PENDAHULUAN
Al-Qur'an
merupakan kitab samawi yang diturunkan sebagai petunjuk bagi seluruh umat terlepas
dari ruang dan waktu, dan oleh karenanya ia bersifat universal dan relevan
sepanjang masa. Relevansi kitab suci ini terlihat pada petunjuk-petunjuk yang
diberikannya kepada umat manusia dalam aspek kehidupan. Inilah sebabnya pemahaman
al-Qur’an di kalangan ummat Islam selalu muncul di permukaan, selaras dengan
kebutuhan dan tantangan yang mereka hadapi.
Agar
fungsi al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna
firman Allah SWT saat menafsirkan al-Qur’an. Upaya untuk menafsirkan ayat-ayat
Qur’an untuk mencari dan menemukan makna-makna yang terkandung di dalamnya
merupakan suatu upaya yang niscaya terukur karena Allah sudah memberikan
manusia potensi yang cukup untuk memahami kitab suci bagi berlangsungnya
kehidupan. Muhammad Arkon, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa
al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang
diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat
wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk diinterpretasi)
baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.[1]
Tafsir
sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat
suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Perkembangan tersebut secara
umum mencakup beberapa corak tafsiran mereka yang tidak terlepas dari perbedaan
kecenderungan, inters, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban,
perbedaan ke dalaman (capacity), ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan
masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya.
Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran
yang bermacam-macam dengan metode yang berbeda-beda.
Dengan latar belakang
pemikiran di atas, maka masalah pokok yang dibahas adalah menyangkut tentang
sisi universalitas al-Qur'an, solusi alternatif untuk beberapa tafsiran yang
berbeda tentang satu teks, kedudukan produk tafsiran oleh Tabi'in. Di samping
itu juga mengungkap sisi otentisitas kebenaran penafsiran al-Qur'an dari zaman
ke zaman berikutnya, sebagai terjemah dari universalitas al-Qur'an.
PEMBAHASAN
A. Unsur-unsur yang menjamin sifat
dinamis dan universal dari al-Qur'an
Muhammad SAW diutus sebagai rahmat bagi alam
semesta dan kitab suci al-Qur'an yang diwahyukan kepada beliau pun juga
bersifat universal. Universalitas al-Qur'an bisa bermakna bahwa al-Qur'an
mencakup semua kandungan kitab-kitab sebelumnya dan atau al-Qur'an mengandung
nilai-nilai luhur yang bisa diterapkan pada ruang dan waktu mana pun.
Banyak buku ditulis dan juga riset dilakukan dalam
tema apa pun untuk mengungkap kandungan al-Qur'an, baik berupa tafsir atau
ta'wil. Semakin banyak buku dan riset tersebut dilakukan, semakin membuktikan
sisi universalitas al-Qur'an karena banyaknya fenomena parsial membuktikan
kuatnya suatu konsep universalitas. Logika akan mengatakan bahwa al-Qur'an yang
universal bisa membuktikan eksistensinya sebagai mukjizat nabi dengan luasnya
isi dan terbuktinya hasil riset ilmiah berkaitan dengan landasan umum ilmiah
dalam al-Qur'an.
Cakrawala universalitas al-Qur'an menjadi salah
satu titik pusat riset ilmiah yang terus melaju pesat. Pelbagai penelitian berangkat
dari pijakan konsep ilmiah yang termaktub sejak 1400-an tahun yang lalu. Banyak
para peneliti kagum bahwa riset ilmiahnya ternyata sudah tersirat dalam
kandungan al-Qur'an, menjadikan mereka lebih penasaran untuk terus mengkaji
kebenaran ayat-ayat suci al-Qur'an.
Konsep
universalitas al-Qur'an bisa merujuk pada dua dasar pijakan:[2]
1. Konsep
universalisme Islam secara otomatis akan mewariskan makna universlitas
al-Qur'an. Hal ini karena al-Qur'an merupakan misi Islam. Universalitas
tersebut terprogram sedemikian oleh al-Qur'an dengan beberapa ayat yang tegas
mengisyaratkan universalitas misi nabi Muhammad SAW untuk seluruh umat manusia.
قُل يَأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ آللهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا ( الأعراف / 15 )
2. al-Qur'an
menegaskan bahwa teks dan kandungannya, kedua-duanya secara jelas ditujukan
untuk seluruh manusia (al-nas). Hal ini bisa dilihat pada beberapa
pos ayat berikut :
a. al-Qur'an
mengingatkan nikmat-nikmat Allah yang tak terhingga.
يَأَيُّهَا النَّاسُ اذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيكُمْ ( فاطر / 3 )
b. Al-Qur'an
menjelaskan bahwa manusia berhak menikmati semua karunia Allah.
يَأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي آلأَرضِ حَلَلاً طَيِباً ) البقرة / 1 )
c. Al-Qur'an
mewanti-wanti manusia agar tidak berbuat kedhaliman dengan banyaknya nikmat
Allah.
وَلَو يُؤَاخِذُ اللهُ النَّاسَ بِظُلمِهِم مَّا تَرَكَ عَلَيهَا مِن دَابَّةٍ ) النحل / 61 )
d. Al-Qur'an
berbicara tentang fenomena alam untuk menjadi obyek berpikir dan merenung.
الَّذِينَ يَذكُرُونَ اللهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِهِم وَيِتِفِكَّرُونَ فِي خَلقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرضِ رَبَّنَا مَا خَلَقتَ هَذَا بَطِلاً سُبحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ) آل عمران / 1 )
e. Al-Qur'an
melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi, melakukan kejahatan pembunuhan
dan menganggap pembunuhan satu jiwa berarti pembunuhan kemanusiaan seluruhnya.
مِن أَجلِ ذَلِكَ كَتَبنَا عَلَى بَنِي إِسرَائِيلَ أَنَّهُ مَن قَتَلَ نَفسًا بِغَيرِ نَفسٍ أَو فَسَادٍ فِي الأَرضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَن أَحيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحيَا النَّاسَ جَمِيعاً ) المائدة / 32 )
f. Al-Qur'an
menjadikan salah satu syiar terpentingnya adalah ibadah haji ke al-bait
al-haram yang merupakan rumah pertama dibangun untuk kemanusiaan. Kumandang
untuk haji tersebut tidak hanya untuk umat Islam saja, tapi seluruh manusia.
وَللهِ عَلَى النَّاس حِجُّ البَيتِ مَنِ استَطَاعَ إِلَيهِ سَبِيلاً ) آل عمران / 9 )
Dari aspek dialektika dan retorika teks
al-Qur''an, sifat universal al-Qur'an didukung oleh metode al-Qur'an dalam khitab-nya.
Dr. Abdul Karim Hamidi memaparkan ada beberapa indikasi dimensi universalitas
dalam khitab al-Qur'an, sebagai berikut:[3]
1. 'Alamiyah al-kitab
2. 'Alamiyah al-risalah
3. 'Alamiyah al-khitab
4. 'Alamiyah al-maqshad wa al-ghayah
5. 'Alamiyah al-dhuhur wa al-tamkin
Kandungan
al-Qur'an sangat sarat nilai-nilai dinamis dan universal. Selamanya, al-Qur’an
tidak akan pernah melupakan satupun pokok-pokok kebenaran makhluk hidup. Reza
Ahmad Zahid mengklasifikasikan kandungan al-Qur’an kedalam empat sudut pandang.[4]
1.
Umum
Ditinjau
dari sisi umum, kandungan al-Qur’an dapat dilihat dalam kandungan ummul
Qur’an, yaitu surat al-Fatihah. Di sana tertuang masalah Tauhid dan
kesemestaan yang berporos pada nikmat ijad dan tarbiyah, Wa’ad
(Janji) dan Wa’id (Ancaman), Ibadah, jalan kebahagiaan dunia dan akhirat
dan sejarah sebagai rujukan dan tambang keteladanan dalam kehidupan.
2.
Hukum
Dipandang
dari aspek hukum, al-Qur’an mengandung banyak hukum i’tiqodiyah (keyakinan),
Khuluqiyah (akhlaq), Amaliyah (yang berkaitan dengan amal
perbuatan, baik yang bersifat ibadah ‘ammah ataupun yang mahdlah murni).
3.
Metodologis Paedagogis
Al-Qur’an
telah melahirkan berbagai disiplin ilmu-ilmu nahwu, sharaf, badi’, ushul,
falsafah, politik, ekonomi, social, sains, seni dan lain-lain. Ini berarti
bahwa a-Qur’an selain sarat dengan substansi dan informasi juga memiliki
kandungan metodologis dan paedagogis bagi umat manusia.
4.
Prinsip-prinsip Bidang Kehidupan
Al-Qur’an
memberikan prinsip-prinsip yang harus dilaksanakan dalam segala aspek
kehidupan, yang minimal dapat kita pilah sebagai berikut:
1. I’tiqodiyah
atau keyakinan baik itu keimanan kita kepada Alloh serta penghambaan kita
kepadaNya ataupun hal-hal gaib seperti surga, neraka, dan lain sebagainya.
2. Ubudiyah, Allah telah
menyatakan bahwa Dia menciptakan Jin dan Manusia hanya untuk beribadah
kepadaNya.
3. Ijtima’iyah
atau unsur-unsur sosial, seperti halnya Allah tidak membedakan manusia dari
warna kulit, rasa tau kebangsaannya. Dan banyak ayat-ayat lain yang menjelaskan
akan kepedulian al-Qur’an dalam ranah permasalahan sosial.
4. Siyasiyah
atau politik. Seperti anjuran musyawarah dalam pencarian solusi dalam
problematika manusia. Dan ayat-ayat lainnya yang terkait dengan pencapaian
maslahat bagi kehidupan manusia seperti keadilan, keamanan, perlindungan
kehormatan manusia, hak berpendapat, hak control, berserikat dan lain
sebagainya.
5. Iqtishodiyah
dalam bidang ekonomi, seperti halnya harta harus beredar secara adil, penggunaan
asas mu’awanah atau saling membantu antara satu dan yang lain.
6. Sintiqiyah
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dr. Hartwigg Herffeld mengatakan,
kehadiran al-Qur’an telah menimbulkan banyak diskusi besar dan secara tidak
lansung telah menumbuh kembangkan dari segala cabang ilmu pengetahuan dengan
sangat menakjubkan.
7. Falsafiyah,
berpikir radiks, sistematis dan universal merupakan anjuran al-Qur’an.
8. Funun
al-jamiliyah. Al-Qur’an merupakan satu bentuk nilai seni tertinggi yang tak dapat terdandingi.
Kandungan
al-Qur'an akan terus memberikan dimensi-dimensi kemukjizatan al-Qur'an, yang
sifatnya aqli. Semakin jauh telaah mengkaji kandungan al-Qur'an, semakin
terbukti universalitas al-Qur'an. Terutama di era moderen dengan perkembangan
ilmu pengetahuan yang sangat pesat, riset-riset ilmiah menjadi sinkron dengan
nilai-nilai dan dasar-dasar universal dalam al-Quran sehingga bahkan muncul
beberapa karya ensiklopedi dalam bidang tafsir sains.
B. Skala prioritas wewenang dan peringkat
kebenaran tafsiran atas al-Quran
Dalam
sejarah Islam, tafsir al-Qur'an tidak berhenti pada satu periode dan menjadi
statis dan tidak berkembang. Selama akal masih berpikir dan hati berdzikir,
pemahaman terhadap teks al-Qur'an melahirkan banyak produk tafsir yang
berbeda-beda, menjadi bukti dan saksi
atas kemukjizatan al-Qur'an. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah karena umat
Islam pada umunya ingin selalu menjadikan al-Qur'an sebagai mitra dialog dalam
menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks
yang terbatas dan konteks yang tidak terbatas itulah sebenarnya yang menjadi
pemicu dan pemacu bagi perkembagan tafsir.
Munculnya berbagai corak penafsiran
tersebut kemudian disebut oleh para ahli dengan istilah madzhab-madzhab tafsir
(Madzahib al-Tafsir)[5].
Istilah tersebut dapat diartikan sebagai aliran-aliran, madzhab-madzhab,
kecenderungan-kecenderungan yang dipilih seorang mufassir ketika menafsirkan
al-Qur'an. Kategorisasi madzhab tafsir dari zaman sahabat sampai sekarang
melahirkan produk tafsir bermacam-macam dengan banyak metode, terlebih jika
dikaitkan dengan kosakata-kosakata seperti manhaj, madzhab, thariqah,
iitijah, laun dan seterusnya.
Abdul Mustaqim membagi madzhab
penafsiran menjadi tiga periode: periode klasik, pertengahan dan kontemporer.[6]
Pembagian madzhab penafsiran menjadi tiga periode ini didasarkan pada episteme
dan paradigma yang mendasari masing-masing periode. Penafsiran
masing-masing periode ini agaknya tidak lepas dari perkembangan penalaran
manusia. Pada periode klasik penafsiran atas al-Qur'an cenderung mistis, pada
periode pertengahan cenderung ideologis dan pada periode kontemporer panafsiran
atas ayat-ayat al-Qur'an memiliki kecenderungan ilmiah. Tentunya, masing-masing
periode ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Dari pelbagai produk tafsir yang
beragam, mungkin saja terjadi perbedaan tafsiran atas satu teks al-Qur'an. Masalah
ini menuntut para ahli di bidang tafsir untuk membuat acuan skala prioritas
tafsiran atas teks al-Qur'an. Sehingga dengan adanya skala prioritas tersebut,
kita bisa menentukan peringkat kebenaran tafsiran atas al-Qur'an.
Mengacu pada metode tafsiran
al-Qur'an dalam buku yang ditulis Khalid ibn Uthman al-Sabt, maka peringkat
kebenaran tafsiran atas al-Qur'an secara urut adalah sebagai berikut:[7]
1. Tafsiran
al-Qur'an dengan al-Qur'an
2. Tafsiran
al-Qur'an dengan al-Hadith
3. Tafsiran
al-Qur'an dengan perkataan Sahabat
4. Tafsiran
al-Qur'an dengan perkataan Tabi'in
5. Tafsiran
al-Qur'an dengan bahasa Arab
6. Tafsiran
al-Qur'an dengan pendapat atau akal
C. Tafsiran al-Qur'an oleh Tabi'in
Tabi'in
merupakan generasi kedua dalam sejarah pentafsiran al-Quran karena mereka
golongan yang bertemu secara langsung dengan para sahabat. Pada peringkat ini
tafsiran terhadap suatu ayat mulai ditulis dan dibukukan. Pada zaman ini
perbedaan mulai banyak dijumpai, tidak seperti penafsiran pada zaman sahabat.
Ada tiga kumpulan besar pengajian tafsir pada masa Tabi'in:
(a) Madrasah Ibnu
Abbas di Mekah
Di antara ulama tafsir di kalangan Tabi'in
yang terkenal pada madrasah ini ialah Said bin Jubir (94H), Mujahid bin Jabr (103H),
Ikrimah al-Barbariy (105H), Tawus bin Kaysan (106H) dan Ata bin Abi Rabah (114H).
Mujahid adalah Tabi'in yang menerima seluruh tafsir dari sahabat, sebagaimana dia
pernah berkata : “Aku baca seluruh Isi al-Quran kepada Ibn Abbas, aku berhenti
pada setiap ayat dan menanyakan makna kepada beliau.”
(b) Madrasah
Abdullah bin Masud di Kufah.
Di antara pengikut Ibn Masud yang
terkenal ialah al-Qamah bin Qays (102H), Masruq (63H), al-Aswad binYazid (75H),
Marrah al-Hamdani (76H), Amir al-Sya’bi (109H), Hassan al-Basri (110H) dan
Qatadah (m117H).
(c) Madrasah Ubay
bin Ka'ab di Madinah
Pengikut kelompok ini yang paling
terkenal ialah Abu al-Aliyah (90H), Muhammad bin Ka'ab al-Quraziy (118H) dan
Zaid bin Aslam (136H).
Dari ketiga madrasah ini, mereka
yang paling arif tentang tafsir ialah pengikut madrasah Mekah seperti yang
disebut oleh Ibnu Taymiyyah: “ Manakala dalam bidang Tafsir, mereka yang paling
arif ialah penduduk Mekah karena mereka adalah pengikut Ibnu Abbas seperi
Mujahid, Ata’ bin Abi Rabah, Ikrimah, … "[8].
Pada zaman Tabi'in, usaha menulis
dan mengumpulkan pentafsiran para sahabat terhadap ayat-ayat al-Qur'an dimulai.
Ibn Jarir al-Tabari menyebutkan bahwa
Ibn Abi Malikat pernah berkata : “ Aku melihat Mujahid bertanya pada Ibnu Abbas
tentang tafsir al-Quran dan dia membawa papan tulis bersamanya. Ibnu Abbas berkata
kepadanya : “Tuliskan, sehingga dia bertanya Ibn Abbas tentang tafsiran semua ayat
sekali". Riwayat ini menunjukkan bahwa penulisan dan pembukuan tafsir
telah mulai berlaku. Namun kita tidak dapat memastikan siapakah orang yang
pertama membukukan tafsir.
Nilai tafsir zaman
Tabi'in
Tafsir pada zaman sahabat sangat
berkaitan dengan al-Quran, al-Hadith dan ijtihad sahabat dalam keadaan tertentu
dibantu dengan penguasaan bahasa Arab, pengetahuan tentang sebab turun ayat dan
juga ketinggian ilmu yang Allah karuniakan kepada mereka. Tafsir pada zaman Tabi'in
juga masih mengikut metodologi pentafsiran para sahabat, hanya saja tingkat
perbedaan dan perselisihan pada zaman Tabi'in lebih meluas.
Di antara perkembangan penafsiran yang
terjadi pada masa Tabi'in :
a. Riwayat
ahli kitab menjadi salah satu sumber tafsir para Tabi'in
b. Kemunculan
mazhab pada zaman Tabi'in memberi pengaruh pada corak penafsiran
c. Mulai
berasaskan pada model tafsir bi al-Ray seperti yang ditemui dalam
tafsiran Mujahid
Berkaitan dengan sisi otentisitas,
masuknya riwayat israiliyat menjadi salah satu faktor kelemahan tafsir
pada masa Tabi'in. Hal ini karena kandungan riwayat Israiliyat tidak berdasarkan
pada sanad yang kuat yang bisa mendukung otentisitas data riwayat. Dari sinilah
kemudian tafsiran Tabi'in dinilai ulama tidak bisa menjadi hujjah jika
hanya satu tafsiran saja.
Ada beberapa masalah yang masuk
dalam riwayat Israiliyyat dalam tafsir pada masa Tabi'in. Diantaranya adalah
sebagai berikut:[9]
a. Nama
Ashab al-kahf dan warna anjing mereka
b. Kayu
tongkat nabi Musa dibuat dari apa?
c. Nama-nama
burung yang dihidupkan Allah bagi nabi Ibrahim
d. Penentuan
anggota badan lembu yang dijadikan pemukul untuk memukul orang-orang yang
terbunuh
Banyaknya riwayat israiliyat yang
masuk dalam tafsiran para Tabi'in adalah disebabkan oleh faktor banyaknya kalangan
ahli kitab yang memeluk Islam saat itu. Hal ini menyebabkan rapuhnya
otentisitas kebenaran tafsiran saat itu. Keadaan tersebut diperparah dengan pengguguran
sanad yang ada dalam tafsir Muqatil bin Sulayman. Beliau telah menggugurkan
sanad dan memasukkan riwayat ahli kitab.
Ada tiga tokoh lain dari kalangan Tabi'in
yang banyak memasukkan riwayat Israiliyyat. Mereka adalah:[10]
Kaab bin al-Ahbar, Wahab bin Munabbih, Muhammad bin Ishak.
Hukum riwayat
Israiliiyat
Mengenai hal ini, ulama berbeda
pandangan menjadi tiga golongan. Berikut ini pendapat masing-masing beserta
dalilnya :
1). Golongan pertama melarang
periwayatan hal-hal israiliyat secara mutlak. Golongan ini bersandarkan kepada
dalil al-Quran dan hadith. Pandangan ini merupakan pandangan ahli tafsir semasa,
seperti Dr. Solah al-Khalidi, Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Muhammad Husayn
al-Dhahabi.
Golongan ini berpandangan bahwa
meskipun nabi memberi izin kepada kita untuk menyebutkan riwayat Israiliyat
tanpa membenarkan atau mendustakannya, namun tidak juga sampai pada tataran
kelayakan untuk menyandingkannya sebagai penjelas kalamullah. Dr. Muhammad
Husyan al-Dhahabi memiliki kecenderungan pada golongan ini karena ini merupakan
bagian dari memelihara kitab Allah dari hal-hal yang tidak berfaedah.
Ada banyak ayat-ayat al-Qur'an yang
mereka jadikan landasan dalam pendapat ini. Diantaranya adalah :
a. Orang
Yahudi mengubah-ngubah ayat Allah menyebabkan mereka tidak amanah dari segi
sejarah.
b. Larangan
al-Quran bertanya kepada ahli kitab tentang berita umat terdahulu
c. Larangan
al-Quran berkata sesuatu tanpa ada asas dan ilmu dan israiliyyat antara
kata-kata tanpa ilmu
Adapun contoh hadis yang mereka
jadikan landasan pendapat adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari
dari Abu Hurairah berkata: Ahli kitab membaca kitab taurat dalam bahasa Ibrani
dan menghuraikannya dalam bahasa Arab kepada orang Islam. Sehubungan dengan ini
Rasul saw bersabda : “Jangan kamu benarkan ahli kitab dan jangan kamu dustakan,
dan katakanlah kami beriman kepada Allah dan kami beriman kepada apa yang
diturunkan kepada kami".
2). Golongan kedua mengharuskan
untuk menerima periwayatan Israiliyat tanpa syarat. Hujjah golongan ini
adalah hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Abdullah bin Amru. Beliau berkata:
Sampaikan dariku walaupun satu ayat, bawalah riwayat dari Bani Israel dan
janganlah kamu merasa bersalah. Siapa yang sengaja berdusta padaku, maka dia
menempah tempat di neraka.[11]
Berdasarkan hadith ini, mereka berpendapat bahwa orang Islam harus menyebut
riwayat dari Bani Israel dan perbuatan tersebut bukanlah satu kesalahan.
Dr Solah al-Khalidi, setelah
menyebut pandangan-pandangan berkaitan hadith ini, merumuskan maksud yang
sebenarnya tentang hadith ini. Dia menafsirkan teks hadis tadi, bahwa nabi
menyuruh untuk menyampaikan kepada orang Islam tentang peristiwa-peristiwa yang
terjadi pada Bani Israel dan menjelaskan tentang penyelewengan yang dilakukan
oleh Bani Israel karena sejarah mereka penuh dengan kehinaan. Dengan demikian,
kedudukan nabi-nabi dan orang-orang soleh di kalangan mereka tetap mulia
sebagai orang-orang yang patuh. Penjelasan tentang kesalahan yang dilakukan
oleh Bani Israel tidaklah menjadi satu kesalahan dengan syarat membersihkan
para nabi dan orang yang saleh di kalangan mereka dari melakukan penyelewengan
dan kesalahan.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa keharusan
meriwayatkan dari Bani Israel bukan bermakna bahwa kita harus menjadikannya
sebagai riwayat ketika mentafsirkan al-Quran.
C. Nilai kebenaran penafsiran
al-Qur'an dari satu zaman ke zaman berikutnya
Kemajuan zaman adalah satu proses
yang tidak bisa tidak harus berlangsung dan harus kita terima sebagai bentuk
realitas. Makna ‘kemajuan’ atau ‘perkembangan’ atau bahkan yang sudah sampai
tahap ‘modernitas’ adalah bentuk kehidupan yang berbeda dengan bentuk-bentuk kehidupan
dizaman pra-modern yang sering disebut dengan bentuk kehidupan tradisional.
Bermula dari perkembangan zaman yang
sekarang sedang kita alami, al-Qur’an adalah termasuk satu simbol yang sangat
melekat dengan agama Islam. Dari awal diturunkannya al-Qur’an 15 abad yang lalu
hingga sekarang al-Qur’an masih eksis sebagai kitab suci agama Islam. Dan yang
menakjubkan, ketika zaman telah berubah, al-Qur’an masih tetap seperti apa
adanya. Ketika dunia sedang marak dengan kontaminasi budaya, transformasi budaya
atau bahkan revolusi budaya, al-Qur’an tetap original tidak pernah
terkontaninasi dengan budaya baru apalagi terevolusi oleh budaya lain. Bahkan
kajian kandungan al-Qur’an semakin marak dan tetap menjadi rujukan nomer wahid
bagi umat Islam dan tidak pernah dibilang bahwa Al-Qur’a>n adalah barang
katrok (ketinggalan zaman).
Jika
skala nilai otentisitas kebenaran penafsiran-penafsiran al-Qur'an diurut,
berkaitan dengan sisi universalitas al-Qur'an, maka tentu penafsiran para sahabat
lebih otentik dari penafsiran pada masa yang selanjutnya. Hal ini karena para
sahabat adalah generasi terbaik umat Islam, disamping model penafsiran mereka
masih murni menggunakan ayat-ayat al-Qur'an yang notabene saling menafsirkan.
Begitu juga para sahabat hidup pada zaman wahyu dalam proses turun, sehingga
kita bisa mendapatkan redaksi beberapa ayat yang menjelaskan problematika
kehidupan yang mereka tanyakan kepada nabi, berbunyi yasalunaka.
Namun, tentunya upaya untuk memahami
teks al-Qur'an tidak cukup hanya merujuk pada produk tafsir Sahabat, karena
konteks berubah-ubah dan teks al-Qur'an tetap murni dengan sisi otentisitas dan
universalitasnya. Hal ini menuntut munculnya perkembangan tafsir yang bergitu
beragam, yang kemudian muncul istilah Madzahib al-Tafsir. Bahkan,
kategori Madzahib al-Tafsir menjadi beragam sesuai dengan sudut pandang
pembahas.
Jika dirinci, maka madzhab-madzhab
tafsir tersebut muncul disebabkan oleh beberapa faktor yang secara umum dapat
dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal.[12]
1. Faktor
Internal
Faktor internal adalah hal-hal yang ada di
dalam teks itu sendiri, antara lain:
Pertama,
kondisi obyektif teks al-Qur'an itu sendiri yang memungkinkan untuk dibaca
secara beragam.
Kedua,
kondisi obyektif dari kata-kata dalam al-Qur'an yang memang memungkinkan untuk
ditafsirkan secara beragam.
Sebagai contoh bahwa satu kata dalam
bahasa Arab itu maknanya tidak tunggal adalah kata dharaba. Kata dharaba
dapat berarti membuat atau memberikancontoh, seperti ayat: Wadharaba Allahu
matsalan (artinya Allah membuat suatu perumpamaan atau contoh). Kata dharaba
juga digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu
perjalanan. Bahkah lebih dari itu, bisa bermakna a'rada anhu wa sharafa (berpaling
dan meninggalkan untuk pergi), ada pula yang berarti mana'a anhu al-tasarruf
bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan harta kepadanya).[13]
Ketiga, adanya
ambigiutas makna dalam al-Qur'an, dengan adanya kata-kata musytarak (bermakna
ganda) seperti kata quru' (dapat bermakna suci dapat pula bermakna
haid). Begitu juga kata-kata yang dapat diartikan hakiki atau majas, seperti lamasa
dalam ayat: au la mastum al-nisa' yang dapat berarti menyentuh dan
dapat pula berarti bersetubuh, dan lain sebagainya.
2. Faktor
Eksternal
Faktor eksternal
berarti faktor yang berada di luar teks al-Qur'an, yaitu kondisi subyektif si
mufassir sendiri, seperti kondisi sosio-kultural, politik, prespektif atau
keahlian yang ditekuninya. Begitu juga riwayat-riwayat atau sumber yang
dijadikan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat.
Termasuk faktor eksternal juga adalah
adanya persinggungan dunia Islam dengan peradaban dunia-dunia di luar Islam,
seperti Yunani, Persia, Romawi dan dunia Barat. Dan yang paling signifikan
adalah yang berkaitan dengan faktor politik dan teologis. Sebab munculnya suatu
aliran pemikiran tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik.
Berbicara tentang madzhab-madzhab tafsir
yang sudah berkembang selama ini, ternyata para ulama berbeda-beda dalam
memetakannya. Ada yang membagi berdasarkan periodisasinya atau kronologi
waktunya, sehingga menjadi madzhab tafsir periode klasik, pertengahan, moderen
atau kontemporer. Ada pula yang berdasarkan kecenderungannya, sehingga muncul
madzhab teologi mufassirnya, sehinnga muncul istilah tafsir sunni, mu'tazili,
syi'i dan lain sebagainya. Ada pula yang melihat dari sisi perspektif atau
pendekatan yang dipakainya, sehingga muncul istilah tafsir sufi, falsafi,
fiqhi, ilmi, adabi ijtima'i, dan lain sebagainya. Bahkan ada pula yang melihat
dari perkembangan pemikiran manusia, sehingga madzhab tafsir itu dapat
dipetakan menjadi madzhab tafsir periode mitologis, ideologis dan ilmiah.
Pembagian atau pemetaan semacam itu
sah-sah saja, sepanjang memiliki argumentasi-argumentasi ilmiahyang
mendukungnya. Sudah barang tentu setiap pemetaan tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan, sekaligus mempunyai karakteristik dan kecenderungan tertentu
yang berbeda dengan lainnya.
Ada beberapa catatan penting untuk
mensinergikan ilmu tafsir dengan ilmu bantu lainnya adalah.[14]
Pertama, al-Qur’an sebagai objek kajian tafsir tidak dapat dilepaskan
dari al-Qur’an itu sendiri. Artinya dalam terminologi metode penafsiran apapun,
dalam menafsirkan al-Qur’an hendaknya merujuk dari dimensi ayat lain yang
sekiranya dapat menguatkan posisi tafsir suatu ayat al-Qur’an. Dari reaksi ini
diandaikan dapat meminimalisir “politisasi” ayat dengan dalih pendekatan metode
tafsir tertentu. Kedua, al-Hadits sebagai salah satu penunjang terhadap
keselarasan tafsir ayat al-Qur’an, merupakan kunci kedua setelah ayat al-Qur’an
itu sendiri.
Pada sisi ini memang nampak sering
terabaikan karena masih kentalnya anggapan bahwa antara al-Qur’an dan al-Hadits
adalah teks yang berbeda. Ini dapat terjadi karena al-Hadits lebih banyak
mengungkap hal-hal praktis yang sudah jelas makna dan maksudnya. Sedangkan
al-Qur’an banyak terdapat makna-makna universal yang interpretatif.
Ketiga, bahwa penafsiran al-Qur’an
merupakan suatu kajian penafsiran yang tidak dapat dilepaskan dari kaidah ilmu
tafsir, yang kemudian secara spesifik bisa dilanjutkan dengan penggapaian dan
arah metode tafsir pendamping yang hendak dicapai. Ini dimungkinkan karena
masing-masing ayat al-Qur’an memiliki latar belakang pembentukannya dan secara
leksikal memiliki kekuatan makna yang sangat beragam.
Keempat,
karakteristik dan simbol-simbol ayat al-Qur’an hendaknya tetap dijadikan
analisa yang benar-benar dari tindakan keilmuan murni. Ini menjembatani dari
beberapa metode penafsiran kontemporer yang hampir memiliki kesesuaian dengan
teori dasar metode tafsir. Misalkan asbabun nuzul dengan filologi yang
kedua-duanya hampir berdekatan dalam teori analisa sejarah terbentuknya suatu
teks. Hal ini mengupayakan kesinambungan analisa dan penafsiran al-Qur’an yang
lebih sempurna dan mateng.
Beberapa catatan di atas kiranya bisa kita
jadikan kita untuk menilai otentisitas kebenaran produk tafsir, utamanya yang
berlandaskan pada data ra'yi.
PENUTUP
Studi al-Qur'an adalah jantung studi
Islam, karena memang semua ilmu keislaman bersumber darinya. Sifat kewahyuan
al-Qur'an yang final dan universal, mempengaruhi karakter pendekatan studi
al-Qur'an untuk tidak bisa dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek wahyu dan
iman. Jika saja Rasulullah saat menerima wahyu mengalami perubahan fisik yang
luar biasa, misalnya beliau terlihat sangat takut dan minta diselimuti,
terkadang dahi beliau bercucuran keringat padahal saat itu sedang musim dingin,
terkadang nampak wajah beliau kemerah-merahan dengan suara yang tidak beraturan
dan terkadang tubuhnya menjadi sangat berat, sampai-sampai paha Zayd bin Tsabit
terasa mau patah ketika menahan kaki Rasulullah yang tiba-tiba kedatangan
wahyu. Begitu agungnya proses wahyu diturunkan, menunjukkan keagungan
al-Qur'an.
Tafsir al-Qur'an adalah upaya untuk
memahami ayat-ayat al-Qur'an untuk mendapatkan nilai dan petunjuk bagi manusia
membangun peradaban di dunia dan meniti kehidupan di hari esok. Upaya tersebut
mengalami perubahan dan tentunya tafsir-tafsir yang ada memiliki peringkat
kebenarannya dalam menerjemahkan al-Qur'an yang universal. Dan tentunya, nilai
otentisitas kebenaran sebuah penafsiran akan ditentukan oleh metode, corak dan
sumber yang digunakan si mufassir, disamping kondisi sosio-kultural dan
keahliannya.
DAFTAR
PUSTAKA
1. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1992)
2. Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir (Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005)
3. Khalid ibn Uthman al-Sabt, Qowaid al-Tafsir Jam'an wa Dirasatan (Beirut:
Dar ibn 'Affan)
4. Shaleh ibn Abdul Aziz, Syarh Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir (Maktabah
Syamilah ebook, versi kedua)
5. Muhammad Zafzaf, al- Ta’ri>f bi al-Qur’a>n wa al- Hadith,
(Kairo: Da>rul Ulum, tth)
6. Louis
Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughat al-Arabiyah, Cet I (Beirut: tp tth)
7. Majma' al-buhus, "Nazarat muasiroh hawla 'alamiyati al-Quran",
dalam www.rafed.net/books/olom-quran/nazarat-moaserah/02.html
8. Dr. Abdul Karim Hamidi, "al-bu'du al-'alami fi al-khitab
al-qur'ani", dalam http://www.islamweb.net/media/index.php?page=article&lang=A&id=37904
9. RezaAhmad Zahid, Lc. MA., "Konsep al-Qur'an dalam Mendampingi
Perkembangan Zaman", dalam http://www.rezaahmadzahid.multiply.com/studiqur'an
10. Thoriqul
Haq, " Simulasi Metode Penafsiran al-Qur'an", dalam www.thoriq.multiply.com/studi/tafsir.html
[1]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an
(Bandung: Mizan, 1992), 72
[2]Majma' al-buhus, "Nazarat
muasiroh hawla 'alamiyati al-Quran", dalam www.rafed.net/books/olom-quran/nazarat-moaserah/02.html
[3]Dr. Abdul Karim Hamidi, "al-bu'du al-'alami
fi al-khitab al-qur'ani", dalam http://www.islamweb.net/media/index.php?page=article&lang=A&id=37904
[4]RezaAhmad Zahid, Lc. MA., "Konsep al-Qur'an
dalam Mendampingi Perkembangan Zaman", dalam http://www.rezaahmadzahid.multiply.com/studiqur'an
[5]Abdul Mustaqim, Aliran-Aliran Tafsir
(Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), 12.
[6]Ibid., 101.
[7]Khalid ibn Uthman al-Sabt, Qowaid al-Tafsir
Jam'an wa Dirasatan (Beirut: Dar ibn 'Affan), 104.
[8]Shaleh ibn Abdul Aziz, Syarh Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir (Maktabah
Syamilah ebook, versi kedua), 117.
[10]Lihat, Shaleh ibn Abdul Aziz, hal.
[11] al-Bukhari: Kitab Ahadith al-Anbiya’:60, Bab Ma
Dhukira An Bani Israel, hadith. No. 3461.
[13]Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughat al-Arabiyah, Cet I
(Beirut: tp tth), 463.
[14]Thoriqul Haq, " Simulasi Metode Penafsiran al-Qur'an",
dalam www.thoriq.multiply.com/studi/tafsir.html

No comments:
Post a Comment