Tuesday, October 17, 2017

MAKALAH ANALISIS AYAT MUHKAM DAN MUTASHA>BIH DALAM AL-QUR’AN

ANALISIS AYAT MUHKAM DAN MUTASHA>BIH
DALAM AL-QUR’AN 
A.    Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai sumber ajaran agama Islam pertama dan utama. Kandungannya merupakan pedoman serta hujjah yang ampuh. Al-Qur’an merupakan pegangan umat manusia, pedoman hidup (way of life) sekaligus pelita dalam hidup dan kehidupan agar dapat meraih kebahagian dunia dan akhirat.
Al-Qur’an mengandung ajaran universal yang menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, serta selalu relevan dengan setiap perkembangan zaman. Al-Qur’an selalu mampu mengimbangi bahasa zaman dan mampu memberikan jawaban-jawaban logis atas problem hidup umat manusia. Di dalamnya terkandung pokok masalah akidah, akhlak, dan shari’ah. Al-Qur’an merupakan sentral ajaran bagi umat Islam yang berfungsi sebagai hudan linna>s. Ajaran universal yang terkandung dalam al-Qur’an adalah bukti keotentikannya sebagai mu’jizat terbesar dalam sejarah kemu’jizatan para Nabi dan para Rasul.
Dalam al-Qur’an terkandung ayat atau makna yang antara satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan dan membenarkan, tidak terjadi kontradiktif di dalamnya. Seluruh ayatnya bersifat qat{‘i al-wuru>d, yang jelas diyakini eksistensinya sebagai wahyu Allah. Akan tetapi dalam masalah furu>’iyah terdapat ayat yang bersifat umum dan samar (mutasha>bih) yang memberikan peluang terhadap para mujtahid yang dalam ilmunya untuk mengembalikannya kepada maksud yang tegas (muhkam), dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat partikal (juz’i>) kepada yang bersifat universal (kulli>).  Dengan demikian, umat Islam dituntun untuk dapat memahami seluruh isi kandungannya, baik berupa ayat-ayat yang muh}kama>t maupun yang mutasha>biha>t.
B.     Analisis Masalah Ayat Muhkam dan Mutashabih dalam al Qur’an
Allah berfirman:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB (    
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkama>t  itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasha>biha>t.” (QS. A>li Imra>n [2]:7).[1]
Ayat di atas memberikan ilustrasi bahwa ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua kategori yaitu muhkama>t dan mutasha>biha>t. Ayat-ayat muhkama>t adalah (الكتاب‎أم ‏‎) ummul kitâb/induk kitab suci ini. Kata (أم‎) um diambil dari akar kata yang bermakna “dituju/menjadi arah”. Ibu dinamai um karena ibu adalah arah yang dituju oleh anak. Imam adalah arah yang dituju oleh yang mengikutinya, sehingga mereka tidak melangkah sebelum sang imam melangkah. Makmum tidak boleh ruku’ sebelum imamnya ruku’, tidak pula sujud sebelum sang imam sujud. Ayat-ayat al-Qur’an yang masuk dalam Um al-Kitab, atau dengan kata lain ayat-ayat muhkama>t, adalah yang kepadanya merujuk segala ketetapan serta menjadi penjelas terhadap ayat-ayat lain yang bersifat mutashabiha>t, yakni yang samar artinya, sehingga memerlukan keterangan dan penjelasan tambahan.
Kata um berbentuk tunggal, sedang ayat-ayat muhkama>t banyak, dan karena itu ayat ini menunjuk ayat-ayat tersebut dalam bentuk jamak (‎هن‎) hunna/mereka untuk menunjukkan bahwa kedudukannya sebagai induk bukan dalam keberadaan ayat-ayat itu secara berdiri sendiri, tetapi secara keseluruhan. Al-Biqa>’i> menulis bahwa, “karena sesuatu yang muhkam merupakan sesuatu yang sangat jelas sahingga keterikatan satu ayat dengan yang lain atau pemahaman arti satu ayat dengan ayat yang lain sedemikian mudah, maka ayat-ayat yang muhkam yang banyak itu diperlukan sebagai satu kesatuan, dan dengan demikian ayat-ayat mutasha>bih dengan mudah pula dirujuk maknanya kepada ayat-ayat muhkam itu. Ini mudah bagi yang pengetahuannya mendalam serta tulus niatnya”.
Ayat-ayat muhkamât yaitu yang kandungannya jelas, sehingga hampir-hampir tidak lagi dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung makna selain yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang memahami ayat-ayat muhkama>t dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau larangan.
Ayat di atas menunjukkan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengandung arti jelas dan tegas yang disebut ayat muhkam, dan ayat yang mempunyai arti samar serta berdekatan yang disebut mutasha>bih.
1.      Pengertian Muhkam dan Mutasha>bih serta Analisisnya
Secara etimologi kata muh}kam berasal dari ih{ka>m yang menurut al-Zarqa>ni> mempunyai berbagai konotasi, namun mengacu pada satu pengertian, yaitu al-man’u, yang berarti mencegah.
Kata Mutasha>bih berasal dari kata tasha>buh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kesamaran pada dua hal. Tasha>baha dan isha>baha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya.[2]
Sedangkan pengertian mutasha>biha>t menurut istilah sebagai lawan dari muh}kama>t, masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Al-Zarqa>ni>, Manna’ al-Qat}t}a>n dan imam-imam yang lain mengemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian muh}kam  dan mutasha>bih, yaitu sebagai berikut:
-         Muh}kam adalah lafadz yang jelas dalalah-nya yang tidak mengandung na>sikh, sedang mutasha>bih adalah lafadz yang samar, yang tidak dapat diketahui maknanya secara akal, serta tidak dapat diketahui maksudnya secara naql.[3]
-         Muh}kam adalah sesuatu yang dapat diketahui maksudnya baik secara dha>hir maupun dengan cara ta’wil. Sedang mutasha>bih hanya Allah yang mengetahuinya, seperti ayat tentang terjadinya hari kiamat, keluarnya Dajja>l, serta huruf-huruf muqa>t}a’ah yang terdapat pada awal surat.[4]
-         Muh}kam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasha>bih tidak demikian, ia memerlukan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.[5]
-         Menurut Imam Mawardi muhkam adalah yang logis maknanya, mutasha>bih adalah antonimnya. Seperti jumlah bilangan s}alat, pengkhususan bulan ramadan sebagai bulan yang diwajibkan untuk berpuasa.[6]
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muh}kam dalam Al-Quran dengan ayat-ayat na>sikh, tentang halal, haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasha>bih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat mansu>kh, dan asma’ Allah dan sifat-sifat-Nya, antara lain seperti bersemayamnya Allah di atas ‘arash, wajah Allah, dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk di dalamnya permulaan beberapa surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakikat hari kemudian serta pengetahuan tentang hari kiamat.
Dalam Kamus Ilmu Al-Qur’an, muhkama>t adalh jamak dari kata muhkam. Muhkam  adalah sebutan bagi lafal yang dengan jelas menunjukkan kepada suatu pengertian tertentu dan tidak mengundang keragu-raguan. Terhadap lafal yang muhkam manusia tidak diperkenankan memberikan takwil atau penafsiran lain, karena sudah jelas makna dan tujuannya. Sedangkan mutasha>bih adalah kata yang dipakai oleh al-Qur’an untuk menunjuk ayat-ayat yang bersifat global (mujmal)  yang membutuhkan takwil dan sukar dipahami, sebab ayat-ayat yang mujmal membutuhkan rincian, ayat yang muawwal (perlu ditakwil) dan baru diketahui maknanya setelah ditakwil.[7]
Dari beberapa pengertian dan pendapat tersebut, dapatlah diambil kesimpulan bahwa pengertian muhkam adalah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan berdiri sendiri tanpa dita’wilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak mushkil karena pengertiannya logis, sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian ayat mutasha>biha>t adalah suatu ayat yang arti dan maknanya samar, sehingga tidak dapat dijangkau akal manusia disebabkan multi interpretable sehingga cukup diyakini adanya dan tidak perlu diamalkan, karena hanya Allah yang mengetahui maksud yang sebenarnya.

2.      Sebab-sebab Adanya Ayat Muhkam dan Mutasha>bih
Sebab adanya ayat muhkam dan mutasha>bih adalah karena Allah menjadikannya demikian. Allah memisahkan ayat muhkam dari yang mutasha>bih tidak lain sebagai bahan perbandingan di antara keduanya.
Menurut jumhur ulama, sebab adanya ayat muhkam itu karena kebanyakan tertib dan susunan al-Qur’an itu rapi dan urut, sehingga umat bisa memahami dengan mudah, tidak mushkil dan tidak samar artinya serta mudah dicerna oleh akal pikiran.
Adapun sebab adanya ayat mutasha>bih secara global disebabkan tiga hal, yaitu: karena kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada lafal dan maknanya.[8]
a. Kesamaran pada lafal
Di antara sebab adanya ayat mutasha>bih karena terdapat kesamaran pada lafal, baik lafal mufrad atau murakkab. Seperti terdapat dalam lafal %1# pada kalimat %1#r'g2%ûr (dan buah-buahan serta rerumputan)  (QS. ‘Abasa: 31). Kata abban baru dapat dipahami bahwa yang dimaksud rerumputan adalah seperti bayam, kangkung, dan sebagainya yang disenangi manusia dan binatang setelah ada penjelasan dari ayat berikutnya, yaitu:
$Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌËÈ  
“untuk kesenangan kamu dan binatang-binatang ternakmu.”[9]
b. Kesamaran pada makna ayat
Terjadinya ayat mutasha>bih salah satunya karena adanya kesamaran pada makna. Misalnya, makna sifat-sifat Allah seperti Rahman dan Rahim, atau Qudrat IradatNya, maupun sifat-sifat lainnya. Dan juga seperti makna dari hal-ihwal hari kiamat, kenikmatan sorga, siksa kubur, dan siksa neraka. Dalam hal ini akal manusia tidak akan dapat menjangkau semua hal tersebut, sehingga maknanya  sulit ditangkap.
c. Kesamaran pada lafal dan makna ayat
}§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3     
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.”[10]
Orang yang tidak mengerti akan adat-istiadat bangsa Arab pada masa jahiliyah, tidak akan paham terhadap maksud ayat tersebut. Kesamaran ayat tersebut terjadi pada lafalnya yang terlalu ringkas, juga maknanya yang mengandung arti khusus yaitu tentang kebiasaan atau adat-istiadat bangsa Arab yang tidak mudah diketahui oleh orang lain. Ayat tersebut baru akan ditangkap maksudnya apabila diikuti ungkapan oJær#ks0`ŠHsH NFY2b# (jika kalian sedang melakukan ihram untuk haji atau untuk umrah).  Jadi lafal ayat ini lebih mengedepankan kebudayaan lokal Arab, di mana pada masa jahiliyah orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa suatu kebajikan bukan terletak pada cara tetapi pada kondisi riligiusitas seseorang yaitu dari kadar ketakwaannya.
Dalam sumber yang sama Abdul Jalal mengutip pendapatnya Imam Al-Raghib Al-Asfihani yang menyatakan bahwa sebab adanya tasha>buh dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu pada aspek kata, seperti kata al-yad (tangan) dan kata al-‘ain (mata) yang mempunyai beberapa pengertian, aspek makna, dan aspek makna serta kata sekaligus.[11] Akan tetapi pada point ketiga yaitu kesamaran dari aspek lafal dan maknanya terdapat kesamaran pada lima aspek, antara lain:
-         aspek kuantitas (al-kammiyah), seperti masalah ‘amm dan khass,
-         aspek cara (al-kaifiyyah), seperti bagaimana cara melaksanakan kewajiban agama atau kesunnahannya,
-         aspek waktu, seperti batas sampai kapan melaksanakan suatu perbuatan,
-         aspek tempat, seperti dimaksud dalam surah al-Baqarah ayat 189,
-         aspek sharat-sharat melakukan sesuatu kewajiban juga samar, seperti bagaimana sharat sahnya s}alat, puasa, haji, nikah, dan sebagainya.[12]
Sedangkan ulama yang lain berpendapat bahwa sebab-sebab terjadinya ayat mutasha>bih adalah:
1.      Salah satu kata yang digunakan tidak popular di kalangan pendengarnya. Seperti jika Anda berbicara kepada seseorang di pedesaan yang tidak mengerti satu suku kata yang bisa jadi popular di kota tempat Anda. Kata (‎ابا‎ ) abban dalam QS. ‘abasa (80): 31, tidak diketahui artinya oleh Umar Ibn Khat}t}ab ra., sehingga ayat itu –pada mulanya- buat beliau adalah mutasha>bih. Termasuk dalam bagian ini –menurut banyak ulama- huruf-huruf yang terdapat pada awal surah-surah tertentu, seperti Alif Lâm Mîm.
2.      Kata yang digunakan mempunyai arti yang bermacam-macam, seperti kata (‎قروء‎) quru>’ yang dapat berarti “suci” dan dapat juga berarti “haid”.  Yang manakah yang dimaksud oleh ayat al-Baqarah (2): 228, yang memerintahkan wanita yang dicerai agar menanti tiga quru>’? Ulama berbeda pendapat akibat kesamaran tersebut.
3.      Makna yang dikandungnnya tidak jelas, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang persoalan metafisika, nama atau sifat-sifat Allah, dan lain-lain. Apa makna “tangan Allah” atau “wajah-Nya” dan lain-lain. Dalam hal ini juga terdapat perbedaan.
3.      Macam-macam Ayat Mutasha>bih
Berdasarkan sebab-sebab adanya ayat mutasha>bih, maka macam-macam ayat tersebut ada tiga macam, yaitu:
-         ayat-ayat mutasha>bih yang tidak dapat diketahui oleh umat manusia, kecuali Allah,
* ¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# Ÿw !$ygßJn=÷ètƒ žwÎ) uqèd 4  
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. (QS. Al-An’Am: 59).[13] 
-         Ayat mutasha>bih yang dapat diketahui semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang mendalam. Seperti merinci yang mujmal, menentukan yang mushtarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang tertib, dan sebagainya.
-         Ayat mutasha>bih yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, tidak semua orang, apalagi orang awam, seperti dijelaskan dalam surah Ali Imran ayat 7 sebagai berikut.
    $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$#       
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya….(QS. Ali Imran: 7).[14] 
Mengenai apakah ayat-ayat mutasha>bih itu dapat diketahui arti dan maksudnya atau tidak, para ulama berbeda pendapat seperti yang akan dijelaskan berikut ini.

4.      Perbedaan Pendapat Ulama tentang Ayat Muhkam dan Mutasha>bih
Ulama berbeda pendapat tentang maksud ayat mutasha>bih yang sesungguhnya, apakah maksud ayat tersebut hanya Allah yang mengetahuinya atau manusia juga dapat memahami.
Perselisihan pendapat itu berpangkal pada penafsiran firman Allah:
É{Où=Ïèø9$#Îû bqãź§9$#ur}, apakah ayat tersebut di’at}afkan kepada lafal !$# yang sebelumnya, sedang {bqä9qà)tƒ} kedudukannya sebagai hal atau bqãź§9$#u merupakan mubtada’ dan khabarnya  bqä9qà)tƒ, sedang wawu adalah isti’naf (tanda permulaan)? [15]
Pendapat ini diikuti oleh sebagian kecil ulama, di antaranya adalah:
a). Imam Mujahid dan sahabat-sahabatnya serta Imam Nawawi memilih pendapat pertama, kalimat Où=Ïèø9$#Îû bqãź§9$# itu diat}afkan pada lafal !$#. Pendapat ini berasal dari riwayat Ibnu Abbas, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut. 1) Hadith riwayat Ibnu Munzir dari Mujahid dari Ibnu Abbas r.a. mengenai firman Allah:
$tBur ãNn=÷ètƒ ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$#  
m=ƒr(AN=æ#`JH %T#
Ibnu Abbas berkata: “saya termasuk orang-orang yang lebih mengetahui ta’wilannya”.[16]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Al Dahhak bahwa dia berkata: “orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui ta’wilnya. Jika mereka tidak mengetahui ta’wilnya, maka mereka tidak dapat membedakan antara yang nasikh dan yang mansukh, yang halal dan yang haram, yang muhkam dengan yang mutasha>bih. Imam Nawawi mengatakan pendapat yang pertama ini yang paling s}ahih, sebab tidak mungkin Allah mengkhit}ab hambaNya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.[17]
b). Adapun kebanyakan sahabat, tabi’i>n dan ta>bi’u al-tabi’i>n serta ulama setelah mereka, khususnya ulama ahlu al-sunnah lebih memilih pendapat yang kedua, yaitu lafal al-ra>sikhuna menjadi mubtada’, khabarnya lafal yaqu>lu>na. Menurut Ibnu Abbas riiwayat ini yang paling s}ahih. Kelompok ini menganggap ayat mutasha>bih tidak dapat diketahui maksudnya oleh manusia, karena dalam pandangan mereka ayat-ayat mutasha>bih diturunkan hanya untuk menguji iman mereka. Seperti ayat yang menjelaskan tentang sifat Tuhan yang mengarah pada sifat-sifat tajsi>m (menganggap Tuhan mempunyai bentuk: antropomorfisme).
      Kalau kita analisa lebih jauh, pada dasarnya yang menjadi inti persoalan dalam ayat-ayat mutasha>bih adalah tentang anggapan bahwa Tuhan mempunyai bentuk (antropomorfisme) yang kemudian dinisbahkan kepada bentuk manusia. Berkaitan dengan permasalahan ini muncul tiga golongan.
1.      Ahl al-Ta’wil atau golongan mu’awwilah, yakni golongan yang mena’wilkan ayat-ayat sifat Allah dengan mengutamakan pengertian yang tersirat dari ayat tersebut. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain, Mu’tazilah, Shi’ah, dan beberapa tokoh Ash’ariyah, seperti Imam al-Haramain al-Juwaini.
2.      Al-Sifatiyyah al-Mutawaqqifah, yaitu golongan yang mengakui adanya sifat-sifat tersebut seperti yang tercantum dalam ayat, akan tetapi mereka tidak berani menjabarkannya secara tegas. Mereka percaya, berdasarkan ayat sifat tersebut Tuhan mempunyai tangan (yad) tapi tidak mengetahui bagaimana Tuhan itu sesungguhnya. Demikian juga sifat wajah, mata, dan lain sebagainya.
3.      Al Sifa>tiyyah al-Mutashabbiha>t, yaitu golongan yang menyerupakan sifat-sifat itu dengan sifat-sifat makhluk atau manusia.[18]
Di samping itu, terkait dengan masalah muhkam  dan mutasha>bih, Ibnu Habib An-Naisaburi mengemukakan bahwa dalam permasalahan ini terdapat tiga pendapat, yaitu:
Pertama, semua ayat al-Qur’an adalah muhkam, dalilnya adalah firman Allah  {ô çmçG»tƒ#uäPMyJÅ3ômé&ë=»tGÏ.} (kitab yang dimuhkam-kan ayat-ayatnya). Menurut pendapat pertama ini al-Qur’an kata-katanya kokoh, fasih (jelas dan indah) dan membedakan antara yang hak dengan yang bat}il, antara yang benar dengan yang salah.
Pendapat pertama, orientasinya dititik-beratkan pada masalah kebaikan, kerapian susunan tertib ayat-ayatnya, kebenaran lafal dan maknanya, serta tidak adanya kekurangan maupun kerancuan.
Kedua, semua ayat al-Qur’an adalah mutasha>bih. Dalilnya adalah:
{ÓR%VI  %g1%±FI  %1%E¿2} (al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang). Maksudnya sebagian kandungan al-Qur’an itu serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain, tapi masih mempunyai kesesuaian makna. Dengan kata lain, pendapat ini lebih menfokuskan pada segi relevansi, homogenitas dan keserasian susunannya, baik dalam soal aturan hukumnya, keindahan sastra seni balaghahnya yang mencapai klimaks kemu’jizatan, maupun soal susunan kata dan keterkaitan makna. Hal itulah yang menyebabkan rangkaian kata/kalimat dalam al-Qur’an bagaikan untaian suatu kesatuan yang bulat.
Sedangkan pendapat yang ketiga mengatakan bahwa “ayat itu tidak menunjukkan adanya pembatasan pada salah satu dari dua hal itu. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah {NgŠ9#AR%H¨%Z=<`Š6F9} (agar kamu menjelaskan kepada para manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka).      
Sementara ayat yang muhkam  adalah pengetahuan yang tidak membutuhkan dalil lagi, dan ayat mutasha>bih tidak dapat diharapkan penjelasannya.[19]
Pendapat ketiga, memang secara tegas melendingkan orientasinya pada segi realitas dan eksistensi al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam.
Tiga perrbedaan pendapat tersebut membuktikan sifat fleksibelitas dan universalitas serta elastisitas al-Qur’an, yang semua itu tidak akan mengurangi nilai keotentikannya.
Selain golongan yang telah di sebutkan di atas, sebagai bentuk respon positif dari kalangan ulama mufassir mengenai masalah boleh tidaknya manusia menafsirkan ayat mutasha>bih terdapat tiga pendapat lain, yang pada hakikatnya masih senada dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Di antaranya adalah sebagai berikut.[20]
a.       Pendapat jumhur ulama Ahlu al-Sunnah dan sebagian ahli ra’yi mengatakan bahwa arti dan maksud ayat-ayat mutasha>biha>t itu tidak perlu ditafsiri, melainkan cukup diimani adanya dan diserahkan kepada Allah Swt saja makna dan maksudnya, demi me-Maha Sucikan-Nya.
b.      Pendapat segolongan ulama Ahlu al-Sunnah dan kebanyakan ahli ra’yi berpendapat, perlu mena’wilkan ayat-ayat mutasha>bih yang relevan dengan keagungan Allah Swt. Sebab dalam pandangannya, dalam kitab suci al-Qur’an tidak sesuatu lafal/kalimat pun yang tidak bisa diketahui umat manusia. Jadi paling tidak diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya, atau yang disebut rasikh.
c.       Pendapat golongan ulama lain, seperti Ibnu Daqiqi al-‘Id menengahi kedua pandangan tersebut, yaitu bahwa kalau mena’wilkan ayat-ayat mutasha>bih itu relevan dengan bahasa Arab, maka tidak perlu diingkari dan perlu diterima. Tetapi jika ta’wilannya jauh dari bahasa Arab, maka harus ditawaqqufkan (ditangguhkan) dan tidak diamalkan melainkan cukup diimani maksudnya yang sesuai dengan sifat Allah yang Maha Suci.
Maka dari itu kita sebagai orang yang sedikit berbekal ilmu (agama) menjadi keniscayaan untuk bersikap demokrat serta tidak fanatik dalam menyikapi terjadinya berbagai perbedaan, dalam hal ini tentang penafsiran ayat-ayat mutasha>bih, tentu dengan sebuah catatan, selama interpretasi itu tidak menyimpang dan menentang, atau tidak sampai kontradiktif dengan maksud dahir ayat tersebut.
5.      Hikmah Rahasia Adanya Ayat Muhkam dan Mutasha>bih
  1. Hikmah ayat muhkamat
Adanya ayat muhkam dalam al-Qur’an memiliki beberapa faedah bagi manusia, di antaranya adalah:
-         menjadi rahmat bagi manusia, khususnya yang kemampuan bahasa Arabnya lemah.
-         memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya.
-         mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan a-Qur’an.
-         menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam mempelajari isi kandungannya.[21]
  1. Hikmah ayat mutasha>bih
Menurut Fakhruddin al-Razi yang merangkum pandangan-pandangan ulama sebelumnya, hikmah diturunkannya ayat mutasha>bih itu ada lima.
-         Menambah pahala, karena para ilmuwan akan termotivasi untuk melakukan ijtihad.
-         Dapat memperluas wawasan, karena dengan sendirinya peneliti dituntut untuk melakukan perbandingan pandangannya dengan pandangan golongan lain.
-         Dapat menumbuhkan sikap ilmiah dan sekaligus memerangi taklid.
-         Menambah ilmu pengetahuan, karena untuk bisa menafsirkan suatu ayat dengan baik, ia harus menguasai berbagai disiplin ilmu yang terkait, seperti ilmu bahasa, gramatika, dan us}ul fikh.
-         Sebagai isharat bahwa secara umum kandungan al-Qur’an mencakup kalangan khawas i(orang-orang tertentu) dan awam.[22]

C.    Penutup
Dari uraian singkat di atas penulis dapat mengambil konklusi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat dua kategori ayat yaitu muhkam (maksudnya jelas) dan mutasha>bih (ayat yang masih membutuhkan penafsiran). Dalam hal ini terdapat tiga pandangan, yaitu: yang pertama, menganggap semua ayat dalam al-Qur’an adalah muhkam, kedua, memandang seluruh ayat al-Qur’an adalah mutasha>bih, sementara pendapat ketiga mengatakan sebagian ayat muhkam dan sebagian yang lain mutasha>bih.
Perbedaan pandangan tersebut tidak lepas dari pendekatan yang mereka gunakan serta dari sudut mana ia memandang. Akan tetapi perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan signifikan yang perlu diperdebatkan karena mereka sama-sama berangkat dari argumen yang kuat dengan didukung dalalah yang benar. 
Adapun hikmah yang paling menonjol dari diturunkannya ayat muhkam dan mutasha>bih ini adalah bertambahnya wawasan keilmuan serta menumbuhkan sikap ilmiah yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya taklid (buta).



[1] R.H.A. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al-Qur’an, 1971), 76.
[2] Ramli Abdul Wahid, Ulum Al-Qur’an  (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 81.
[3]Al-Zarqa>ni>, Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’an., Juz II  (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), 272.
[4] Abdul Djalal H.A, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 240.
[5] Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj Aunur Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006), 266.
[6] Imam Jalaluddin As Suyuthi, Samudera Ulumul Qur’an Jil. 3 (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2008),  2.
[7] Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2008), 189 dan 210.
[8] Abdul Djalal H.A, Ulumul Qur’an, 244.
[9] R.H.A. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1026.
[10] Ibid., 46.
[11] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 315.
[12] Abdul Jalal, H.A., 250-251.
[13] R.H.A. Soenarjo, 196.
[14] Ibid., 76
[15] Imam Jalaluddin As Suyuthi, 4.
[16] Ibid
[17] Abdul Jalal, 254.
[18] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, 315.
[19] Imam Jalaluddin As Suyuthi, Samudera Ulumul, 1.
[20] Abdul Jalal, 259-261.
[21] Abdul Jalal, 256-257.
[22] Azyumardi Azra, 316.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...