi perkembangan peradaban islam. Untuk memahami seberapa besar kontribusi kedua khalifah tersebut bagi peradaban islam berikutnya, maka harus dilihat pula peran dan jasa keduanya dalam upaya penyebaran islam terutama selama pemerintahan yang mereka jalankan dengan melihat beberapa hal, baik yang bersifat politik, sosial, maupun bersifat keagamaan. Dalam tiga hal tersebut kedua khalifah di atas menunjukkan peran dan keberhasilan yang tidak dapat diabaikan. Walaupun hal itu mereka lakukan dengan perjuangan yang besar dan dengan berbagai kendala yang menjadi penghambatnya. Salah satu contoh adalah kendala politis yang dihadapi Abu Bakar di masa-masa awal pemerintahannya. Kendala tersebut bukanlah kendala yang kecil, karena disamping harus menanggung beban moral akibat adanya sekelompok shahabat yang merasa kurang puas dengan pengangkatan dirinya, di sisi lain juga harus menghadapi gelombang pemberontakan yang hal itu membutuhkan pemikiran yang kritis dan solutif.
Dengan dihadapkan pada berbagai kendala semacam itu, kedua khalifah di atas semakin menunjukkan tingkat kematangan dirinya. Terbukti selama pemerintahan yang dipegang oleh kedua khalifah tersebut menunjukkan cukup banyak prestasi yang cukup diakui pula. Prestasi tersebut bisa ditinjau melalui dua perspektif yaitu perspektif historisitas dan normatifitas. Secara historis, diantara sekian banyak prestasi yang telah di capai, satu diantaranya yang paling berpengaruh dan paling monumental adalah pembukuan al-Qur’an menjadi satu mushaf yang utuh dengan tidak bermaksud mengabaikan segi prestasi lainnya. Walaupun secara eksplisit motivasi awalnya adalah sekedar memelihara keutuhan al-Qur’an, tapi secara implisit kekhawatiran keduanya akan hilangnya ayat-ayat Allah menunjukkan kesadaran akan betapa berharganya al-Qur’an bagi peradaban manusia di masa-masa selanjutnya. Bagaimanapun juga dalam hal itu keduanya sama-sama memiliki andil yang sangat besar. Di satu sisi Umar sebagai pencetus ide pertama kali dan di sisi lain Abu Bakar sebagai pelaksana yang ulet.
Al-Qur’an sebagaimana sudah dipahami memiliki banyak fungsi, yang disamping berfungsi sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup (bayyinat), dan lain sebagainya; ia juga berfungsi sebagai sumber informasi.[46]Ia mengajarkan banyak hal kepada manusia mulai dari persoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah dan mu’amalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan, yang intinya fungsi-fungsi tersebut menjadi pijakan bagi peradaban manusia. Berdasarkan pemahaman ini al-Qur’an berperan sebagai inspirator dan motivator bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang sudah dimulai pada zaman pertengan islam yang di pelopori oleh para pemikir-pemikir islam dan hampir mencapai puncaknya pada zaman modern saat ini merupakan efek dari inspirasi dan motivasi melalui isyarat yang telah diberikan oleh al-Qur’an untuk meneliti ayat-ayat Allah baik yang bersifat kauniyah (alam raya) atau bersifat qauliyah (al-Qur’an). Dapat dibayangkan bagimana jadinya peradaban manusia secara umum dan peradaban islam secara khusus apabila al-Qur’an tidak dikumpulkan atau diabadikan dan larut bersama larutnya zaman islam klasik (yaitu sejak Rasululah masih hidup hingga berakhirnya masa shahabat). Tapi kenyataannya al-Qur’an yang menjadi rujukan bagi segala segi kehidupan manusia dan yang menjadi tumpuan dan batu loncatan kemajuan peradaban manusia tetap terpelihara sampai saat ini, hal itu juga berkat jasa besar dua khalifah di atas.
Pengkajian al-Qur’an sebagai upaya fungsionalisasi ajarannya telah mulai diupayakan pada masa pemerintahan Umar dengan menggelar pengajian dan pengkajian al-Qur’an di tiap-tiap wilayah kekuasaan islam. Hal itu didasarkan pada kesadaran akan pentingnya aktualisasi nilai-nilai ajaran al-Qur’an tersebut. Karena tanpa adanya upaya aktualisasi kitab suci ini, umat islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qur’ani sebagai upaya pembentukan pribadi umat yang beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, cerdas, maju dan mandiri; beriman, bertaqwa, dan berakhlaq mulia sebagai manifestasi spiritualitas manusia sedangkan cerdas, maju dan mandiri sebagai manifestasi kreatifitas mereka.
Karena dapat dilihat, secara normatif terdapat tiga dimensi[47] yang ingin dicapai dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qur’ani ini, yaitu dimensi: pertama, dimensi spiritual yang meliputi iman, taqwa dan akhlaq mulia. Dimensi spiritual ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlaq al-karimah.[48] Karena tanpa akhlaq, manusia akan berada dalam kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya. Begitu pula, prinsip akhlaq ini adalah prinsip yang berpegang teguh pada nilai kebaikan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran. Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa pada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, beretos kerja tinggi, profesional inovatif dan produktif.
Ketiga dimensi tersebut bisa terwujud dengan melalui pendidikan yang menjadi tonggak semua peradaban manusia. Yang mana pelaksanaan pendidikan di masa-masa awal perkembangan islam belum terlembagakan secara formal dan hanya melalui pendidikan dasar dalam keluarga.
Kemudian secara normatif, di satu sisi dapat dilihat pula bahwa kedua khalifah di atas juga telah banyak memberikan sumbangan yang besar. Hal tersebut dapat dilihat dari upaya mereka dalam menyebarkan ajaran islam berikut mencerminkannya dalam pola hidup dan tingkah laku kehidupan mereka sehari-hari yang tercermin dalam keimanan, ketaqwaan dan akhlaq mulia mereka sebagaimana yang juga telah diteladankan oleh Rasulullah saw. Banyak bukti-bukti yang menunjukkan akan kepribadian mereka yang mulia, baik dengan melihat kapasitas mereka sebagai makhluk sosial, hamba Allah, dan sebagai pemimpin suatu negara. Seperti halnya sikap mereka dalam memimpin negara yang pro kesetaraan umat (musawah), akomodatif bagi kalangan lemah, anti kemewahan, ulet dan tangguh, dan banyak hal lainnya yang tidak dapat disebutkan secara keseluruhan di sini.
Di sisi yang lain, harus diakui juga bahwa terdapat pula kelemahan-kelemahan mereka yang tidak dapat dipungkiri. Satu yang sangat menonjol adalah hilangnya fungsi sebagai pemimpin keagamaan dalam diri mereka sebagaimana yang dimiliki Rasulullah disamping fungsi sebagai kepala negara. Sehingga dalam masa kepemimpinannya nampak kurang akomodatif terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut keagamaan. Dalam artian kurang mampu memberikan solusi melalui pendekatan keagamaan, kecuali hanya dengan melakukan tindakan prefentif terhadap adanya penyimpangan di luar ketentuan al-Qur’an dan Hadith dan dengan lebih mengandalkan pendekatan kekuasaan. Seperti yang telah dijelaskan di bagian-bagian awal tentang sikap kaum penolak membayar zakat, dan tuntutan Fatimah atas harta peninggalan Rasulullah.
Apabila dinilai secara positif, hal tersebut juga merupakan hikmah bagi upaya berfikir kritis untuk mencari solusi pemecahan terhadap persoalan-persoalan yang berkembang pasca wafatnya Rasulullah. Secara logika hal itu cukup logis, apabila fungsi sebagai pemimpin keagamaan masih dapat digantikan oleh para khalifah, maka semua persoalan yang muncul akan selalu dikembalikan kepada pemimpin itu sendiri sebagai tumpuan solusi satu-satunya dan yang terjadi adalah pengabaian terhadap berkembangnya daya pikir masyarakat. Maka tidak akan ada yang namanya ijtihad dan hal-hal lain yang merupakan hasil dari proses berfikir.
Dari semua itu dapat dipahami bahwa bagimanapun juga telah banyak kontribusi yang telah diberikan oleh kedua khalifah diatas bagi kemajuan peradaban manusia terutama peradaban islam dengan juga tidak mengabaikan kelemahan–kelemahan mereka menyadari posisi mereka sebagai manusia biasa yang memang menjadi tempat salah dan lupa (Mahallu Al-khatha’ Wa Al-Nisyan).
Allahu A’lam



[1] Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah Islam, Cet.V, (Kuala Lumpurr: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd, 1995). hal. 125
[2]  Jurzy Zaydan, History Of Islamic Civilization, (                                                                 ). hal.36
[3] Terkait persoalan-persoalan yang menyangkut diri khalifah berkenaan dengan kondisi, sikap, tindakan, dan kebijakan yang membuat pihak lain dari kalangan umat islam sendiri merasa tidak suka dan tidak sependapat seperti kondisi pengangkatan pertama Abu Bakar, pengangkatan para pejabat pemerintah dengan mengambil orang–orang dari kalangan keluarga dekat yang terjadi pada masa pemerintahan Uthman, dan lain sebagainya. 
[4] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam As Siyasi wa Al-Tsaqafi Wa Al-Ijtima(Terj.), (Jakarta: Kalam Mulia, 2002). hal. 393. Mengutip pula dari kitab Al Ishabah fi Tamyiz ash Shahabah, jilid 4, hal. 101, karya Ibnu Hajar.
[5] Paling awal masuk islam.
[6] H. Mukhtar Yahya, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru, 2003). hal. 195
[7] Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah …., hal. 129.
[8] Ibid. hal. 128
[9] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam…, hal. 394
[10] Jurzy Zaydan, History Of Islamic…., hal.36
[11]   Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam…., hal. 399
[12] Merupakan sebuah tempat atau balai musyawarah yang terletak berdekatan dengan masjid nabi di perkampungan bani Sa’idah dan berfungsi sebagai Darun Nadwah di Makkah. Lihat: Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah…, hal. 134.
[13] Sulthan Fatoni, Peradaban Islam: desain awal peradaban Konsolidasi Teologi, Konstruk Pemikiran dan   Pencarian Madrasah, (Jakarta: eLSAS, 2006). hal. 11
[14] Ahmad al-‘Usairy, Al-Tarikh al-Islami(Terj.), (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003). hal. 144.
[15] Pembai’atan pertama berlangsung pada hari senin dan pembai’atan berikutnya terjadi pada malam senin hingga selasa pagi. Lihat: Sulthan Fatoni, Peradaban Islam…, hal. 11
[16] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam…., hal. 397
[17] H. Mukhtar Yahya, Sejarah dan Kebudayaan…, hal. 195
[18] Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah, hal. 131
[19] H. Mukhtar Yahya, Sejarah dan Kebudayaan…, hal. 196
[20]  Sulthan Fatoni, Peradaban Islam., hal. 09
[21] Artinya: “ambillah sedekah daripada harta mereka guna membersihkannya (menyucikannya) dan menghapuskan kesalahan mereka
[22]  H. Mukhtar Yahya, Sejarah dan Kebudayaan…, hal. 199
[23]  Al-Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarh Al-Nawawi, Jilid 6, (Beirut: Daar Al-Ikhya’, 1972). hal. 76.
[24]  Sulthan Fatoni, Peradaban Islam…, hal. 13
[25]  Kata murtad dari kata dasar riddah tidak hanya berarti berbalik menjadi kafir, tapi juga mengandung konotasi mengadakan perlawanan. Lihat: Muhammad Husain Haikal, Abu Bakar As-Siddik: Sebuah Biografi Dan Studi Analisis Tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi (Terj.), Cet. IX, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2009). hal. 98
[26] H. Mukhtar Yahya, Sejarah dan Kebudayaan…, hal. 200
[27] Imam Munawwir, Mengenal pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam Dari masa Ke masa, Cet. II, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006). hal. 49  
[28] Ibid. hal. 51  
[29] Ahmad al-‘Usairy, Al-Tarikh…,hal. 149
[30]  Imam Munawwir, Mengenal pribadi…, hal. 52
[31] Ibid.Hal. 54
[32] H. Mukhtar Yahya, Sejarah dan Kebudayaan…, hal. 203
[33] Ahmad al-‘Usairy, Al-Tarikh…, hal. 152
[34] Ibid. hal. 153
[35] Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islam…., hal. 408
[36] Imam Munawwir, Mengenal pribadi…, hal. 48
[37] Sulthan Fatoni, Peradaban Islam…, hal. 93
[38]  Imam Munawwir, Mengenal pribadi…, hal. 59
[39]  Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah, hal. 171
[40] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan, Cet. IV, (Jakarta: Paramadina, 2000). hal. 143
[41]  Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah, hal. 173
[42]  Ibid. hal. 175
[43] Sulthan Fatoni, Peradaban Islam…, hal. 13
[44]  Lihat: Muhammad Husain Haikal, Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam Dan Kedaulatannya Masa Itu (Terj.), Cet. IX, (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2008). hal. 773-774
[45] Mahayudin Hj. Yahya; Ahmad Jelani Halimi, Sejarah, hal. 176
[46] H. Said Agil Husin Al-Munawar, Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani Dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2003). hal. 04
[47] Ibid. hal. 07-09
[48] Sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw.:sesungguhnya aku diutus ke dunia tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...