ANALISIS
AYAT MUHKAM DAN MUTASHA>BIH
DALAM AL-QUR’AN
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
Saw sebagai sumber ajaran agama Islam pertama dan utama. Kandungannya merupakan
pedoman serta hujjah yang ampuh. Al-Qur’an merupakan pegangan umat manusia,
pedoman hidup (way of life) sekaligus
pelita dalam hidup dan kehidupan agar dapat meraih kebahagian dunia dan
akhirat.
Al-Qur’an mengandung ajaran universal yang menyentuh seluruh aspek
kehidupan manusia, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, serta selalu
relevan dengan setiap perkembangan zaman. Al-Qur’an selalu mampu mengimbangi
bahasa zaman dan mampu memberikan jawaban-jawaban logis atas problem hidup umat
manusia. Di dalamnya terkandung pokok masalah akidah, akhlak, dan shari’ah. Al-Qur’an
merupakan sentral ajaran bagi umat Islam yang berfungsi sebagai hudan linna>s. Ajaran universal yang
terkandung dalam al-Qur’an adalah bukti keotentikannya sebagai mu’jizat
terbesar dalam sejarah kemu’jizatan para Nabi dan para Rasul.
Dalam al-Qur’an terkandung ayat atau makna yang antara satu dengan yang
lainnya saling menyempurnakan dan membenarkan, tidak terjadi kontradiktif di
dalamnya. Seluruh ayatnya bersifat qat{‘i al-wuru>d, yang jelas
diyakini eksistensinya sebagai wahyu Allah. Akan tetapi dalam masalah furu>’iyah terdapat ayat yang
bersifat umum dan samar (mutasha>bih) yang
memberikan peluang terhadap para mujtahid yang dalam ilmunya untuk
mengembalikannya kepada maksud yang tegas (muhkam),
dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang
bersifat partikal (juz’i>) kepada
yang bersifat universal (kulli>). Dengan demikian, umat Islam dituntun untuk
dapat memahami seluruh isi kandungannya, baik berupa ayat-ayat yang muh}kama>t
maupun yang mutasha>biha>t.
B.
Analisis
Masalah Ayat Muhkam dan Mutashabih dalam al Qur’an
Allah berfirman:
uqèd
üÏ%©!$#
tAtRr& y7øn=tã
|=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB
×M»t#uä
ìM»yJs3øtC £`èd
Pé&
É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB
(
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepada kamu. Di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkama>t
itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasha>biha>t.” (QS. A>li Imra>n [2]:7).[1]
Ayat di atas memberikan ilustrasi bahwa ayat-ayat yang
terkandung dalam al-Qur’an terbagi menjadi dua kategori yaitu muhkama>t dan mutasha>biha>t. Ayat-ayat muhkama>t adalah (الكتابأم ) ummul kitâb/induk kitab suci ini. Kata (أم) um diambil dari akar kata
yang bermakna “dituju/menjadi arah”. Ibu dinamai um karena ibu adalah arah yang dituju oleh anak. Imam adalah arah yang dituju oleh yang mengikutinya,
sehingga mereka tidak melangkah sebelum sang imam melangkah.
Makmum tidak boleh ruku’ sebelum
imamnya ruku’, tidak pula sujud sebelum sang imam sujud. Ayat-ayat al-Qur’an yang masuk dalam Um al-Kitab, atau dengan kata lain ayat-ayat muhkama>t, adalah yang kepadanya merujuk segala ketetapan serta menjadi penjelas terhadap
ayat-ayat lain yang bersifat mutashabiha>t,
yakni yang samar artinya, sehingga memerlukan keterangan dan penjelasan tambahan.
Kata um
berbentuk tunggal, sedang ayat-ayat muhkama>t
banyak, dan karena itu ayat ini
menunjuk ayat-ayat tersebut dalam bentuk jamak (هن) hunna/mereka untuk menunjukkan
bahwa kedudukannya sebagai induk bukan dalam keberadaan ayat-ayat itu secara berdiri sendiri, tetapi secara keseluruhan. Al-Biqa>’i>
menulis bahwa, “karena sesuatu yang muhkam merupakan sesuatu yang sangat
jelas sahingga keterikatan satu ayat dengan yang lain
atau pemahaman arti satu ayat dengan ayat yang lain sedemikian mudah, maka ayat-ayat yang muhkam yang banyak itu diperlukan sebagai satu kesatuan, dan dengan demikian ayat-ayat mutasha>bih dengan mudah pula dirujuk maknanya kepada
ayat-ayat muhkam itu. Ini mudah bagi yang pengetahuannya mendalam serta tulus niatnya”.
Ayat-ayat muhkamât
yaitu yang kandungannya jelas, sehingga hampir-hampir tidak lagi dibutuhkan penjelasan tambahan untuknya, atau yang tidak mengandung
makna selain yang terlintas pertama kali dalam benak. Ada juga yang
memahami ayat-ayat muhkama>t dalam arti ayat-ayat yang mengandung perintah melaksanakan sesuatu atau
larangan.
Ayat di atas menunjukkan bahwa di dalam al-Qur’an
terdapat ayat-ayat yang mengandung arti jelas dan tegas yang disebut ayat muhkam, dan ayat yang mempunyai arti
samar serta berdekatan yang disebut mutasha>bih.
1.
Pengertian
Muhkam dan Mutasha>bih serta Analisisnya
Secara etimologi kata muh}kam berasal dari ih{ka>m yang
menurut al-Zarqa>ni> mempunyai berbagai konotasi, namun mengacu pada satu
pengertian, yaitu al-man’u, yang berarti mencegah.
Kata Mutasha>bih berasal
dari kata tasha>buh yang secara bahasa berarti keserupaan dan
kesamaan yang biasanya membawa kesamaran pada dua hal. Tasha>baha dan
isha>baha berarti dua hal yang masing-masing menyerupai yang lainnya.[2]
Sedangkan pengertian mutasha>biha>t menurut
istilah sebagai lawan dari muh}kama>t, masih diperselisihkan oleh para ulama. Imam Al-Zarqa>ni>, Manna’
al-Qat}t}a>n dan imam-imam yang lain mengemukakan beberapa pendapat mengenai
pengertian muh}kam dan mutasha>bih, yaitu sebagai berikut:
-
Muh}kam adalah lafadz yang jelas dalalah-nya yang tidak
mengandung na>sikh, sedang mutasha>bih adalah lafadz yang
samar, yang tidak dapat diketahui maknanya secara akal, serta tidak dapat
diketahui maksudnya secara naql.[3]
-
Muh}kam adalah sesuatu yang dapat diketahui maksudnya baik secara dha>hir
maupun dengan cara ta’wil. Sedang mutasha>bih hanya Allah yang
mengetahuinya, seperti ayat tentang terjadinya hari kiamat, keluarnya
Dajja>l, serta huruf-huruf muqa>t}a’ah
yang terdapat pada awal surat.[4]
-
Muh}kam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa
memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasha>bih tidak demikian, ia
memerlukan penjelasan dengan merujuk pada ayat-ayat lain.[5]
-
Menurut
Imam Mawardi muhkam adalah yang logis maknanya, mutasha>bih adalah
antonimnya. Seperti jumlah bilangan s}alat, pengkhususan bulan ramadan sebagai
bulan yang diwajibkan untuk berpuasa.[6]
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muh}kam dalam Al-Quran dengan
ayat-ayat na>sikh, tentang halal, haram, hudud, kewajiban,
janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasha>bih mereka
mencontohkan dengan ayat-ayat mansu>kh, dan asma’ Allah dan
sifat-sifat-Nya, antara lain seperti bersemayamnya Allah di atas ‘arash, wajah
Allah, dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk di dalamnya permulaan
beberapa surat yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakikat hari
kemudian serta pengetahuan tentang hari kiamat.
Dalam Kamus Ilmu Al-Qur’an, muhkama>t
adalh jamak dari kata muhkam.
Muhkam adalah sebutan bagi lafal
yang dengan jelas menunjukkan kepada suatu pengertian tertentu dan tidak
mengundang keragu-raguan. Terhadap lafal yang muhkam manusia tidak diperkenankan memberikan takwil atau
penafsiran lain, karena sudah jelas makna dan tujuannya. Sedangkan mutasha>bih adalah kata yang dipakai
oleh al-Qur’an untuk menunjuk ayat-ayat yang bersifat global (mujmal) yang membutuhkan takwil dan sukar dipahami,
sebab ayat-ayat yang mujmal
membutuhkan rincian, ayat yang muawwal (perlu
ditakwil) dan baru diketahui maknanya setelah ditakwil.[7]
Dari beberapa pengertian dan pendapat tersebut, dapatlah
diambil kesimpulan bahwa pengertian muhkam
adalah lafal yang artinya dapat diketahui dengan jelas dan berdiri sendiri
tanpa dita’wilkan karena susunan tertibnya tepat, dan tidak mushkil karena pengertiannya logis,
sehingga dapat diamalkan karena tidak dinasakh. Sedangkan pengertian ayat mutasha>biha>t
adalah suatu ayat yang arti dan maknanya samar, sehingga tidak dapat
dijangkau akal manusia disebabkan multi
interpretable sehingga cukup diyakini adanya dan tidak perlu diamalkan,
karena hanya Allah yang mengetahui maksud yang sebenarnya.
2.
Sebab-sebab
Adanya Ayat Muhkam dan Mutasha>bih
Sebab
adanya ayat muhkam dan mutasha>bih adalah karena Allah
menjadikannya demikian. Allah memisahkan ayat muhkam dari yang mutasha>bih
tidak lain sebagai bahan perbandingan di antara keduanya.
Menurut
jumhur ulama, sebab adanya ayat muhkam
itu karena kebanyakan tertib dan susunan al-Qur’an itu rapi dan urut, sehingga
umat bisa memahami dengan mudah, tidak mushkil
dan tidak samar artinya serta mudah dicerna oleh akal pikiran.
Adapun
sebab adanya ayat mutasha>bih secara global disebabkan tiga hal, yaitu:
karena kesamaran pada lafal, pada makna, dan pada lafal dan maknanya.[8]
a. Kesamaran pada lafal
Di antara
sebab adanya ayat mutasha>bih karena
terdapat kesamaran pada lafal, baik lafal mufrad
atau murakkab. Seperti terdapat dalam
lafal %1# pada
kalimat %1#r'g2%ûr (dan
buah-buahan serta rerumputan) (QS.
‘Abasa: 31). Kata abban baru dapat
dipahami bahwa yang dimaksud rerumputan adalah seperti bayam, kangkung, dan
sebagainya yang disenangi manusia dan binatang setelah ada penjelasan dari ayat
berikutnya, yaitu:
$Yè»tG¨B ö/ä3©9 ö/ä3ÏJ»yè÷RL{ur ÇÌËÈ
“untuk kesenangan kamu dan binatang-binatang ternakmu.”[9]
b. Kesamaran pada makna ayat
Terjadinya
ayat mutasha>bih salah satunya
karena adanya kesamaran pada makna. Misalnya, makna sifat-sifat Allah seperti Rahman dan Rahim, atau Qudrat IradatNya, maupun sifat-sifat lainnya. Dan juga
seperti makna dari hal-ihwal hari kiamat, kenikmatan sorga, siksa kubur, dan
siksa neraka. Dalam hal ini akal manusia tidak akan dapat menjangkau semua hal
tersebut, sehingga maknanya sulit
ditangkap.
c. Kesamaran pada lafal dan makna ayat
}§øs9ur É9ø9$#
br'Î/
(#qè?ù's? Vqãç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §É9ø9$# Ç`tB
4s+¨?$#
3
“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya,
akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa.”[10]
Orang yang
tidak mengerti akan adat-istiadat bangsa Arab pada masa jahiliyah, tidak akan
paham terhadap maksud ayat tersebut. Kesamaran ayat tersebut terjadi pada
lafalnya yang terlalu ringkas, juga maknanya yang mengandung arti khusus yaitu
tentang kebiasaan atau adat-istiadat bangsa Arab yang tidak mudah diketahui
oleh orang lain. Ayat tersebut baru akan ditangkap maksudnya apabila diikuti
ungkapan oJær#ks0`HsH NFY2b# (jika
kalian sedang melakukan ihram untuk haji atau untuk umrah). Jadi lafal ayat ini lebih mengedepankan
kebudayaan lokal Arab, di mana pada masa jahiliyah orang-orang yang berihram di
waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa suatu kebajikan bukan terletak pada cara tetapi
pada kondisi riligiusitas seseorang yaitu dari kadar ketakwaannya.
Dalam
sumber yang sama Abdul Jalal mengutip pendapatnya Imam Al-Raghib Al-Asfihani
yang menyatakan bahwa sebab adanya tasha>buh
dalam al-Qur’an ada tiga, yaitu pada aspek kata, seperti kata al-yad (tangan) dan kata al-‘ain (mata) yang mempunyai beberapa
pengertian, aspek makna, dan aspek makna serta kata sekaligus.[11]
Akan tetapi pada point ketiga yaitu kesamaran dari aspek lafal dan maknanya
terdapat kesamaran pada lima aspek, antara lain:
-
aspek kuantitas (al-kammiyah),
seperti masalah ‘amm dan khass,
-
aspek cara (al-kaifiyyah),
seperti bagaimana cara melaksanakan kewajiban agama atau kesunnahannya,
-
aspek waktu, seperti batas sampai kapan melaksanakan
suatu perbuatan,
-
aspek tempat, seperti dimaksud dalam surah al-Baqarah
ayat 189,
-
aspek sharat-sharat melakukan sesuatu kewajiban juga
samar, seperti bagaimana sharat sahnya s}alat, puasa, haji, nikah, dan
sebagainya.[12]
Sedangkan
ulama yang lain berpendapat bahwa sebab-sebab terjadinya ayat mutasha>bih adalah:
1.
Salah satu
kata yang digunakan tidak popular di kalangan pendengarnya. Seperti jika Anda berbicara kepada seseorang di pedesaan yang tidak mengerti satu suku
kata yang bisa jadi popular di kota tempat Anda. Kata (ابا ) abban dalam QS. ‘abasa (80): 31, tidak
diketahui artinya oleh Umar Ibn Khat}t}ab ra., sehingga ayat itu –pada mulanya-
buat beliau adalah mutasha>bih. Termasuk dalam bagian ini –menurut
banyak ulama- huruf-huruf yang terdapat pada awal surah-surah tertentu,
seperti Alif Lâm Mîm.
2.
Kata yang
digunakan mempunyai arti yang bermacam-macam, seperti kata (قروء) quru>’ yang dapat berarti “suci” dan dapat juga berarti
“haid”. Yang manakah yang dimaksud oleh ayat al-Baqarah (2): 228, yang memerintahkan wanita yang
dicerai agar menanti tiga quru>’? Ulama berbeda pendapat akibat
kesamaran tersebut.
3.
Makna yang dikandungnnya
tidak jelas, seperti ayat-ayat yang berbicara tentang persoalan metafisika, nama atau sifat-sifat Allah, dan lain-lain. Apa makna
“tangan Allah” atau “wajah-Nya” dan lain-lain. Dalam hal ini juga terdapat
perbedaan.
3.
Macam-macam
Ayat Mutasha>bih
Berdasarkan
sebab-sebab adanya ayat mutasha>bih, maka macam-macam ayat tersebut ada tiga
macam, yaitu:
-
ayat-ayat mutasha>bih yang tidak dapat diketahui oleh
umat manusia, kecuali Allah,
* ¼çnyYÏãur ßxÏ?$xÿtB É=øtóø9$# w !$ygßJn=÷èt wÎ) uqèd 4
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada
yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri. (QS. Al-An’Am: 59).[13]
-
Ayat mutasha>bih
yang dapat diketahui semua orang dengan jalan pembahasan dan pengkajian yang
mendalam. Seperti merinci yang mujmal, menentukan yang mushtarak, mengqayyidkan yang mutlak, menertibkan yang kurang
tertib, dan sebagainya.
-
Ayat mutasha>bih
yang hanya dapat diketahui oleh para pakar ilmu dan sain, tidak semua
orang, apalagi orang awam, seperti dijelaskan dalam surah Ali Imran ayat 7
sebagai berikut.
$tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3
tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$#
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah, dan
orang-orang yang mendalam ilmunya….(QS. Ali Imran: 7).[14]
Mengenai
apakah ayat-ayat mutasha>bih itu
dapat diketahui arti dan maksudnya atau tidak, para ulama berbeda pendapat
seperti yang akan dijelaskan berikut ini.
4.
Perbedaan
Pendapat Ulama tentang Ayat Muhkam dan Mutasha>bih
Ulama
berbeda pendapat tentang maksud ayat mutasha>bih
yang sesungguhnya, apakah maksud ayat tersebut hanya Allah yang
mengetahuinya atau manusia juga dapat memahami.
Perselisihan
pendapat itu berpangkal pada penafsiran firman Allah:
É{Où=Ïèø9$#Îû bqãź§9$#ur}, apakah ayat tersebut di’at}afkan kepada lafal !$# yang sebelumnya, sedang {bqä9qà)t} kedudukannya sebagai
hal atau bqãź§9$#u merupakan mubtada’ dan khabarnya
bqä9qà)t, sedang wawu adalah isti’naf (tanda permulaan)? [15]
Pendapat ini diikuti
oleh sebagian kecil ulama, di antaranya adalah:
a). Imam
Mujahid dan sahabat-sahabatnya serta Imam Nawawi memilih pendapat pertama,
kalimat Où=Ïèø9$#Îû bqãź§9$# itu
diat}afkan pada lafal !$#. Pendapat
ini berasal dari riwayat Ibnu Abbas, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut. 1)
Hadith riwayat Ibnu Munzir dari Mujahid dari Ibnu Abbas r.a. mengenai firman
Allah:
$tBur ãNn=÷èt ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3
tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$#
m=r(AN=æ#`JH %T#
Ibnu Abbas berkata: “saya termasuk orang-orang yang lebih mengetahui
ta’wilannya”.[16]
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan
dari Al Dahhak bahwa dia berkata: “orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui
ta’wilnya. Jika mereka tidak mengetahui ta’wilnya, maka mereka tidak dapat
membedakan antara yang nasikh dan
yang mansukh, yang halal dan yang
haram, yang muhkam dengan yang mutasha>bih. Imam Nawawi mengatakan
pendapat yang pertama ini yang paling s}ahih, sebab tidak mungkin Allah
mengkhit}ab hambaNya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.[17]
b). Adapun
kebanyakan sahabat, tabi’i>n dan ta>bi’u al-tabi’i>n serta ulama
setelah mereka, khususnya ulama ahlu
al-sunnah lebih memilih pendapat yang kedua, yaitu lafal al-ra>sikhuna menjadi mubtada’,
khabarnya lafal yaqu>lu>na. Menurut
Ibnu Abbas riiwayat ini yang paling s}ahih. Kelompok ini menganggap ayat mutasha>bih tidak dapat diketahui
maksudnya oleh manusia, karena dalam pandangan mereka ayat-ayat mutasha>bih diturunkan hanya untuk
menguji iman mereka. Seperti ayat yang menjelaskan tentang sifat Tuhan yang
mengarah pada sifat-sifat tajsi>m (menganggap
Tuhan mempunyai bentuk: antropomorfisme).
Kalau kita
analisa lebih jauh, pada dasarnya yang menjadi inti persoalan dalam ayat-ayat mutasha>bih adalah tentang anggapan
bahwa Tuhan mempunyai bentuk (antropomorfisme) yang kemudian dinisbahkan kepada
bentuk manusia. Berkaitan dengan permasalahan ini muncul tiga golongan.
1.
Ahl
al-Ta’wil atau golongan mu’awwilah,
yakni golongan yang mena’wilkan ayat-ayat sifat Allah dengan mengutamakan
pengertian yang tersirat dari ayat tersebut. Yang termasuk dalam golongan ini
antara lain, Mu’tazilah, Shi’ah, dan beberapa tokoh Ash’ariyah, seperti Imam
al-Haramain al-Juwaini.
2.
Al-Sifatiyyah
al-Mutawaqqifah, yaitu golongan yang mengakui adanya sifat-sifat tersebut
seperti yang tercantum dalam ayat, akan tetapi mereka tidak berani menjabarkannya
secara tegas. Mereka percaya, berdasarkan ayat sifat tersebut Tuhan mempunyai
tangan (yad) tapi tidak mengetahui
bagaimana Tuhan itu sesungguhnya. Demikian juga sifat wajah, mata, dan lain
sebagainya.
3.
Al
Sifa>tiyyah al-Mutashabbiha>t, yaitu golongan yang menyerupakan sifat-sifat itu dengan
sifat-sifat makhluk atau manusia.[18]
Di samping
itu, terkait dengan masalah muhkam dan mutasha>bih,
Ibnu Habib An-Naisaburi mengemukakan bahwa dalam permasalahan ini terdapat
tiga pendapat, yaitu:
Pertama, semua ayat al-Qur’an adalah muhkam, dalilnya adalah firman Allah {ô çmçG»t#uäPMyJÅ3ômé&ë=»tGÏ.} (kitab
yang dimuhkam-kan ayat-ayatnya). Menurut pendapat pertama ini al-Qur’an kata-katanya kokoh, fasih (jelas dan
indah) dan membedakan antara yang hak dengan yang bat}il, antara yang benar
dengan yang salah.
Pendapat
pertama, orientasinya dititik-beratkan pada masalah kebaikan, kerapian susunan
tertib ayat-ayatnya, kebenaran lafal dan maknanya, serta tidak adanya
kekurangan maupun kerancuan.
Kedua, semua ayat al-Qur’an adalah mutasha>bih. Dalilnya adalah:
{ÓR%VI %g1%±FI %1%E¿2} (al-Qur’an
yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang). Maksudnya
sebagian kandungan al-Qur’an itu serupa dengan sebagian yang lain dalam
kesempurnaan dan keindahannya, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain, tapi
masih mempunyai kesesuaian makna. Dengan kata lain, pendapat ini lebih
menfokuskan pada segi relevansi, homogenitas dan keserasian susunannya, baik
dalam soal aturan hukumnya, keindahan sastra seni balaghahnya yang mencapai
klimaks kemu’jizatan, maupun soal susunan kata dan keterkaitan makna. Hal
itulah yang menyebabkan rangkaian kata/kalimat dalam al-Qur’an bagaikan untaian
suatu kesatuan yang bulat.
Sedangkan
pendapat yang ketiga mengatakan bahwa
“ayat itu tidak menunjukkan adanya pembatasan pada salah satu dari dua hal itu.
Hal ini dikuatkan dengan firman Allah {Ng9#AR%H¨%Z=<`6F9} (agar kamu
menjelaskan kepada para manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka).
Sementara
ayat yang muhkam adalah pengetahuan yang tidak membutuhkan
dalil lagi, dan ayat mutasha>bih tidak
dapat diharapkan penjelasannya.[19]
Pendapat
ketiga, memang secara tegas melendingkan orientasinya pada segi realitas dan
eksistensi al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam.
Tiga
perrbedaan pendapat tersebut membuktikan sifat fleksibelitas dan universalitas serta
elastisitas al-Qur’an, yang semua itu tidak akan mengurangi nilai
keotentikannya.
Selain
golongan yang telah di sebutkan di atas, sebagai bentuk respon positif dari
kalangan ulama mufassir mengenai masalah boleh tidaknya manusia menafsirkan
ayat mutasha>bih terdapat tiga pendapat lain, yang pada hakikatnya masih
senada dengan pendapat-pendapat sebelumnya. Di antaranya adalah sebagai
berikut.[20]
a.
Pendapat jumhur ulama Ahlu al-Sunnah dan sebagian ahli ra’yi mengatakan bahwa arti dan maksud
ayat-ayat mutasha>biha>t itu tidak perlu ditafsiri, melainkan cukup
diimani adanya dan diserahkan kepada Allah Swt saja makna dan maksudnya, demi
me-Maha Sucikan-Nya.
b.
Pendapat segolongan ulama Ahlu al-Sunnah dan kebanyakan
ahli ra’yi berpendapat, perlu
mena’wilkan ayat-ayat mutasha>bih yang
relevan dengan keagungan Allah Swt. Sebab dalam pandangannya, dalam kitab suci
al-Qur’an tidak sesuatu lafal/kalimat pun yang tidak bisa diketahui umat
manusia. Jadi paling tidak diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya, atau
yang disebut rasikh.
c.
Pendapat golongan ulama lain, seperti Ibnu Daqiqi al-‘Id
menengahi kedua pandangan tersebut, yaitu bahwa kalau mena’wilkan ayat-ayat mutasha>bih itu relevan dengan bahasa
Arab, maka tidak perlu diingkari dan perlu diterima. Tetapi jika ta’wilannya
jauh dari bahasa Arab, maka harus ditawaqqufkan
(ditangguhkan) dan tidak diamalkan melainkan cukup diimani maksudnya yang
sesuai dengan sifat Allah yang Maha Suci.
Maka dari
itu kita sebagai orang yang sedikit berbekal ilmu (agama) menjadi keniscayaan
untuk bersikap demokrat serta tidak fanatik dalam menyikapi terjadinya berbagai
perbedaan, dalam hal ini tentang penafsiran ayat-ayat mutasha>bih, tentu dengan sebuah catatan, selama interpretasi
itu tidak menyimpang dan menentang, atau tidak sampai kontradiktif dengan
maksud dahir ayat tersebut.
5.
Hikmah
Rahasia Adanya Ayat Muhkam dan Mutasha>bih
- Hikmah
ayat muhkamat
Adanya ayat
muhkam dalam al-Qur’an memiliki beberapa faedah bagi manusia, di antaranya
adalah:
-
menjadi rahmat bagi manusia, khususnya yang kemampuan
bahasa Arabnya lemah.
-
memudahkan manusia mengetahui arti dan maksudnya.
-
mendorong umat untuk giat memahami, menghayati, dan
mengamalkan isi kandungan a-Qur’an.
-
menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam
mempelajari isi kandungannya.[21]
- Hikmah
ayat mutasha>bih
Menurut
Fakhruddin al-Razi yang merangkum pandangan-pandangan ulama sebelumnya, hikmah
diturunkannya ayat mutasha>bih itu
ada lima.
-
Menambah pahala, karena para ilmuwan akan termotivasi
untuk melakukan ijtihad.
-
Dapat memperluas wawasan, karena dengan sendirinya
peneliti dituntut untuk melakukan perbandingan pandangannya dengan pandangan
golongan lain.
-
Dapat menumbuhkan sikap ilmiah dan sekaligus memerangi
taklid.
-
Menambah ilmu pengetahuan, karena untuk bisa menafsirkan
suatu ayat dengan baik, ia harus menguasai berbagai disiplin ilmu yang terkait,
seperti ilmu bahasa, gramatika, dan us}ul fikh.
-
Sebagai isharat bahwa secara umum kandungan al-Qur’an
mencakup kalangan khawas i(orang-orang
tertentu) dan awam.[22]
C.
Penutup
Dari uraian singkat di atas penulis dapat mengambil
konklusi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat dua kategori ayat yaitu muhkam (maksudnya jelas) dan mutasha>bih
(ayat yang masih membutuhkan penafsiran).
Dalam hal ini terdapat tiga pandangan, yaitu: yang pertama, menganggap semua ayat dalam al-Qur’an adalah muhkam, kedua, memandang seluruh ayat
al-Qur’an adalah mutasha>bih, sementara
pendapat ketiga mengatakan sebagian
ayat muhkam dan sebagian yang lain mutasha>bih.
Perbedaan pandangan tersebut tidak lepas dari pendekatan
yang mereka gunakan serta dari sudut mana ia memandang. Akan tetapi perbedaan
tersebut tidak menjadi persoalan signifikan yang perlu diperdebatkan karena
mereka sama-sama berangkat dari argumen yang kuat dengan didukung dalalah yang benar.
Adapun hikmah yang paling menonjol dari diturunkannya
ayat muhkam dan mutasha>bih ini adalah bertambahnya wawasan keilmuan serta
menumbuhkan sikap ilmiah yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya taklid
(buta).
[1] R.H.A.
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al-Qur’an, 1971), 76.
[2] Ramli
Abdul Wahid, Ulum Al-Qur’an (Jakarta: Rajawali Press, 1993), 81.
[3]Al-Zarqa>ni>,
Mana>hil al-‘Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’an., Juz II (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), 272.
[4] Abdul
Djalal H.A, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), 240.
[5] Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, terj Aunur Rafiq El-Mazni,
(Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 2006), 266.
[7] Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Al-Qur’an (Jakarta : Amzah, 2008), 189 dan 210.
[10] Ibid., 46.
[11] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, Jilid 3 (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 315.
[12] Abdul Jalal, H.A.,
250-251.
[14] Ibid., 76
[16] Ibid
[17] Abdul Jalal, 254.
[18] Azyumardi Azra, Ensiklopedi Islam, 315.
[19] Imam
Jalaluddin As Suyuthi, Samudera Ulumul, 1.
[20] Abdul Jalal,
259-261.
[21] Abdul Jalal,
256-257.

No comments:
Post a Comment