STUDI KEILMUAN
SEBAGAI PROSES (ASUMSI DASAR PROSES
KEILMUAN MANUSIA, AKTIVITAS ILMIAH)
PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahun tidaklah berkembang secara
mendadak dan alamiah, akan tetapi membutuhkan proses secara evolutif. Karena
perkembangan tersebut sangat erat dengan proses berfikir yang dilakukan oleh
manusia sesuai dengan kadar pengalaman pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga
wajar ketika, konsep-konsep yang diperoleh dari ilmu pengetahuan itu
berbeda-beda.[1]
Penemuan demi penemuan yang terjadi tidaklah bertempat di
suatu tempat, akan tetapi berbeda-beda sehingga diperlukan adanya penyebaran
hasil observasi yang diperoleh oleh setiap individu maupun kelompok dalam
bentuk yang beragam baik terjemahan maupun bukan dalam rangka berkembangnya
nuasa ilmiah. Kalau di Eropa sekarang menjadi sentral dari ilmu pengetahuan
yang berkembang ini, akan tetapi wilayah timur juga, pernah memberikan
sumbangsih sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di zaman dulu.
Beragam penemuan yang telah ditemukan di dunia Timur dahulu dan masih baru
dikembangkan pada masa sekarang di Barat.
Perkembangan dunia keilmuan akan terus berkembang tidak
akan pernah mengalami pasang surut. Karena semua itu akan senantiasa terus
berkembang bersamaan dengan perkembangan pemikiran manusia. Berbagai penelitian
yang telah dilakukan ternyata telah banyak membuktikan akan luasnya ilmu
pengetahuan. Dan kemudian, pengetahuan yang telah didapatkan senantiasa menjadi
modal untuk terus berusaha melakukan observasi dalam rangka menemukan teori
atau konsep yang lebih baru dan eksperimental lagi dalam rangka untuk
menyanggah terhadap konsep yang sudah ada. Sehingga proses keingin tahuan yang
dilakukan oleh manusia selalu bersifat eksidental, dan perkembangan ilmu
pengetahuan tidak berujung pada akhirnya.
Oleh karena itu, maka penulis dalam hal ini akan mencoba
untuk mengulas sedikit tentang studi keilmuan yang mencakup tentang pengertian
ilmu, dasar-dasar ilmu, tujuan dan manfaatnya, obyek studi keilmuan serta
kedudukan metodologi dalam studi keilmuan. proses mendapatkan teori keilmuan
yang baru dengan cara membahasa tentang masalah ilmu pengetahuan sebagai
proses, yang meliputi asumsi dasar manusia dan ilmu sebagai aktifitas, dalam
rangka menemukan titik tentu antara ilmu sebagai subjek sekaligus objek
aktifitas keilmuan secara ilmiah.
PEMBAHASAN
A. Defenisi
Ilmu
Istilah ilmu atau science merupakan suatu
istilah yang memiliki makna ganda, dalam artian memiliki makna yang
bermacam-macam. Sehingga orang yang menggunakan istilah ilmu tersebut harus
bisa memahami maksud dari apa yang dikatakannya. Arti yang pertama secara
etimologi adalah berarti (1) possession of knowledge as dingtinguished from
ignorance or misunderstanding, knowledge attain through study or practice, (2) a
department of systematized knowledge as an object of study (the science of
theology), (3) knowledge covering
general truths or the operation of general laws esp. as obtaind and tested
through scientific methode; such knowledge concerned with the physical world
and its phenomena (natural science), (4) a system or method based or purporting
to be based on scientific principle.[2]
Kemudian makna yang lain dari
ilmu adalah hasil dari aktifitas manusia dalam setiap gerak geriknya yang
meliputi segala fenomena, baik tentang pribadinya secara eksistensial, maupun
yang lainnya. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah pristiwa terciptanya
Sitti Hawa’ sebagai istri Nabi Adam. Hal itu disebabkan oleh proses pemahaman
yang dilakukan Nabi Adam erhadap kondisi pribadinya yang hidup dalam kondisi
sendirian dan menimbulkan kegelisahan, sehingga dia bertanya langsung kepada
Allah tentang prasaan yang selama ini menyelimuti hidupnya di Surga.[4]
Sehingga Mohammad Hatta mengatakan bahwa ilmu pengetahuan lahir karena manusia
dihadapkan kepada dua masalah dalam hidup, yaitu alam luar (kosmos) yang
meliputi diri dan lingkungannya dan soal sikap hidup (etik) yang mengatur
segala bentuk interaksinya dengan diri dan lingkungannya.[5]
Ketika manusia menggunakan
semua pengetahuannya untuk mengetahui hal-hal yang baru, maka lahirlah ilmu
pengetahuan yang lain. Setiap orang yang menerapkan pengetahuannya untuk
mengukur jarak bumi, maka lahirlah ilmu ukur. Ketika menerapkan pengetahuannya
untuk mengetahui tentang segala hewan dan proses reproduksinya serta
habitatnya, maka lahirlah ilmu biologi. Sehingga setiap praktek yang
menggunakan segala bentuk pengetahuannya maka akan lahir ilmu-ilmu praktis,
seperti; teknik, agrarian, kedokteran, dan lain-lainnya.
Ilmu sosial lahir, karena
manusia menyadari akan hubungannya dengan manusia yang lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan dalam hidupnya. Berbagai aspek kehidupan yang dipelajari
oleh manusia sebagai subjek sekaligus objek, maka lahirlah ilmu sosiologi,
antropologi, ekonomi, dan ilmu-ilmu yang lain yang bersifat praktis.
Dengan demikian, panca indera
yang dimiliki oleh manusia merupakan salah satu alat untuk mencapai apa yang
diinginkan dan dapat merasakan segala fenomena yang ada disekelilingnya,
hasilnya dari segala intraksi indrawinya dinamakan ilmu pengetahuan dengan
perantara akal pikirannya. Dan segala yang dihasilkan tersebut kemudian
digunakan untuk melakukan interaksi lanjutan dengan segala fenomena yang
dianggap baru, sehingga pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan yang baru sampai akhir dari kehidupan ini.[6]
Ilmu sebagai pengetahuan itu
sesuai dengan asal usul istilah inggris, yaitu science yang berasal dari
perkataan latin yaitu scientia, yang diturunkan dari kata scire.
Perkataan itu berarti belajar. [7]
Jadi, proses pengetahuan
manusia akan berlangsung selama ia mampu merasakan segala bentuk intraksi dirinya
dengan segala fenomena yang terjadi
disekitarnya. Maka,
kemungkinan-kemungkinan musnahnya satu konsep ilmu pengetahuan akan terjadi,
manakala proses kehidupan manusia masih berlanjut.
Dalam hal
ini Bertrand Russel menjelaskan bahwa ilmu memiliki dua peranan, yaitu sebagai
suatu yang metafisis dan sebagai akal sehat yang terdidik (educated common
sense).[8]
B.
Ilmu Sebagai Proses; Asumsi Dasar Proses Keilmuan Manusia
Manusia
sebagai salah satu makhluk yang memiliki karakteristik berbeda dengan makhluk
yang lain, dibekali dengan akal pikiran. Sehingga ia dapat memenuhi segala
kebutuhan mendasarnya dan juga membentuk peradaban serta lain sebagainya berkat
bekal pengetahuan yang dicapainya. Segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh
manusia merupakan awal dari kesadarannya terhadap segala kondisi yang
dimilikinya secara khusus dengan instrument akal pikirannya. Proses itu terus
berlanjut sesuai dengan kualitas reaksi yang dialami pribadinya sebagai respon
dari realitas baik secara formal maupun informal, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Galeleo. Ia dalam pernyataannya yang dikutip
oleh Scot Gordon menegaskan bahwa “ Source of knowledge is the direct
examination of the phenomena themselves.[9]
Hal demikian, telah diajarkan
oleh bapak filsafat pertama kali, yaitu Nabi Ibrohim. Walaupun secara intuitif
dia meyakini adanya Tuhan sebagai Dzat yang wajib disembah, tetapi dia tetap
memfungsikan akalnya untuk mengetahui lebih lanjut dan meneguhkan keyakinanya
tentang realitas kekuasaan yang dimiliki Tuhannya.[10]
Pristiwa yang terjadi pada
Nabi Ibrohim merupakan proses tindak lanjut dari pengetahuan yang dimilikinya
tentang keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan, akan tetapi, ia tetap
mempertanyakan tentang yang sebenarnya.
Ilmu sebagai suatu proses akan
kembali kepada proses penemuan manusia terhadap pengetahuan itu sendiri. Dalam
hal ini, Daoed Joesoef menunjukkan bahwa pengetian ilmu itu mengacu kepada tiga
hal; yaitu; produk-produk, proses, masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk
berangkat dari proses interaksi manusia dengan alam sekitarnya secara factual,
sehingga melahirkan ilmu pengetahuan baru yang berbentuk teori baru yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Dan ilmu sebagai proses adalah merupakan
kegiatan kemasyarakatan yang dilakuakan demi penemuan dan pemahaman dunia alami
sebagaimana mestinya.[11]
Sehingga proses tersebut harus bertitik tolak pada fakta-fakta realitas
keseharian dan berakhir pada suatu teori secara ilmiah.
Dengan demikian, kita dapat
mengetahui apa yang disebut dengan piramida ilmu pengetahuan, karena ujuang
dari proses tersebut adalah proses yang mengerucut kepada sebuah teori yang
bersih dari kontaminasi keseharian yang absurd dan ambigu.[12]
Proses tersebut dapat dibagi
menjadi empat tahapan, yaitu;
1.
Pengetahuan harus
bertolak pada pengalaman sehari-hari yang cenderung luas dan variatif. Dari
pengalaman itu cenderung melahirkan persepsi, pengamatan terhadap berbagai
gejala, dan merasakan berbagai sensasi.
2.
Pengalaman yang
diperoleh dalam sehari-hari harus mengalami dua jenis pemurnian. Pertama; pemurnian
dari pengalaman perceptual yang padat dan variatif untuk mendapatkan titik
fokus untuk diobservasi. Kedua; pemurnian dari bahasa sehari-hari yang ambigu
dan penuh kiasan, sehingga menjadi konsep-konsep yang dapat dipertanggung
jawabkan. Contoh dalam hal ini, istilah yang dirumuskan oleh para ilmuan dari
bahasa sehari-hari yaitu “air, panas,
dan cahaya” dengan konsep ilmiah seperti ““H2O”, “100oC” dan
“gelombang elektromagnetik”.
3.
Mencari
keteraturan dalam gejala-gejala dengan membentuk proposisi kondisional untuk
mendiskripsikan relasi kausalistik antara gejala-gejala melalui metode induksi.
4.
Pembentukan teori,
yakni seperangkat eksplanasi yang mencoba menggambarkan bulat-lonjongnya dunia.[13]
Pemahaman ilmu sebagai proses
ini ditemukan oleh John Warfield yang menegaskan bahwa ilmu sebagai proses,
karena pandangan ini bertalian dengan suatu perhatian terhadap suatu
penyelidikan, dan penyelidikan adalah suatu bagian besar dari ilmu sebagai
proses.
Ketika ilmu dipahami sebagai
suatu proses dari kagiatan ilmiah, maka ia harus memenuhi prosedur ilmiah.
Dalam hal ini Van Melsen, mengemukakan ciri yang menandai ilmu sebagai ilmu
adalah :
1.
Ilmu pengetahuan
secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode)
dan harus logis.
2.
Ilmu pengetahuan itu harus tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya
dengan tanggung jawab ilmuwan.
3.
Universalitas ilmu
pengetahuan
4.
Objektif, artinya
setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka
subjektif.
5.
Ilmu pengetahuan
harus dapat diverifikasi oleh peneliti ilmiah yang bersangkutan, karena itu,
ilmu pengetahuan harus dikomunikasikan.
6.
Progresifitas,
artinya suatu jawaban ilmiah betul-betul diakui secara ilmiah ketika mengandung
pertanyaan-pertanyaan baru dan menimbulkan problem-problem baru lagi.
7.
Kritis, artinya
tidak ada teori ilmiah yang defenitif, karena setiap teori harus terbuka
terhadap peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data yanga ada.
8.
Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan antara teori dan
praktis.
Dengan
demikian, ketika ilmu pengetahuan dipahami sebagai suatu proses, dan telah melalui beberapa langkah yang disebutkan di
atas tadi.[14] Maka ia menjadi salah satu aktivitas penelitian yang
harus menggunakan metode-metode ilmiah, karena ia merupakan aktifitas dan hasil
ilmiah yang sangat ditentukan oleh metode itu sendiri, yaitu metode abstraksi (abstracstion),
dan metode historitika (ideograpich).
Metode
ini sangat penting adanya dalam proses penyelidikan ilmiah, ketika terdapat
ideasi yang betul-betul dapat dipertanggung jawabkan. Karena untuk
mengidentifikasi itu membutuhkan teori-teori dalam rangka proses penyelidikan
lebih lanjut, karena ide itu bertujuan untuk menghubungkan antara makna atau ungkapan
dengan suatu ide.[15]
Dan
setiap ide untuk mengidentifikasi sesuatu itu dijalankan dengan menggunakan
metode ilmiah yang telah menjadi kesepakatan setiap ilmuan (scientis),
maka ia disebut dengan prosedur, prosedur itu merupakan rangkaian dari proses
dalam rangka untuk menemukan teori ilmu pengetahuan baru dan agar dapat
dipertanggung jawabkan secara valid.
C. Ilmu
sebagai aktivitas Ilmiah
Sejak
zaman Yunani kuno sampai abad modern pertumbuhan ilmu pengetahuan tampak nyata
bahwa ilmu merupakan aktivitas manusia dalam hidupnya, suatu kegiatan yang
dilakukan orang, atau lebih tepatnya suatu rangkaian aktivitas yang membentuk
suatu proses. Sehingga pada saat itu juga banyak penemuan-penemuan ilmiah yang
dapat diraih dan dicapai. Penemuan demi penemuan yang tersebar mulai Babylonia,
Mesir, China, India, Irak, Yunani hingga ke daratan Eropa telah memberikan
bukti bahwa manusia selalu dihadapkan pada tantangan alam, situasi dan kondisi
yang memacu daya kreatifitasnya. Kalaupun pada masa sekarang kita lihat Eropa menjadi pusat atau gudang ilmu pengetahuan karena
kebangkitan (renaissance) yang dilakukan oleh mereka mulai sekitar abad
ke- 14-15 , dengan perenungan yang mereka lakukan terhadap konsepsi yang mereka miliki akan
dunia di mana mereka tinggal. Tetapi, sejarah tetap bisa membuktikan bahwa
peran dunia Timur terhadap kemajuan ilmu pengetahuan adalah sangatlah besar.[16]
Semua ini cukup menjadi bukti bagi kita bahwa proses perkembangan ilmu
pengetahuan tidak lepas dari aktivitas ilmiah yang selalu mereka lakukan dalam
setiap saatnya.
Setiap orang yang melakukan
serangkaian aktivitas keilmuan dalam setiap hidupnya disebut dengan scientis
(ilmuan). Menurut Warren Hagstrom, scientist adalah seorang yang
berpengetahuan ilmiah, atau seorang yang selalu menambah pengetahuannya dengan
cara menulis karangan-karangan atau buku-buku.
Ilmu pengetahuan sebagai
aktivitas manusia dan sebagai fenomena mental mesti tidak lepas dari instrumen
akal[17],
yang lebih akrab disebut dengan aktivitas rasional. Aktivitas rasional itu
adalah kegiatan yang mempergunakan kemampuan akal untuk menalar yang berbeda
dengan aktivitas yang menggunakan perasaan dan naluri. Ilmu menampakkan diri
sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris.[18]
Dalam proses aktivitas
keilmuan manusia tentu sangat memprioritaskan kepada kegiatan pikiran dalam
mendekati segala objek pengetahuan itu sendiri. Sehingga benih ilmu terletak
kepada proses manusia dalam melakukan penyelidikan ilmiah terhadap segala
sesuatu dalam rangka memahami dan menguasai dunia di mana ia hidup dengan
menggunakan pemikiran rasional.
Yang dimaksud dengan pemikiran
rasional (rational thought) adalah pemikiran yang mematuhi kaidah-kaidah
logika, baik logika tradisional maupun logika modern. Jadi, kegiatan dalam
penelitian ilmiah disebut aktivitas ilmiah, ketika menggunakan kaidah-kaidah
ilmiah yang meliputi;
1.
Logis, sesuai dengan kaidah-kaidah logika baik tradisional maupun modern
2.
Bersifat kognitif, artinya bertalian dengan hal mengetahui dan pengetahuan.
Dengan
demikian, ilmu adalah proses pengetahuan yang melibatkan kognitif. Sementara
proses kognitif adalah adalah suatu rangkaian aktivitas seperti pengenalan,
penyerapan, pengkonsepsian, dan penalaran serta inquiry, yang dengannya manusia
dapat mengetahui dan memperoleh pengetahuan tentang suatu hal yang meliputi
alam sekitarnya, lingkungannya, dan dirinya sendiri.
Dalam
proses aktivitas ilmiah manusia, mesti tidak bisa dilepaskan dari tujuan-tujuan
tertentu. Adapun tujuan-tujuan yang dirumuskan oleh para ilmuwan dan filosuf
itu diringkas menjadi sebagai berikut :
1. Pengetahuan
(knowledge):
Pengetahuan merupakan modal
penting bagi setiap manusia untuk hidup. Interaksi dengan lingkungan sekitarnya
akan terealisasi dengan normal, ketika secara ilmiah telah terbekali dengan
cukup. Pengetahuan ini merupakan salah satu bentuk dari kesadaran manusia akan
kondisinya dan fenomena yang melingkupinya. Sehingga hal itu melahirkan suatu
tindakan yang didasarkan pada kesadaran ilmiah yang dimilikinya. Aktivitas seperti itu kerap kali disebut dengan aktivitas
ilmiah, karena akan melahirkan ilmu baru dengan metode pendekatan yang berbeda.[19]
2. Kebenaran
(truth)
Kebenaran bisa
diartikan dengan kesamaan antara teori dengan relaitas yang ada, baik yang
historistis maupun faktual. Kebenaran ini hanya dapat dicapai dengan ilmu
pengetahuan, walaupun tidak secara absolute. Sehingga tujuan dari aktivitas
ilmiah manusia, tiada lain hanyalah untuk mencapai kebenaran, walaupun hanya
kebenaran perspektif. Kebenaran dalam dunia ilmiah memiliki beberapa jenis, di
antaranya adalah kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis (nilai), dan
kebenaran semantic yang berkaitan dengan bahasa dan tutur kata.[20]
3. Pemahaman
(understanding)
Pemahaman merupakan proses
tindak lanjut yang dilakukan oleh setiap manusia terhadap keheranan dan
keraguannya akan segala fenomena sekitarnya. Ketika proses untuk menggapai tujuan ilmiah terjadi, maka
proses pemahaman manusia akan semakin berkembang. Hal
ini sangat ditentukan kepada sejauh mana reaksi manusia terhadap fenomena
sekitarnya.
4. Penjelasan
(explanation)
Aktivitas ilmiah yang dilakukan
oleh setiap ilmuan bertujuan untuk menjelaskan segala bentuk persoalan yang
berkaitan dengan fenomena yang ditelitinya. Dan hal ini memang merupakan wilayah
bagi para ilmuan. Mereka berusaha memahami eksistensi sesuatu secara
fenomonologi dan bertugas untuk menjelaskannya kenapa semua itu terjadi secara
kronologis.[21]
5. Peramalan
(prediction)
Peramalan merupakan tindak
lanjut dari proses pemahaman manusia terhadap fenomena sekitar, mereka
cenderung menyamakan indikator terjadinya suatu pristiwa di masa lalu dengan
kondisi yang terjadi disekitar mereka. Sehingga, mereka secara anarkis meramal
sesuatu yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang sesuai dengan apa yang
mereka ketahui.
6. Pengendalian
(control)
Ilmu pengetahuan yang diperoleh
manusia memiliki dampak positif dan negatife yang melakat di dalamnya.
Aktivitas ilmiah yang mereka lakukan selanjutnya bertujuan untuk mengetahui
dampak positif dan negatif yang terkandung dalam teori yang mereka kembangkan,
sehingga muncul sikap pengendalian diri untuk melakukan dan menggunakan atau
menkonsumsi sesuatu sesuai dengan pengetahuan yang diperolehnya.
7. Penerapan
(application)
Setiap ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh
manusia secara tidak langsung akan menjadi pedoman dalam menjalani hidup, baik
secara religius, politis, dan ekonomis. Sehingga aktivitas ilmiah yang mereka
lakukan merupakan salah satu usaha untuk menerapkan pengetahuan yang mereka peroleh
dalam rangka untuk menemukan dan menghasilkan pengetahuan baru. Dan proses ini
akan selalu berlangsung secara berkesinambungan selama hidupnya manusia di
dunia ini.
Dari berbagai tujuan-tujuan
yang telah disebutkan di atas, maka aktivitas ilmiah yang bersifat rasional,
kognitif, dan bertujuan ganda itu suatu aktivitas yang masuk dalam pengertian
ilmu. Jadi, aktifitas mempelajari sesuatu berarti mempergunakan pikiran secara
aktif untuk mengetahui suatu hal.
Proses penelaahan terhadap
fenomena sekitarnya bukanlah menunggu secara pasif sampai pengetahuan itu
datang sendiri, melainkan secara tekun dengan pikiran menacari, mempelajari,
dan menggali pengetahuan mengenai segala sesuatu yang menarik perhatian. Maka
ilmu sebagai suatu rangkaian aktivitas pemikiran manusia atau proses penelitian
dapat di ringkas seperti yang digambarkan oleh The Lin Gie dalam bukunya :
Ilmu adalah merupakan
aktivitas dari :
1.
Rasional : Proses pemikiran tentang realitas dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah logika.
2.
Kognitif : Proses mengetahui dan memperoleh pengetahuan melalui akal
pikiran.
3.
Teleologis : Usaha untuk mencapai kebenaran (Truth), memperoleh
pemahaman (understanding), memberikan penjelasan (eskplanation),
dan melakukan penerapan (application).[22]
Rangkaian
untuk mencapai kebenaran, memperoleh pengetahuan, memberikan penjelasan, dan melakukan penerapan itu
biasanya dilakukan oleh para ilmuan. Karena setiap ilmuan bertugas untuk
memperoleh dan memberikan ilmu pengetahuan. Dan
mereka yang hanya senantiasa akan terus berusaha melakukan proses-proses
seperti itu sebagai aktivitasnya dalam mengembangkan teori pengetahuan yang
mereka miliki.
Dengan
demikian, apa yang mereka ketahui betul-betul dikatakan sebagai penemuan
ilmiah, ketika mereka telah mengujinya dengan metode-metode ilmiah yang ada,
kemudian mereka mengkritisinya, dan mengevaluasinya sesuai dengan pengaruh yang
dimiliki konsep tersebut terhadap kehidupan.[23]
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari apa yang dapat penulis
ulas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
-
Ilmu pengetahuan
merupakan salah satu hasil dari pemahaman yang diperoleh oleh setiap manusia
dalam hal berinteraksi dengan fenomena alamiah yang terjadi di sekitar mereka.
Ilmu pengetahuan itu ada selama manusia masih menyadari akan eksistensinya yang
terkait dengan fenomena alamiah.
-
Ilmu pengetahuan
yang mereka dapatkan senantiasa melahirkan sebuah usaha aplikatif dalam rangka
menemukan konsep dan teori baru yang berakhir pada sebuah kebenaran teori.
Inilah yang kemudian menjadikan ilmu itu sebagai proses dalam mengungkap
teori-teori baru, yang dikenal dengan istilah piramida pengetahuan, dari teori
kepada praktek, kemudian melahirkan teori baru dengan proses-prose yang telah
diajelaskan di depan.
-
Ketika ilmu
pengetahuan melahirkan perbuatan, maka ilmu pengetahuan bukan hanya menjadi
kontrol nilai dan etika, akan tetapi ia akan menjadi aktivitas manusia dalam
rangka menjalani proses penyelidikan ilmiah yang disebut dengan istilah ilmu
pengetahuan sebagai aktivitas yang dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan itu sendiri.
Jelaskan
tentng ilmu sebgai proses dan aktivitas ilmiah?
Apakah
itu berarti bahwa ilmu adalah sebagai metode untuk menemukan sebuah kebenaran ?
BIBLIOGRAFI
-
Tim dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, (Yogyakarta ;
Liberti 2003)
-
Meriam, Webster’s New Collegiate
Dictionary, (New York: The
World Pulishing Coy, 1979)
-
Martin Curd & J. A. Cover, Philoshopy
of Science (the central issue), (Newyork; w. w. Norton & Company, 1998)
-
Ibn Kastir, Tafsir
Ibn Kastir, Jilid I, (Mesir; Darun Nasyri,tt )
-
Rizal Muntasyir, Drs, M.
Hum, Misnal Munir, Drs, M. Hum, Filsafat Ilmu, (Jogjakarta ; Pustaka Pelajar, 2003)
-
Sidigazalba, Sistematikan Filsafat, (Jakarta; Bulan Bintang 1991)
-
Jujun S, Suria Sumantri, Pengantar Filsafat Ilmu,
(Jakarta; Pustaka Sinar Harapan 2003)
-
Scot Gordon, The History And Philoshopy of Social
Science, ( London: EC4P 4EE, 1991),
-
Donny Gahral Adian, Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta : Teraju, 2002)
-
Al- Hakim al- Tirmidzi, The Consept of Sainthood in
Early Islamic Mysticism, (Great Britain: Curson Press, 1996)
-
D. W. Hamlyn, The
Penguin History of Western Philosophy, ( London: The Pinguin Grup, 1990)
-
Alex Rosenberg, Philoshopy of
Science, ( New York : UK Routledge, 2005)
A.
Cornelius Benjamin, Philoshopy of Science, History of Philoshopical Syistem,
(Amerika: Philoshopical Library, 1965)
[1] Tim dosen
Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat ILmu, (Jigjakarta; Liberti
2003), hal. 64
[2] Meriam, Webster’s New Collegiate Dictionary, (New York:
The World Pulishing Coy, 1979), 203-306.
[3] Martin Curd & J. A. Cover, Philoshopy of Science (the
central issue), (Newyork; w. w. Norton & Company, 1998), hal 39
[4] Lihat, Ibn Kastir, Tafsir Ibn Kastir, Jilid I, (Mesir; Darun
Nasyri, tt ), hal. 77
[5] Rizal
Muntasyir, Drs, M. Hum, Misnal Munir, Drs, M. Hum, Filsafat Ilmu, (Jogjakarta ; Pustaka
Pelajar, 2003), hal. 124
[6] Sidigazalba, Sistematikan Filsafat,
(Jakarta; Bulan Bintang 1991), hal. 13-14
[7] Lihat, The Lian Gie, hal. 87
[8] Jujun S, Suria Sumantri, Pengantar
Filsafat Ilmu, (Jakarta; Pustaka Sinar Harapan 2003), hal. 113
[10] Lihat, QS: al- Baqarah (2): 260 : Dan ketika
Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau
menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu
?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar
hatiku tetap mantap Allah berfirman:
" ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. : "Lalu letakkan diatas
tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah
mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[12] Donny Gahral Adian, Menyoal
Objektivisme Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta :
Teraju, 2002), hal. 17
[13] Ibid, hal, 17-18
[16] Tim
Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan ( Yogyakarta : Liberty ,
2003), hal. 63
[19] Al- Hakim
al- Tirmidzi, The Consept of Sainthood in Early Islamic Mysticism,
(Great Britain: Curson Press, 1996), hal. 98
[20] D. W.
Hamlyn, The Penguin History of Western Philosophy, ( London: The Pinguin
Grup, 1990), hal, 62. Di dalam buku tersebut Aristoteles menyatakan bahwa pengetahuan dianggap suatu
kebenaran apabila terjadi dialektika dengan kenyataan.
[23] A.
Cornelius Benjamin, Philoshopy of Science, History of Philoshopical Syistem,
(Amerika: Philoshopical Library, 1965), hal. 541

No comments:
Post a Comment