PENDAHULUAN
Al-Qur’a>n merupakan
salah satu kitab samawi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, memiliki
bahasa yang sangat kental dengan komunitas di mana ia diturunkan. Bahasa
komunikasi masyarakat Mekkah menjadi simbol dari bahasa yang digunakan al-Qur’a>n,
sehingga ia diturunkan oleh Alla>h sebagai wahyu dengan formulasi bahasa
yang jauh lebih indah dan fasi>h} dari bahasa orang-orang Mekkah dalam
sehari-hari.
Bangsa arab
pra-Isla>m merupakan bangsa yang memiliki peradaban bahasa yang sangat
tinggi dan tak tertandingi. Bahasa menjadi salah satu simbol kekuatan pada
tiap-tiap golongan, kabilah, dan kelompok. Sehingga hal ini menjadi tantangan
khusus terhadap al-Qur’a>n yang diturunkan sebagai mu’jizat untuk menguatkan
misi Nabi Muhammad Saw yang dibaiat langsung oleh Alla>h sebagai penyampai
risalah ke-Tuhanan terakhir di bumi, khususnya di daerah Arab.
Dinamisasi bahasa yang
terkandung di dalam al-Qur’a>n ketika bersentuhan dengan tradisi dan
perdaban Arab menjadi salah satu konsekwensi logis bagi masyarakat Arab sebagai
objek wahyu itu sendiri untuk membaca dan memahami al-Qur’a>n seperti halnya
dialektika yang mereka ketahui. Kemudian juga, al-Qur’a>n yang diturunkan
oleh Alla>h dengan menggunakan diskripsi bahasa yang metaforis[1],
secara tidak langsung menjadikan al-Qur’a>n itu sendiri sebagai wahyu yang
betul-betul terbukti sebagai kalam Alla>h dan bisa merespon terhadap segala
bentuk persoalan dan penafsiran dengan kedalaman makna dan keindahan bahasa
yang dimilikinya. Maka tidak dapat disangkal lagi ketika al-Qur’a>n akan
menjadi objek kontroversial dalam proses pemahaman yang dilakukan oleh para
pembaca dan penafsirnya.
Beragam kontroversi
pemahaman terhadapa struktur bahasa yang digunakan oleh al-Qur’a>n sesuai
dengan dialektika para pembacanya terlihat mulai pada masa Rosululla Saw itu
sendiri yang terjadi kepada para shahabat. Akan tetapi otoritas penafsiaran
yang dilakukan para sahabat dikendalikan oleh Rosulullah Saw, maka mereka
mengembalikan semuanya kepada beliau, kemudian beliau memutuskan apa yang
ditanyakan oleh sahabat dengan bentuk perkataan (qauli), perbuatan (fi’li),
dan pengakuan (taqriri).
Ini terjadi ketika
sahabat Ubai bin Ka’b menbaca ayat tertentu dengan bacaan tertentu dan
ditanyakan langsung kepada beliau, kemudian Ibn Mas’ud juga dengan bacaan yang
lain, dan ditanyakan kepada beliau, akan
tetapi beliau menjawabnya dengan bentuk pernyataan “ bahwa semua bacaan kalian
adalah bagus dan benar, karena saya membacakan ayat al-Qur’a>n dengan satu,
dua huruf, bahkan sampai tujuh”.
Pernyataan Nabi yang
seperti ini membuat para ahli tafsir terdahulu membuat merasa penting memiliki kode
etik pembacaan khusus yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan bahasa mereka.
Karena pemahaman mereka tentang pernyataan Nabi Saw bahwa al-Qur’a>n itu dibacakan
dengan tujuh huruf masih belum menemukan kejelasan yang pasti.
Dalam tulisan ini,
penulis berusaha untuk menganalisa problema disekitar pernyataan nabi itu
dengan tema “ al-Qur’a>n diturunkan dalam tujuh huruf”. Dengan harapan bisa
menemukan pemahaman yang lebih kokoh tentang maksud tujuh huruf itu sendiri.
PEMBAHASAN
Al-Qur’a>n sebagai
wahyu yang diturunkan di daerah arab merupakan respon Alla>h terhadap segala
bentuk persoalan yang terjadi saat itu, terutama persoalan-persoalan agama, diturunkan dengan bahasa yang sama dengan
bahasa komunikasi masyarakat Arab saat itu. Sementara itu, masyarakat Arab
terdiri dari masyarakat urban yaitu yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan
masyarakat asli,[2]
tentunya dialektika masyarakat urban dengan masyarakat asli padang pasir sangat
berbeda dan saling mempengaruhi. Kondisi semacam ini akan mempengaruhi banyak
terhadap proses pembacaan dan pemahaman mereka terhadap al-Qur’a>n itu
sendiri sebagai kitab yang diturunkan kepada mereka. Sehingga diperlukan untuk
mengetahui dialektika bahasa yang dipakai oleh suku-suku arab.
A. Relasi dialektika
dan Bahasa suku Arab dengan bahasa al-Qur’a>n
Jazirah Arab khususnya masyarakat Mekkah, di mana
al-Qur’a>n itu diturunkan, merupakan kota yang memiliki peradaban kapitalis.
Kebiasaan yang dilakukan masyarakat dalam setiap harinya adalah berdagang.
Mereka berinteraksi dengan para saudagar yang berasal dari berbagai daerah,
termasuk turki, Persia, dan lain sebagainya, sehingga bahasa arab yang menjadi
bahasa ibu mereka sedikit dipengaruhi oleh bahasa-bahasa para saudagar yang
datang dari berbagai daerah.
Bahasa Arab termasuk
dari rumpun bahasa Semit, sama dengan bahasa Ibrani, Aramaik (aremea), Suryani,
Kaldea, dan Babylonia. Kata-kata bahasa Arab pada umumnya mempunyai dasar tiga
huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk.[3]
Sementara itu,
peradaban bahasa terutama sastra berkembang sangat pesat. Setiap kabilah
memiliki ciri khas tersendiri di dalam intonasi berbahasa. Sehingga Alla>h
tentunya meformat setiap kalam-Nya sebagai respon kehidupan mereka dengan
bahasa yang tentunya lebih fasi>h dan dapat dipahami oleh mereka sehingga
struktur kebahasaan yang dimiliki al-Qur’a>n dapat membuktikan
kemu’jizatannya[4],
dengan diturunkan secara berangsur-angsur dalam bentuk satu surat dan satu
ayat, sebagaimana difirmankan oleh Alla>h di dalam QS: Yusuf (12): 2 :
$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wÎ/ttã öNä3¯=yè©9 cqè=É)÷ès?
Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al
Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.[5]
Ayat di atas
menunjukkan akan struktur bahasa Al-Qur’an yang diturunkan oleh Alla>h kepada nabi Muhammad Saw, yaitu bahasa
Quraisy. Karena al-Qur’a>n diturunkan oleh Alla>h sebagai wahyu bagi Nabi
Muhammad Saw, maka ia diturunkan dengan tata bahasa yang sangat sempurna,
sebagai respon agar bisa dipahami oleh masyarakat Arab pada khususnya yang
memiliki keragaman di dalam intonasi pengucapan dalam komunikasi interaktifnya.
Dengan demikian, bahasa
al-Qur’a>n sebagai wahyu yang diturunkan di daerah Arab, juga diformulasikan
dengan menggunakan bahasa arab, agar dapat dipahami dengan mudah dan gampang
untuk diingat dan dihafalnya.
B. Pendapat Ulama’ tentang nuzu>lu
al-Qur’a>n ala> sab’ati ahrufin
Sebelum mengulas
tentang seputar kontroversi para ulama’ tentang sab’ati ahrufin, terlebih
dahulu penulis akan mengungkap sekilas tentang makna sab’ati ahrufin secara
etimologis dan terminologis.
Kata “ al ahruf”
merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata harf yang berarti “cara atau jalan”,
ada juga yang diartikan dengan “pinggir atau ujung sesuatu”. Arti ini diambil
dari makna ayat al-Qur’a>n.[6]
sehingga makna dari sab’ati ahrufin secara terminologi adalah bahwa
al-Qur’a>n diturunkan dengan bahasa yang bisa dibaca dengan tujuh cara
bacaan.[7]
Pernyataan di atas dikuatkan dengan sabda Rosulullah Saw di dalam hadithnya
yang diriwaytkan dari Abdullah Ibn Abbas “
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم " أقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل استزيده
ويزيدني حتى إنتهى الى سبعة أحرف "[8]
Ababul wurud dari
hadith tersebut adalah pristiwa yang terjadi pada sahabat Abdullah Ibn Abbas,
ketika terjadi perselisihan dengan Ubai bin Ka’ab tentang baca’an dalam satu
ayat. Sehingga, Nabi kemudian dengan hadits itu membenarkan semua bacaan
tersebut.
Dan sabda beliau kepada
Hisyam dan Umar bin Khattab ;
حدثنا سعيد بن عفير قال حدثني
الليث قال حدثني عقيل عن ابن شهاب قال حدثني عروة بن الزبير أن المسور بن مخرمة
وعبد الرحمن بن عبد القاري حدثاه أنهما سمعا عمر بن الخطاب يقول سمعت هشام بن حكيم بن حزام يقرأ
سورة الفرقان في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم فاستمعت لقراءته فإذا هو يقرأ
على حروف كثيرة لم يقرئنيها رسول الله صلى الله عليه وسلم فكدت أساوره في الصلاة
فتصبرت حتى سلم فلببته بردائه فقلت من أقرأك هذه السورة التي سمعتك تقرأ قال
أقرأنيها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت كذبت فإن رسول الله صلى الله عليه
وسلم قد أقرأنيها على غير ما قرأت فانطلقت به أقوده إلى رسول الله صلى الله عليه
وسلم فقلت إني سمعت هذا يقرأ بسورة الفرقان على حروف لم تقرئنيها فقال رسول الله
صلى الله عليه وسلم أرسله اقرأ يا هشام فقرأ عليه القراءة التي سمعته يقرأ فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم كذلك أنزلت ثم قال اقرأ يا عمر فقرأت القراءة التي
أقرأني فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذلك أنزلت إن هذا القرآن أنزل على سبعة
أحرف فاقرءوا ما تيسر منه[9]
Ulama’ berbeda pendapat
tentang makna dari “sab’atu ahrufin” sebanyak tiga puluh lima pendapat,
akan tetapi penulis hanya mengungkap pendapat-pendapat yang lebih unggul dari
pendapat-pendapat tersebut.[10]
Yaitu :
1.
Menurut sebagian ulama’ yang dimaksud dengan sab’atu ahrufin
adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa arab, tetapi dengan satu makna, yaitu
bahasa quraisy, bahasa hudzail, bahasa tsaqif, bahasa hawazin, bahasa bahasa
kinanah, bahasa Tamim, dan bahasa Yaman.[11]
2.
Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sab’atu ahrufin
adalah tujuh macam kelompok dalam bentuk kalimat di dalam al Qur’a>n, yaitu
: Amr, Nahi, halal, haram, muhkam, mutasya>bih,
dan amtsa>l. dan ada juga yang mengatakan yang tujuh itu adalah muhkam,
mutashabih, nasikh, mansukh, khusus, umum, dan qashash.
3.
Ada juga sebagian ulama’ mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sab’atu
ahrufin adalah lafadz-lafadz yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama,
seperti هلم,
أقبل, تعال,عجل, اسرع, قصدي, نحوي yang makna dari semua itu adalah satu, yaitu
meminta untuk menghadap.[12]
4.
Kemudian ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sab’atu
ahrufin adalah berbedanya kalimat-kalimat dalam bentuknya. Yaitu dalam :
a.
Bentuk Tashri>f (perubahan) af’a>l (kata kerjanya)
dari lampau (ma>dli), sedang atau akan datang (mudla>ri’),
dan bentuk perintah (amr). Seperti dalam QS: Saba’ (34): ayat : 19 :
Di dalam lafadz ربنا di baca
dengan nashab, dan lafadz باعد dibaca بعَد dengan bentuk zaman lampau (madli)
b.
Berbeda dalam bentuk mufra>d, mudzakkarnya, seperti
dalam QS: al- Mukminun (23): ayat: 8 :
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÏF»oY»tBL{ öNÏdÏôgtãur tbqããºu
Dalam kalimat itu lafadz أماناتهم dibaca dengan bentuk jama’ (plural) dan
mufra>d (tunggal).
c.
Perbedaan dalam bentuk perubahan huruf, seperti di dalam QS: al
Wa>qi’ah (56): 29 :
8xù=sÛur 7qàÒZ¨B
Lafadz وطلح diganti dengan lafadz وطلع menurut Ibn Abbas
d.
Perbedaan dalam mendahulukan (taqdi>m) dan mengakhirkan (ta’kh|i>r),
seperti di dalam QS: Qaff (50): ayat : 19 : Di balik menjadi وجائت
سكرة الحق بالموت
e.
Perbedaan dalam aspek I’ra>bnya, seperti di dalam QS: Yusu>f
(12): 31:
Dalam lafadz بشرا اماهذ Ibn Abbas membaca rofa’
f.
Perbedaab dari segi menambah dan mengurangi, seperti dalam QS: al-Lail
(92): ayat: 3 :
Ayat ini dibaca dengan tanpa lafadz خلق
g.
Perbedaan dalam intonasi antara tafhi>m(tebal) dan tarqi>qnya
(tipisnya) huruf, dan ini menurut madzhabnya Imam al Razi, seperti di dalam QS:
Tha>ha (20): ayat: 9:
C. Analisis tarjih atas macam-macam pendapat terhadap sab’atu
ahrufin
Dari
beberapa pendapat para ulama’ tentang makna dari turunnya al-Qur’a>n ‘ala> sab’ati ahrufin, maka pendapat yang diunggulkan dalam hal ini adalah pendapat yang
dipilih oleh Imam al Ra>zi yang dijelaskan oleh Imam al Zarqa>ni di dalam
kitabnya, dia mengatakan bahwa pendapat-pendapat tentang sab’atu ahrufin tidak akan lepas dari perbedaan yang tujuh, seperti yang dijelaskan
pada pendapat terakhir di atas, yaitu :
a. Perbedaan perubahan(tashri>f) dari bentuk ma>dli,
mudla>ri’, dan amar
b. Perbedaan dalam aspek I’robnya
c. Perbedaan dalam hal pengurangan dan penambahan
d. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan
e. Perbedaan dalam penggantian huruf
f. Perbedaan bahasa, yaitu dalam aspek intonasi, seperti fathah,
imalah. Tebal, dan tipisnya, idlhar, dan idlghamnya.[13]
D. Sejarah
Lahirnya Qira’at 7, 10, dan 14.
Qira>’at merupakan bentuk jama’ (plural)
dari kata qiro>’at, bentuk mashdar dari kata-kata qara’a. Dan menurut
terminologinya, qira>’at adalah salah satu madzhab dari madzhab-madzhab
pembacaan terhadap al-Qur’a>n yang dibuat oleh salah satu imam dari pada
imam qira>’at dan sanadnya bersambung kepada Rosulullah Saw.
Munculnya
madzhab-madzhab qira>’at ini pada masa tabi’en, sekitar seratus tahun
pertama dari wafatnya Nabi Saw.[14]
Mereka menerima semua itu dari satu imam kepada imam yang lain dari para
sahabat sampai kepada Nabi Saw, karena kondisi al-Qur’a>n pada waktu itu masih
dalam kondisi tidak bertitik dan tidak berharkat, sehingga kalimat-kalimat
al-Qur’a>n yang seperti itu memungkinkan terjadinya keragaman dalam proses
pembacaan dan dalam proses memahaminya, dan walaupun tidak demikian,
penulisannya juga tidak akan seragam. Ahli qira>’at yang terkenal pada masa
sahabat adalah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, dan Abu Musa al-
Ash’ari.[15]
Selain
itu juga, para sahabat menerima qira>’at dari Rosulullah Saw dalam bentuk
bacaan yang berbeda-beda, kemudian mereka bertempat tinggal di Negara yang
berbeda-beda. Kemudian, ketika Ustma>n bin Affan mengirimkan kumpulan mushaf
yang dikumpulkannya kepada para sahabat yang menganut qira>’atnya, para
sahabat bertempat tinggal di Negara yang berbeda-beda dan dikutip oleh para tabi’ie>n
dan para pengikutnya sehingga perbedaan penerimaan qira>’at yang terjadi
tersebut menyebabkab lahirnya para ulama’-ulama’ qira>’at yang terkenal dan
menyebar sampai sekarang.[16]
Kemudian mereka menyampaikan dan menerima qira>’at tersebut setiap hari dan
malamnya, sehingga mereka memiliki pengikut yang banyak dan menjadi imam
madzhab bagi para pengikutnya.
Adapun
imam-imam qira>’at yang terdiri dari tabi’ien yang menerima dari para
sahabat adalah :
1.
Di Madinah : a. Ibn Musayyab
b. Urwah
c. Salim
d. Umar bin Abdul
Aziz
e. Sulaiman
f. Ath>a’ Ibn
Yasar
g. Muadz bin
Harist
h. Abdurrahman
2. Di Mekkah
: a. Ubaid bin Amir
b. Atha>’ bin
Abi Raba>h
c. Tha>wus
d. Mujahid
e. Ikrimah
f. Ibn Abi Malikah
3. Di Kufah
: a. Alqamah
b. Aswad
c. Masru>q
d. Ubaidah
e. Amr bin
Shurahbil
f. Harist bin Qais
g. Amr bin Maimun
h. Abu
Abdurrahma>n al Salimi
i. Sai>d bin
Jubair
j. al Nakha’ie
k. al Sha’bi
4. Di
Bashrah : a. Abu ‘Aliyah
b. Abu Raja>’
c. Nahr bin
‘Ashi>m
d. Yahya bin
Ya’mar
e. Hasan
f. Ibn Si>ri>n
g. Qatadhah
5. Di
Syam : a. Mughirah bin Abi Shiha>b al
Makhzu>mi
b. Khalifah
bin Sa’d temannya Abu al Darda>’[17]
Dan setelah itu para imam-imam yang ahli dalam qira>’at itu sangat
banyak sekali dan menyebar di berbagai Negara yang memiliki tingkat dan sifat
yang berbeda-beda, ada yang memang betul-betul kuat dengan riwayat yang
mutawatir, dan ada yang hanya melalui satu jalur guru dan terus berkembang
shingga para ulama’-ulama’ sesudahnya dengan segala perhatian membedakan di
antara para ahli qira>’at yang shahih, dla’if, dan yang shadz.
Menurut
Imam Ali al Sha>buni bahwa macam-macam qira>’at itu terbagi menjadi enam
bagian, yaitu mutawatir, mashhur, a>had, sha>dz, maudlu>’, dan mudraj.[18]
Sementara menurut Imam Jalaluddin al Bulqi>ni terbagi menjadi tiga, yaitu;
mutawatir, ahad, dan sha>dz. Dan dalam makalah ini penulis hanya mengutip
pendapatnya Imam Jalaluddin al Bulqi>ni beserta defenisinya.
Qira>’at
yang mutawatir adalah qira>’at yang diriwayatkan secara bersambung dan tidak
dimungkinkan adanya kebohongan. Dan para pencetusnya adalah :
1.
Nafi al Madani (w. 169 H)
2.
Ibn Amir al Syami (w. 118 H)
3.
‘Ashim al Kufi (w. 128 H)
4.
Hamzah al Ku>fi (w. 156 H)
5.
al Kisa>’I (w. 189 H)
6.
Abu Amr Ibnul Ala>’ (w. 154 H)
7.
Ibn Kasti>r (w. 291 H)
Kemudin
qira’at Ahad adalah qira’at yang sanadnya shahih akan tetapi tidak sampai mencapai tingkat mutawatir. Seperti yang
diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwa Nabi Saw membaca QS. Ar Rahma>n(55) ayat:
76 :
Dengan menetapkan ali>f pada lafadz رفرف menjadi رفارف dan lafadz عبقري yaitu عباقري
Adapun Imam-imam yang dikenal termasuk berstatus ahad
adalah :
1.
Abi Ja’far (w. 130 H)
2. Ya’qu>b (w. 205 H)
3. Kholaf (w. 229 H)
Kemudian selain itu adalah qira>’at Shadz, yaitu qira’at yang tidak
shah secara sanad, seperti bacaan pada lafadz ملَكَ يومَ الدين dengan bentuk ma>dli (kata kerja lampau)
dan nashabnya lafadz يومَ . Sedangkan
ulama’ yang dituduh sha>dz dalam qira’atnya adalah :
1. Hasan al Bashri (w. 110 H)
2. Ibn
Mahi>sh (w. 123 H)
3.Yahya al Yazi>di (w. 202 H)
4. al
Syambu>dzi[19]
(w. 388 H)
E.Sejarah Perkembangan ahlul Qurra>’ wal huffa>dz
dan lagu-lagu bacaan al-Qur’a>n
Ketika berbicara tentang pra ahlul Qurra>’ wal huffa>dz,
pada masa Nabi Saw telah ada sekelompok tertentu yang menekuni bacaan (qira>’ah)
al-Qur’a>n, mengajarkan dan mempelajarinya. Mereka selalu ingin mengetahui
aya-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw,
kemudian menghafalnya, dan terkadang mereka membaca ayat-ayat itu dihadapan
Nabi biar disimak.[20]
Orang yang belajar qira>’at kepada mereka meriwayatkan dengan
menyebut sanadnya dan mereka sering menghafalkan qira>’ahnya yang diriwayatkan
dari seorang guru. Penghafalan dan periwayatan seperti ini memang sesuai untuk
masa itu, karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah tulisan kufi.
Alam tulisan ini satu kata dapat dibaca dengan beberapa cara. Oleh karena itu,
harus belajar langsung kepada guru kemudian mengahafalkan dan meriwayatkan.[21]
Kelompok pertama yang ahli qurra>’ dari kalangan sahabat yang tekun
belajar dan mengajar al-Qur’a>n, di antaranya adalah seorang wanita yang
dikenal dengan nama Ummi Waraqah binti Abdullah bin Harits dan juga
menghafalnya.[22]
Sehingga mereka dapat menguasai al-Qur’a>n dan bacaannya secara mutawatir
kepada Nabi Saw.
Para sahabat yang huffadz adalah :
Dari kalangan Muhajiri>n a. Abu Bakar
b.
Umar
c. Utsma>n
d. Ali
e. Abdullah
bin Mas’ud
f. Salim
g. Abdullah bin Zubir
h. Said Ibn ‘A>sh
i. Abdurrahman bin Harits
j. Hisya>m
Dari kalangan Ansha>r a. Muadz bin Jabal
b. Ubai bin Ka’b
c. Zaid bin Tsabit
d. Abu Darda>’
e. Abu Zaid Qois
f. Maslamah bin Maslamah
g. Ibn Ubaid
h. Abu
Yazid[23]
Adapun cara-cara membaca al-Qur’a>n terdiri dari tiga macam; di
antaranya :
1.
Tahq>iq : menyempurnakan segala hak-hak huruf, seperti meng-ishba’kan mad,
menyatakan h}amzah, menyempurnakan harkat, mengokohkan idzha>r dan
tashdi>d, dan memperjelas segala macam bentuk huruf-huruf tanpa mengurangi
dan menambah. Dan madzha>b ini adalah madzha>b Hamzah dan Wursy.
2.
al-Hadzr,
yaitu memperlancar bacaan, mempercepatnya, dan meringankannya dengan qashr,
sukun, dan idzgha>m, dan menyembunyikan hamzah sesuai dengan yang telah
diriwayatkan. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibn Kasti>r dan Abi Ja’far
3.
Al- Tadwi>r (membulatkan), yaitu mensederhanakan bacaan di antara keduanya, yaitu
antara tahqi>q dan hadzr (hati-hati).[24]
Madzhab ini adalah madzhab Ibn A>mir dan al Kisa>’ie.[25]
Di dalam membaca al-Qur’a>n terdapat lagu-lagu tersendiri di cara
membacanya yang bisa membuat para pendengar itu merasakan hidupnya bacaan
al-Qur’a>n Yaitu dengan cara membacanya secara tarti>l. Sedangkan tartil
adalah diartikan dengan membaca al-Qur’a>n dengan menyempurnakan semua
hak-hak huruf sesuai dengan tempatnya, menjaga waqa>f, dan menjaga suara dan
meresapi segala bacaannya.[26]
Kemudian membaca dengan cara tarannum, yaitu dengan
mengangkat dan menarik suara.[27]
Dan membaca dengan suara yang bagus. Di antaranya seperti yang dijelaskan di
dalam ilmu tajwid, bisa membuat jiwa-jiwa yang mendengarnya tenang,
mengembirakan dan menyenangkan seperti ketika membaca tentang balasan surga
bagi yang berbuat baik, dan memberikan motivasi dan semangat, seperti ketika
membaca tentang pristiwa-pristiwa peperangan yang terjadi kepada nabi-nabi terdahulu.[28]
Sedangkan masalah perbedaan melagukan bacaan Al-Quran, tidak ada kaitannya
dengan ilmu qiraat ini. Khusus untuk masalah melagukan Al-Quran, biasanya
dijelaskan dalam nagham. yaitu seni melantunkan Al-Quran yang dikenal dengan
istilah nagham.
Nagham
ini sendiri sebenarnya merupakan seni, bukan disiplin ilmu. Tepatnya seni
melantunkan bacaan Al-Quran. Rupanya, dari berbagai wilayah negeri Islam
berkembang seni membaca Al-Quran. Dalam pelajaran nagham, kita mengenal ada
jenis-jenisnya, seperti Nahawand, Bayati, Hijjaz, Shaba,
Rast, Jaharkah, Sika, dan lainnya. Semua jenis lagu atau
irama itu tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat sab’ah. Semata-mata hanya seni
melantunkan, tidak ada kaitannya dengan bagaimana melafadzkan ayat Al-Quran.
Umumnya
para pembaca Al-Quran dari Mesir yang membawa seni baca Al-Quran ke negeri
kita. Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam variasinya
serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang seringkali
diperlombakan di even musabaqah tilawatil quran . Meski bukan satu-satunya
jenis perlombaan, tetapi biasanya yang paling mencuat memang masalah seni
membaca.[29]
PENUTUP
Dari
penjelasan yang sangat singkat dan terbatas ini, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa :
-
Al qur’a>n
diturunkan dengan tujuh huruf, berarti memiliki ragam bacaan yang disesuaikan
dengan gaya bahasa dan ejaan para pembaca. Karea al-qur’an sebagai wahyu yang
ditujukan kepada seluruh umat manusia, tetapi diturunkan di Arab, menunjukkan
bahwa bahasa al- qur’a>n memiliki ragam bacaan yang berbeda-beda, walaupun
secara makna berbeda.
-
Sahabat selaku
orang yang selalu bersama Nabi Saw, menerima bacaan al-qur’a>n dari Nabi Saw
dengan bacaan yang berbeda, kemudian mereka tinggal di negara yang berbeda dan
mengajarkan bacaan-bacaan itu, sehingga lahirlah beragam madzhab qiro>’at
yang beragam juga. Di antara qiro’at yang kita kenal adalah qiro>’at sab’at.
-
Mulai sejak
sahabat sampai tabi’ien, mereka belajar qiro’at al- qur’a>n tidak hanya
dengan cara membacanya, akan tetapi sambil menghafalnya. Sehingga banyak dari
pada sahabat dan tabi’ien yang juga hafal al- qur’a>n.
-
Lagu- lagu yang dibuat oleh para ulma’, bukan merupakan
bagian dari ilmu qiro’at, tetapi, ia hanya merupakan seni dalam membacanya agar
al- qur’an terasa hidup dan meresap dalam jiwa. Di antara jenis lagu bacaan al-
qur’a>n adalah Nahawand, Bayati, Hijjaz, Shaba, Rast,
Jaharkah, Sika, dan lainnya.
BIBLIOGRAFI
1. 'Ali,
al-Mufassal fi Tarikh al-'Arab Qabl al-Islam, hal,
(Mesir, Da>rul Kutub)
2.
M. Qurasih Shihab, Mu’jizat Al-
Qur’a>n, (Bandung; Mizan 2004
3.
‘Ali al Shabuni, al Tibya>n
fi> Ulu>mi al Qur’a>n (Bairut, Muassasah Mana>hilul Irfa>n,
1981)
4.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Jakarta, Tiga Serangkai 2008
5.
Manna’ul
Qatthan, Mubahits fi> Ulumil al-Qur’a>n, (Mesir, Maktabah Ma’arif
li al Nashr wa al Tauzi’, 2000) Cet. III)
6.
Jalaluddin al Sayyuti, al Itqan fi> Ulu>mi al-Qur’a>n,
Jilid I, (Surabaya: al- Hidayah )hal
7.
Imam
Muhammad Abdul Adlim al Zarqa>ni, Manahilul Irfa>n fi> Ulu>mi
al-Qur’a>n,(Madinah, Isa al Bani> al Halbi> wa sharika> h, Cet. III, Jilid I)
8.
Lihat
Muhammad Bakar Nasir, Niha>yatul Qaulil Mufi>d fi> Ilmi al-
Tajwi>d,( Surabaya: al- Hidayah)
9.
Faiz Abdul Qa>dir Syaikh| al-
Zur, Duru>sun fi> Tarti>lil Qur’a>nil Kari>m, (Qotar:
Wazaratul Auqa>f was Su’u>n al- Islamiyah, 1996),
10.
Muhammad bin Muhammad bin Abu
Syahbah, AL- Madkh>ol li Diro>satil Qur’a>n, (Kairo : Maktabah
al- Sunnah,1996)
11.
Allamah M.
H. Thabatthaba’I, al-Qur’a>n fil Isla>m, Edisi terj, (Mengungkap
rahasia al- Qur’a>n), (Bandung, Mizan 1990)
12.
Imam Ibn
Halawaih, Al- Hujjatu fi>>l qiro>’atus Sab’ah, (Kuwait,
Muassasah al- Risa>lah)
13.
T. M. Hasbi
a- Shiddiqi, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ulumul Qur’a>n,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1954)
14.
http://assunnah.or.id, Sumber Qira’at Tujuh
Imam, Ahmad Sarwat, Lc.
15.
Muhammad bin Isma’il bin Mughi>rah
al Bukha>ri, Shahih Bukhari, Jilid IV, ( Surabaya: al- Hidayah, tt)
[4] Muhammad ‘Ali al Shabuni,
al Tibya>n fi> Ulu>mi al Qur’a>n (Bairut, Muassasah
Mana>hilul Irfa>n, 1981), hal. 209
[6] QS: al Haj (22): ayat: 11 “Dan di
antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi[980]; Maka
jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia
ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang[981]. Rugilah ia di
dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
[7] Muhammad
al- Zafza>f, al- Ta’ri>f bi al-Qur’a>n wa al-
Hadith, (Kairo: Da>rul Ulum, tth), hal. 42
[9] Muhammad bin Isma’il bin Mughi>rah al Bukha>ri, Shahih
Bukhari, Jilid IV, ( Surabaya :
al- Hidayah, tt), hal. 392
[10] Manna’ul
Qatthan, Mubahits fi> Ulumil al-Qur’a>n,
(Mesir, Maktabah Ma’arif li al Nashr wa al Tauzi’, 2000) Cet. III), hal. 167
[11] Jalaluddin al Sayyuti, al Itqan fi>
Ulu>mi al-Qur’a>n, Jilid I, (Surabaya :
al- Hidayah )hal. 47
[13] Imam
Muhammad Abdul Adlim al Zarqa>ni, Manahilul Irfa>n fi> Ulu>mi
al-Qur’a>n,(Madinah, Isa al Bani> al Halbi> wa sharika> h, Cet. III, Jilid I), hal. 155
[17] Imam Ibn
Halawaih, Al- Hujjatu fi>>l qiro>’atus
Sab’ah, (Kuwait ,
Muassasah al- Risa>lah, tt), hal. 340-341
[20] Muhammad bin Muhammad bin Abu
Syahbah , AL-
Madkh>ol
li Diro>satil Qur’a>n,
(Kairo : Maktabah al- Sunnah,1996), hal. 369-370
[21] Allamah M.
H. Thabatthaba’I, al-Qur’a>n fil Isla>m, Edisi terj, (Mengungkap rahasia al- Qur’a>n), (Bandung, Mizan
1990), hal. 134-135
[23] Lihat,
Manna’ul Qatthan, Jilid I, hal 120, dan Lihat, T. M.
Hasbi a- Shiddiqi, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ulumul Qur’a>n,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hal, 79-80
[25] Faiz Abdul Qa>dir
Syaikh| al- Zur, Duru>sun fi> Tarti>lil Qur’a>nil Kari>m,
(Qotar: Wazaratul Auqa>f was Su’u>n al- Islamiyah, 1996), hal. 369-371
[26] Lihat al-
Taghanni> lil qur’a>n, Labi>bus Sa’ied, Jilid I, hal. 6
[27] Lihat Muhammad Bakar Nasir, Niha>yatul Qaulil Mufi>d fi>
Ilmi al- Tajwi>d,( Surabaya :
al- Hidayah) hal. 10

No comments:
Post a Comment