Tuesday, October 17, 2017

MAKALAH SAB'ATA AHRUFIN DALAM AL-QUR'AN

PENDAHULUAN

Al-Qur’a>n merupakan salah satu kitab samawi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, memiliki bahasa yang sangat kental dengan komunitas di mana ia diturunkan. Bahasa komunikasi masyarakat Mekkah menjadi simbol dari bahasa yang digunakan al-Qur’a>n, sehingga ia diturunkan oleh Alla>h sebagai wahyu dengan formulasi bahasa yang jauh lebih indah dan fasi>h} dari bahasa orang-orang Mekkah dalam sehari-hari.

Bangsa arab pra-Isla>m merupakan bangsa yang memiliki peradaban bahasa yang sangat tinggi dan tak tertandingi. Bahasa menjadi salah satu simbol kekuatan pada tiap-tiap golongan, kabilah, dan kelompok. Sehingga hal ini menjadi tantangan khusus terhadap al-Qur’a>n yang diturunkan sebagai mu’jizat untuk menguatkan misi Nabi Muhammad Saw yang dibaiat langsung oleh Alla>h sebagai penyampai risalah ke-Tuhanan terakhir di bumi, khususnya di daerah Arab.

Dinamisasi bahasa yang terkandung di dalam al-Qur’a>n ketika bersentuhan dengan tradisi dan perdaban Arab menjadi salah satu konsekwensi logis bagi masyarakat Arab sebagai objek wahyu itu sendiri untuk membaca dan memahami al-Qur’a>n seperti halnya dialektika yang mereka ketahui. Kemudian juga, al-Qur’a>n yang diturunkan oleh Alla>h dengan menggunakan diskripsi bahasa yang metaforis[1], secara tidak langsung menjadikan al-Qur’a>n itu sendiri sebagai wahyu yang betul-betul terbukti sebagai kalam Alla>h dan bisa merespon terhadap segala bentuk persoalan dan penafsiran dengan kedalaman makna dan keindahan bahasa yang dimilikinya. Maka tidak dapat disangkal lagi ketika al-Qur’a>n akan menjadi objek kontroversial dalam proses pemahaman yang dilakukan oleh para pembaca dan penafsirnya.
Beragam kontroversi pemahaman terhadapa struktur bahasa yang digunakan oleh al-Qur’a>n sesuai dengan dialektika para pembacanya terlihat mulai pada masa Rosululla Saw itu sendiri yang terjadi kepada para shahabat. Akan tetapi otoritas penafsiaran yang dilakukan para sahabat dikendalikan oleh Rosulullah Saw, maka mereka mengembalikan semuanya kepada beliau, kemudian beliau memutuskan apa yang ditanyakan oleh sahabat dengan bentuk perkataan (qauli), perbuatan (fi’li), dan pengakuan (taqriri).
Ini terjadi ketika sahabat Ubai bin Ka’b menbaca ayat tertentu dengan bacaan tertentu dan ditanyakan langsung kepada beliau, kemudian Ibn Mas’ud juga dengan bacaan yang lain, dan  ditanyakan kepada beliau, akan tetapi beliau menjawabnya dengan bentuk pernyataan “ bahwa semua bacaan kalian adalah bagus dan benar, karena saya membacakan ayat al-Qur’a>n dengan satu, dua huruf, bahkan sampai tujuh”.
Pernyataan Nabi yang seperti ini membuat para ahli tafsir terdahulu membuat merasa penting memiliki kode etik pembacaan khusus yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan bahasa mereka. Karena pemahaman mereka tentang pernyataan Nabi Saw bahwa al-Qur’a>n itu dibacakan dengan tujuh huruf masih belum menemukan kejelasan yang pasti.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menganalisa problema disekitar pernyataan nabi itu dengan tema “ al-Qur’a>n diturunkan dalam tujuh huruf”. Dengan harapan bisa menemukan pemahaman yang lebih kokoh tentang maksud tujuh huruf itu sendiri.



PEMBAHASAN


Al-Qur’a>n sebagai wahyu yang diturunkan di daerah arab merupakan respon Alla>h terhadap segala bentuk persoalan yang terjadi saat itu, terutama persoalan-persoalan agama,  diturunkan dengan bahasa yang sama dengan bahasa komunikasi masyarakat Arab saat itu. Sementara itu, masyarakat Arab terdiri dari masyarakat urban yaitu yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan masyarakat asli,[2] tentunya dialektika masyarakat urban dengan masyarakat asli padang pasir sangat berbeda dan saling mempengaruhi. Kondisi semacam ini akan mempengaruhi banyak terhadap proses pembacaan dan pemahaman mereka terhadap al-Qur’a>n itu sendiri sebagai kitab yang diturunkan kepada mereka. Sehingga diperlukan untuk mengetahui dialektika bahasa yang dipakai oleh suku-suku arab.

A. Relasi dialektika dan Bahasa suku Arab dengan bahasa al-Qur’a>n
Jazirah Arab khususnya masyarakat Mekkah, di mana al-Qur’a>n itu diturunkan, merupakan kota yang memiliki peradaban kapitalis. Kebiasaan yang dilakukan masyarakat dalam setiap harinya adalah berdagang. Mereka berinteraksi dengan para saudagar yang berasal dari berbagai daerah, termasuk turki, Persia, dan lain sebagainya, sehingga bahasa arab yang menjadi bahasa ibu mereka sedikit dipengaruhi oleh bahasa-bahasa para saudagar yang datang dari berbagai daerah.
Bahasa Arab termasuk dari rumpun bahasa Semit, sama dengan bahasa Ibrani, Aramaik (aremea), Suryani, Kaldea, dan Babylonia. Kata-kata bahasa Arab pada umumnya mempunyai dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk.[3]
Sementara itu, peradaban bahasa terutama sastra berkembang sangat pesat. Setiap kabilah memiliki ciri khas tersendiri di dalam intonasi berbahasa. Sehingga Alla>h tentunya meformat setiap kalam-Nya sebagai respon kehidupan mereka dengan bahasa yang tentunya lebih fasi>h dan dapat dipahami oleh mereka sehingga struktur kebahasaan yang dimiliki al-Qur’a>n dapat membuktikan kemu’jizatannya[4], dengan diturunkan secara berangsur-angsur dalam bentuk satu surat dan satu ayat, sebagaimana difirmankan oleh Alla>h di dalam QS: Yusuf (12): 2 :
$¯RÎ) çm»oYø9tRr& $ºRºuäöè% $wŠÎ/ttã öNä3¯=yè©9 šcqè=É)÷ès?
  Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.[5]
Ayat di atas menunjukkan akan struktur bahasa Al-Quran yang diturunkan oleh Alla>h kepada nabi Muhammad Saw, yaitu bahasa Quraisy. Karena al-Qur’a>n diturunkan oleh Alla>h sebagai wahyu bagi Nabi Muhammad Saw, maka ia diturunkan dengan tata bahasa yang sangat sempurna, sebagai respon agar bisa dipahami oleh masyarakat Arab pada khususnya yang memiliki keragaman di dalam intonasi pengucapan dalam komunikasi interaktifnya.
Dengan demikian, bahasa al-Qur’a>n sebagai wahyu yang diturunkan di daerah Arab, juga diformulasikan dengan menggunakan bahasa arab, agar dapat dipahami dengan mudah dan gampang untuk diingat dan dihafalnya.

 B. Pendapat Ulama’ tentang nuzu>lu al-Qur’a>n ala> sab’ati ahrufin

Sebelum mengulas tentang seputar kontroversi para ulama’ tentang sab’ati ahrufin, terlebih dahulu penulis akan mengungkap sekilas tentang makna sab’ati ahrufin secara etimologis dan terminologis.
Kata “ al ahruf” merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata harf yang berarti “cara atau jalan”, ada juga yang diartikan dengan “pinggir atau ujung sesuatu”. Arti ini diambil dari makna ayat al-Qur’a>n.[6] sehingga makna dari sab’ati ahrufin secara terminologi adalah bahwa al-Qur’a>n diturunkan dengan bahasa yang bisa dibaca dengan tujuh cara bacaan.[7] Pernyataan di atas dikuatkan dengan sabda Rosulullah Saw di dalam hadithnya yang diriwaytkan dari Abdullah Ibn Abbas “

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " أقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل استزيده ويزيدني حتى إنتهى الى سبعة أحرف "[8]
Ababul wurud dari hadith tersebut adalah pristiwa yang terjadi pada sahabat Abdullah Ibn Abbas, ketika terjadi perselisihan dengan Ubai bin Ka’ab tentang baca’an dalam satu ayat. Sehingga, Nabi kemudian dengan hadits itu membenarkan semua bacaan tersebut.
Dan sabda beliau kepada Hisyam dan Umar bin Khattab ;
حدثنا سعيد بن عفير قال حدثني الليث قال حدثني عقيل عن ابن شهاب قال حدثني عروة بن الزبير أن المسور بن مخرمة وعبد الرحمن بن عبد القاري حدثاه أنهما سمعا عمر بن الخطاب يقول سمعت هشام بن حكيم بن حزام يقرأ سورة الفرقان في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم فاستمعت لقراءته فإذا هو يقرأ على حروف كثيرة لم يقرئنيها رسول الله صلى الله عليه وسلم فكدت أساوره في الصلاة فتصبرت حتى سلم فلببته بردائه فقلت من أقرأك هذه السورة التي سمعتك تقرأ قال أقرأنيها رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت كذبت فإن رسول الله صلى الله عليه وسلم قد أقرأنيها على غير ما قرأت فانطلقت به أقوده إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت إني سمعت هذا يقرأ بسورة الفرقان على حروف لم تقرئنيها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أرسله اقرأ يا هشام فقرأ عليه القراءة التي سمعته يقرأ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذلك أنزلت ثم قال اقرأ يا عمر فقرأت القراءة التي أقرأني فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذلك أنزلت إن هذا القرآن أنزل على سبعة أحرف فاقرءوا ما تيسر منه[9]

Ulama’ berbeda pendapat tentang makna dari “sab’atu ahrufin” sebanyak tiga puluh lima pendapat, akan tetapi penulis hanya mengungkap pendapat-pendapat yang lebih unggul dari pendapat-pendapat tersebut.[10] Yaitu :
1.            Menurut sebagian ulama’ yang dimaksud dengan sab’atu ahrufin adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa arab, tetapi dengan satu makna, yaitu bahasa quraisy, bahasa hudzail, bahasa tsaqif, bahasa hawazin, bahasa bahasa kinanah, bahasa Tamim, dan bahasa Yaman.[11]
2.            Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sab’atu ahrufin adalah tujuh macam kelompok dalam bentuk kalimat di dalam al Qur’a>n, yaitu : Amr, Nahi, halal, haram, muhkam, mutasya>bih, dan amtsa>l. dan ada juga yang mengatakan yang tujuh itu adalah muhkam, mutashabih, nasikh, mansukh, khusus, umum, dan qashash.
3.            Ada juga sebagian ulama’ mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sab’atu ahrufin adalah lafadz-lafadz yang berbeda tetapi memiliki makna yang sama, seperti هلم, أقبل, تعال,عجل, اسرع, قصدي, نحوي  yang makna dari semua itu adalah satu, yaitu meminta untuk menghadap.[12]
4.            Kemudian ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sab’atu ahrufin adalah berbedanya kalimat-kalimat dalam bentuknya. Yaitu dalam :
a.    Bentuk Tashri>f (perubahan) af’a>l (kata kerjanya) dari lampau (ma>dli), sedang atau akan datang (mudla>ri’), dan bentuk perintah (amr). Seperti dalam QS: Saba’ (34): ayat : 19 :

                        Di dalam lafadz ربنا di baca dengan nashab, dan lafadz باعد dibaca بعَد dengan bentuk zaman lampau (madli)
b.   Berbeda dalam bentuk mufra>d, mudzakkarnya, seperti dalam QS: al- Mukminun (23): ayat: 8 :
    tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÏF»oY»tBL{ öNÏdÏôgtãur tbqããºu
                        Dalam kalimat itu lafadz أماناتهم   dibaca dengan bentuk jama’ (plural) dan mufra>d (tunggal).
c.    Perbedaan dalam bentuk perubahan huruf, seperti di dalam QS: al Wa>qi’ah (56): 29 :
       8xù=sÛur 7ŠqàÒZ¨B
                           Lafadz وطلح  diganti dengan lafadz وطلع menurut Ibn Abbas
d.   Perbedaan dalam mendahulukan (taqdi>m) dan mengakhirkan (ta’kh|i>r), seperti di dalam QS: Qaff (50): ayat : 19 :      Di balik menjadi وجائت سكرة الحق بالموت
e.    Perbedaan dalam aspek I’ra>bnya, seperti di dalam QS: Yusu>f (12): 31:
     Dalam lafadz      بشرا اماهذ Ibn Abbas membaca rofa’
f.     Perbedaab dari segi menambah dan mengurangi, seperti dalam QS: al-Lail (92): ayat: 3 :

      Ayat ini dibaca dengan tanpa lafadz خلق
g.    Perbedaan dalam intonasi antara tafhi>m(tebal) dan tarqi>qnya (tipisnya) huruf, dan ini menurut madzhabnya Imam al Razi, seperti di dalam QS: Tha>ha (20): ayat: 9:
                
C. Analisis tarjih atas macam-macam pendapat terhadap sab’atu ahrufin

Dari beberapa pendapat para ulama’ tentang makna dari turunnya al-Qur’a>n  ‘ala> sabati ahrufin, maka pendapat yang diunggulkan dalam hal ini adalah pendapat yang dipilih oleh Imam al Ra>zi yang dijelaskan oleh Imam al Zarqa>ni di dalam kitabnya, dia mengatakan bahwa pendapat-pendapat tentang sabatu ahrufin tidak akan lepas dari perbedaan yang tujuh, seperti yang dijelaskan pada pendapat terakhir di atas, yaitu :
a.     Perbedaan perubahan(tashri>f) dari bentuk ma>dli, mudla>ri’, dan amar
b.     Perbedaan dalam aspek I’robnya
c.      Perbedaan dalam hal pengurangan dan penambahan
d.     Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan
e.      Perbedaan dalam penggantian huruf
f.       Perbedaan bahasa, yaitu dalam aspek intonasi, seperti fathah, imalah. Tebal, dan tipisnya, idlhar, dan idlghamnya.[13]
     
 D. Sejarah Lahirnya Qira’at 7, 10, dan 14.      

  Qira>’at merupakan bentuk jama’ (plural) dari kata qiro>’at, bentuk mashdar dari kata-kata qara’a. Dan menurut terminologinya, qira>’at adalah salah satu madzhab dari madzhab-madzhab pembacaan terhadap al-Qur’a>n yang dibuat oleh salah satu imam dari pada imam qira>’at dan sanadnya bersambung kepada Rosulullah Saw.
Munculnya madzhab-madzhab qira>’at ini pada masa tabi’en, sekitar seratus tahun pertama dari wafatnya Nabi Saw.[14] Mereka menerima semua itu dari satu imam kepada imam yang lain dari para sahabat sampai kepada Nabi Saw, karena kondisi al-Qur’a>n pada waktu itu masih dalam kondisi tidak bertitik dan tidak berharkat, sehingga kalimat-kalimat al-Qur’a>n yang seperti itu memungkinkan terjadinya keragaman dalam proses pembacaan dan dalam proses memahaminya, dan walaupun tidak demikian, penulisannya juga tidak akan seragam. Ahli qira>’at yang terkenal pada masa sahabat adalah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, dan Abu Musa al- Ash’ari.[15]
Selain itu juga, para sahabat menerima qira>’at dari Rosulullah Saw dalam bentuk bacaan yang berbeda-beda, kemudian mereka bertempat tinggal di Negara yang berbeda-beda. Kemudian, ketika Ustma>n bin Affan mengirimkan kumpulan mushaf yang dikumpulkannya kepada para sahabat yang menganut qira>’atnya, para sahabat bertempat tinggal di Negara yang berbeda-beda dan dikutip oleh para tabi’ie>n dan para pengikutnya sehingga perbedaan penerimaan qira>’at yang terjadi tersebut menyebabkab lahirnya para ulama’-ulama’ qira>’at yang terkenal dan menyebar sampai sekarang.[16] Kemudian mereka menyampaikan dan menerima qira>’at tersebut setiap hari dan malamnya, sehingga mereka memiliki pengikut yang banyak dan menjadi imam madzhab bagi para pengikutnya.
Adapun imam-imam qira>’at yang terdiri dari tabi’ien yang menerima dari para sahabat adalah :
1.   Di Madinah  : a. Ibn Musayyab
                              b. Urwah
                              c. Salim
                              d. Umar bin Abdul Aziz
                              e. Sulaiman
                              f. Ath>a’ Ibn Yasar
                              g. Muadz bin Harist
                              h. Abdurrahman

2.   Di Mekkah   : a. Ubaid bin Amir
                             b. Atha>’ bin Abi Raba>h
                             c. Tha>wus
                             d. Mujahid
                             e. Ikrimah
                             f. Ibn Abi Malikah

3.  Di Kufah       : a. Alqamah
                             b. Aswad
                             c. Masru>q
                             d. Ubaidah
                             e. Amr bin Shurahbil
                             f. Harist bin Qais
                             g. Amr bin Maimun
                             h. Abu Abdurrahma>n al Salimi
                             i. Sai>d bin Jubair
                             j. al Nakha’ie
                             k. al Sha’bi

4. Di Bashrah    : a. Abu ‘Aliyah
                             b. Abu Raja>’
                             c. Nahr bin ‘Ashi>m
                             d. Yahya bin Ya’mar
                             e. Hasan
                             f. Ibn Si>ri>n
                             g. Qatadhah

5. Di Syam       :   a. Mughirah bin Abi Shiha>b al Makhzu>mi
                             b.   Khalifah bin Sa’d temannya Abu al Darda>’[17]

Dan setelah itu para imam-imam yang ahli dalam qira>’at itu sangat banyak sekali dan menyebar di berbagai Negara yang memiliki tingkat dan sifat yang berbeda-beda, ada yang memang betul-betul kuat dengan riwayat yang mutawatir, dan ada yang hanya melalui satu jalur guru dan terus berkembang shingga para ulama’-ulama’ sesudahnya dengan segala perhatian membedakan di antara para ahli qira>’at yang shahih, dla’if, dan yang shadz.
Menurut Imam Ali al Sha>buni bahwa macam-macam qira>’at itu terbagi menjadi enam bagian, yaitu mutawatir, mashhur, a>had, sha>dz, maudlu>’, dan mudraj.[18] Sementara menurut Imam Jalaluddin al Bulqi>ni terbagi menjadi tiga, yaitu; mutawatir, ahad, dan sha>dz. Dan dalam makalah ini penulis hanya mengutip pendapatnya Imam Jalaluddin al Bulqi>ni beserta defenisinya.
Qira>’at yang mutawatir adalah qira>’at yang diriwayatkan secara bersambung dan tidak dimungkinkan adanya kebohongan. Dan para pencetusnya adalah :
1.   Nafi al Madani (w. 169 H)
2.   Ibn Amir al Syami (w. 118 H)
3.   ‘Ashim al Kufi (w. 128 H)
4.   Hamzah al Ku>fi (w. 156 H)
5.   al Kisa>’I (w. 189 H)
6.   Abu Amr Ibnul Ala>’ (w. 154 H)
7.   Ibn Kasti>r (w. 291 H)

Kemudin qira’at Ahad adalah qira’at yang sanadnya shahih akan tetapi tidak sampai  mencapai tingkat mutawatir. Seperti yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwa Nabi Saw membaca QS. Ar Rahma>n(55) ayat: 76 :
                                                 
Dengan menetapkan ali>f pada lafadz رفرف  menjadi رفارف dan lafadz عبقري yaitu عباقري

Adapun Imam-imam yang dikenal termasuk berstatus ahad adalah :
           1. Abi Ja’far (w. 130 H)
           2. Ya’qu>b (w. 205 H)
           3. Kholaf (w. 229 H)
Kemudian selain itu adalah qira>’at Shadz, yaitu qira’at yang tidak shah secara sanad, seperti bacaan pada lafadz ملَكَ يومَ الدين  dengan bentuk ma>dli (kata kerja lampau) dan nashabnya lafadz يومَ . Sedangkan ulama’ yang dituduh sha>dz dalam qira’atnya adalah :
1. Hasan al Bashri (w. 110 H)
         2. Ibn Mahi>sh (w. 123 H)
         3.Yahya al Yazi>di (w. 202 H)
         4. al Syambu>dzi[19] (w. 388 H)

E.Sejarah Perkembangan ahlul Qurra>’ wal huffa>dz dan lagu-lagu bacaan al-Qur’a>n
Ketika berbicara tentang pra ahlul Qurra>’ wal huffa>dz, pada masa Nabi Saw telah ada sekelompok tertentu yang menekuni bacaan (qira>’ah) al-Qur’a>n, mengajarkan dan mempelajarinya. Mereka selalu ingin mengetahui aya-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad Saw, kemudian menghafalnya, dan terkadang mereka membaca ayat-ayat itu dihadapan Nabi biar disimak.[20]
Orang yang belajar qira>’at kepada mereka meriwayatkan dengan menyebut sanadnya dan mereka sering menghafalkan qira>’ahnya yang diriwayatkan dari seorang guru. Penghafalan dan periwayatan seperti ini memang sesuai untuk masa itu, karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah tulisan kufi. Alam tulisan ini satu kata dapat dibaca dengan beberapa cara. Oleh karena itu, harus belajar langsung kepada guru kemudian mengahafalkan dan meriwayatkan.[21]
Kelompok pertama yang ahli qurra>’ dari kalangan sahabat yang tekun belajar dan mengajar al-Qur’a>n, di antaranya adalah seorang wanita yang dikenal dengan nama Ummi Waraqah binti Abdullah bin Harits dan juga menghafalnya.[22] Sehingga mereka dapat menguasai al-Qur’a>n dan bacaannya secara mutawatir kepada Nabi Saw.
Para sahabat yang huffadz adalah :
Dari kalangan Muhajiri>n a. Abu Bakar
                                         b. Umar
                                         c. Utsma>n
                                         d. Ali
                                         e. Abdullah bin Mas’ud
                                         f.  Salim
                                         g. Abdullah bin Zubir
                                         h. Said Ibn ‘A>sh
                                         i. Abdurrahman bin Harits
                                         j. Hisya>m
Dari kalangan Ansha>r     a. Muadz bin Jabal
                                         b. Ubai bin Ka’b
                                         c. Zaid bin Tsabit
                                         d. Abu Darda>’
                                         e. Abu Zaid Qois
                                         f. Maslamah bin Maslamah
                                         g. Ibn Ubaid
                                         h. Abu Yazid[23]

Adapun cara-cara membaca al-Qur’a>n terdiri dari tiga macam; di antaranya :
1.   Tahq>iq : menyempurnakan segala hak-hak huruf, seperti meng-ishba’kan mad, menyatakan h}amzah, menyempurnakan harkat, mengokohkan idzha>r dan tashdi>d, dan memperjelas segala macam bentuk huruf-huruf tanpa mengurangi dan menambah. Dan madzha>b ini adalah madzha>b Hamzah dan Wursy.
2.   al-Hadzr, yaitu memperlancar bacaan, mempercepatnya, dan meringankannya dengan qashr, sukun, dan idzgha>m, dan menyembunyikan hamzah sesuai dengan yang telah diriwayatkan. Pendapat ini dinyatakan oleh Ibn Kasti>r dan Abi Ja’far
3.   Al- Tadwi>r (membulatkan), yaitu mensederhanakan bacaan di antara keduanya, yaitu antara tahqi>q dan hadzr (hati-hati).[24] Madzhab ini adalah madzhab Ibn A>mir dan al Kisa>’ie.[25]

Di dalam membaca al-Qur’a>n terdapat lagu-lagu tersendiri di cara membacanya yang bisa membuat para pendengar itu merasakan hidupnya bacaan al-Qur’a>n Yaitu dengan cara membacanya secara tarti>l. Sedangkan tartil adalah diartikan dengan membaca al-Qur’a>n dengan menyempurnakan semua hak-hak huruf sesuai dengan tempatnya, menjaga waqa>f, dan menjaga suara dan meresapi segala bacaannya.[26]
Kemudian membaca dengan cara tarannum, yaitu dengan mengangkat dan menarik suara.[27] Dan membaca dengan suara yang bagus. Di antaranya seperti yang dijelaskan di dalam ilmu tajwid, bisa membuat jiwa-jiwa yang mendengarnya tenang, mengembirakan dan menyenangkan seperti ketika membaca tentang balasan surga bagi yang berbuat baik, dan memberikan motivasi dan semangat, seperti ketika membaca tentang pristiwa-pristiwa peperangan yang terjadi kepada nabi-nabi terdahulu.[28] Sedangkan masalah perbedaan melagukan bacaan Al-Quran, tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat ini. Khusus untuk masalah melagukan Al-Quran, biasanya dijelaskan dalam nagham. yaitu seni melantunkan Al-Quran yang dikenal dengan istilah nagham.
Nagham ini sendiri sebenarnya merupakan seni, bukan disiplin ilmu. Tepatnya seni melantunkan bacaan Al-Quran. Rupanya, dari berbagai wilayah negeri Islam berkembang seni membaca Al-Quran. Dalam pelajaran nagham, kita mengenal ada jenis-jenisnya, seperti Nahawand, Bayati, Hijjaz, Shaba, Rast, Jaharkah, Sika, dan lainnya. Semua jenis lagu atau irama itu tidak ada kaitannya dengan ilmu qiraat sab’ah. Semata-mata hanya seni melantunkan, tidak ada kaitannya dengan bagaimana melafadzkan ayat Al-Quran.
Umumnya para pembaca Al-Quran dari Mesir yang membawa seni baca Al-Quran ke negeri kita. Mereka mengajarkan berbagai macam lagu dan memberikan beragam variasinya serta membuat harmoni yang khas. Seni seperti itulah yang seringkali diperlombakan di even musabaqah tilawatil quran . Meski bukan satu-satunya jenis perlombaan, tetapi biasanya yang paling mencuat memang masalah seni membaca.[29]


  
PENUTUP
Dari penjelasan yang sangat singkat dan terbatas ini, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa :
-              Al qur’a>n diturunkan dengan tujuh huruf, berarti memiliki ragam bacaan yang disesuaikan dengan gaya bahasa dan ejaan para pembaca. Karea al-qur’an sebagai wahyu yang ditujukan kepada seluruh umat manusia, tetapi diturunkan di Arab, menunjukkan bahwa bahasa al- qur’a>n memiliki ragam bacaan yang berbeda-beda, walaupun secara makna berbeda.
-              Sahabat selaku orang yang selalu bersama Nabi Saw, menerima bacaan al-qur’a>n dari Nabi Saw dengan bacaan yang berbeda, kemudian mereka tinggal di negara yang berbeda dan mengajarkan bacaan-bacaan itu, sehingga lahirlah beragam madzhab qiro>’at yang beragam juga. Di antara qiro’at yang kita kenal adalah qiro>’at sab’at.
-              Mulai sejak sahabat sampai tabi’ien, mereka belajar qiro’at al- qur’a>n tidak hanya dengan cara membacanya, akan tetapi sambil menghafalnya. Sehingga banyak dari pada sahabat dan tabi’ien yang juga hafal al- qur’a>n.
-              Lagu- lagu  yang dibuat oleh para ulma’, bukan merupakan bagian dari ilmu qiro’at, tetapi, ia hanya merupakan seni dalam membacanya agar al- qur’an terasa hidup dan meresap dalam jiwa. Di antara jenis lagu bacaan al- qur’a>n adalah Nahawand, Bayati, Hijjaz, Shaba, Rast, Jaharkah, Sika, dan lainnya.



BIBLIOGRAFI

1.   'Ali, al-Mufassal fi Tarikh al-'Arab Qabl al-Islam, hal, (Mesir, Da>rul Kutub)
2.   M. Qurasih Shihab, Mu’jizat Al- Qur’a>n, (Bandung; Mizan 2004
3.   ‘Ali al Shabuni, al Tibya>n fi> Ulu>mi al Qur’a>n (Bairut, Muassasah Mana>hilul Irfa>n, 1981)
4.   Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Jakarta, Tiga Serangkai 2008
5.   Manna’ul Qatthan, Mubahits fi> Ulumil al-Qur’a>n, (Mesir, Maktabah Ma’arif li al Nashr wa al Tauzi’, 2000) Cet. III)
6.   Jalaluddin al Sayyuti, al Itqan fi> Ulu>mi al-Qur’a>n, Jilid I, (Surabaya: al- Hidayah )hal
7.   Imam Muhammad Abdul Adlim al Zarqa>ni, Manahilul Irfa>n fi> Ulu>mi al-Qur’a>n,(Madinah, Isa al Bani> al Halbi> wa  sharika> h, Cet. III, Jilid I)
8.   Lihat Muhammad Bakar Nasir, Niha>yatul Qaulil Mufi>d fi> Ilmi al- Tajwi>d,( Surabaya: al- Hidayah)
9.   Faiz Abdul Qa>dir Syaikh| al- Zur, Duru>sun fi> Tarti>lil Qur’a>nil Kari>m, (Qotar: Wazaratul Auqa>f was Su’u>n al- Islamiyah, 1996),
10.               Muhammad bin Muhammad bin Abu Syahbah, AL- Madkh>ol li Diro>satil Qur’a>n, (Kairo : Maktabah al- Sunnah,1996)
11.               Allamah M. H. Thabatthaba’I, al-Qur’a>n fil Isla>m, Edisi terj, (Mengungkap rahasia al- Qur’a>n), (Bandung, Mizan 1990)
12.               Imam Ibn Halawaih, Al- Hujjatu fi>>l qiro>’atus Sab’ah, (Kuwait, Muassasah al- Risa>lah)
13.               T. M. Hasbi a- Shiddiqi, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ulumul Qur’a>n, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954)
14.               http://assunnah.or.id, Sumber Qira’at Tujuh Imam, Ahmad Sarwat, Lc.
15.               Muhammad bin Isma’il bin Mughi>rah al Bukha>ri, Shahih Bukhari, Jilid IV, ( Surabaya: al- Hidayah, tt)



[1] QS. Al-Kahfi (18), ayat : 54 “ولقد صرفنا فى هذا القر أن من كل مثل وكان الإنسان  اكثر شيئ جدلا  
[2] 'Ali, al-Mufassal fi Tarikh al-'Arab Qabl al-Islam, hal, (Mesir, Da>rul Kutub), hal:658,
[3] M. Qurasih Shihab, Mu’jizat Al- Qur’a>n, (Bandung; Mizan 2004), hal. 90-92
[4] Muhammad ‘Ali al Shabuni, al Tibya>n fi> Ulu>mi al Qur’a>n (Bairut, Muassasah Mana>hilul Irfa>n, 1981), hal. 209
[5] Departemen Agama RI, Al-Qur’a>n dan Terjemahnya, (Jakarta, Tiga Serangkai 2008), hal. 235
[6] QS: al Haj (22): ayat: 11 “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi[980]; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang[981]. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.

[7] Muhammad al- Zafza>f, al- Ta’ri>f bi al-Qur’a>n wa al- Hadith, (Kairo: Da>rul Ulum, tth), hal. 42
[8] Imam Bukhari, Fathul Ba>ri, jilid 1, (Mesir: al- Mathba’ah al Bahiyah, tt), hal. 24
[9] Muhammad bin Isma’il bin Mughi>rah al Bukha>ri, Shahih Bukhari, Jilid IV, ( Surabaya: al- Hidayah, tt), hal. 392
[10] Manna’ul Qatthan, Mubahits fi> Ulumil al-Qur’a>n, (Mesir, Maktabah Ma’arif li al Nashr wa al Tauzi’, 2000) Cet. III), hal. 167
[11] Jalaluddin al Sayyuti, al Itqan fi> Ulu>mi al-Qur’a>n, Jilid I, (Surabaya: al- Hidayah )hal. 47
[12] Muhammad ‘Ali al Shabuni, hal. 215
[13] Imam Muhammad Abdul Adlim al Zarqa>ni, Manahilul Irfa>n fi> Ulu>mi al-Qur’a>n,(Madinah, Isa al Bani> al Halbi> wa  sharika> h, Cet. III, Jilid I), hal. 155
[14] Muhammad ‘Ali al Shabuni, hal. 224
[15] Lihat, Ali al Shabuni, hal. 225, dan al Zarqa>ni, hal. 414
[16] Lihat, Imam al Zarqa>ni. Jilid I, Hal.
[17] Imam Ibn Halawaih, Al- Hujjatu fi>>l qiro>’atus Sab’ah, (Kuwait, Muassasah al- Risa>lah, tt), hal. 340-341
[18] Al Shabuni, Op. Cit,  hal. 226
[19] Imam al Zarqa>ni, Jilid I, hal. 465
[20] Muhammad bin Muhammad bin Abu Syahbah, AL- Madkh>ol li Diro>satil Qur’a>n, (Kairo : Maktabah al- Sunnah,1996), hal. 369-370
[21] Allamah M. H. Thabatthaba’I, al-Qur’a>n fil Isla>m, Edisi terj, (Mengungkap rahasia al- Qur’a>n), (Bandung, Mizan 1990), hal. 134-135
[22] Lihat. Jalaluddin al- Suyuti, Jilid I, Op Cit, hal. 74           
[23] Lihat, Manna’ul Qatthan, Jilid I, hal 120, dan Lihat, T. M. Hasbi a- Shiddiqi, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ulumul Qur’a>n, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954), hal, 79-80
[24] Lihat, Jalaluddin al- Suyuti, Op. Cit, hal. 101
[25] Faiz Abdul Qa>dir Syaikh| al- Zur, Duru>sun fi> Tarti>lil Qur’a>nil Kari>m, (Qotar: Wazaratul Auqa>f was Su’u>n al- Islamiyah, 1996), hal. 369-371
[26] Lihat al- Taghanni> lil qur’a>n, Labi>bus Sa’ied, Jilid I, hal. 6
[27] Lihat Muhammad Bakar Nasir, Niha>yatul Qaulil Mufi>d fi> Ilmi al- Tajwi>d,( Surabaya: al- Hidayah) hal. 10
[28] Lihat, Labib Sa’ied, al. 7-9

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...