BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hadis
memiliki peranan yang sangat penting dalam
memahami agama Islam. Hadis juga sebagai sumber hukum Islam kedua
setelah Al-Quran yang secara kualitas, hadis harus mencapai tingkat kesahihan
agar dapat diterima kehujjahannya.
Pada awal
Islam hadis tidak ditulis secara resmi sebagaimana Al-Qur’an, hanya saja
penulisannya bersifat pribadi. Untuk menjaganya cukup dengan mengandalkan daya
hafalan para sahabat, tabi’in maupun ulama’. Upaya penulisan dan pembukuan hadis
secara resmi baru terealisasi pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul
‘Aziz, karena kekhawatirannya akan hilangnya ilmu.[1]
Tenggang
waktu yang yang cukup panjang kurang lebih satu abad, membuka peluang besar
timbulnya Hadis maudhu>’ (palsu). Adanya peringatan dari Nabi
Muhammad SAW. terhadap para pemalsu hadis merupakan indikasi adanya pemalsuan hadis
pada masa Rasulullah. Namun, hal itu masih dapat diatasi karena dapat
diklarifikasi langsung kepada Raulullah SAW, demikian juga dapat dilakukan pada
masa sahabat, mereka sangat berhati-hati dalam
menerima dan menyampaikan hadis.
Perkembangan
selanjutnya, pada saat suhu politik di kalangan umat Islam pasca khulafa>’
al-Rasyidu>n, mulai adanya
perpecahan (Syi’ah, Khawarij dan Jumhur), maka muncullah hadis-hadis palsu demi
kepentingan kelompok mereka masing-masing. Sehingga terjadilah kekaburan di
masyaraat antara hadis yang benar-benar dari Nabi Muhammad SAW atau bukan.
Terkait
dengan problematika di atas, secara garis besar makalah ini akan membahas
tentang pengertian hadis maudhu>’, sejarah pertumbuhan dan
faktor-faktor penyebab timbulnya, serta ciri maudhu>’’ dari sanad dan
matannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hadis Maudu>’
Hadis maudhu>’’ secara etimologi,
merupakan bentuk isim maf’ul dari وضع - يضع
kata وضع
mempunyai beberapa
makna antara lain :
1. Meninggalkan
atau melalaikan ( الـــتــرك ),
misal dalam kalimat : موضوعة ابل unta yang ditinggalkan ( ditempat penggembalaannya
)
2. Menggugurkan ( الاسقاط ) misal
dalam kalimat وضع الجناية عنه Hakim
menggugurkan perkaranya, atau berarti menurunkan tingkatnya
(
الا
نحطاط في الرتبة )
3. Mengada-adakan
dan membuat- buat ( الافتراءوالاْختلاق) misalnya dalam kalimat : ( وضع فلان هذه القصة) fulan
membuat-buat dan mengada-ada kisah ini.[2]
Sedangkan pengertian hadis maudu>’ secara teminologi dapat dilihat beberapa
pendapat berikut ini:
1. Menurut
‘ulama’ hadis, hadis maudu>’ yaitu sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasul
SAW. secara mengada-ada dan dusta dari sesuatu, yang tidak beliau sabdakan,
beliau kerjakan ataupun tidak beliau tetapkan.[3]
2. Menurut
Jalal al-Di>n Al-Sayuti , hadis maudu>’ yaitu sesuatu yang dibuat-buat (disusun)
dan merupakan tingkatan hadith dha’if yang paling buruk.[4]
3. Muhammad
Abu Rayyah, hadis maudu>’’ yaitu hadis yang dicipta serta
dibuat oleh seseorang pendusta, yang ciptaan itu dibangsakan kepada Rasulullah
SAW secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja, maupun tidak.[5]
4. Muhammad
Alawi al-Maliki, hadis maudu>’’ yaitu hadis yang dibuat dan
dihubungkan kepada Nabi Muhammad SAW. atau kepada sahabat, atau kepada tabi’in,
dan materinya bersifat mendustakan.[6]
Dari
pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadis maudhu’ adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapannya, secara rekaan atau dusta semata-mata.
Kata-kata atau istilah yang biasa
dipakai untuk hadis maudhu>’ , adalah al-mukhtalaqu>, al-muhtala’u>,
al-mashnu>’ dan al-makzu>b. Kata tersebut memiliki arti yang
hampir sama. Pemakaian kata-kata tersebut lebih mengokohkan (ta’kid) bahwa
hadis semacam ini semata-mata dusta atas nama Rasulullah SAW.[7]
B. Sejarah
Munculnya Hadis Maudu>’
Masuknya secara massal penganut
agama lain ke dalam Islam, yang merupakan akibat dari keberhasilan dakwah
Islamiyah ke seluruh pelosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor
munculnya hadis-hadis palsu. Tidak bisa dinafikan bahwa masuknya mereka ke
Islam, di samping ada yang benar-benar ikhlas tertarik dengan ajaran Islam yang
dibawa oleh para muballigh, ada juga segolongan mereka yang menganut agama
Islam hanya karena terpaksa tunduk pada kekuasaan Islam pada waktu itu.
Golongan ini dikenal dengan kaum munafik.[8]
Golongan munafik tersebut
senantiasa menyimpan dendam dan dengki terhadap Islam dan penganutnya. Mereka
senantiasa menunggu peluang yang tepat untuk merusak damn menimbulkan keraguan
dalam hati orang-orang Islam. Maka datanglah waktu yang ditunggu-tunggu oleh
mereka, yaitu pada masa pemerintahan Sayyidina Usman bin Affan (w. 35 H).
Golongan inilah yang mulai menaburkan benih-benih fitnah yang pertama. Salah
seorang tokoh yang berperan dalam upaya menghancurkan Islam pada masa Usman bin
Affan adala Abdullah bin Saba’, seorang penganut Yahudi yang menyatakan telah
memeluk Islam.[9]
Dengan bertopengkan pembelaan keada
Sayyidina Ali dan ahli bait, ia menjelajah ke segenap pelosok untuk menabur
fitnah kepada orang ramai. Ia menyatakan bahwa Ali lebih berhak menjadi
khalifah daripada Usman, bakan lebih berhak daripada Abu Bakar dan Umar. Hal
itu karena menurut Abdullah bin Saba’, sesuai dengan wasiat dari Nabi SAW.
Lalu, untuk mendukung propaganda tersebut , ia membuat satu hadis maudhu’
yang artinya, “Setiap Nabi itu ada penerima wasiatnya dan penerima wasiatku
adalah Ali”.[10]
Namun, penyebaran hadis maudhu>’
pada masa itu belum begitu meluas karena masih banyak sahabat utama
yang masih hidup dan mengetahui dengan penuh yakin akan kepalsuan suatu hadis.
Sebagai contoh, Sayyidina Usman, ketika beliau mengetahui hadis maudhu>’’
yang dibuat oleh Ibnu Saba’ beliau mengambil tindakan dengan mengusir Ibnu
Saba’ dari Madinah. Begitu juga yang dilakukan oleh Sayyidina Ali setelah
beliau menjadi khalifah.
Para sahabat ini mengetahui bahaya
dari hadis maudhu>’’ karena ada ancaman yang keras dari Rasulullah
SAW. Terhadap pemalsu hadis, sebagaimana sabda Nabi yang artinya:
“Barang siapa yang berdusta atas
namaku dengan sengaja, dia telah menempah tempatnya di dalam neraka”.[11]
Walaupun begitu, golongan ini terus
mencari-cari peluang yang ada, terutama setelah terjadinya pembunuhan Usman.
Kemudian, muncul golongan-golongan, seperti golongan yang ingin menuntut bela
atas kematian Usman, golongan yang mendukung Ali, dan golongan yang tidak
memihak kepada golongan pertama maupun kepada golongan kedua. Kemudian, untuk
mempengaruhi orang banyak supaya memihak kepada golongannya masing-masing,
orang-orang munafik dari masing-masing golongan tersebut membuat hadis-hadis
palsu yang menunjukkan kelebihan dan keunggulannya. Menyadari hal ini, para
sahabat Nabi memberi perhatian terhadap hads yang disebarkan oleh seseorang.
Mereka tidak mudah menerima sekiranya mereka meragukan kesahihan hadis itu.[12]
Setelah zaman sahabat berlalu,
penelitian dan penilaian terhadap hadis-hadis Nabi SAW. Mulai melemah. Ini
menyebabkan banyaknya periwayatan dan penyebaran hadis yang secara tidak
langsung telah turut menyebabkan terejadinya pendustaan terhadap Rasulullah dan
sebagian sahabat. Ditambah lagi dengan adanya konflik politik di antara umat
Islam yang semakin hebat, telah membuka peluang kepada golongan tertentu yang
mencoba bersengkongkol dengan penguasa untuk memalsukan sebuah hadis.
Sebagai contoh, pernah terjadi di
zaman Khalifah Abbasiyah, hadis-hadis maudhu’ dibuat untuk mengambil
hati para khalifah. Seperti kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i bersama Amirul
Mukminin Al-Mahdi, ketika datang kepadanya dan dia sedang bermain merpati.
Lalu, ia menyebut hadis dengan sanadnya secara berturut-turut sampai kepada
Nabi Muhammad SAW. Bahwa beliau bersabda:
لا
سبق الا فى نصل او خف او حافر او جناح
Artinya : Tidak ada perlombaan , kecuali dalam anak panah, ketangkasan,
atau menunggang kuda, atau burung yang bersayap.
Ia menambahkan kalimat “atau burung yang
bersayap”, untuk menyenangkan Al-Mahdi, lalu Al-Mahdi memberinya sepuluh ribu
dirham. Setelah ia berpaling, Sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa tengkukmu
adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.”, lalu ia memerintahkan untuk
menyembelih merpati itu.[13]
Walaupun demikian, tahap penyebaran
hadis-hadis maudhu’ pada masa itu masih lebih kecil dibandingkan dengan
zaman-zaman berikutnya. Hal ini, karena masih banyaknya tabiin yang menjaga
hadis-hadis dan menjelaskan di antara yang lemah dan yang sahih. Dan juga
karena pada saat itu masih dianggap hampir sezaman dengan Nabi Muhammad SAW.
dan disebut oleh Nabi sebagai di antara sebaik-baik zaman.
Pengajaran-pengajaran serta wasiat dari Nabi masih segar di kalangan mereka
yang menyebabkan mereka dapat menganalisa kepalsuan-kepalsuan hadis.
C. Faktor-faktor
yang Melatarbelakangi Munculnya Hadis Maudu>’
1. Faktor
politik
Gerakan pemalsuan hadis pertama
kali muncul pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Tepatnya ketika terjadi
konflik antara beliau dan gubenur Damaskus Muawiyah bin Abi Sufyan. Akibat
peristiwa itu umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Secara politik
umat Islam terpecah menjadi tiga golongan yaitu Jumhur, Khawarij, dan Syi’ah.[14] Masing-masing
kelompok ingin melegitimasi pendapatnya dengan Al-qur’an dan Al-Hadith,namun
mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya. Oleh karena
itu, sabagian mereka membuat hadis maudhu>’ (palsu). Contoh hadis
palsu dari kelompok syi’ah adalah:
وصى
وموقع سرى وخليفتي في اهلي وخير من اخلف بعد علي
Artinya
:“Orang yang saya wasiati, tumpuan hatiku, penggantiku dalam keluargaku dan
orang terbaik memegang khalifah sesudahku adalah Ali”.[15]
Diantara
Hadis buatan kelompok Muawiyah adalah:
الامناء
عند الله ثلا ثة : انا و جبريل ومعا وية
Artinya: “Orang-orang yang
terpercaya di sisi Allah ada tiga, aku, Jibril dan Muawiyah”.[16]
Adapun kelomok khawarij, tidak ada
riwayat yang tegas pemalsuan hadis dari mereka. Kelompok Khawarij tidak memalsukan
hadis untuk menguatkan kelompoknya, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa
berdusta termasuk dosa besar dan pelaku dosa besar adalah kafir.[17]
2. Mencari
muka kepada penguasa
Golongan ini sengaja memalsukan
hadis, untuk memperoleh penghargaan, pendirian dan mendukung kepentingan
penguasa. Seperti sabda Nabi SAW:
لا سبق الا فى نصل او خف او حافر
او جناح
Artinya
:“tidak ada perlombaan, kecuali dalam anak panah, ketangkasan, atau
menunggang kuda, atau burung yang
bersayap”.
Kalimat ( او جناح) di atas adalah tambahan dari Giyath bin
Ibrahim, ketika itu dia tidak masuk ke istana Khalifah Mahdi dan khalifah
sedang memperlombakan burung merpati, lalu kholifah memberinya 10 dirham.[18]
Giyath memperoleh pemberian tersebut, karna dia mensahkan perbuatan Mahdi,
dengan memberikan dalil, seolah-olah perbuatan kholifah tersebut sesuai dengan
sunah Nabi SAW. Tetapi, ketika Ghiyats berdiri hendak pergi, Khalifah Mahdi
berkata, “Saya bersaksi bahwa tengkukmu itu adalah tengkuk seorang pendusta
kepada Nabi SAW. Nabi tidak pernah bersabda seperti itu, hanya Ghiyats yang
ingin menjilat diriku”. Akhirnya Khalifah Mahdi menyuruh agar burung merpati
itu disembelih.[19]
3. Fanatisme
kelompok
Maksud penulis adalah fanatik
kebangsaan (Arab-non Arab). Tempat dan pemimpin. Golongan yang fanatik kepada
bangsa parsi membuat hadis seperti ini:
إن
كلام الذين حول العرش بالفارسية
Artinya
:“Sesungguhnya percakapan mereka yang ada disekitar ‘arsy adalah dengan bahasa
parsi”.[20]
Lalu golongan penentangnya membalas
dengan pernyataan dibawah ini:
أبغض
الكلام الى الله الفارسية وكلام
أهل الجنة العربية
Artinya
:“percakapan yang paling dibenci oleh Allah adalah bahasa Parsi. Dan
percakapan penghuni surga adalah bahasa Arab”.[21]
Menurut Ajjaj al-Khatib,
faktor-faktor pendorong fanatisme
tersebut disebabkan karena roda pemerintahan pada era Umayyah ada pada bangsa
Arab, sehingga non arab mengupayakan persamaan antara mereka dengan orang-orang
arab, mengadakan berbagai gerakan demi merealisasikan persamaan yang mereka
idamkan, salah satunya adalah memalsukan keutamaan-keutamaan mereka .Ajjaj juga
mengatakan bahwa perpindahan pusat pemerintahan Islam dari satu negara ke
negara lain memiliki pengaruh yang sangat dalam mendorong sebagian fanatik
untuk memalsukan hadis-hadis tentang keutamaan–keutamaan negeri, tempat dan
pemimpin mereka.[22]
4. Para
Penutur Cerita
Ada sejumlah penutur cerita yang
biasa duduk di masjid atau di pasar, dan memprogandakan hadis palsu yang disandarkan kepada Nabi SAW.
Mereka melakukan hal tersebut demi memperoleh pemberian–pemberian dari
pendengarnya.[23]
Salah satu contoh
riwayat tentang kedustaan para tukang cerita adalah yang diriwayatkan oleh Abu
Ja’far Muhammad Al Tayalisi, katanya Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in
shalat di Masjid Al-Rasafah. Kemudian ada seorang penutur cerita di hadapan
jamaah berkata; telah meriwayatkan kepada kami
Ahmad bin Hambal dan Yahya bin Ma’in keduanya berkata: Telah meriwayatkan
kepada kami Abdul Al-Razaq Ma’mar Qatadah dari Anas: Rasulullah SAW. bersabda:
من قال لااله الاالله خلق الله من كل كلمة طائرا
منفاره من ذهب وريشه من مرجان
Artinya : (Barangsiapa mengucapkan
La-Ilaha-illa-Allah, maka Allah akan menciptakan satu burung dari
setiap katanya, yang paruhnya dari emas dan bulunya dari marjan).[24]
5.
Senang Kebaikan
Tanpa Pengetahuan Agama
Sebagian orang saleh dan
zahid, melihat kesibukan masyarakat dengan urusan duniawi dan meninggalkan
urusan akhirat, lalu mereka membuat hadis-hadis palsu dengan harapan mendapat
pahala dari Allah SWT. Kebodohan merekalah yang menyebabkan mereka melakukan
hal tersebut.[25] Golongan ini paling
berbahaya terhadap agama dari orang lain sebab kaum awam akan mengambil,
membenarkan apa yang mereka perbuat, karena kaum awam tidak pernah membayangkan
mereka berbuat dusta. Kebanyakan hadis-hadis yang dipalsukan mengenai
keutamaan-keutamaan al-Qur’an karena dia melihat masyarakat ketika itu
berpaling dari membaca al-Qur’an.
6.
Zandaqah
Golongan ini terdiri dari
orang-orang Yahudi, Majusi dan Nashrani, yang senantiasa menyimpan dendam
terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu melawan kekuatan Islam secara terbuka,
maka mereka mengambil jalan menciptakan hadis maudhu’ dengan tujuan
merusak ajaran Islam. [26]
Di antara mereka adalah Mughirah bin Sa’ad al-Kafi dan Muhammad bin Sa’id,
mereka juga menipu kaum ulama’ terpelajar, mengadakan adu hadis, dan
menuturkannya untuk menumbuhkan kebingungan dibenak orang Islam.
Muhammad
bin Sa’ad telah meriwayatkan suatu ungkapan dari Humaid dari Annas dari Nabi
yang mengatakan :
أنا خاتم
النبيين لا نبي
بعدي إلا أن
يشاء الله
(Saya
adalah Nabi penutup ,tidak ada Nabi setelah saya, kecuali jika allah
mengizinkannya).
Dia memalsukan pengecualian ini,
untuk mendukung pengkhianatan dan bid’ahnya, agar masyarakat memperdulikan
pengakuannya sebagai nabi.[27]
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat
hadis maudhu>’ dari kalangan orang zindiq, adalah :
a. Abdul
Karim bin Abi’ al-Auja’ telah membuat sekitar 4000 hadis maudu>’ tentang hukum halal-haram.
Akhirnya, ia dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaimam, Walikota Bashrah.
b. Muhammad
bin Sa’id al-Mashlub, yang akhirnya dibunuh oleh Abu Ja’far al-Manshur.
c. Muhammad
bin Sam’an AL-Mahdy, yang mati dibunuh oleh Khalid bin Abdillah.[28]
7. Sebab
yang tidak disengaja
Ada sekelompok orang yang melakukan
kesalahan walaupun mereka sendiri tidak bermaksud mengada-ada hadith tersebut,
seperti mereka yang melakukan kesalahan dalam periwayatan, umpamanya ketika
sebuah isnad hanya berujung pada sahabat atau tabi’in. Mereka secara keliru
menisbahkan matan hadith itu kepada Nabi. Pada kenyataannya adalah bahwa hadith
tersebut sebagai ucapan atau tabi’in .[29]
D. Ciri-Ciri
Hadis Maudu>’
Ciri
Hadith Maudu’ dapat diketahui dari sanad atau matannya :
A. Tanda-
tanda Hadis Maudu>’ pada sanad
1. Pengakuan
perawi akan kedustaannya, seperti yang dilakukan oleh Abdul Karim al-Wadhdha’.
Ini merupakan bukti terkuat mengenai kepalsuan hadis.[30]
Atau pengakuan Abu ‘Ishmah bin Abu Maryam, ia mengakui membuat hadis-hadis
palsu yang berkaitan dengan keutamaan membaca surat-surat Al-Quran. Ia
menyebutkan bahwa hadis-hadis itu diterimanya dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas.
Sementara murid-murid Ikrimah yang lain tidak menerima hadis tersebut. Ketika
di tanya tentang hal itu, Abu Ismah menjawab, “Sekarang ini saya melihat
orang-orang sudah tidak mau lagi membaca dan mempelajari al-Quran. Karenanya
saya membuat hadis-hadis itu agar orang-orang mau kembali mempelajari
al-Quran.”[31]
2. Semi
pengakuan, maksudnya pemalsu hadis terkadang tidak mengakui bahwa ia memalsu
hadis. Namun ketika ditanya kapan ia lahir dan kapan gurunya wafat, ia
memberikan jawaban yang tidak tepat. Misalnya gurunya ternyata wafat sebelum ia
lahir, jadi ia tidak pernah bertemu sama sekali dengan gurunya itu, sementara
hadis yang ia sampaikan hanya berasal dari gurunya.[32]
3. Perawi
yang dikenal sebagai pendusta meriwayatkan suatu hadis seorang diri, dan tidak
ada perawi lain yang thiqah yang meriwayatkannya. Sehingga riwatnya
dihukumi palsu. [33]
4. Di
antara tanda kepalsuan hadis, adalah hal ihwal perawi, seperti yang diceritakan
Sa’ad ibn Tharif, ketika putranya pulang dari sekolah dalam keadaan menangis,
lalu ia bertanya, mengapa menangis? Ia menjawab: aku dipukul oleh guru. Ia
berkata: hari ini aku akan membuat para guru itu kapok, telah meriwayatkan
kepadaku Ikrimah dari Ibnu Abbas secara marfu’:
معلموا
صبيا نكم شراركم اقلهم رحمة لليتيم واغلظهم على المسا كين
Artinya: Para
pengajar anak-anak kalian adalah
orang-orang terburuk di antara kalian, palin sedikit rasa belas kasihannya
kepada anak yatim dan paling keras terhadap orang miskin.[34]
B. Tanda-
tanda pada matan
1. Rusaknya
makna (arti) hadis dan secara empiris tidak rasional.
Contoh
:
الباذنجان شفاء من
كل داء.
“Terong
itu (bermanfaat) sesuai dengan tujuan
memakannya”.[35]
Demikian pula hadis yang
menunjukkan di perbolehkannya hal-hal yang menimbulkan kerusakan dan tingkah
laku yang menimbulkan sahwat.
Contoh
:
النظر الى الوجه
الجميل عبادة
“Melihat
wajah yang cantik adalah ibadah”.
Contoh
lain :
ثلاثة تزيد
في البصر النظر
الى الحضرة والماء
الحارى والوجه الحسن
“Ada
tiga (obyek pengamatan) yang dapat menambah (ketajaman) penglihatan, yaitu
melihat yang hijau-hijau, melihat air yang mengalir dan melihat wajah yang
cantik”.
Demikian juga hadith yang isinya
hal-hal yang irasional, seperti hadith :
المجرة التي
في السماء من عرق الافعى
التي تحت العرش
“Bima
sakti yang berada di langit berasal dari keringat ular berbisa yang berada di
bawah arsy”.[36]
2.
Hadis bertentangan dengan al-Qur’a>n[37]
Contoh
:
ولد الزنا
لا يدخل الجنة
إلي سبعة أبناء
“Anak
zina tidak akan masuk surga hingga tujuh keturunan”.
Hadith
ini bertentangan dengan firman Allah :
ولا تزر
وازرة وزر أخرى
“Dan
tidak seorang yang bersalah menanggung kesalahan orang
lain”.[38]
3.
Bertentangan dengan hadis mutawatir
من ولد
له ولد فسماه
محمدا كان هو
ومولوده في الجنة
“Barangsiapa
mempunyai anak laki dinamai Muhammad maka ia dan anaknya masuk surga”.[39]
Contoh
lain:
من إسمه
محمدا أو أحمد
وان كان من
يسمى بهذه الاسماء
لا يدخل النار
“Barangsiapa
yang diberi nama Muhammad atau Ahmad maka ia tidak akan masuk neraka”.
Hadith-hadith ini bertentangan
dengan sunnah Rasul, bahwa masuk surga itu karena iman dan amal shaleh.[40]
4. Bertentangan
dengan ijma’ yang qat}’i
Misalnya hadis yang menegaskan
bahwa Ali r.a menerima wasiat dari Rasulullah untuk menjadi penggantinya.
Contoh:
إن لكل
نبي وصيا ووارثا
وان وصيتى ووارثي
علي ابن ابي
طالب
“Sesungguhnya
setiap Nabi itu mempunyai penerima wasiat dan pewaris, dan sesungguhnya
penerima wasiatku dan pewarisku adalah Ali bin Abi Thalib”.
Hadis-hadis
ini adalah palsu karena bertentangan
dengan ijma’ qat}’i, bahwa Rasulullah tidak menetapkan/menunjuk seorang
sebagai penggantinya sesudah beliau wafat.[41]
5. Susunan lafaznya sangat buruk, dan bisa
dirasakan oleh ahli bahasa Arab, bahwa lafaz seperti itu tidak mungkin keluar
dari orang yang fasih lisannya, apalagi dari Nabi SAW. Imam Ibnu Daqiqi al-‘Id mengatakan,
bahwa banyak ulama ahli hadis yang menilai hadis maudhu’ dari segi
susunan lafaznya. Hal itu dikarenakan para ahli hadis adalah orang-orang yang
telah menguasai dan selalu menggeluti lafaz-lafaz hadis, sehingga secara
intuitif dengan mudah mereka dapat mengidentifikasi mana lafaz yang pantas
keluar dari lisan Nabi dan mana yang tidak.[42]
BAB
III
PENUTUP
Simpulan
Dari
uraian pada bab pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Hadis
maudhu>’ merupakan hadis yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. baik berupa perkataan , perbuatan atau
ketetapannya secara rekaan atau dusta semata.
2. Latar
belakang atau sejarah munculnya hadis palsu adalah masuknya secara massal penganut
agama lain ke agama Islam, yang mana tidak semua yang masuk Islam tersebut
memiliki tujuan yang baik, kemudian pada masa pemerintahan khalifah Usman r.a dan Ali r.a. orang yang benci terhadap Islam
tersebut menyebarkan fitnah kepada masyarakat tentang siapa yang berhak menjadi
khalifah setelah wafatnya Rasuullah SAW. dengan menebar hadis palsu. Akan tetapi
usaha mereka dapat diatasi karena para sahabat Nabi tabi’in masih hidup.Namun,
pada perkembangan berikutnya dengan munculnya ketegangan politik pada masa
sahabat dan tabi’in menyebaban hadis maudhu>’’ berkembang cukup
pesat.
3. Faktor-faktor
penyebab munculnya hadis palsu ini antara lain yaitu faktor politik, mencari
muka kepada penguasa, fanatisme kelompok, para penutur cerita, senang kebaikan
tanpa pengetahuan agama, zindiqah, dan sebab yang tidak disengaja.
4. Ciri-ciri
hadis maudhu>’’ dapat diketahui dari segi sanadnya, antara lain: Pengakuan
perawi akan kedustaannya, adanya semi
pengakuan dari perawi hadis, dan perawi dikenal sebagai pendusta . Sedangkan
ciri dari segi matannya antara lain : Rusaknya makna (arti) hadis dan secara
empiris tidak rasional, hadis bertentangan dengan al-Qur’a>n, bertentangan
dengan hadis mutawatir, bertentangan
dengan ijma’ yang qat}’i, dan
susunan lafaznya sangat buruk sehingga sangat mudah dinilai oleh ulama hadis apakah hadis tersebut asli
dari Nabi atau bukan.
[1] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mustalahul Hadis, (Bandung: PT al-Ma’rif, 1995), 43.
[2] Muh}ammad, ‘Ajjaj Al-Khatib, Us}ul
al-Hadi>th ‘Ulumuh}u wa Must}alah}uhu, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1989, 415.
[3] Ibid.
[4]
Jalal al-Din Al-Sayuti}, Tadri>b
al-Rawy>, Editor ‘Abd al-Wahhab ‘Abd al-Latif, (Kairo: Da>r al-Kutub
al-Hadithah, 1996), 148.
[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mustalahul Hadis...,143.
[6]
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Usul Hadith, Terj. Adnan Qohar, (
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 141.
[7] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1996), 189.
[8] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadith, (Bandung :
Pustaka setia, 2008), 172.
[9] Ibid, 173.
[10] Ibid.
[12] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, Ulumul
Hadith …., 174.
[13] Manna Al-Qathan, Maba>hith fi al-‘Ulu>m al-Had>ith, Terj. Mifdhol Abdurrahman, (Jakarta ;Pustaka Al-Kautsar, 2005), 149.
[14] Subh}i al-S}a>lih}.
‘Ulum al-H}adi>th wa mus}t}alahuh}, (Beirut : Da>r al-‘Ilm li
al-Malayin, 1997), 263.
[16] Ibid, 420.
[17] Hasby ash-Shiddieqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis. (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), 248.
[19] Ali Mustafa Yaqub, Kritik
Hadis,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), 84.
[21] Ibid.
[22] Ibid
[23] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), 113.
[26] Sa’ad
Sa’ad Jawis, Al-Sunnah al-Musharrafah wa ‘Ulu>m al-Hadi>th, (Kairo:
Da>r al-Tibah al-Muhammadiyah, 1994), 78. dan Lihat Juga Mahmu>d
al-Tahhan, Tafsi>r Must}alah al-Hadi>th, (Beirut: Da>r
Al-Qur’a>n al-Kari>m, 1979), 91.
[27] Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis….,112.
[28] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mustalahul Hadis...,151.
[31] Ali Mustafa Yaqub, Kritik
Hadis...,85.
[33] Ibid.
[34] Ibid.
[36] Ibid.
[37] Ibid.
[38] Al-Quran, (6): 164.
[40] Ibid.
[41] Ibid.

No comments:
Post a Comment