Thursday, October 12, 2017

MAKALAH SEJARAH AL-QUR’AN

SEJARAH AL-QUR’AN

A.  PENDAHULUAN.
Philip K. Hitti mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang paling banyak dibaca sepanjang sejarah umat manusia.[1] Al-Qur'an juga merupakan satu-satunya kitab yang terus-menerus dihafal oleh ratusan ribu manusia. Bukan hanya oleh mereka yang mengerti bahasa Arab, namun juga oleh mereka yang sama sekali tidak pernah belajar bahasa Arab. Mereka membaca dengan tekun dan menghafal dengan telaten. Sehingga banyak diantara mereka mengkhatamkan bacaan al-Qur'an beberapa puluh kali dalam hidupnya, dan menyelesaikan hafalan al-Qur'an dari halaman pertama hingga terakhir, tanpa satu huruf pun tertinggal. Tidak ada satu buku atau kitab suci pun yang bisa menandingi atau paling tidak menyamai al-Qur'an dalam hal ini.
Itu baru dalam hal dibaca dan dihafal. Bagaimana halnya dengan usaha menggali kandungan al-Qur'an? Ratusan hingga ribuan buku telah diterbitkan dalam usaha manusia menggali kandungan al-Qur'an. Dari buku yang, hanya memuat beberapa halaman hingga buku yang memuat puluhan jilid. Dari buku paling sederhana yang ditujukan untuk orang-orang awam, hingga buku yang jlimet yang hanya bisa dipahami orang-orang yang mempunyai kapasitas keilmuan yang memadahi. Dari buku yang mengajarkan cara membaca al-Qur'an, hingga buku yang membahas makna al-Qur'an kata perkata. Dari buku yang ditulis orang yang sangat shaleh sampai orang yang amat thaleh; dari orang yang ingin menunjukkan kemukjizatan al-Qur'an hingga orang yang mencoba menunjukkan kepalsuan al-Qur'an sebagai wahyu dari Tuhan Semesta Alam. Dan seterusnya.
Sesungguhnyalah kenyataan ini amat mengejutkan diri saya sendiri. Kenyataan ini baru saya sadari ketika menuliskan kata-kata ini. Bila al-Qur'an sudah jelas terbukti sebagai kitab atau buku yang paling menarik untuk dibaca dan dihafalkan, jelas al-Qur'an bukan kitab atau buku sembarangan. la adalah buku atau kitab yang paling menarik untuk dikaji. Di seluruh penjuru dunia. Di sepanjang sejarah umat manusia.
Untuk itu, marilah bersama-sama kita mencermati al-Qur'an. Bukan karena kita sedang menjalani ritual perkuliahan Studi al-Qur'an saia, atau karena al-Qur'an merupakan kitab suci kita sebagai umat Islam. Namun karena al-Qur'an memang pantas memperoleh perhatian terbesar, diatas buku atau kitab suci manapun di muka bumi ini.

B.   PEMBAHASAN.
a.   Proses Turunya Wahyu Allah kepada Muhammad saw.
Kata turun berarti bergerak dari tempat yang lebih tinggi menuju tempata yang lebih rendah. Seperti kita turun dari lantai 5 ke lantai 4. Namun turun juga berarti bergerak dari posisi yang lebih tinggi ke posisi yang lebih rendah, Seperti turunnya sebuah Surat Keputusan (SK) dari Rektorat ke Fakultas. Dan nampaknya turun dalam pengertian yang kedua inilah yang lebih tepat untuk memahami makna turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw.[2]
Proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw. termasuk pengetahuan yang hanya diperoleh dari keterangan Rasulullah Saw. Karena pengetahuan seperti ini tidak bisa dinalar oleh akal maupun ditangkap oleh pancaindera manusia.
Terdapat banyak hadits yang menjelaskan tentang proses, turunnya al-Qur'an. Diantara hadits itu diriwayatkan oleh Ibn 'Abbas:
أنزل القرأن جملة واحدة في ليلة القدر إلى السماء الدنيا وكان بموقع النجوم وكان الله ينزله على رسول الله صلى الله عليه وسلم بعضه في أثر بعض.
"Al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan pada Lailatul Qadar ke langit dunia, yaitu pada posisi bintang-bintang. Lalu Allah menurunkannya kepada Rasulullah Saw. sebagian demi sebagian (secara berangsur-angsur)." (HR. al‑
Hakim .)[3]
فصل القرأن من الذكر, فوضع في بيت العزة في السماء الدنيا, فجعل جبريل عليه السلام ينزله على النبي صلى الله عليه وسلم, ويرتله ترتيلا.
" Al-Qur'an itu dpisahkan dari az zikr,, lalu diturunkan ke Bait al-'Izzah di langit dunia. Kemudian Jibril As. menurunkannya kepada Nabi Saw. dan beliau pun membacakannya secara tartil." (HR. al-Hakim.)[4]

Dalam Ulum al-Hadits, hadits diatas termasuk hadits mauquf. Yaitu hadits yang disandarkan pada shahabat. Namun karena yang disampaikan oleh Ibn 'Abbas itu berkaitan dengan hal yang ghaib, sementarata hal yang ghaib hanya bisa diketahui melalui keterangan Rasulullah saw. maka hadits itu dihitung sebagai hadits marfu'.
Pada hadits yang pertama, al-Hakim memberikan komentar, bahwa hadits itu sesuai dengan standar hadits shahih Al-Bukhari dan Muslim. Dan adz-Dzahabi membenarkannya.
Sedangkan hadits yang kedua, al-Hakim memberikan komentar bahwa hadits itu adalah hadits shahih. Dan adz-Dzahabi pun membenarkannya.
Berdasarkan keterangan Ibn 'Abbas tersebut, Allah Swt. menurunkan al-Qur'an melalui dua tahapan:
1.   Allah menurunkan al-Qur'an secara keseluruhan di Bait al-'Izzah pada langit dunia.
Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt.:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bati 1)(QS. Al Baqarah: 183)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi. (QS. Ad Dukhan: 3)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam kernuliaan."(QS. Al Qadr: 1)
Redaksi dalam ayat tersebut menggunakan lafadz anzala atau unzila berarti menurunkan atau diturunkan secara keseluruhan. Berbeda dengan kata nazzala yang berarti menurunkan secara bertahap atau berangsur-angsur.
2.   Kemudian Allah menurunkan al-Qur'an dari Bait al-'Izzah kepada Nabi Muhammad Saw. dengan perantaraan malakat Jibril As. secara berangsur-angsur selama tenggang waktu dua puluh tiga tahun[5].
Allah Swt. berfirman:

dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.(QS. Al Baqarah: 23)

Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS. Al Baqarah: 97)

Ungkapan (untuk menerangkan) dalam ayat-ayat di atas menggunakan kata tanzil, bukan inzal. Ini menunjukkan bahwa turunya itu secara bertahap dan berangsur-angsur. Ulama’ bahasa membedakan antara Inzal dan Tanzil. Tanzil berarti turun secara berangsur-angsur sedang inzal hanya menunjukan turun atau menurunkan dalam arti umum.[6]

b.   Proses Penyimpanan al-Qur'an dalam Hafalan dan Tulisan
Yang dimaksud dengan proses penyimpanan dalam sub bab ini adalah proses pemeliharaan al-Qur'an semenjak diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Proses penyimpanan ini ada dua macam, yaitu penyimpanan al-Qur'an dalam ingatan atau hafalan manusia yang dimulai dari diri Nabi Saw. sendiri, dan penyimpanan al-Qur'an melalui media alas tulis yang juga bermula dari perintah Nabi Saw.[7]
1.   Proses Penyimpanan al-Qur'an dalam Hafalan.
Pada masa turunnya al-Qur'an sampai sekarang, bangsa Arab dikenal sebagai bangsa yang amat kuat hafalannya. Selain kehidupan mereka yang sederhana, mereka juga sangat menghargai karya sastra. Dan telah menjadi kebiasaan umum pada masa itu, ketika seorang penyair membacakan hasil karyanya, maka orang-orang pun mendengarkannya secara cermat, dan seketika menghafalkannya pula, meskipun bait syair terdiri dari beberapa puluh bait.
Setiap ayat-ayat al-Qur'an turun kepada Rasulullah Saw., beliau bersegera berusaha menghafalkannya. Sehingga kadang Malaikat Jibril belum selesai membacakan ayat-ayat yang dibawanya, Rasulullah Saw. berusaha melafadhkannya. Oleh karenanya, pada saat pertama kali Allah Swt. memberikan teguran:

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.(QS. Al Qiyamah: 16-19)

Setiap kali Nabi Saw. selesai menerima wahyu, beliau memanggil para shahabat untuk menyampaikan wahyu yang baru saja beliau terima itu. Dan banyak diantara shahabat yang melakukan apa yang dilakukan Nabi Saw. Yaitu menyimpan wahyu itu dalam ingatan mereka. Dan jumlah shahabat yang melakukan kegiatan ini tidaklah sedikit. Hal ini bisa dilihat misalnya dari Tragedi Bi'r al-Ma’u-nah. dimana pada peristiwa itu sebanyak 70 orang shahabat yang hafal al-Qur'an gugur ditangan orang kafir.
Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat kedudukan al-Qur'an demikian istimewa dalam kehidupan kaum muslimin. Terdapat banyak ayat yang menjelaskan kemuliaan al-Qur'an. Demikian pula sabda-sabda Nabi Saw. Bahkan lebih jauh Nabi Saw. memberikan motivasi kepada kaum muslimin untuk melakukan kegiatan ini. Seperti hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad berikut ini:


"Pada hari kiamat nanti al-Qur'an menghadap Allah kemudian al-Qur'an memohon, "Ya Allah, berilah dia (orang yang hafal al-Qur'an) perhiasan." Maka orang itu diberikan mahkota kehormatan. Kemudian Al-Qur'an memohon lagi, "Ya Allah, tambahkanlah." Maka orang itu pun diberikan perhiasan kehormatan. Lalu al-Qur'an memohon lagi, "Ya Allah, ridhailah dia." Maka Allah pun ridha padanya, dan diperintahkan pada orang itu, "Baca dan naiklah. Engkau akan memperoleh satu nilai tambah kebaikan bagi setiap ayat." (HR. at-14Tirmidzi.)[8]

Dan kegiatan menghafal al-Qur'an ini tidak berhenti pada masa Rasulullah Saw. maupun masa shahabat. Namun kegiatan ini telah menjadi tradisi umat Islam yang diwariskan dari generasi ke generasi dan telah menjadi tradisi menghafal. Apalagi mereka menghafal al-Qur'an bukan sekedar maknanya, karna menghafal makna tidak dihitung sebagai kegiatan menghafal al-Qur'an. Namun mereka menghafal al-Qur'an kata perkata, bahkan huruf perhuruf. Dan banyak diantara mereka bukan hanya hafal satu dua lembar, seperempat, atau setengah al-Qur'an. Namun mereka menghafalkan kitab suci mereka itu secara keseluruhan.
2.   Proses Penyimpanan al-Qur'an dalam Bentuk Tulisan
Selain tersimpan dalam hafalan manusi, al-Qur'an juga tersimpan dalam bentuk tulisan. Dimana setiap kali Rasulullah saw. menerima wahyu, beliau memanggil para juru tulis beliau, seperti Zaid bin Tsabit, 'Ali ibn Abi Thalib, dan Ubai bin Ka`b. Kemudian beliau memberikan perinitah kepada mereka untuk menuliskan wahyu tersebut. Karena waktu itu belum ada kertas dan pena, mesin ketik, apalagi komputer dan printer, Rasulullah Saw. memerintahkan para juru tulis beliau untuk menuliskan ayat-ayat al-Qur'an pada alat tulis yang ada pada waktu itu, seperti: pelepah kurma, lempengan bata, kulit binatang yang telah disamak, dan tulang-belulang binatang.[9]
Dan atas inisiatif sendiri, banyak shahabat yang tidak diperintah menuliskan al-Qur'an, namun mereka menuliskan ayat-ayat al-Qur'an untuk diri mereka sendiri.[10]

c.   Nilai Keaslian dan Otentisitas Dokumen Arsip Tulisan Mushaf al-Qur'an.
Sejarah penyimpanan al-Qur'an melalui tradisi menghafal yang dilakukan umat Islam dan diwariskan dari generasi ke generasi, sebenarnya telah cukup menjadi bukti kuat atas otentisitas al-Qur'an. Bila kita pergi umrah atau haji ke Mekah, lalu ada kesempatan shalat dibelakang Imam masjid  al-Haram, bisa dipastikan bacaan imam sama persis dengan bacaan imam masjid manapun di Indonesia pada, ayat dan surat yang sama. Demikian pula bila kita bandingkan dengan bacaan imam belahan bumi manapun. Semua melafadhkan huruf-huruf yang sama. Kalaupun ada perbedaan, maka itu hanyalah konsekuensi logis dari sejarah sosial-linguistik masyarakat Arab masa diturunkannya al-Qur'an. Dimana pembahasan masalah ini akan dikaji secara mendalam pada materi sab'ah ahruf dan qira-ah sab'ah.
Demikian pula bila kita pergi ke masjid, toko buku, pondok pesantren ­atau perpustakaan pribadi manapun di nusantara ini, lalu kita bandingkan isinya masing-masing mushaf al-Qur'an yang ada disana, maka tidak ada keraguan sama sekali bahwa seluruh mushaf itu berisi ayat-ayat dan surat-surat yang sama. Demikian pula bila kita pergi ke negara manapun di muka bumi ini. Semua mushaf memuat ayat dan surat yang sama. Kalaupun ada perbedaan dalam penulisan beberapa huruf pada beberapa kata, maka itu hanyalah, perbedaan rasm atau cara penulisan saja. Perbedaan yang disebabkan sebagai konsekuensi atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi hasil karya manusia. Mengingat budaya menulis juga merupakan hasil karya manusia.

d.   Pembukuan al-Qur'an oleh Khalifah Abu Bakar
Pada masa Rasulullah Saw. al-Qur'an belum dibukukan. Karena pada masa tersebut al-Qur'an belum selesai diturunkan, ditambah adanya beberapa kisah nasih-mansukh ayat. Bila Rasulullah Saw. melakukan pembukuan al-Qur'an, maka bisa dipastikan akan mengalami banyak kendala. Sehingga tetap saja pembukuan tidak bisa berjalan lancar.
Setelah Rasulullah Saw. wafat, maka proses diturunkannya al-Qur'an bisa diketahui telah selesai. Dengan kata lain, setelah Rasulullah Saw. wafat, maka baru bisa diketahui bahwa seluruh ayat al-Qur'an telah selesai diturunkan. Karena setelah Rasulullah Saw. tidak akan ada lagi nabi. Tentu saja selain nabi-nabi palsu yang sekedar ingin memperoleh popularitas atau tergoda imbalan materi.
Adalah 'Umar b. al-Khaththab, shahabat yang dikenal banyak ide kemajuan dan terobosan, merupakan orang yang pertarna kali mencetuskan pentingnya pembukuan al-Qur'an. 'Umar menemui Khalifah untuk menyampaikan ide cemerlangnya itu. Meskipun pada mulanya Abu Bakar merasa ragu menerima ide tersebut, namun akhirnya ia setuju. Maka Abu Bakar menunjuk Zaid Ibn Tsabit untuk melaksanakan tugas mulia itu. Dan meskipun pada awalnya Zaid juga keberatan menerima perintah itu, namun akhirnya ia pun bergegas melaksanakan tugas tersebut.[11]
Dasar pemikiran dibukukannya al-Qur'an pada masa ini adalah kekhawatiran akan semakin sedikitnya para huffazh al-Qur'an. Apabila para huffazh sampai habis terbunuh, maka al-Qur'an pun dikhawatirkan juga lenyap. Terutama pasca Perang Yamamah yang telah menewaskan sekitar tujuh puluh orang shahabat yang semuanya adalah para huffazh. Maka wajar saja kekhawatiran itu muncul.[12]
Arti penting pembukuan al-Qur'an yang dilakukan atas perintah Khalifah yang pertama ini adalah terkumpulkannya lembaran-lembaran al-Qur'an yang semula terpisah-pisah pada beberapa orang shahabat. Dengan terbukukannya al-Qur'an ini, maka sirnalah bayang-bayang akan lenyapnya al-Qur'an dari muka bumi.
Adapun keistimewaan yang dikandung dalam mushaf pertama ini yaitu masih bercampurnya beberapa versi bacaan al-Qur'an, yang biasa disebut sebagai sab'ah ahruf, menurut pendapat sebagian ulama. Atau paling tidak, mushaf ini merupakan mushaf al-Qur'an yang, pertama kali berhasil dibukukan.

e.   Pembukuan al-Qur'an ke-2 oleh 'Uthman Ibn Affan.
Dasar pemikiran pembukuan al-Qur'an ke-2 yang dilakukan oleh 'Uthman Ibn'Affan adalah kekhawatiran yang ditimbulkan dari banyaknya versi bacaan al-Qur'an. Di satu sisi, ragam bacaan al-Qur'an merupakan kekayaan intelektual dan bukti keluwesan Islam dalam melayani kebutuhan umatnya. Namun disisi lain, ragam bacaan al-Qur'an berpotensi mengantarkan umat Islam menuju disintegrasi umat, atau paling tidak mengurangi semangat ukhuwah Islamiyah.
Hal ini menjadi kenyataan pada beberapa peristiwa penting.
Ketika terjadi perang Armenia dan azarbijan dengan penduduk Irak, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu aialah Huzaifah ibn yaman. Ia melihat banyak berpendapat dalam cara membaca al Qur’an. Sebagain bacaan itu bercampur dengan kesalahan; akan tetai masing-masin mempertahankan dan berpegang padda bacaannya, seerta menentang setaiporang yang menyalahi bacaanya dan bahkan mereka saling mengafirkan. Melihat kenyataan ini, Huzaifah segera menghadap Uthman san melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran pertama yan ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat Islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan yang tetap pada satu huruf[13].
Berdasarkan permintaan dari para shahabat yang lain, akhirnya Khalifah memerintahkan pembukuan al-Qur'an jilid 2 yang diketuai oleh Zaid Ibn Thabit. Hanya tujuan pembukuan kali ini bukan mengumpulkan lembaran­ lembaran al-Qur'an saja, melainkan juga bertujuan menyatukan bacaan umat Islam dalam membaca al-Qur'an. Maka Zaid Ibn Thabit pun melakukan verifikasi ulang sebagaimana dia pernah melakukannya. Setelah selesai, Khalifah meminta izin meminjam mushaf Abu Bakar yang disimpan oleh 'Umar sekaligus istri Nabi Saw., yaitu Hafshah, untuk mencocokkannya. Lalu disalinlah mushaf al-Qur'an tersebut. Setelah selesai disalin, maka 'Uthman rnenggandakan salinan itu menjadi beberapa mushaf lagi. Kemudian ia mengirimkan salinan mushaf itu bersama seorang qari' ke berbagai penjuru dunia sebagai pedoman penulisan dan bacaan al-Qur'an[14]. Yang, selanjutnya mushaf itu disebut sebagai mushaf 'Uthmani. Sedangkan semua tulisan al-Qur'an yang tidak sama dengan mushaf tersebut diperintahkan untuk dibakar atau setidaknya dirubah sesuai mushaf ini[15].
Adapun keistimewaan mushaf ini dibandingkan mushaf yang dibukukan pada masa Abu Bakar, menurut sebagian ularna adalah bahwa pada mushaf Abu Bakar masih bercampur sab'ah ahruf. Sementara pada mushaf ' Utsmani tinggal satu harf saja. Sementara menurut sebagian ulama yang lain tidak ada perbedaan dalam hal penulisan mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar dan mushaf yang ditulis pada masa 'Utsman. Karena yang dilakukan oleh Zaid pada tugasnya yang kedua ini hanyalah menyalin.

f.    Usaha menjaga Keaslian Arsip al-Qur'an Sejak Dahulu Sampai Sekarang.
Telah banyak usaha yang dilakukan umat Islam berkaitan dengan penjagaan keaslian al-Qur'an. Diantara adalah :
1.    Rasulullah Saw. memanggil para juru tulis beliau setiap kali turun ayat al-Qur'an. Rasulullah Saw. meminta para juru tulis itu untuk menyimpan catatan mereka. Demikian seterusnya hingga beliau W-afat. Dengan demikian al-Qur'an telah selesai ditulis semasa Rasulullah Saw. masih hidup. Dengan kata lain, penulisan al-Qur'an telah selesai pada masa Rasulullah Saw. masih hidup.
2.    Pada masa pemerintahan Abu Bakar, atas inisiatif 'Umar, Khalifah membukukan al-Qur'an yang sebelumnya telah ditulis oleh para shahabat sejak Rasulullah Saw. masih hidup. Dalam hal ini Abu Bakar telah berusaha membuat mushaf al-Qur'an yang pertama dalam Islam. Hanya saja, karena terbatasnya sarana media penulisan, pembukuan kali ini dilakukan dengan mencatatkan ayat-ayat al-Qur'an pada lembaran kulit binatang yang tidak seluruhnya sama ukuran. Sehingga hasil kegiatan ini tidak disebut sebagai mushaf, tapi disebut suhuf.
3.    Pada masa pemerintahan 'Uthman Ibn 'Affan, atas desakan para shahabat yang lain, ia mengadakan verifikasi ulang dalam kerangka pembukuan al-Qur'an yang kedua. Setelah mencocokkannya dengan mushaf al-Qur'an yang disusun pada masa Abu Bakar, maka ia memerintahkan untuk memperbanyak jumlah mushaf standar itu atas kesaksian para shahabat yang lain dan mengirimkannya ke berbagai penjuru negara yang disertai oleh seorang qari'. Mengingat bahwa pada masa itu belum dikenal adanya tanda baca yang berupa titik dan harakat (baris). Dengan demikian 'Uthman adalah orang pertama kali menyebarkan mushaf standar beserta cara membacanya yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia.
4.    Kemudian usaha mempertahankan keotentikan al-Qur'an dilakukan dengan adanya Lembaga Pentashih al-Qur'an setiap kali ada pencetakan dan penerbitan al-Qur'an, atau minimal ada pihak yang bertanggung jawab atas isi mushaf itu.
Telah banyak usaha berbagai pihak untuk memalsukan teks al-Qur'an dengan menerbitkan al-Qur'an versi palsu. Namun selalu saja usaha-usaha itu menemui kegagalan. Dan telah banyak pula usaha yang dilakukan banyak pihak, baik yang nampak ilmiah maupun amatiran, untuk memberikan kesan adanya kesalahan dalam penulisan al-Qur'an. Atau paling tidak menunjukkan kemungkinan kesalahan yang disengaja maupun tidak disengaja dalam proses pembukuan dan penyalinan al-Qur'an. Namun sejauh ini seluruh usaha itu selalu menemui kegagalan demi kegagalan.
Hal ini merupakan janji Allah dalam usahaNya memelihara Al Qur’an, firmanNya:
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.(QS. Al Hijr: 9)

g.   Perbandingan Kemurnian al-Qur'an dengan Bibel.
Dalam al-Qur'an kita mendapati sebuah ayat yang secara tegas Allah memberikan janji kepada umat Islam untuk menjaganya. Menjaga dari semua perubahan yang akan dilakukan oleh manusia, baik disengaja maupun tidak sebagaimana yang telah dijelaskan di depan.
Sementara dalam kitab-kitab yang sebelumnya Allah tidak pernah memberikan janji yang sama. Sehingga wajar apabila kita pun mendapati bahwa kitab-kitab yang diturunkan sebelum al-Qur'an telah mengalami banyak perubahan. Terbukti dengan adanya beberapa revisi yang dilakukan terhadap isi Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama. Sehingga wjar jika kitab-­kitab sebelum al-Qur'an tidak terjaga kesuciannya, tidak terjaga keasliannya, karena kitab-kitab itu mulai ditulis setelah Nabi meninggal dunia.
Dalam bukunya, A’Zmi mengatakan bahwa hanya tiga puluh satu teks masoretik[16] yang masih selamat dari perjanjian lama (PL).
Secara lebih detail, penulis cuplik beberapa paragraph darinya “The Hstory of Qur’an Text”, yaitu:
Teks Masoretik (MT) memperingatkan kepada produk akhir, sebuah upaya yang memperkenalkan tanda-tanda vowel,dan aksen ke dalam bodi Bibel Ibrani yang hanya berhuruf konsonan dan tak memiliki vowel pada awal abad pertengahan. Jumlah total Bibel Ibrani yang ditulis dalam bentuk Masoreti (balk yang komplet maupun fragmentari) hanyalah tiga puluh satu, bertarikh dari akhir abad ke-9 sampai tahun 1100 M.  Simbol (M) menunjukkan teks Masoretik baik dalam Biblia Hebraica yang diedit oleh Rudolf Kittel (BHK) maupun Biblia Hebraica Stuttgartensia (BHS). Keduanya merupakan edisi­edisi PL yang paling kritis dan sangat diagungkan; sesungguhnya keduanya merupakan manuskrip yang sama, B 19A, di the Saltykov-Shchedrin Stale Public Library dari St. Petersburg, ditulis pada tahun 1008 M.
Satu ciri yang menarik dari Leningrad Codex ini, demikian dikenal, adalah sistem penanggalannya. V. Lebedev menyatakan, Manuskrip ini mulai dengan sebuah tanda penerbit yang besar, yang memberikan tanggal kopi manuskrip, yang disebut dalam lima era yang berlainan: 4770 dari Penciptaan, 1444 dari pengasingan Raja Yehoekin, 1319 dari `Dominion Yunani' (malkut ha-yamanim), 940 dari kehancuran Rumah Tuhan yang kedua di Yerusalem, dan 399 dari Hijrah (qeren ze'irah). Bulan itu adalah Siwan.
 Keterangan lain yang penting dicatat di sini adalah berasal dari Wiirthwein, bahwa "pembagian ayat-ayat sudah dikenal pada periode Talmud, dengan tradisi-tradisi Palestina dan Babilonia yang berlainan". Dengan tidak adanya bentuk pemisahan apa pun antara ayat-ayat, Kodeks abad ke 11 ini (yang ditulis begitu berabad-abad setelah masa Talmud) menyiratkan ke­sangsian pada pernyataan ini. Bagaimanapun juga, "pembagian (PL) menjadi bab-bab, sebuah sistem yang berasal dari Stephen Langton (1150-1228), adalah diadopsi dalam manuskrip-manuskrip Ibrani dari terjemahan Injil berbahasa Latin pada abad ke empat belas." Lebih dari itu, pembagian-pembagian ayat tidak dibubuhi angka-angka sebagai sub- sub bagian dari bab-bab sampai pada abad ke-16.
Kodeks Leningrad ini adalah sangat baru sekali.... ; manuskrip Ibrani keseluruhan PL yang tertua yang ada kini, sesungguhnya hanya berasal dari abad ke-10 M.
Sejumlah manuskrip Ibrani yang secara substansial lebih awal, yang sebagiannya bertarikh dari era pra-Masehi, sebetulnya telah hilang tersembunyi pada masa abad-abad pertama dan kedua M. di dalam berbagai gua di padang pasir Yehuda ... dekat Laut Mati dan senantiasa di sana selama hampir dua milenium, kemudian ditemukan dalam serangkaian penemuan mulai tahun 1947.
Temuan-temuan ini meliputi penggalan-penggalan dari hampir semua buku-buku PL, namun untuk naskah PL yang sempurna, para sarjana masih sepenuhnya bergantung pada manuskrip-manuskrip yang bertarikh dari abad ke-10 dan setelahnya.

 Lebih lanjut, A’zmi dalam analisanya mengatakan:
Dalam masa berabad-abad yang berselang antara naiknya Musa ke Gunung Sinai dan standardisasi akhir sebuah teks Ibrani, teks itu tidak bisa terelakkan dart kesalahan-kesalahan, perubahan-perubahan, dan pemalsuan­pemalsuan dengan tidak adanya mukjizat. Dan memang, setiap wajah sejarah Israel agaknya menegaskan bahwa tidak pernah ada mukjizat seperti itu. Kita dapat dengan mudah mengamati bahwa situasi politik di Palestina, bahkan dalam masa hadirnya sebuah negara Yahudi yang bersatu pun, tidaklah meng­untungkan bagi perkembangbiakan PL yang dapat dianggap patut dan sakral; jarang sekali seorang raja memberikan kecintaan dan ketulusan kepadanya, malahan mayoritas raja-raja itu mendirikan patung-patung dan sebagian bahkan melakukan ritual-ritual pagan korhan anak dsb..Di atas itu semua, teks itu sendiri menghilang berulang-ulang, dan selama berabad-abad pada suatu waktu.
Dasar-dasar budaya kesusastraan dan keagamaan Yahudi itu sendiri berasal dari masyarakat-masyarakat lain, yang menyebabkan infiltrasi lebih jauh ke dalam PL mulai dari permulaan sejarah bangsa Israel yang paling awal. Misalnya: (a) bahasa lbrani dipinjam dari bangsa Funisia; (b) orang-orang Yahudi tidak mengembangkan tulisan mereka sendiri, tapi sekadar menyesuaikannya dengan Aram dan Asyur; (c) sistem diakritik Taurat Ibrani dipinjam dari bahasa Arab; (d) Kitab Perjanjian (secara umum Keluaran 20:22­23:19) kemungkinan diadaptasi dari Kode Hammurabi, dan seterusnya.
Teks itu sendiri masih senantiasa cair (fluid) sampai abad ke-10 M., hampir 2300 tahun setelah wafatnya Musa: cair dalam arti bahwa teks itu masih terbuka untuk perubahan-perubahan sesuai dengan justifikasi doktrinal yang cukup. Dan sekali perubahan itu sempurna, yang asli jadi `cacat' dan dirusak, yang sehingga menghapus semua jejak yang mungkin mengantarkan kembali kepada sesuatu yang lebih tua dan utuh.
Memperhatikan Al-Qur'an, kita mencatat ayat:
tûïÏ%©!$# šcqãèÎ7­Ftƒ tAqß§9$# ¢ÓÉ<¨Z9$# ¥_ÍhGW{$# Ï%©!$# ¼çmtRrßÅgs $¹/qçGõ3tB öNèdyYÏã Îû Ïp1uöq­G9$# È@ÅgUM}$#ur  ÇÊÎÐÈ  
"Mereka yang mengikuti seorang Rasul, Nabi yang buta huruf, yang mereka temukan tertulis dalam [kitab-kitab suci]mereka, dalam Taurat dan Injil.."(QS. Al ‘Araf)
Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa bahkan teks-teks PL dan PB yang telah diubah pun mengandung referensi-referensi tentang nabi yang akan datang. Referensi-referensi semacam itu telah dilihat oleh beberapa Sahabat Nabi dan para khalifah, [17] tetapi sejak itu kemudian dibersihkan secara besar­besaran.

C.   PENUTUP.
Demikianlah keadaan Teks Perjanjian Lama dan Perjanjian baru yang memang telah terbuk-ti tidak lagi otentik. Bahkan dalam sejarah penulisannya pun terdapat masalah, bahkan di antara masalah itu tidak dapat dipecahkan. Seperti masalah "inspirasi" dalam penulisan sejarah.
Ala kulli hal, Kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru tidak bisa disamakan sama sekali dengan al-Qur'an. Mulai dari proses pewahyuan, penulisan, pembukuan, penerjemahan, hingga penafsiran adalah sama sekali berbeda.
Kita umat Islam memang meyakini bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab sebelum al-Qur'an. Namun kita juga meyakini bahwa semua kitab itu tidak ada yang masih asli. Hanya al-Qur'anlah satu­satunya kitab suci yang merupakan himpunan kalam Ilahi yang masih suci.

Daftar Pustaka
al-A'zami, Muhammad Mustafa. The History of The Qur’niq Text. Jakarta: Gema Insani, 2005
al-Hakim, Muhammad bin 'Abdillah Abu 'Abdillah an-Naisa-buri. al-Almustadrak
'ala al-Shahihain. Beirut: Dar al-Kutub al-'llrniyyah, 1990. Tahqiq:
Mushthafa 'Abdul Qadir 'Atha. Dilengkapi dengan ta'liq: adz-Dzahabi
dalam al-Talkhish. Jumlah juz: 5.
al-Qata-n, Mann-a'. Maba-hith         fi ulum al-Qur'a-n.Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1973.
al-Shabuni, Muhammad 'Ali, Studi Ilmu al-Qur'an. Bandung: Pustaka Sena. 1998 al-Tirmidzi, Muhammad b. 'Isa Abu 'Isa, a1-Jami' Shahih Sunan at-Tirmidzi
(Beirut: Dar lhyd' at-Tura-ts- al-'Arabi, tanpa tahun), no. 2915. Tahqiq:
Ahmad Muhammad Syakir dk-k. Jumlah juz: 5.1
Az Zarqani, Muhammad 'Abdul 'Az-im. Manahil al-'Irfdn fi 'Ulum al-Qur'an. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmi-vyah, 1996
Anwar, Rosihon. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka, Setia, 2004
Hitti, Philip K. History of The Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005
Rofi'i, Ahmad Syadali clan Ahmad. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2000



[1] Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), 158.
[2] Muhammad 'Abdul 'AzimAz Zarqarni, Manahil al-`Iran fi'Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al ­Kutub al-'Ilmiyyah, 1996), vol. I, hal. 42-44.
[3] Muhammad b. 'Abdillah Abu 'Abdilldh al-Hakim an-Naisiburi, al-Almustadrak ‘ala al-Shahihain (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1990), No. 2878.
[4] Ibid., no. 2881.
[5] Ahmad Syadali dan Ahmad Rofil, Ulumul Quran (Bandung: Pusta-ka Setia, 2000), 42.
[6] Lihat Al Mufrodat Oleh Ar Ragib.
[7] Mannaa' Khalil al-Qattan, Mabahith fi ulm al Qur’an, (Beirut: Manshurah al ‘Asr al Hadith, 1973)118-119.
[8] Muhammad b. 'Isa Abu 'Isa at-Tirmidzi, al-Jami' ash-Shahih Sunan at-Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, tanpa tahun), no. 2915. Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir dkk.
[9] Lihat Manna` al-Qattin, Mabahith, 123-125.
[10] Muhammad Mustafa al-A`zami, The History of The Qur'anic Text (Jakarta: Gema Insani, 2005), 72-73.
[11] Rosihon Anwar, Uluniul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 40-41.
[12] Rosihon Anwar, Ibid.
[13] Lihat: Mannaa' Khalil al-Qattan, Mabahith, hal. 192-193.
[14] Uthman menahan satu mushaf untuk disimpan di madinah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Mushaf Imam”. Penamaan ini mushaf ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu yang mengatakan :”bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).(lihat manna al qataan, hal 198).
[15] Lihat: Muhammad 'Ali al Sabuni, Studi al-Qur'an, 108-110.
[16] Dalam Perjanjian Lama, Teks Ibrani diistilahkan Masoretik sebab dalam bentuknya yang sekarang ia berdasarkan pada Masorah, tradisi tekstual para sarjana Yahudi yang dikenal sebagai the Masoretes. Masorah (Ibr. "tradition") merujuk pada sistem tanda-tanda huruf hidup (vowel), ciri-ciri aksen, dan nada-nada marginal yang diciptakan para juru tulis dan sarjana Yahudi awal abad pertengahan dan digunakan dalam mengopi teks Bibel Ibrani untuk memeliharanya dari perubahan­perubahan (Lihat: Oxford Companion to the Bible, hlm. 500).
[17] Untuk Iebih detail, lihat Ibn Kathir, Tafsir, iii:229-234.

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...