‘ADALAH AL-SAHABAH
A. PENDAHULUAN
Peran Rasulullah sebagai pemimpin
keagamaan di samping sebagai pemimpin negara telah memberikan implikasi
terhadap adanya hadis Rasul sebagai penjelasan atau interpretasi terhadap teks
al-Qur’an sebagai sumber mutlak shariat islam yang teksnya masih bersifat umum.
Hadis yang juga dikenal sebagai sunnah diakui merupakan sumber hukum islam
kedua setelah al-Qur’an. Ia memiliki arti yang sangat penting bagi seluruh umat
islam di dalam memahami shariat islam secara benar. Hal itu tidak hanya
disadari oleh kalangan umat islam di masa-masa akhir ini, tapi juga di
masa-masa awal terutama pasca wafatnya Rasulullah. Sehingga para sahabat
mengupayakan pengumpulan dan kodifikasi hadis sebagai langkah dalam memelihara hadis
tersebut.
Walaupun demikian, di era belakangan terutama
memasuki era kontemporer, keberadaan hadis sebagai sumber islam kedua sudah
mulai dipertanyakan otentisitasnya. Karena di yakini bahwa hadis-hadis yang ada
sudah banyak mengalami intervensi dan diragukan eksistensinya. Keraguan
tersebut diperkuat lagi dengan adanya sinyalir bahwa terdapat sahabat perawi hadis
yang pernah melakukan perbuatan yang dianggap merusak kredibilitasnya sebagai
seorang rawi hadis. Kenyataannya setelah dilakukan peneitian oleh para ulama’ ahli
hadis, banyak ditemukan hadis-hadis yang dianggap palsu atau tidak sahih. Sehingga
hadis-hadit yang tidak sahih itu tidah sah untuk dijadikan pegangan.
Penelitian untuk mengetahui sahih
tidaknya hadis itu serta bisa tidaknya hadis itu dijadikan landasan hukum,
salah satunya dapat dilakukan dengan mengetahui kualitas sanad hadis tersebut. Dengan
begitu dapat diketahui tentang kualitas
perawi hadis dilihat dari
kualitas diri dan kepribadiannya, sehingga dalam ilmu mostalah hadis muncul
penjelasan tentang al-jarh wa al-ta’dil.
Maka dari itu, menyadari betapa
pentingnya mengetahui tentang keadilan para sahabat sebagai perawi hadis untuk
memperkuat keyakinan kita akan otentisitas hadis yang ada sekarang sebagai
sumber hukum, dalam makalah ini akan dibicarakan secara khusus tentang keadilan
sahabat ini dengan mereferens pada beberapa sumber yang ada. Walaupun dalam
penjelasan ini bukan merupakan hal yang final untuk menetapkan sahabat sebagai
orang yang mutlak adil sehingga dapat diterima periwayatannya, tapi setidaknya
menjadi sedikit gambaran bagi kita untuk tetap menilai bahwa sahabat itu adalah
orang yang saleh dan dapat dipercaya serta juga dengan tetap menyadari posisi
mereka sebagai manusia biasa yang tidak akan terlepas dari kesalahan dan
kekeliruan.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Sahabat
Sahabat
secara etimologis diambil dari kata الصحابة dengan makna الصحبة (persahabatan) yang merupakan kata
bentukan dari bentuk masdar يصحب صحب- yang berarti mengikuti, menyertai atau orang yang menyertai
orang lain.[1]
Sedangkan
secara terminologi ulama’ muhaddithin sepakat bahwa sahabat adalah:
من
لقي النبي صلى الله عليه وسلم مسلما ومات على الا سلا م ولو تخللت ذ لك ردة على
الاصح
Orang yang bertemu dengan nabi saw.
Dalam keadaan islam dan mati dalam beragama islam sekalipun ditengah-tengah
dipisah dengan murtad, menurut pendapat yang lebih sahih.[2]
Menurut
Ibn Hajar, sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi saw. dalam
keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan iman juga. Masuk dalam kategori
orang yang pernah ketemu Nabi Saw, orang yang lama bermujalasah atau sebentar
saja bersama beliau, orang yang turut berperang atau tidak, dan orang yang
tidak pernah melihat beliau dengan alasan tertentu seperti buta.[3]
Sedangkan
menurut Ibn Hazm, sahabat adalah setiap orang yang pernah bermujalasah dengan
nabi saw. meskipun sejam lamanya dan mendengar ucapan beliau walaupun hanya
satu atau lebih; atau mendengar suatu perintah yang ia hafal.[4]
Pendapat ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama’ dalam kitab al-Ba’ith
al-Hathith Fi Ikhtisari Ulum al-Hadis dengan redaksi sebagai berikut:
والصحابي:
من رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم في حال إسلام الراوي، وإن لم تطل صحبته له،
وإن لم يرو عنه شيئاً.هذا قول جمهور العلماء، خلفاً وسلفاً.
Dari
beberapa pendapat di atas dapat ditarik beberapa kesamaan tentang pengertian
sahabat, yaitu: orang yang pernah bertemu dan bermujalasah dengan nabi dalam
keadaan beriman dan islam. Sedang perbedaannya terletak pada kategori pertemuan
dan mujalasahnya. Maka dari itu semua orang yang pernah bertemu atau melihat
nabi semuanya bisa dikatakan sebagai sahabat. Tapi menurut Anas bin Malik, melihat saja
tidaklah cukup menjadikan seseorang masuk dalam kategori sebagai sahabat. Hal
tersebut dapat dilihat sebagai berikut:[5]
وروينا عن شعبة عن موسى السبلاني -
وأثنى عليه خيراً - قال: أتيت أنس ابن مالك فقلت: هل بقي من أصحاب رسول الله صلى
الله عليه وسلم أحد غيرك؟قال: قال ناس من الأعراب قد رأوه، فأما من صحبه فلا.
إسناده جيد، حدث به مسلم بحضرة أبى زرعة.
Secara
simpel dapat dipahami bahwa Shu’bah meriwayatkan dari Musa al-Subulani;
katanya, saya bertanya kepada Anas bin Malik: “apakah masih ada sahabat Rasul
selain tuan?”, beliau menjawab: “orang-orang pedalaman melihat beliau,
tapi yang berstatus sahabat tidak ada lagi”. Sanadnya baik. Diriwayatkan
oleh imam Muslim di hadapan Abu Zur’ah.[6]
Pendapat
tersebut semakin memperjelas batasan orang yang bisa dikatakan sebagai sahabat,
yang pada intinya bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasul, pernah
bermujalasah dengan beliau dalam keadaan islam dan iman tapi bukan sekedar
pernah melihat beliau seperti melihat dari jarak jauh.
2. Makna Adil Dan Konsep Keadilan Sahabat
‘Adalah atau ‘adl lawan dari kata Jaur
(kejahatan), contoh: rajulun ‘adl seseorang yang jauh dari kejahatan, diridai
dan dipercaya kesaksiannya. Al-Hafidz ibn Hajar berkata: “ yang dimaksud adil
ialah orang yang mempunyai sifat taqwa dan muru’ah.[7]
Secara
konseptual, sahabat sebagai orang yang biasa bergaul dengan nabi yang sudah
banyak mengenal kehidupan dan perilaku nabi yang secara otomatis juga banyak
mencontoh dan menerapkan sikap dan akhlaq beliau, pada dasarnya dapat dipercaya
sebagai orang yang saleh dan adil. Bahkan menurut kalangan ahlu sunnah, seluruh
sahabat itu bersifat adil baik yang mengalami masa terjadinya fitnah atau
tidak. Sejalan dengan hal ini pula Khatib al-Baghdadi menjelaskan sebagai
berikut:[8]
وانه لا يحتاج الى سؤال عنهم وانما
يجب فيمن دونهم كل حديث اتصل إسناده بين من رواه وبين النبي صلى الله عليه و سلم
لم يلزم العمل به الا بعد ثبوت عدالة رجاله ويجب النظر في أحوالهم سوى الصحابي
الذي رفعه الى رسول الله صلى الله عليه و سلم لأن عدالة الصحابة ثابتة معلومة
بتعديل الله لهم
Dari pernyataan di atas intinya dia menyatakan
bahwa tidak perlu lagi mempertanyakan atau mempersoalkan tentang keadilan
mereka karena keadilan mereka itu telah ditetapkan sendiri oleh Allah swt.
Menurut
Ibnu Hajar al-Asqalani, tidak ada yang berselisih pendapat tentang hal ini
kecuali segelintir ahli bidah, maka wajib bagi Muslimin untuk meyakini sikap
sahabat tersebut karena telah ditetapkan bahwa seluruh sahabat adalah ahli
surga, tak seorang pun dari mereka yang akan masuk neraka.[9]
Pendapat
lain mengatakan bahwa maksud ‘Adalah al-Sahabah ialah: “Bahwa semua
shahabat ialah orang-orang yang taqwa dan wara’, yakni mereka adalah
orang-orang yang selalu menjauhi maksiat dan perkara-perkara shubhat. Para
shahabat tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah saw. atau menyandarkan
sesuatu yang tidak sah dari beliau. Syaikh Waliyullah al-Dahlawi berkata:
“Dengan menyelidiki (semua keterangan) maka dapatlah kita ambil kesimpulan
bahwa semua shahabat berkeyakinan bahwasanya berdusta atas nama Rasulullah saw.
adalah dosa yang sangat besar. Maka dari itu mereka menjaga dengan
sungguh-sungguh agar tidak terjatuh dalam berdusta atas nama beliau”.[10]
Diluar pendapat-pendapat di atas,
secara sederhana konsep keadilan sahabat dapat dipahami sebagai sikap lurus
sahabat sebagai jalur penyampai hadis-hadis nabi dan seluk beluk kehidupan
beliau selama hidup beliau bagi generasi berikutnya. Akan tetapi, hal tersebut bukan
berarti bermaksud memberikan penilaian terhadap mereka sebagi sosok yang maksum
yang sama sekali tidak mungkin berbuat salah, tidak mungkin lupa, tidak mungkin
berbuat dosa atau melakukan suatu kemaksiatan. Karena sifat maksum hanyalah
dimiliki oleh nabi Muhammad saw.
Berkaitan dengan hal itu Ibn Taymiah berkata dalam Minhâj As-Sunnah (1/306-307):
“Dari kalangan sahabat bisa saja seseorang dari mereka melakukan kesalahan, dan
berbuat dosa. Karena mereka bukan orang-orang yang maksum. Namun mereka
tidak mungkin sengaja berdusta. Karena siapa yang sengaja berdusta atas nama
Nabi saw. niscaya Allah swt akan membongkar dustanya”. Dalil tentang hal itu
terdapat dalam Sahih Bukhari[11] yang berisi tentang seorang laki-laki yang
berulang kali dihadapkan ke pengadilan Rasul saw. untuk dihukum dera karena meminum minuman keras. Kemudian
ketika salah seorang sahabat melaknatnya, maka Nabi saw. mencegahnya sambil
bersabda:
لا تلعنوه، فو الله ما علمت الا إنه
يحب الله ورسوله
(Jangan kalian
laknat dia. Karena demi Allah, aku tahu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya).
Hadis selengkapnya
dapat dilihat sebagai berikut:
حدثنا يحيى بن بكير حدثني الليث
قال حدثني خالد بن يزيد عن سعيد ابن أبي هلال عن زيد بن أسلم عن أبيه عن عمر بن
الخطاب : أن رجلا على عهد النبي صلى الله عليه و سلم كان اسمه عبد الله وكان يلقب
حمارا وكان يضحك رسول الله صلى الله عليه و سلم وكان النبي صلى الله عليه و سلم قد
جلده في الشراب فأتي به يوما فأمر به فجلد فقال رجل من القوم اللهم العنه ما أكثر
ما يؤتى به ؟ فقال النبي صلى الله عليه و سلم :لا تلعنوه فوالله ما علمت إلا أنه
يحب الله ورسوله
Ibnu Hajar berkomentar: “Dalam hadis tersebut terdapat
bantahan bagi orang yang menyangka bahwa pelaku dosa besar otomatis kafir.
Karena Rasulullah saw. melarang orang melaknatnya. Sambil memerintahkan untuk
mendoakan orang itu. Dari sini juga dapat dipahami bahwa tidak ada unsur saling
menafikan antara melanggar larangan dengan keberadaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya
dalam hati pelaku dosa itu. Karena Rasul saw. memberitakan bahwa orang itu
mencintai Allah dan Rasul-Nya. meskipun orang itu melakukan tindakan yang
diharamkan”.[12]
Al Alusi menegaskan dalam kitab Al Ajwibah al
‘Iraqiyah ( hal. 23-24):
Perkataan kami
seluruh sahabat ‘uduul, bukan berarti mereka tidak melakukan kesalahan
atau dosa sama sekali. Mereka bisa saja melakukan dosa tapi dengan tetap
menyadari bahwa dari kalangan sahabat yang melakukan dosa hingga akhirnya
dijatuhui hukuman, sangat sedikit jumlahnya, dibandingkan ribuan sahabat yang
mulia yang terbukti memegang teguh jalan hidup yang lurus. Dan Allah swt.
Menjaga mereka dari dosa dan maksiat, yang besar maupun kecil, dan yang lahir maupun bathin. Sejarah yang jujur
menjadi bukti atas fakta tersebut.[13]
Sementara Abu Hamid al Ghazali berkata dalam kitab Al-Mustashfa 189-190) sebagai berikut:
Yang dijadikan
pegangan oleh para jumhur bahwa ‘adalah sahabat diketahui sesuai dengan
pemberian sifat ‘adalah itu oleh Allah swt kepada mereka. Serta pujian-Nya bagi
mereka dalam Al Qur`an. Ini adalah keyakinan kami tentang mereka. Kecuali jika
terbukti secara nyata salah seorang dari mereka melakukan dosa dengan sengaja.
Dan hal seperti itu ternyata tidak terjadi. Sehingga terhadap mereka tidak
perlu lagi dilakukan screening ke’adalahan.[14]
Tentang keadilan sahabat ini terdapat dalil-dalil yang
dapat dijadikan pegangan yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.[15]
Diantara dalil-dalil itu adalah:
a.
Dalil al-Qur’an
1) Al-Baqarah/2:143
وكذلك جعلنكم
امة وسطا لتكو نوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
Artinya: “Dan demikian (pula) kami
telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu….”.
2) Ali Imran/3:110
كنتم خير امة
اخرجت لناس
Artinya: ”Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia....”.
b. Dalil Sunnah
1) Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari nabi saw. Bersabda:
خيرالقرون
قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
Artinya: “Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian
orang-orang yang mengikutinya, lalu generasi orang-orang yang mengikutinya
lagi”
2) Diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim dari dari Said al-Khudri dari Rasulullah saw., beliau
bersabda:
لاتسبوااصحابي
فوالذي نفسي بيده لوانفق احدكم مثل احد ذهبا ماادرك مد احدهم ولانصيفه
Artinya: ”Janganlah kamu mencaci
sahabatku, maka demi jiwaku yang ada pada kekuasaannya seandainya seseorang
diantara kamu mengimfakkan emas sebesar gunung uhud, maka ia tak akan
mengetahui pemberian uhud mereka dan kami takkan habis selama musim panas”.
Dari sebagian
dalil tentang keadilan sahabat sebagaimana dijelaskan di atas dapat dijadikan
pegangan untuk tetap meyakini keadilan sahabat. Sehingga sama sekali tidak
diperbolehkan seseorang mengkritik mereka. Dengan mengkritik mereka,
dikhawatirkan akan menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah yang telah menegaskan
akan keadilan mmereka. Karena al-Qur’an dan sunnah telah memberikan penghargaan
yang sangat besar terhadap mereka atas peran besar mereka dalam menegakkan dan
membela agama Allah. Demi semua itu mereka bahkan rela membunuh saudara-saudara
dekat mereka dan sangat ketat dalam melaksanakan perintah agama dan menjauhi
larangannya. Semua itu mengindikasikan kekuatan iman mereka, kualitas keislaman
mereka dan keikhlasan mereka. Jadi tidak perlu ada lagi keraguan terhadap
mereka bahwa mereka adalah para sahabat yang adil.
C.
NAMA-NAMA SAHABAT PERAWI HADIS SERTA
JUMLAH HADIS YANG DIRIWAYATKANNYA
Mengenai jumlah sahabat
secara keseluruhan sebenarnya tidak ada sensus yang jelas. Ada yang menyatakan
bahwa jumlah mereka keseluruhan adalah 100.000 lebih, pendapat ini mendekati
pada kebenaran. Tapi pendapat yang mashhur adalah pendapat yang dikemukakan
oleh Abi Zar’ah al-Razi:
قبض رسول
الله صلى الله عليه وسلم عن مائة الف واربعة عشرالفا من الصحابة ممن روى عنه وسمع منه
“Rasulullah saw. telah mengumpulkan 114 ribu sahabat yang
meriwayatkan dan mendengarkan hadis dari beliau”.[16]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwa jumlah sahabat keseluruhan adalah berjumlah 114 ribu orang. Walaupun
jumlah tersebut masih ada kemungkinan kurang atau lebih. Namun dari seluruh
jumlah yang ada, yang meriwayatkan hadis lebih dari 1000 hadis hanya beberapa
orang saja.
Abu Bakar saja dilaporkan hanya
meriwayatkan sebanyak 140 hadis. Abdullah bin Mas’ud kurang dari itu, kemudian
di bawahnya lagi Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Alasan kenapa Abu Bakar hanya
meriwayatkan hadis sebanyak itu karena beliau wafat sebelum timbul perhatian
masyarakat untuk mendengar dan menghafal hadis.[17]
Sedang shabat yang meriwayatkan hadis diatas 1000, menurut pendapat Dr.
at-Tahhan sebanya enam orang sahabat. Tapi menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dan
didukung oleh Muhammad bin Alwi al-Maliki, Abu Said al-Khudri, dan yang lainnya,
adalah sebanyak tujuh orang. Mereka adalah:
1. Abu Hurairah (Abdurrahman bin Sakhr
al-Dausi al-Yamani, 195 SH – 59 H), meriwayatkan hadis sebanyak 5374;
2. Ibn Umar (10 SH – 93 H), meriwayatkan hadis
sebanyak 2630;
3. Anas bin Malik (10 SH – 93 H), meriwayatkan
hadis sebanyak 2286;
4. ‘Aishah Ummu al-Mu’minin (9 SH – 58 H),
meriwayatkan hadis sebanyak 2210;
5. Ibn Abbas (3 SH – 69 H), meriwayatkan hadis
sebanyak 1660;
6. Jabir Abdullah (16 SH – 78 H),
meriwayatkan hadis sebanyak 1540; dan
7. Abu Said al-Khudri (Sa’ad bin Malik bin
Sanan al- Ansari r.a., 12 SH – 74 H) meriwayatkan hadis sebanyak 1170.[18]
Itulah
nama-nama sahabat yang telah banyak meriwayatkan hadis. Tentunya mereka tidak
hanya sekedar meriwayatkannya, tetapi juga mereka telah berusaha banyak dalam
meneliti tentang kesahihan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Seperti halnya apa
yang telah dilakukan oleh imam al-Bukhari, sehingga hadis-hadis yang
diriwayatkannya terkenal sahih dan kitab hadisnya banyak dijadikan sebagai
rujukan oleh banyak kalangan sampai sekarang.
D.
KESIMPULAN
Dari semua
penjelasan yang telah lalu, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
1.
Para sahabat Rasul adalah generasi terbaik
yang telah banyak berjuang dengan pengorbanan harta dan jiwa mereka demi
tegaknya shari’at islam;
2.
Para
sahabat Rasul sebagai mediator sampainya hadis tetap dinilai sebagai seorang
yang saleh dan adil yang tidak mungkin berdusta atas nama Rasul. Sekalipun
mungkin sahabat berdusta atas nama Rasul, Allah sendiri yang akan membongkar
kebohongan mereka;
3.
Keadilan sahabat tidak hanya dapat dilihat
dari kualitas keimanan dan keislaman mereka yang sudah pasti, lebih dari itu
Allah dalam al-Qur’an termasuk nabi sendiri dalam hadisnya telah menjelaskan
tentang keadilan mereka;
4.
Sahabat bukanlah orang yang maksum yang
sama sekali tidak mungkin berbuat dosa, tidak mungkin lupa, dan lain sebagainya;
karena yang bersifat maksum hanyalah Rasulullah saw.
Jika kemudian ada
sanggahan dari kaum Mu’tazilah, misalnya, yang menyatakan bahwa sahabat yang
terlibat dalam pembunuhan Ali tidak bisa dikatakan adil; atau adanya sahabat yang melakukan perbuatan dosa seperti Walid bin
Uqbah; maka semua itu harus dinilai sebagai tindakan alamiyah sebagai manusia
biasa yang tidak maksum. Apalagi Uqbah sebagai orang yang melakukan kesalahan,
statusnya sebagai sahabat masih diperdebatkan dan juga dilaporkan bahwa dia
tidak pernah meriwayatkan hadis setelah meninggalnya Rasulullah saw. Sedangkan
namanya disebut pada masa hidup Rasulullah saw. semata untuk kepentingan penjelasan hukum atas kasus yang terjadi
sesuai syari’ah.
Jadi, dari
kesimpulan di atas dapat dipastikan dan dapat diyakini bahwa hadis-hadis yang
ada yang berasal dari periwayatan para sahabat tetap dapat dijadikan landasan
hukum islam dan harus diyakini
kebenarannya bahwa semuanya benar-benar autentik berasal dari Rasulullah
saw.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’u al-Sahih, Juz. IV,
Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400.
H. Abdul
Majid Khon, Ulum al-Hadith, Cet.
II, Jakarta: Penerbit Amzah, 2009.
Hasbi
as-Siddiqi, Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Ibn Katsir,
al-Ba’ith al-Hathith Fi Ikhtisari Ulum al-Hadith, dalam al-Maktabah
al-Shamilah pada bagian kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
Ibn Shalah,
Muqaddimah ibn salah, dalam Maktabah al-Shamilah pada bagian
kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah Fi
Ilm Al-Riwayah, dalam al-Maktabah al-Shamilah pada bagian
kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
Mahmud
al-Tahhan, Tafsir Mustalah al-Hadith, Cet. IV, Beirut: Dar al-Thaqafah,
1991.
Muhammad
‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadith (terj.), Cet.II, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001.
Muhammad Yunus, Ilmu Musthalah
Hadis, Jakarta: Sa’diyah Putra, 1940.
Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’an
Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Cet. III, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Semua
Sahabat Rasulullah saw. Adalah Adil, dalam http://fokarliska.wordpress.com/2009/05/20/.
Abdul Hayyie al-Kattani, ‘adalah
Sahabah, dalam http://persis.or.id/?p=675.
Ahamad Husain Ya’qub, Keadilan
Sahabat: sketsa Politik Islam Awal, dalam http://www.Urang-Sunda.or.id.
[1]H. Abdul Majid Khon, Ulumul hadis, Cet. II, (Jakarta: Penerbit
Amzah, 2009), hal. 111
[2] Mahmud At-Thahan, Tafsir
Mustalah al-Hadith, (Beirut: Dar al-Thaqafah, 1991), hal. 164
[3] Muhammad ‘Ajaj
al-Khathib, Ushul al-Hadith(terj.), Cet.II, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), hal.379
[4] Said Agil Husin
al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Cet. III,
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 170 mengutip dari Muhammad ’Ajaj
al-Khatib, Usul al-Hadith Ulumuhu Wa Mustalahuhu, (Damsyiq: Dar Al-Fikr,
1966), hal. 385
[5] Ibn Katsir, al-Ba’ith
al-Hathith Fi Ikhtisari Ulum al-Hadith,dalam al-Maktabah al-Shamilah pada
bagian kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
[6] Ibn Shalah, Muqaddimah
ibn salah, hal. 64, dalam Maktabah al-Shamilah pada bagian
kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
[7] Ust. Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Semua Sahabat Rasulullah saw. Adalah Adil Dan Haram Hukumnya
Mencaci Mereka, dalam http://fokarliska.wordpress.com/2009/05/20/
[8] Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah
Fi Ilm Al-Riwayah, hal. 46 dalam al-Maktabah al-Shamilah pada bagian
kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
[9]Ahamad Husain Ya’qub, Keadilan
Sahabat: sketsa Politik Islam Awal, dalam http://www.Urang-Sunda.or.id
[10] Ust. Yazid bin Abdul
Qadir Jawas, Semua Sahabat Rasulullah saw. Adalah Adil Dan Haram Hukumnya
Mencaci Mereka, dalam http://fokarliska.wordpress.com/2009/05/20/
[11] Al-Bukhari, al-Jami’u
al-Sahih, Juz. IV, (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400), hal 246-247
[12] Lihat: Fath
al-Bari, karya Ibn Hajar al-Athqalani, hal. 78
[14] Muhammad Yunus, Ilmu
Musthalah Hadis, (Jakarta: Sa’diyah Putra, 1940), hal. 38
[15] Said Agil Husin
al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi…,
hal. 174-177
[16] Mahmud Tahhan, Tafsir
Mustalah al-Hadith, hal. 199
[17] Hasbi As-Siddiqi, Pokok
Ilmu Dirayah Hadith, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 152-153
[18] Muhammad ‘Ajaj
al-Khatib, Usul al-Hadith (terj.), hal. 394

No comments:
Post a Comment