Thursday, October 12, 2017

Makalah wewenang dan otentisitas penafsiran al-Qur'an

PENDAHULUAN
           
            Al-Qur'an merupakan kitab samawi yang diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh umat terlepas dari ruang dan waktu, dan oleh karenanya ia bersifat universal dan relevan sepanjang masa. Relevansi kitab suci ini terlihat pada petunjuk-petunjuk yang diberikannya kepada umat manusia dalam aspek kehidupan. Inilah sebabnya pemahaman al-Qur’an di kalangan ummat Islam selalu muncul di permukaan, selaras dengan kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi.
            Agar fungsi al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna firman Allah SWT saat menafsirkan al-Qur’an. Upaya untuk menafsirkan ayat-ayat Qur’an untuk mencari dan menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya merupakan suatu upaya yang niscaya terukur karena Allah sudah memberikan manusia potensi yang cukup untuk memahami kitab suci bagi berlangsungnya kehidupan. Muhammad Arkon, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[1]
            Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Perkembangan tersebut secara umum mencakup beberapa corak tafsiran mereka yang tidak terlepas dari perbedaan kecenderungan, inters, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan ke dalaman (capacity), ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode yang berbeda-beda.
            Dengan latar belakang pemikiran di atas, maka masalah pokok yang dibahas adalah menyangkut tentang sisi universalitas al-Qur'an, solusi alternatif untuk beberapa tafsiran yang berbeda tentang satu teks, kedudukan produk tafsiran oleh Tabi'in. Di samping itu juga mengungkap sisi otentisitas kebenaran penafsiran al-Qur'an dari zaman ke zaman berikutnya, sebagai terjemah dari universalitas al-Qur'an.


PEMBAHASAN

A. Unsur-unsur yang menjamin sifat dinamis dan universal dari al-Qur'an
            Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi alam semesta dan kitab suci al-Qur'an yang diwahyukan kepada beliau pun juga bersifat universal. Universalitas al-Qur'an bisa bermakna bahwa al-Qur'an mencakup semua kandungan kitab-kitab sebelumnya dan atau al-Qur'an mengandung nilai-nilai luhur yang bisa diterapkan pada ruang dan waktu mana pun.
            Banyak buku ditulis dan juga riset dilakukan dalam tema apa pun untuk mengungkap kandungan al-Qur'an, baik berupa tafsir atau ta'wil. Semakin banyak buku dan riset tersebut dilakukan, semakin membuktikan sisi universalitas al-Qur'an karena banyaknya fenomena parsial membuktikan kuatnya suatu konsep universalitas. Logika akan mengatakan bahwa al-Qur'an yang universal bisa membuktikan eksistensinya sebagai mukjizat nabi dengan luasnya isi dan terbuktinya hasil riset ilmiah berkaitan dengan landasan umum ilmiah dalam al-Qur'an.
            Cakrawala universalitas al-Qur'an menjadi salah satu titik pusat riset ilmiah yang terus melaju pesat. Pelbagai penelitian berangkat dari pijakan konsep ilmiah yang termaktub sejak 1400-an tahun yang lalu. Banyak para peneliti kagum bahwa riset ilmiahnya ternyata sudah tersirat dalam kandungan al-Qur'an, menjadikan mereka lebih penasaran untuk terus mengkaji kebenaran ayat-ayat suci al-Qur'an.
            Konsep universalitas al-Qur'an bisa merujuk pada dua dasar pijakan:[2]
1.    Konsep universalisme Islam secara otomatis akan mewariskan makna universlitas al-Qur'an. Hal ini karena al-Qur'an merupakan misi Islam. Universalitas tersebut terprogram sedemikian oleh al-Qur'an dengan beberapa ayat yang tegas mengisyaratkan universalitas misi nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia.
قُل يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ آللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا ( الأعراف / 15 )
2.    al-Qur'an menegaskan bahwa teks dan kandungannya, kedua-duanya secara jelas ditujukan untuk seluruh manusia (al-nas). Hal ini bisa dilihat pada beberapa pos  ayat berikut :
a.     al-Qur'an mengingatkan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga.
يَأَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيكُمْ ( فاطر / 3 )
b.    Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia berhak menikmati semua karunia Allah.
يَأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي آلأَرضِ حَلَلاً طَيِباً ) البقرة / 1 )
c.     Al-Qur'an mewanti-wanti manusia agar tidak berbuat kedhaliman dengan banyaknya nikmat Allah.
وَلَو يُؤَاخِذُ اللهُ النَّاسَ بِظُلمِهِم مَّا تَرَكَ عَلَيهَا مِن دَابَّةٍ ) النحل / 61 )
d.    Al-Qur'an berbicara tentang fenomena alam untuk menjadi obyek berpikir dan merenung.
الَّذِينَ يَذكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِم وَيِتِفِكَّرُونَ فِي خَلقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرضِ رَبَّنَا مَا خَلَقتَ هَذَا بَطِلاً سُبحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ) آل عمران / 1 )
e.     Al-Qur'an melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi, melakukan kejahatan pembunuhan dan menganggap pembunuhan satu jiwa berarti pembunuhan kemanusiaan seluruhnya.
مِن أَجلِ ذَلِكَ كَتَبنَا عَلَى بَنِي إِسرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفسًا بِغَيرِ نَفسٍ أَو فَسَادٍ فِي الأَرضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَن أَحيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحيَا النَّاسَ جَمِيعاً ) المائدة / 32 )
f.      Al-Qur'an menjadikan salah satu syiar terpentingnya adalah ibadah haji ke al-bait al-haram yang merupakan rumah pertama dibangun untuk kemanusiaan. Kumandang untuk haji tersebut tidak hanya untuk umat Islam saja, tapi seluruh manusia.
وَللهِ عَلَى النَّاس حِجُّ البَيتِ مَنِ استَطَاعَ إِلَيهِ سَبِيلاً ) آل عمران / 9 )
            Dari aspek dialektika dan retorika teks al-Qur''an, sifat universal al-Qur'an didukung oleh metode al-Qur'an dalam khitab-nya. Dr. Abdul Karim Hamidi memaparkan ada beberapa indikasi dimensi universalitas dalam khitab al-Qur'an, sebagai berikut:[3]
1. 'Alamiyah al-kitab
2. 'Alamiyah al-risalah
3. 'Alamiyah al-khitab
4. 'Alamiyah al-maqshad wa al-ghayah
5. 'Alamiyah al-dhuhur wa al-tamkin
            Kandungan al-Qur'an sangat sarat nilai-nilai dinamis dan universal. Selamanya, al-Qur’an tidak akan pernah melupakan satupun pokok-pokok kebenaran makhluk hidup. Reza Ahmad Zahid mengklasifikasikan kandungan al-Qur’an kedalam empat sudut pandang.[4]
            1. Umum
            Ditinjau dari sisi umum, kandungan al-Qur’an dapat dilihat dalam kandungan ummul Qur’an, yaitu surat al-Fatihah. Di sana tertuang masalah Tauhid dan kesemestaan yang berporos pada nikmat ijad dan tarbiyah, Wa’ad (Janji) dan Wa’id (Ancaman), Ibadah, jalan kebahagiaan dunia dan akhirat dan sejarah sebagai rujukan dan tambang keteladanan dalam kehidupan.
            2. Hukum
            Dipandang dari aspek hukum, al-Qur’an mengandung banyak hukum i’tiqodiyah (keyakinan), Khuluqiyah (akhlaq), Amaliyah (yang berkaitan dengan amal perbuatan, baik yang bersifat ibadah ‘ammah ataupun yang mahdlah murni).
            3. Metodologis Paedagogis
            Al-Qur’an telah melahirkan berbagai disiplin ilmu-ilmu nahwu, sharaf, badi’, ushul, falsafah, politik, ekonomi, social, sains, seni dan lain-lain. Ini berarti bahwa a-Qur’an selain sarat dengan substansi dan informasi juga memiliki kandungan metodologis dan paedagogis bagi umat manusia.
            4. Prinsip-prinsip Bidang Kehidupan
            Al-Qur’an memberikan prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan dalam segala aspek kehidupan, yang minimal dapat kita pilah sebagai berikut:
   1. I’tiqodiyah atau keyakinan baik itu keimanan kita kepada Alloh serta penghambaan kita kepadaNya ataupun hal-hal gaib seperti surga, neraka, dan lain sebagainya.
   2.  Ubudiyah, Allah telah menyatakan bahwa Dia menciptakan Jin dan Manusia hanya untuk beribadah kepadaNya.
   3. Ijtima’iyah atau unsur-unsur sosial, seperti halnya Allah tidak membedakan manusia dari warna kulit, rasa tau kebangsaannya. Dan banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan akan kepedulian al-Qur’an dalam ranah permasalahan sosial.
   4. Siyasiyah atau politik. Seperti anjuran musyawarah dalam pencarian solusi dalam problematika manusia. Dan ayat-ayat lainnya yang terkait dengan pencapaian maslahat bagi kehidupan manusia seperti keadilan, keamanan, perlindungan kehormatan manusia, hak berpendapat, hak control, berserikat dan lain sebagainya.
   5. Iqtishodiyah dalam bidang ekonomi, seperti halnya harta harus beredar secara adil, penggunaan asas mu’awanah atau saling membantu antara satu dan yang lain.
   6. Sintiqiyah dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dr. Hartwigg Herffeld mengatakan, kehadiran al-Qur’an telah menimbulkan banyak diskusi besar dan secara tidak lansung telah menumbuh kembangkan dari segala cabang ilmu pengetahuan dengan sangat menakjubkan.
   7. Falsafiyah, berpikir radiks, sistematis dan universal merupakan anjuran al-Qur’an.
   8. Funun al-jamiliyah. Al-Qur’an merupakan satu bentuk nilai seni tertinggi yang  tak dapat terdandingi.
            Kandungan al-Qur'an akan terus memberikan dimensi-dimensi kemukjizatan al-Qur'an, yang sifatnya aqli. Semakin jauh telaah mengkaji kandungan al-Qur'an, semakin terbukti universalitas al-Qur'an. Terutama di era moderen dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, riset-riset ilmiah menjadi sinkron dengan nilai-nilai dan dasar-dasar universal dalam al-Quran sehingga bahkan muncul beberapa karya ensiklopedi dalam bidang tafsir sains.
           


            B. Skala prioritas wewenang dan peringkat kebenaran tafsiran atas al-Quran
          Dalam sejarah Islam, tafsir al-Qur'an tidak berhenti pada satu periode dan menjadi statis dan tidak berkembang. Selama akal masih berpikir dan hati berdzikir, pemahaman terhadap teks al-Qur'an melahirkan banyak produk tafsir yang berbeda-beda, menjadi bukti dan  saksi atas kemukjizatan al-Qur'an. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah karena umat Islam pada umunya ingin selalu menjadikan al-Qur'an sebagai mitra dialog dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tidak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembagan tafsir.                
            Munculnya berbagai corak penafsiran tersebut kemudian disebut oleh para ahli dengan istilah madzhab-madzhab tafsir (Madzahib al-Tafsir)[5]. Istilah tersebut dapat diartikan sebagai aliran-aliran, madzhab-madzhab, kecenderungan-kecenderungan yang dipilih seorang mufassir ketika menafsirkan al-Qur'an. Kategorisasi madzhab tafsir dari zaman sahabat sampai sekarang melahirkan produk tafsir bermacam-macam dengan banyak metode, terlebih jika dikaitkan dengan kosakata-kosakata seperti manhaj, madzhab, thariqah, iitijah, laun dan seterusnya.
            Abdul Mustaqim membagi madzhab penafsiran menjadi tiga periode: periode klasik, pertengahan dan kontemporer.[6] Pembagian madzhab penafsiran menjadi tiga periode ini didasarkan pada episteme dan paradigma yang mendasari masing-masing periode. Penafsiran masing-masing periode ini agaknya tidak lepas dari perkembangan penalaran manusia. Pada periode klasik penafsiran atas al-Qur'an cenderung mistis, pada periode pertengahan cenderung ideologis dan pada periode kontemporer panafsiran atas ayat-ayat al-Qur'an memiliki kecenderungan ilmiah. Tentunya, masing-masing periode ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
            Dari pelbagai produk tafsir yang beragam, mungkin saja terjadi perbedaan tafsiran atas satu teks al-Qur'an. Masalah ini menuntut para ahli di bidang tafsir untuk membuat acuan skala prioritas tafsiran atas teks al-Qur'an. Sehingga dengan adanya skala prioritas tersebut, kita bisa menentukan peringkat kebenaran tafsiran atas al-Qur'an.
            Mengacu pada metode tafsiran al-Qur'an dalam buku yang ditulis Khalid ibn Uthman al-Sabt, maka peringkat kebenaran tafsiran atas al-Qur'an secara urut adalah sebagai berikut:[7]
1.    Tafsiran al-Qur'an dengan al-Qur'an
2.    Tafsiran al-Qur'an dengan al-Hadith
3.    Tafsiran al-Qur'an dengan perkataan Sahabat
4.    Tafsiran al-Qur'an dengan perkataan Tabi'in
5.    Tafsiran al-Qur'an dengan bahasa Arab
6.    Tafsiran al-Qur'an dengan pendapat atau akal

            C. Tafsiran al-Qur'an oleh Tabi'in
            Tabi'in merupakan generasi kedua dalam sejarah pentafsiran al-Quran karena mereka golongan yang bertemu secara langsung dengan para sahabat. Pada peringkat ini tafsiran terhadap suatu ayat mulai ditulis dan dibukukan. Pada zaman ini perbedaan mulai banyak dijumpai, tidak seperti penafsiran pada zaman sahabat. Ada tiga kumpulan besar pengajian tafsir pada masa Tabi'in:
(a) Madrasah Ibnu Abbas di Mekah
            Di antara ulama tafsir di kalangan Tabi'in yang terkenal pada madrasah ini ialah Said bin Jubir (94H), Mujahid bin Jabr (103H), Ikrimah al-Barbariy (105H), Tawus bin Kaysan (106H) dan Ata bin Abi Rabah (114H). Mujahid adalah Tabi'in yang menerima seluruh tafsir dari sahabat, sebagaimana dia pernah berkata : “Aku baca seluruh Isi al-Quran kepada Ibn Abbas, aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakan makna kepada beliau.”
(b) Madrasah Abdullah bin Masud di Kufah.
            Di antara pengikut Ibn Masud yang terkenal ialah al-Qamah bin Qays (102H), Masruq (63H), al-Aswad binYazid (75H), Marrah al-Hamdani (76H), Amir al-Sya’bi (109H), Hassan al-Basri (110H) dan Qatadah (m117H).
(c) Madrasah Ubay bin Ka'ab di Madinah
            Pengikut kelompok ini yang paling terkenal ialah Abu al-Aliyah (90H), Muhammad bin Ka'ab al-Quraziy (118H) dan Zaid bin Aslam (136H).
            Dari ketiga madrasah ini, mereka yang paling arif tentang tafsir ialah pengikut madrasah Mekah seperti yang disebut oleh Ibnu Taymiyyah: “ Manakala dalam bidang Tafsir, mereka yang paling arif ialah penduduk Mekah karena mereka adalah pengikut Ibnu Abbas seperi Mujahid, Ata’ bin Abi Rabah, Ikrimah, … "[8].
            Pada zaman Tabi'in, usaha menulis dan mengumpulkan pentafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat al-Qur'an dimulai. Ibn Jarir al-Tabari menyebutkan  bahwa Ibn Abi Malikat pernah berkata : “ Aku melihat Mujahid bertanya pada Ibnu Abbas tentang tafsir al-Quran dan dia membawa papan tulis bersamanya. Ibnu Abbas berkata kepadanya : “Tuliskan, sehingga dia bertanya Ibn Abbas tentang tafsiran semua ayat sekali". Riwayat ini menunjukkan bahwa penulisan dan pembukuan tafsir telah mulai berlaku. Namun kita tidak dapat memastikan siapakah orang yang pertama membukukan tafsir.

Nilai tafsir zaman Tabi'in
            Tafsir pada zaman sahabat sangat berkaitan dengan al-Quran, al-Hadith dan ijtihad sahabat dalam keadaan tertentu dibantu dengan penguasaan bahasa Arab, pengetahuan tentang sebab turun ayat dan juga ketinggian ilmu yang Allah karuniakan kepada mereka. Tafsir pada zaman Tabi'in juga masih mengikut metodologi pentafsiran para sahabat, hanya saja tingkat perbedaan dan perselisihan pada zaman Tabi'in lebih meluas.
            Di antara perkembangan penafsiran yang terjadi pada masa Tabi'in :
a.     Riwayat ahli kitab menjadi salah satu sumber tafsir para Tabi'in
b.    Kemunculan mazhab pada zaman Tabi'in memberi pengaruh pada corak penafsiran
c.     Mulai berasaskan pada model tafsir bi al-Ray seperti yang ditemui dalam tafsiran Mujahid
            Berkaitan dengan sisi otentisitas, masuknya riwayat israiliyat menjadi salah satu faktor kelemahan tafsir pada masa Tabi'in. Hal ini karena kandungan riwayat Israiliyat tidak berdasarkan pada sanad yang kuat yang bisa mendukung otentisitas data riwayat. Dari sinilah kemudian tafsiran Tabi'in dinilai ulama tidak bisa menjadi hujjah jika hanya satu tafsiran saja.
            Ada beberapa masalah yang masuk dalam riwayat Israiliyyat dalam tafsir pada masa Tabi'in. Diantaranya adalah sebagai berikut:[9]
a.     Nama Ashab al-kahf dan warna anjing mereka
b.    Kayu tongkat nabi Musa dibuat dari apa?
c.     Nama-nama burung yang dihidupkan Allah bagi nabi Ibrahim
d.    Penentuan anggota badan lembu yang dijadikan pemukul untuk memukul orang-orang yang terbunuh
            Banyaknya riwayat israiliyat yang masuk dalam tafsiran para Tabi'in adalah disebabkan oleh faktor banyaknya kalangan ahli kitab yang memeluk Islam saat itu. Hal ini menyebabkan rapuhnya otentisitas kebenaran tafsiran saat itu. Keadaan tersebut diperparah dengan pengguguran sanad yang ada dalam tafsir Muqatil bin Sulayman. Beliau telah menggugurkan sanad dan memasukkan riwayat ahli kitab.
            Ada tiga tokoh lain dari kalangan Tabi'in yang banyak memasukkan riwayat Israiliyyat. Mereka adalah:[10] Kaab bin al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Muhammad bin Ishak.


Hukum riwayat Israiliiyat
            Mengenai hal ini, ulama berbeda pandangan menjadi tiga golongan. Berikut ini pendapat masing-masing beserta dalilnya :
            1). Golongan pertama melarang periwayatan hal-hal israiliyat secara mutlak. Golongan ini bersandarkan kepada dalil al-Quran dan hadith. Pandangan ini merupakan pandangan ahli tafsir semasa, seperti Dr. Solah al-Khalidi, Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Muhammad Husayn al-Dhahabi.
            Golongan ini berpandangan bahwa meskipun nabi memberi izin kepada kita untuk menyebutkan riwayat Israiliyat tanpa membenarkan atau mendustakannya, namun tidak juga sampai pada tataran kelayakan untuk menyandingkannya sebagai penjelas kalamullah. Dr. Muhammad Husyan al-Dhahabi memiliki kecenderungan pada golongan ini karena ini merupakan bagian dari memelihara kitab Allah dari hal-hal yang tidak berfaedah.
            Ada banyak ayat-ayat al-Qur'an yang mereka jadikan landasan dalam pendapat ini. Diantaranya adalah :
a.     Orang Yahudi mengubah-ngubah ayat Allah menyebabkan mereka tidak amanah dari segi sejarah.
b.    Larangan al-Quran bertanya kepada ahli kitab tentang berita umat terdahulu

c.     Larangan al-Quran berkata sesuatu tanpa ada asas dan ilmu dan israiliyyat antara kata-kata tanpa ilmu

            Adapun contoh hadis yang mereka jadikan landasan pendapat adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah berkata: Ahli kitab membaca kitab taurat dalam bahasa Ibrani dan menghuraikannya dalam bahasa Arab kepada orang Islam. Sehubungan dengan ini Rasul saw bersabda : “Jangan kamu benarkan ahli kitab dan jangan kamu dustakan, dan katakanlah kami beriman kepada Allah dan kami beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami".
            2). Golongan kedua mengharuskan untuk menerima periwayatan Israiliyat tanpa syarat. Hujjah golongan ini adalah hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Amru. Beliau berkata: Sampaikan dariku walaupun satu ayat, bawalah riwayat dari Bani Israel dan janganlah kamu merasa bersalah. Siapa yang sengaja berdusta padaku, maka dia menempah tempat di neraka.[11] Berdasarkan hadith ini, mereka berpendapat bahwa orang Islam harus menyebut riwayat dari Bani Israel dan perbuatan tersebut bukanlah satu kesalahan.
            Dr Solah al-Khalidi, setelah menyebut pandangan-pandangan berkaitan hadith ini, merumuskan maksud yang sebenarnya tentang hadith ini. Dia menafsirkan teks hadis tadi, bahwa nabi menyuruh untuk menyampaikan kepada orang Islam tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Bani Israel dan menjelaskan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh Bani Israel karena sejarah mereka penuh dengan kehinaan. Dengan demikian, kedudukan nabi-nabi dan orang-orang soleh di kalangan mereka tetap mulia sebagai orang-orang yang patuh. Penjelasan tentang kesalahan yang dilakukan oleh Bani Israel tidaklah menjadi satu kesalahan dengan syarat membersihkan para nabi dan orang yang saleh di kalangan mereka dari melakukan penyelewengan dan kesalahan.
            Jadi, bisa disimpulkan bahwa keharusan meriwayatkan dari Bani Israel bukan bermakna bahwa kita harus menjadikannya sebagai riwayat ketika mentafsirkan al-Quran.
                          
          C. Nilai kebenaran penafsiran al-Qur'an dari satu zaman ke zaman berikutnya
            Kemajuan zaman adalah satu proses yang tidak bisa tidak harus berlangsung dan harus kita terima sebagai bentuk realitas. Makna ‘kemajuan’ atau ‘perkembangan’ atau bahkan yang sudah sampai tahap ‘modernitas’ adalah bentuk kehidupan yang berbeda dengan bentuk-bentuk kehidupan dizaman pra-modern yang sering disebut dengan bentuk kehidupan tradisional.         
            Bermula dari perkembangan zaman yang sekarang sedang kita alami, al-Qur’an adalah termasuk satu simbol yang sangat melekat dengan agama Islam. Dari awal diturunkannya al-Qur’an 15 abad yang lalu hingga sekarang al-Qur’an masih eksis sebagai kitab suci agama Islam. Dan yang menakjubkan, ketika zaman telah berubah, al-Qur’an masih tetap seperti apa adanya. Ketika dunia sedang marak dengan kontaminasi budaya, transformasi budaya atau bahkan revolusi budaya, al-Qur’an tetap original tidak pernah terkontaninasi dengan budaya baru apalagi terevolusi oleh budaya lain. Bahkan kajian kandungan al-Qur’an semakin marak dan tetap menjadi rujukan nomer wahid bagi umat Islam dan tidak pernah dibilang bahwa Al-Qur’a>n adalah barang katrok (ketinggalan zaman).
          Jika skala nilai otentisitas kebenaran penafsiran-penafsiran al-Qur'an diurut, berkaitan dengan sisi universalitas al-Qur'an, maka tentu penafsiran para sahabat lebih otentik dari penafsiran pada masa yang selanjutnya. Hal ini karena para sahabat adalah generasi terbaik umat Islam, disamping model penafsiran mereka masih murni menggunakan ayat-ayat al-Qur'an yang notabene saling menafsirkan. Begitu juga para sahabat hidup pada zaman wahyu dalam proses turun, sehingga kita bisa mendapatkan redaksi beberapa ayat yang menjelaskan problematika kehidupan yang mereka tanyakan kepada nabi, berbunyi yasalunaka.
            Namun, tentunya upaya untuk memahami teks al-Qur'an tidak cukup hanya merujuk pada produk tafsir Sahabat, karena konteks berubah-ubah dan teks al-Qur'an tetap murni dengan sisi otentisitas dan universalitasnya. Hal ini menuntut munculnya perkembangan tafsir yang bergitu beragam, yang kemudian muncul istilah Madzahib al-Tafsir. Bahkan, kategori Madzahib al-Tafsir menjadi beragam sesuai dengan sudut pandang pembahas.
            Jika dirinci, maka madzhab-madzhab tafsir tersebut muncul disebabkan oleh beberapa faktor yang secara umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.[12]
1.    Faktor Internal
Faktor internal adalah hal-hal yang ada di dalam teks itu sendiri, antara lain:
Pertama, kondisi obyektif teks al-Qur'an itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam.
Kedua, kondisi obyektif dari kata-kata dalam al-Qur'an yang memang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam.
Sebagai contoh bahwa satu kata dalam bahasa Arab itu maknanya tidak tunggal adalah kata dharaba. Kata dharaba dapat berarti membuat atau memberikancontoh, seperti ayat: Wadharaba Allahu matsalan (artinya Allah membuat suatu perumpamaan atau contoh). Kata dharaba juga digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu perjalanan. Bahkah lebih dari itu, bisa bermakna a'rada anhu wa sharafa (berpaling dan meninggalkan untuk pergi), ada pula yang berarti mana'a anhu al-tasarruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan harta kepadanya).[13]
Ketiga, adanya ambigiutas makna dalam al-Qur'an, dengan adanya kata-kata musytarak (bermakna ganda) seperti kata quru' (dapat bermakna suci dapat pula bermakna haid). Begitu juga kata-kata yang dapat diartikan hakiki atau majas, seperti lamasa dalam ayat: au la mastum al-nisa' yang dapat berarti menyentuh dan dapat pula berarti bersetubuh, dan lain sebagainya.
2.    Faktor Eksternal
Faktor eksternal berarti faktor yang berada di luar teks al-Qur'an, yaitu kondisi subyektif si mufassir sendiri, seperti kondisi sosio-kultural, politik, prespektif atau keahlian yang ditekuninya. Begitu juga riwayat-riwayat atau sumber yang dijadikan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat.
      Termasuk faktor eksternal juga adalah adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban dunia-dunia di luar Islam, seperti Yunani, Persia, Romawi dan dunia Barat. Dan yang paling signifikan adalah yang berkaitan dengan faktor politik dan teologis. Sebab munculnya suatu aliran pemikiran tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik.
      Berbicara tentang madzhab-madzhab tafsir yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan periodisasinya atau kronologi waktunya, sehingga menjadi madzhab tafsir periode klasik, pertengahan, moderen atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul madzhab teologi mufassirnya, sehinnga muncul istilah tafsir sunni, mu'tazili, syi'i dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi, fiqhi, ilmi, adabi ijtima'i, dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga madzhab tafsir itu dapat dipetakan menjadi madzhab tafsir periode mitologis, ideologis dan ilmiah.
      Pembagian atau pemetaan semacam itu sah-sah saja, sepanjang memiliki argumentasi-argumentasi ilmiahyang mendukungnya. Sudah barang tentu setiap pemetaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, sekaligus mempunyai karakteristik dan kecenderungan tertentu yang berbeda dengan lainnya.
      Ada beberapa catatan penting untuk mensinergikan ilmu tafsir dengan ilmu bantu lainnya adalah.[14] Pertama, al-Qur’an sebagai objek kajian tafsir tidak dapat dilepaskan dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya dalam terminologi metode penafsiran apapun, dalam menafsirkan al-Qur’an hendaknya merujuk dari dimensi ayat lain yang sekiranya dapat menguatkan posisi tafsir suatu ayat al-Qur’an. Dari reaksi ini diandaikan dapat meminimalisir “politisasi” ayat dengan dalih pendekatan metode tafsir tertentu. Kedua, al-Hadits sebagai salah satu penunjang terhadap keselarasan tafsir ayat al-Qur’an, merupakan kunci kedua setelah ayat al-Qur’an itu sendiri.
      Pada sisi ini memang nampak sering terabaikan karena masih kentalnya anggapan bahwa antara al-Qur’an dan al-Hadits adalah teks yang berbeda. Ini dapat terjadi karena al-Hadits lebih banyak mengungkap hal-hal praktis yang sudah jelas makna dan maksudnya. Sedangkan al-Qur’an banyak terdapat makna-makna universal yang interpretatif.
      Ketiga, bahwa penafsiran al-Qur’an merupakan suatu kajian penafsiran yang tidak dapat dilepaskan dari kaidah ilmu tafsir, yang kemudian secara spesifik bisa dilanjutkan dengan penggapaian dan arah metode tafsir pendamping yang hendak dicapai. Ini dimungkinkan karena masing-masing ayat al-Qur’an memiliki latar belakang pembentukannya dan secara leksikal memiliki kekuatan makna yang sangat beragam.
      Keempat, karakteristik dan simbol-simbol ayat al-Qur’an hendaknya tetap dijadikan analisa yang benar-benar dari tindakan keilmuan murni. Ini menjembatani dari beberapa metode penafsiran kontemporer yang hampir memiliki kesesuaian dengan teori dasar metode tafsir. Misalkan asbabun nuzul dengan filologi yang kedua-duanya hampir berdekatan dalam teori analisa sejarah terbentuknya suatu teks. Hal ini mengupayakan kesinambungan analisa dan penafsiran al-Qur’an yang lebih sempurna dan mateng.
      Beberapa catatan di atas kiranya bisa kita jadikan kita untuk menilai otentisitas kebenaran produk tafsir, utamanya yang berlandaskan pada data ra'yi.
PENUTUP

      Studi al-Qur'an adalah jantung studi Islam, karena memang semua ilmu keislaman bersumber darinya. Sifat kewahyuan al-Qur'an yang final dan universal, mempengaruhi karakter pendekatan studi al-Qur'an untuk tidak bisa dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek wahyu dan iman. Jika saja Rasulullah saat menerima wahyu mengalami perubahan fisik yang luar biasa, misalnya beliau terlihat sangat takut dan minta diselimuti, terkadang dahi beliau bercucuran keringat padahal saat itu sedang musim dingin, terkadang nampak wajah beliau kemerah-merahan dengan suara yang tidak beraturan dan terkadang tubuhnya menjadi sangat berat, sampai-sampai paha Zayd bin Tsabit terasa mau patah ketika menahan kaki Rasulullah yang tiba-tiba kedatangan wahyu. Begitu agungnya proses wahyu diturunkan, menunjukkan keagungan al-Qur'an.
      Tafsir al-Qur'an adalah upaya untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an untuk mendapatkan nilai dan petunjuk bagi manusia membangun peradaban di dunia dan meniti kehidupan di hari esok. Upaya tersebut mengalami perubahan dan tentunya tafsir-tafsir yang ada memiliki peringkat kebenarannya dalam menerjemahkan al-Qur'an yang universal. Dan tentunya, nilai otentisitas kebenaran sebuah penafsiran akan ditentukan oleh metode, corak dan sumber yang digunakan si mufassir, disamping kondisi sosio-kultural dan keahliannya.


DAFTAR PUSTAKA

1.    M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992)
2.    Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005)
3.    Khalid ibn Uthman al-Sabt, Qowaid al-Tafsir Jam'an wa Dirasatan (Beirut: Dar ibn 'Affan)
4.    Shaleh ibn Abdul Aziz, Syarh Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir (Maktabah Syamilah ebook, versi kedua)
5.    Muhammad Zafzaf, al- Ta’ri>f bi al-Qur’a>n wa al- Hadith, (Kairo: Da>rul Ulum, tth)
6.    Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughat al-Arabiyah, Cet I (Beirut: tp tth)
7.    Majma' al-buhus, "Nazarat muasiroh hawla 'alamiyati al-Quran", dalam www.rafed.net/books/olom-quran/nazarat-moaserah/02.html
8.    Dr. Abdul Karim Hamidi, "al-bu'du al-'alami fi al-khitab al-qur'ani", dalam http://www.islamweb.net/media/index.php?page=article&lang=A&id=37904
9.    RezaAhmad Zahid, Lc. MA., "Konsep al-Qur'an dalam Mendampingi Perkembangan Zaman", dalam http://www.rezaahmadzahid.multiply.com/studiqur'an
10. Thoriqul Haq, " Simulasi Metode Penafsiran al-Qur'an", dalam www.thoriq.multiply.com/studi/tafsir.html




[1]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992), 72
[2]Majma' al-buhus, "Nazarat muasiroh hawla 'alamiyati al-Quran", dalam www.rafed.net/books/olom-quran/nazarat-moaserah/02.html

[3]Dr. Abdul Karim Hamidi, "al-bu'du al-'alami fi al-khitab al-qur'ani", dalam http://www.islamweb.net/media/index.php?page=article&lang=A&id=37904
[4]RezaAhmad Zahid, Lc. MA., "Konsep al-Qur'an dalam Mendampingi Perkembangan Zaman", dalam http://www.rezaahmadzahid.multiply.com/studiqur'an


[5]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 12.
[6]Ibid., 101.
[7]Khalid ibn Uthman al-Sabt, Qowaid al-Tafsir Jam'an wa Dirasatan (Beirut: Dar ibn 'Affan), 104.
[8]Shaleh ibn Abdul Aziz, Syarh Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir (Maktabah Syamilah ebook, versi kedua), 117.
[9]Muhammad Zafzaf, al- Ta’ri>f bi al-Qur’a>n wa al- Hadith, (Kairo: Da>rul Ulum, tth), 168.
[10]Lihat, Shaleh ibn Abdul Aziz, hal.
[11] al-Bukhari: Kitab Ahadith al-Anbiya’:60, Bab Ma Dhukira An Bani Israel, hadith. No. 3461.
[12]Lihat. Abdul Mustaqim, 8.
[13]Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughat al-Arabiyah, Cet I (Beirut: tp tth), 463.
[14]Thoriqul Haq, " Simulasi Metode Penafsiran al-Qur'an", dalam www.thoriq.multiply.com/studi/tafsir.html

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...