Saturday, October 14, 2017

MAKALAH KAJIAN SHAHABAT

ADALAH AL-SAHABAH

A.    PENDAHULUAN
Peran Rasulullah sebagai pemimpin keagamaan di samping sebagai pemimpin negara telah memberikan implikasi terhadap adanya hadis Rasul sebagai penjelasan atau interpretasi terhadap teks al-Qur’an sebagai sumber mutlak shariat islam yang teksnya masih bersifat umum. Hadis yang juga dikenal sebagai sunnah diakui merupakan sumber hukum islam kedua setelah al-Qur’an. Ia memiliki arti yang sangat penting bagi seluruh umat islam di dalam memahami shariat islam secara benar. Hal itu tidak hanya disadari oleh kalangan umat islam di masa-masa akhir ini, tapi juga di masa-masa awal terutama pasca wafatnya Rasulullah. Sehingga para sahabat mengupayakan pengumpulan dan kodifikasi hadis sebagai langkah dalam memelihara hadis tersebut.   
Walaupun demikian, di era belakangan terutama memasuki era kontemporer, keberadaan hadis sebagai sumber islam kedua sudah mulai dipertanyakan otentisitasnya. Karena di yakini bahwa hadis-hadis yang ada sudah banyak mengalami intervensi dan diragukan eksistensinya. Keraguan tersebut diperkuat lagi dengan adanya sinyalir bahwa terdapat sahabat perawi hadis yang pernah melakukan perbuatan yang dianggap merusak kredibilitasnya sebagai seorang rawi hadis. Kenyataannya setelah dilakukan peneitian oleh para ulama’ ahli hadis, banyak ditemukan hadis-hadis yang dianggap palsu atau tidak sahih. Sehingga hadis-hadit yang tidak sahih itu tidah sah untuk dijadikan pegangan. 
Penelitian untuk mengetahui sahih tidaknya hadis itu serta bisa tidaknya hadis itu dijadikan landasan hukum, salah satunya dapat dilakukan dengan mengetahui kualitas sanad hadis tersebut. Dengan begitu dapat diketahui tentang kualitas  perawi hadis  dilihat dari kualitas diri dan kepribadiannya, sehingga dalam ilmu mostalah hadis muncul penjelasan tentang al-jarh wa al-ta’dil.
Maka dari itu, menyadari betapa pentingnya mengetahui tentang keadilan para sahabat sebagai perawi hadis untuk memperkuat keyakinan kita akan otentisitas hadis yang ada sekarang sebagai sumber hukum, dalam makalah ini akan dibicarakan secara khusus tentang keadilan sahabat ini dengan mereferens pada beberapa sumber yang ada. Walaupun dalam penjelasan ini bukan merupakan hal yang final untuk menetapkan sahabat sebagai orang yang mutlak adil sehingga dapat diterima periwayatannya, tapi setidaknya menjadi sedikit gambaran bagi kita untuk tetap menilai bahwa sahabat itu adalah orang yang saleh dan dapat dipercaya serta juga dengan tetap menyadari posisi mereka sebagai manusia biasa yang tidak akan terlepas dari kesalahan dan kekeliruan.
 
B.    PEMBAHASAN
1.    Pengertian Sahabat
Sahabat secara etimologis diambil dari kata الصحابة dengan makna  الصحبة (persahabatan) yang merupakan kata bentukan dari bentuk masdar يصحب   صحب- yang berarti mengikuti, menyertai atau orang yang menyertai orang lain.[1]
Sedangkan secara terminologi ulama’ muhaddithin sepakat bahwa sahabat adalah:
من لقي النبي صلى الله عليه وسلم مسلما ومات على الا سلا م ولو تخللت ذ لك ردة على الاصح
Orang yang bertemu dengan nabi saw. Dalam keadaan islam dan mati dalam beragama islam sekalipun ditengah-tengah dipisah dengan murtad, menurut pendapat yang lebih sahih.[2]  
Menurut Ibn Hajar, sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi saw. dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan iman juga. Masuk dalam kategori orang yang pernah ketemu Nabi Saw, orang yang lama bermujalasah atau sebentar saja bersama beliau, orang yang turut berperang atau tidak, dan orang yang tidak pernah melihat beliau dengan alasan tertentu seperti buta.[3]
Sedangkan menurut Ibn Hazm, sahabat adalah setiap orang yang pernah bermujalasah dengan nabi saw. meskipun sejam lamanya dan mendengar ucapan beliau walaupun hanya satu atau lebih; atau mendengar suatu perintah yang ia hafal.[4] Pendapat ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama’ dalam kitab al-Ba’ith al-Hathith Fi Ikhtisari Ulum al-Hadis dengan redaksi sebagai berikut:
والصحابي: من رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم في حال إسلام الراوي، وإن لم تطل صحبته له، وإن لم يرو عنه شيئاً.هذا قول جمهور العلماء، خلفاً وسلفاً.
Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik beberapa kesamaan tentang pengertian sahabat, yaitu: orang yang pernah bertemu dan bermujalasah dengan nabi dalam keadaan beriman dan islam. Sedang perbedaannya terletak pada kategori pertemuan dan mujalasahnya. Maka dari itu semua orang yang pernah bertemu atau melihat nabi semuanya bisa dikatakan sebagai sahabat.  Tapi menurut Anas bin Malik, melihat saja tidaklah cukup menjadikan seseorang masuk dalam kategori sebagai sahabat. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:[5]
وروينا عن شعبة عن موسى السبلاني - وأثنى عليه خيراً - قال: أتيت أنس ابن مالك فقلت: هل بقي من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم أحد غيرك؟قال: قال ناس من الأعراب قد رأوه، فأما من صحبه فلا. إسناده جيد، حدث به مسلم بحضرة أبى زرعة.
Secara simpel dapat dipahami bahwa Shu’bah meriwayatkan dari Musa al-Subulani; katanya, saya bertanya kepada Anas bin Malik: “apakah masih ada sahabat Rasul selain tuan?”, beliau menjawab: “orang-orang pedalaman melihat beliau, tapi yang berstatus sahabat tidak ada lagi”. Sanadnya baik. Diriwayatkan oleh imam Muslim di hadapan  Abu Zur’ah.[6]
Pendapat tersebut semakin memperjelas batasan orang yang bisa dikatakan sebagai sahabat, yang pada intinya bahwa sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasul, pernah bermujalasah dengan beliau dalam keadaan islam dan iman tapi bukan sekedar pernah melihat beliau seperti melihat dari jarak jauh.

2. Makna Adil Dan Konsep Keadilan Sahabat
‘Adalah atau ‘adl lawan dari kata Jaur (kejahatan), contoh: rajulun ‘adl  seseorang yang jauh dari kejahatan, diridai dan dipercaya kesaksiannya. Al-Hafidz ibn Hajar berkata: “ yang dimaksud adil ialah orang yang mempunyai sifat taqwa dan muru’ah.[7]
Secara konseptual, sahabat sebagai orang yang biasa bergaul dengan nabi yang sudah banyak mengenal kehidupan dan perilaku nabi yang secara otomatis juga banyak mencontoh dan menerapkan sikap dan akhlaq beliau, pada dasarnya dapat dipercaya sebagai orang yang saleh dan adil. Bahkan menurut kalangan ahlu sunnah, seluruh sahabat itu bersifat adil baik yang mengalami masa terjadinya fitnah atau tidak. Sejalan dengan hal ini pula Khatib al-Baghdadi menjelaskan sebagai berikut:[8]
وانه لا يحتاج الى سؤال عنهم وانما يجب فيمن دونهم كل حديث اتصل إسناده بين من رواه وبين النبي صلى الله عليه و سلم لم يلزم العمل به الا بعد ثبوت عدالة رجاله ويجب النظر في أحوالهم سوى الصحابي الذي رفعه الى رسول الله صلى الله عليه و سلم لأن عدالة الصحابة ثابتة معلومة بتعديل الله لهم
Dari pernyataan di atas intinya dia menyatakan bahwa tidak perlu lagi mempertanyakan atau mempersoalkan tentang keadilan mereka karena keadilan mereka itu telah ditetapkan sendiri oleh Allah swt.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, tidak ada yang berselisih pendapat tentang hal ini kecuali segelintir ahli bidah, maka wajib bagi Muslimin untuk meyakini sikap sahabat tersebut karena telah ditetapkan bahwa seluruh sahabat adalah ahli surga, tak seorang pun dari mereka yang akan masuk neraka.[9]
Pendapat lain mengatakan bahwa maksud ‘Adalah al-Sahabah ialah: “Bahwa semua shahabat ialah orang-orang yang taqwa dan wara’, yakni mereka adalah orang-orang yang selalu menjauhi maksiat dan perkara-perkara shubhat. Para shahabat tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah saw. atau menyandarkan sesuatu yang tidak sah dari beliau. Syaikh Waliyullah al-Dahlawi berkata: “Dengan menyelidiki (semua keterangan) maka dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa semua shahabat berkeyakinan bahwasanya berdusta atas nama Rasulullah saw. adalah dosa yang sangat besar. Maka dari itu mereka menjaga dengan sungguh-sungguh agar tidak terjatuh dalam berdusta atas nama beliau”.[10]
Diluar pendapat-pendapat di atas, secara sederhana konsep keadilan sahabat dapat dipahami sebagai sikap lurus sahabat sebagai jalur penyampai hadis-hadis nabi dan seluk beluk kehidupan beliau selama hidup beliau bagi generasi berikutnya. Akan tetapi, hal tersebut bukan berarti bermaksud memberikan penilaian terhadap mereka sebagi sosok yang maksum yang sama sekali tidak mungkin berbuat salah, tidak mungkin lupa, tidak mungkin berbuat dosa atau melakukan suatu kemaksiatan. Karena sifat maksum hanyalah dimiliki oleh nabi Muhammad saw.
Berkaitan dengan hal itu Ibn Taymiah berkata dalam Minhâj As-Sunnah (1/306-307): “Dari kalangan sahabat bisa saja seseorang dari mereka melakukan kesalahan, dan berbuat dosa. Karena mereka bukan orang-orang yang maksum. Namun mereka tidak mungkin sengaja berdusta. Karena siapa yang sengaja berdusta atas nama Nabi saw. niscaya Allah swt akan membongkar dustanya”. Dalil tentang hal itu terdapat dalam Sahih Bukhari[11]  yang berisi tentang seorang laki-laki yang berulang kali dihadapkan ke pengadilan Rasul saw. untuk dihukum  dera karena meminum minuman keras. Kemudian ketika salah seorang sahabat melaknatnya, maka Nabi saw. mencegahnya sambil bersabda:  
لا تلعنوه، فو الله ما علمت الا إنه يحب الله ورسوله
 (Jangan kalian laknat dia. Karena demi Allah, aku tahu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya).
Hadis selengkapnya dapat dilihat sebagai berikut:
حدثنا يحيى بن بكير حدثني الليث قال حدثني خالد بن يزيد عن سعيد ابن أبي هلال عن زيد بن أسلم عن أبيه عن عمر بن الخطاب : أن رجلا على عهد النبي صلى الله عليه و سلم كان اسمه عبد الله وكان يلقب حمارا وكان يضحك رسول الله صلى الله عليه و سلم وكان النبي صلى الله عليه و سلم قد جلده في الشراب فأتي به يوما فأمر به فجلد فقال رجل من القوم اللهم العنه ما أكثر ما يؤتى به ؟ فقال النبي صلى الله عليه و سلم :لا تلعنوه فوالله ما علمت إلا أنه يحب الله ورسوله
Ibnu Hajar berkomentar: “Dalam hadis tersebut terdapat bantahan bagi orang yang menyangka bahwa pelaku dosa besar otomatis kafir. Karena Rasulullah saw. melarang orang melaknatnya. Sambil memerintahkan untuk mendoakan orang itu. Dari sini juga dapat dipahami bahwa tidak ada unsur saling menafikan antara melanggar larangan dengan keberadaan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dalam hati pelaku dosa itu. Karena Rasul saw. memberitakan bahwa orang itu mencintai Allah dan Rasul-Nya. meskipun orang itu melakukan tindakan yang diharamkan”.[12]
Al Alusi menegaskan dalam kitab Al Ajwibah al ‘Iraqiyah ( hal. 23-24):
Perkataan kami seluruh sahabat ‘uduul, bukan berarti mereka tidak melakukan kesalahan atau dosa sama sekali. Mereka bisa saja melakukan dosa tapi dengan tetap menyadari bahwa dari kalangan sahabat yang melakukan dosa hingga akhirnya dijatuhui hukuman, sangat sedikit jumlahnya, dibandingkan ribuan sahabat yang mulia yang terbukti memegang teguh jalan hidup yang lurus. Dan Allah swt. Menjaga mereka dari dosa dan maksiat, yang besar maupun kecil, dan  yang lahir maupun bathin. Sejarah yang jujur menjadi bukti atas fakta tersebut.[13]

Sementara Abu Hamid al Ghazali berkata dalam kitab Al-Mustashfa  189-190) sebagai berikut:
Yang dijadikan pegangan oleh para jumhur bahwa ‘adalah sahabat diketahui sesuai dengan pemberian sifat ‘adalah itu oleh Allah swt kepada mereka. Serta pujian-Nya bagi mereka dalam Al Qur`an. Ini adalah keyakinan kami tentang mereka. Kecuali jika terbukti secara nyata salah seorang dari mereka melakukan dosa dengan sengaja. Dan hal seperti itu ternyata tidak terjadi. Sehingga terhadap mereka tidak perlu lagi dilakukan screening ke’adalahan.[14]

Tentang keadilan sahabat ini terdapat dalil-dalil yang dapat dijadikan pegangan yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.[15] Diantara dalil-dalil itu adalah:
a.     Dalil al-Qur’an
1)  Al-Baqarah/2:143
وكذلك جعلنكم امة وسطا لتكو نوا شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا
Artinya: “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….”.
2)  Ali Imran/3:110
كنتم خير امة اخرجت لناس
Artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia....”.
    b. Dalil Sunnah
1)  Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari nabi saw. Bersabda:
خيرالقرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
Artinya: “Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian orang-orang yang mengikutinya, lalu generasi orang-orang yang mengikutinya lagi”
2)  Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari dari Said al-Khudri dari Rasulullah saw., beliau bersabda:
لاتسبوااصحابي فوالذي نفسي بيده لوانفق احدكم مثل احد ذهبا ماادرك مد احدهم ولانصيفه
Artinya: ”Janganlah kamu mencaci sahabatku, maka demi jiwaku yang ada pada kekuasaannya seandainya seseorang diantara kamu mengimfakkan emas sebesar gunung uhud, maka ia tak akan mengetahui pemberian uhud mereka dan kami takkan habis selama musim panas”.
Dari sebagian dalil tentang keadilan sahabat sebagaimana dijelaskan di atas dapat dijadikan pegangan untuk tetap meyakini keadilan sahabat. Sehingga sama sekali tidak diperbolehkan seseorang mengkritik mereka. Dengan mengkritik mereka, dikhawatirkan akan menyimpang dari al-Qur’an dan sunnah yang telah menegaskan akan keadilan mmereka. Karena al-Qur’an dan sunnah telah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap mereka atas peran besar mereka dalam menegakkan dan membela agama Allah. Demi semua itu mereka bahkan rela membunuh saudara-saudara dekat mereka dan sangat ketat dalam melaksanakan perintah agama dan menjauhi larangannya. Semua itu mengindikasikan kekuatan iman mereka, kualitas keislaman mereka dan keikhlasan mereka. Jadi tidak perlu ada lagi keraguan terhadap mereka bahwa mereka adalah para sahabat yang adil. 

C.    NAMA-NAMA SAHABAT PERAWI HADIS SERTA JUMLAH HADIS YANG DIRIWAYATKANNYA
Mengenai jumlah sahabat secara keseluruhan sebenarnya tidak ada sensus yang jelas. Ada yang menyatakan bahwa jumlah mereka keseluruhan adalah 100.000 lebih, pendapat ini mendekati pada kebenaran. Tapi pendapat yang mashhur adalah pendapat yang dikemukakan oleh Abi Zar’ah al-Razi:
قبض رسول الله صلى الله عليه وسلم عن مائة الف واربعة عشرالفا من الصحابة ممن روى عنه وسمع منه
“Rasulullah saw. telah mengumpulkan 114 ribu sahabat yang meriwayatkan dan mendengarkan hadis dari beliau”.[16]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah sahabat keseluruhan adalah berjumlah 114 ribu orang. Walaupun jumlah tersebut masih ada kemungkinan kurang atau lebih. Namun dari seluruh jumlah yang ada, yang meriwayatkan hadis lebih dari 1000 hadis hanya beberapa orang saja.
Abu Bakar saja dilaporkan hanya meriwayatkan sebanyak 140 hadis. Abdullah bin Mas’ud kurang dari itu, kemudian di bawahnya lagi Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash. Alasan kenapa Abu Bakar hanya meriwayatkan hadis sebanyak itu karena beliau wafat sebelum timbul perhatian masyarakat untuk mendengar dan menghafal hadis.[17] Sedang shabat yang meriwayatkan hadis diatas 1000, menurut pendapat Dr. at-Tahhan sebanya enam orang sahabat. Tapi menurut Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dan didukung oleh Muhammad bin Alwi al-Maliki, Abu Said al-Khudri, dan yang lainnya, adalah sebanyak tujuh orang. Mereka adalah:
1.   Abu Hurairah (Abdurrahman bin Sakhr al-Dausi al-Yamani, 195 SH – 59 H), meriwayatkan hadis sebanyak 5374;
2.   Ibn Umar (10 SH – 93 H), meriwayatkan hadis sebanyak 2630;
3.   Anas bin Malik (10 SH – 93 H), meriwayatkan hadis sebanyak 2286;
4.   ‘Aishah Ummu al-Mu’minin (9 SH – 58 H), meriwayatkan hadis sebanyak 2210;
5.   Ibn Abbas (3 SH – 69 H), meriwayatkan hadis sebanyak 1660;
6.   Jabir Abdullah (16 SH – 78 H), meriwayatkan hadis sebanyak 1540; dan
7.   Abu Said al-Khudri (Sa’ad bin Malik bin Sanan al- Ansari r.a., 12 SH – 74 H) meriwayatkan hadis sebanyak 1170.[18]
 Itulah nama-nama sahabat yang telah banyak meriwayatkan hadis. Tentunya mereka tidak hanya sekedar meriwayatkannya, tetapi juga mereka telah berusaha banyak dalam meneliti tentang kesahihan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Seperti halnya apa yang telah dilakukan oleh imam al-Bukhari, sehingga hadis-hadis yang diriwayatkannya terkenal sahih dan kitab hadisnya banyak dijadikan sebagai rujukan oleh banyak kalangan sampai sekarang.  

D.    KESIMPULAN
Dari semua penjelasan yang telah lalu, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan:
1.    Para sahabat Rasul adalah generasi terbaik yang telah banyak berjuang dengan pengorbanan harta dan jiwa mereka demi tegaknya shari’at islam;
2.    Para sahabat Rasul sebagai mediator sampainya hadis tetap dinilai sebagai seorang yang saleh dan adil yang tidak mungkin berdusta atas nama Rasul. Sekalipun mungkin sahabat berdusta atas nama Rasul, Allah sendiri yang akan membongkar kebohongan mereka;
3.    Keadilan sahabat tidak hanya dapat dilihat dari kualitas keimanan dan keislaman mereka yang sudah pasti, lebih dari itu Allah dalam al-Qur’an termasuk nabi sendiri dalam hadisnya telah menjelaskan tentang keadilan mereka;
4.   Sahabat bukanlah orang yang maksum yang sama sekali tidak mungkin berbuat dosa, tidak mungkin lupa, dan lain sebagainya; karena yang bersifat maksum hanyalah Rasulullah saw.
Jika kemudian ada sanggahan dari kaum Mu’tazilah, misalnya, yang menyatakan bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan Ali tidak bisa dikatakan adil; atau  adanya sahabat yang melakukan perbuatan dosa seperti Walid bin Uqbah; maka semua itu harus dinilai sebagai tindakan alamiyah sebagai manusia biasa yang tidak maksum. Apalagi Uqbah sebagai orang yang melakukan kesalahan, statusnya sebagai sahabat masih diperdebatkan dan juga dilaporkan bahwa dia tidak pernah meriwayatkan hadis setelah meninggalnya Rasulullah saw. Sedangkan namanya disebut pada masa hidup Rasulullah saw. semata untuk kepentingan  penjelasan hukum atas kasus yang terjadi sesuai syari’ah.
Jadi, dari kesimpulan di atas dapat dipastikan dan dapat diyakini bahwa hadis-hadis yang ada yang berasal dari periwayatan para sahabat tetap dapat dijadikan landasan hukum islam dan harus diyakini  kebenarannya bahwa semuanya benar-benar autentik berasal dari Rasulullah saw.  
DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, al-Jami’u al-Sahih, Juz. IV, Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400.

H. Abdul Majid Khon,  Ulum al-Hadith, Cet. II, Jakarta: Penerbit Amzah, 2009.

Hasbi as-Siddiqi, Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

Ibn Katsir, al-Ba’ith al-Hathith Fi Ikhtisari Ulum al-Hadith, dalam al-Maktabah al-Shamilah pada bagian kitab-kitab Mustalah al-Hadith.

Ibn Shalah, Muqaddimah ibn salah, dalam Maktabah al-Shamilah pada bagian kitab-kitab Mustalah al-Hadith.

Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah Fi Ilm Al-Riwayah, dalam al-Maktabah al-Shamilah pada bagian kitab-kitab Mustalah al-Hadith.

Mahmud al-Tahhan, Tafsir Mustalah al-Hadith, Cet. IV, Beirut: Dar al-Thaqafah, 1991.

Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadith (terj.), Cet.II, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Muhammad Yunus, Ilmu Musthalah Hadis, Jakarta: Sa’diyah Putra, 1940.

Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Cet. III, Jakarta: Ciputat Press, 2003.

Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Semua Sahabat Rasulullah saw. Adalah Adil, dalam http://fokarliska.wordpress.com/2009/05/20/.

Abdul Hayyie al-Kattani, ‘adalah Sahabah, dalam http://persis.or.id/?p=675.

Ahamad Husain Ya’qub, Keadilan Sahabat: sketsa Politik Islam Awal, dalam http://www.Urang-Sunda.or.id.




[1]H. Abdul Majid Khon,  Ulumul hadis, Cet. II, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2009),  hal. 111
[2] Mahmud At-Thahan, Tafsir Mustalah al-Hadith, (Beirut: Dar al-Thaqafah, 1991), hal. 164
[3] Muhammad ‘Ajaj al-Khathib, Ushul al-Hadith(terj.), Cet.II, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hal.379
[4] Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Cet. III, (Jakarta: Ciputat Press, 2003), hal. 170 mengutip dari Muhammad ’Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadith Ulumuhu Wa Mustalahuhu, (Damsyiq: Dar Al-Fikr, 1966), hal. 385
[5] Ibn Katsir, al-Ba’ith al-Hathith Fi Ikhtisari Ulum al-Hadith,dalam al-Maktabah al-Shamilah pada bagian kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
[6] Ibn Shalah, Muqaddimah ibn salah, hal. 64, dalam Maktabah al-Shamilah pada bagian kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
[7] Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Semua Sahabat Rasulullah saw. Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Mereka, dalam http://fokarliska.wordpress.com/2009/05/20/
[8] Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah Fi Ilm Al-Riwayah, hal. 46 dalam al-Maktabah al-Shamilah pada bagian kitab-kitab Mustalah al-Hadith.
[9]Ahamad Husain Ya’qub, Keadilan Sahabat: sketsa Politik Islam Awal, dalam http://www.Urang-Sunda.or.id
[10] Ust. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Semua Sahabat Rasulullah saw. Adalah Adil Dan Haram Hukumnya Mencaci Mereka, dalam http://fokarliska.wordpress.com/2009/05/20/
[11] Al-Bukhari, al-Jami’u al-Sahih, Juz. IV, (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400), hal 246-247
[12] Lihat: Fath al-Bari, karya Ibn Hajar al-Athqalani, hal. 78
[13] Abdul Hayyie al-Kattani, ‘adalah Sahabah, dalam http://persis.or.id/?p=675
[14] Muhammad Yunus, Ilmu Musthalah Hadis, (Jakarta: Sa’diyah Putra, 1940), hal. 38
[15] Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi…,  hal. 174-177
[16] Mahmud Tahhan, Tafsir Mustalah al-Hadith, hal. 199
[17] Hasbi As-Siddiqi, Pokok Ilmu Dirayah Hadith, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 152-153
[18] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadith (terj.), hal. 394

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...