Thursday, October 12, 2017

MAKALAH ULUMUL QUR'AN

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk kehidupanbagi seluruh manusia. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 144 surat dan berisi tentang ajaran akidah dan syari’ah (ibadah, makanan, pakaian, mu’amalat, jinayat). Oleh karena itu setiap muslim berkewajiban untuk memahami dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupannya.
Firman Allah dalam QS surat An-Nahl:89

artinya
“ (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”( QS surat An-Nahl:89)
Untuk mudah bisa memahami al-qur’an, maka dibutuhkan aktifitas menafsirkan Al-Qur’an.   Dalam peta sejarah study Al-Qur’an konvensional, tafsir pada kenyataannya memang mendapatkan definisi yang cukup banyak akan tetapi semua definisi tersebut, dengan berbagai perbedaan redaksionalnya, tetap mengandung muatan pengertian yang seragam. Paling tidak ada dua hal yang mendasar yang sering muncul dalam setiap definisi tafsir. Pertama, semua definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi inti dari kegitan penafsiran adalah mencari atau melacak maksud Allah” dengan indikasi ujaran-ujaran yang ada dalam teks Al-qur’an. Kedua, adalah pengakuan definisi ini bahwa proses pencarian yang dimaksud di atas adalah sebatas “kemampuan manusia”. Sebagai satu cabang ilmu yang demikian karakternya, dengan kata lain, tradisi study Al-Qur’an  mengakui bahwa kegiatan penafsiran semata-mata muncul sebagai tindakan yang bermuara pada teks atau ujaran Al-Qur’an yang bersifat subjektif. Artinya, tafsir dalam bentuk tradisionalnya adalah sangat bergantung pada teks, disamping juga bergantung pada subjektifitas sang penafsir.
Tafsir (ta’wil)  dalam pengertiannya yang semacam ini berjalan dalam tenggang waktu yang cukup lama walau dengan variasi corak yang berbeda-beda hingga tafsir menapaki masa modern.
Demikianlah makna-makna teks menjadi beragam dan melebar seiring dengan perubahan, secara spasio-temporal, horizon pembacaan. Namun demikian konsep ta’wil tidak terbatas hanya dalam kaitanya dengan teks-teks linguistic semata, lebih dari itu konsep tersebut mencakup pula, sebagaimana dengan jelas dari konteks pemakaiannya dalam Al-Qur’an dan bahasa secara umum, seluruh peristiwa, kejadian dan fenomena, artinya, bahwa konsep tersebut berkaitan dengan bagaimana berinteraksi dengan teks-teks dalam pengertian semiotika secara umum. Atas dasar ini sejumlah ilmu tafsir harus berubah agar ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan watak (subtansi) teks sebagai objek interpretasi. Atau dengan kata lain, watak (subtansi) dari “sample” (tafsirah) yang cocok untuk (dipakai) menta’wil teks sebagai tanda harus berubah.
Berangkat dari problem tersebut tulisan ini akan mencoba menelusuri lebih lanjut tentang bagaimana menafsirkan sebuah ayat dan apa saja yang berkaitan dengan proses penafsirannya karena inilah yang menjadi objek pembahasan dari makalah yang berjudul “hukum menafsirkan Al-Qur’an ini“



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Definisi Al-Qur’an, Terjemah al- Qur’an, Tafsir, ilmu Tafsir, dan Ta’wil
           Menurut bahasa kata Al-Qur’an merupakan isim masdar yang maknanya sinonim dengan kata qiro’ah ( bacaan). Kata Al-Qur’an dengan arti qiro’ah[1] ini digunakan Allah SWT dalam ayat 17 dan 18 surat Al-Qiyamah :
      Artinya:
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18. apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
           Tentang makna dan asal usul kata Al-Qur’an, setidak-tidaknya ada lima pendapat ulama’ yang menerangkan pengertian Al-Qur’an menurut bahasa:
1.    Al-lihyani (w.355) dan sebagian besar ulama’ lainya mengatakan bahwa kata Al-qur’an merupakan isim masdar yang semakna yang dengan qiro’atan. Kata ini mengikuti kata fu’lana yang diambil dengan lafadz qoro’ah – yaqro’u – qiro’atan, seperti lafadz syakara - syukrana dan ghafar – ghufrana dengan arti berkumpul atau menjadi satu. Dikatakan demikian karena huruf-huruf dan lafadz-lafadz yang ada dalam kalimat Al-qur’an terkumpul menjadi satu dalam bentuk mushaf. Jadi kata qur’an merupakan bentuk mahmuz yang hamzah-nya asli dan nun-nya zaidah (tambahan).[2]
2.    Az Zujaz (w. 311H) mengatakan bahwa lafadz Al-Qur’an itu berupa isim sifat yang mengikuti wazan fu’lan yang diambil dari kata al-qar’u artinya berkumpul. Dikatakan demikian karena semua ayat, surat, hukum-hukum (al ahkam) dan kisah-kisah (al qashash) Al-Qur’an itu berkumpul menjadi satu. Al-Qur’an mengumpulkan semua intisari semua kitab suci yang pernah diturunkan Allah, serta seluruh  ilmu dan pengetahuan. [3]
3.    Al-Fara’ (w. 207 H) mengakatakan bahwa kata Al-qur’an itu berupa isim musytaq yang mengikuti wazan fu’lan yang diambil dari lafadz al qara’in bentuk jama’ dari kata qarinah yang berarti bukti. Dinamakan Al-Qur’an karena sebagian isinya membuktikan kebenaran sebagian lainnya. Jadi menurut pendapat ini, lafadz Al-Qur’an bukanlah isim mahmuz sehingga nun-nya asli, sedang hamzah-nya zaidah.
4.    Imam asy syafi’i (w. 204 H) berpendirian bahwa lafadz Al-Qur’an itu bukanlah isim musytaq yang di ambil dari kata lainnya melainkan isim murtajal yaitu isim yang sejak mula diciptakan sudah berupa isim alam  (nama), yakni nama dari kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dan selalu disertai oleh alif-lam atau “al”. jadi Al-Qur’an bukanlah isim mahmuz dan bukan pula isim musytaq, serta tidak pernah lepas dari “al”(alif-lam)
     Berdasarkan lima pendapat tersebut, pendapat pertama lebih tepat karena pendapat ini sangat relevan dengan kaidah – kaidah bahasa arab dan ilmu shorof. Sedangkan menurut  istilah al-qur’an adalah kalam mu’zijat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang menjadi ibadah serta membacannya.
                       Secara terminology pengertian Al-qur’an juga dapat dipahami melalui dua metode:
1.      Pengenalan definitive (pembatasan arti), maka Al-Qur’an adalah firman  yang Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad saw, melalui malaikat jibril as, mengandung aspek mu’jizat (I’jaz), diriwayatkan secara konsesus (tawatur), serta digunakan sebagai bacaan dalam beberapa ritus kegamaan.[4]
2.      Pengenalan deskriptif (pengembangan wujud luar), maka Al-Qu’an adalah firman tuhan yang tertulis diantara dua sampul mushaf, diawali dengan surat Al-fatihah dan di akhiri dengan surat An-Nash.[5]
Definisi Al-Qur’an menurut tiga kelompok ulama’ :
1.      Ulama yang meringkas definisi Al-qur’an, mereka hanya menyebutkan dua sifat Al-Qur’an, atau definisi minim, seperti yang diriwayatkan dengan mutawatir dan ditulis di dalam mushaf – mushaf. misalnya :
“ Al-Qur’an ialah kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam mushaf, dan diriwayatkan secara mutawatir.”
Menurut mereka, kedua sifat Al-Qur’an sudah cukup untuk menunjukkan maksud dari definisi, yaitu menerangkan dan membedakan dari yang lain.
2.      Ulama’ yang mendefinisikan Al-Qur’an secara sedang / cukupan atau middle (tengah-tengah), yaitu yang dengan menyebutkan tiga atau empat identitasnya saja, seperti lafal yang diturunkan Nabi, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, dan yang diriwayatkan dengan mutawatir, misalnya :
“ Al-Qur’an ialah lafal yang diturunkan kepada Nabi, yang tertulis dalam mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir.”
Menurut mereka maksud dari definisi itu adalah mengenalkan Al-qur’an kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan Nabi.
3.      Ada pula ulama’ yang membuat definisi Al-Qur’an secara maksimal, dengan panjang lebar, menyebut semua identitas Al-Qur’an yang meliputi : kalam Allah yang mu’jiz, diturunkan kepada Nabi, diriwayatkan secara mutawatir, tertulis dalam mushaf dan membacannya merupakan ibadah, diawali dari awal surah Al-Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nash.
Terjemah Al-Qur’an
            Terjemah adalah mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari    suatu bahasa ke bahasa lainnya tanpa menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan.[6] Terjemah lazim dibedakan menjadi dua macam yaitu : terjemah harfiah dan tafsiriah. Terjemah harfiah yang juga umum disebut terjemah lafzhiah ialah terjemahan yang dilakukan apa adanya bergantung pada susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan. Muhammad Husyain al dzahabi membedakan terjemah harfiah dalam dua model : terjemah harfiah bi al mitsil dan harfiah bi ghair mitsil. Terjemah harfiah bi al mitsil ialah terjemah yang dilakukan apa adanya yang terikat oleh susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan, sedangkan terjemah harfiah bi ghair mitsil ialah terjemah yang lebih longgar keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan (terjemah bebas).
            Hukum menafsirkan Al Qur’an adalah fardhu kifayah, bagi orang-orang yang memiliki kemampuan maka wajib ain untuk menafsirkan Al Qur’an. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang menyatakan Al amru bi syai’in amara bi wasilatihi (perintah terhadap sesuatu berarti berarti perintah pula kepada wasilahnya)[7]. Kaum muslimin wajib untuk memahami Al-qur’an dan beramal dengannya, untuk bisa memahami Al-qur’an dibutuhkan tafsir Al-Qur’an. Maka wajib untuk mempelajari ilmu tafsir Al-Qur’an dan melakukan tafsir Al Qur’an ketika sudah cukup kemampuannya.
Tafsir Al-Qur’an
            Kata tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru – tafsiran yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al kasyf wa al izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna al idhah (menjelaskan), al bayan (menerangkan), al kasyf (mengungkapkan), al izhar (menampakkan), al ibanah (menjelaskan).[8] Adapun mengenai pengertian tafsir menurut istilah, para ulama’ mengemukakannya dengan redaksi yang berbeda – beda.


1.      Menurut Al- Kilabi dalam At Tashil
Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuannya.
2.      Menurur syekh Al Jazairi dalam shahih At taujih
Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalahnya.
3.      Menurut Abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan hukum dan makna yang terkandung.
4.      Menurut Az zarkasyi
Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW serta menyimpulkan kandungan-kandungan hokum dan hikmahnya.[9]
5.      Menurut Al- Baghdadi
Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW dengan menggunakan pengetahuan bahasa arab (menurut makna bahasa maupun makna syariatnya) dan as sunnah, baik untuk memahami pengertian kata (lafazh) maupun susunan kalimatnya (tarkid al-jumal), yang berkaitan dengan akidah, syariat, dan adab, kemudian menggali (istinbath) hukum untuk memecahkan berbagai problem di setiap tempat dan waktu.[10]                                                          
Ilmu Tafsir
Defenisi ilmu tafsir masih terjadi kontradiksi antara para ulama’. Ada yang mengatakan bahwa ilmu tafsir adalah merupakan ilmu yang menjelaskan tentang turunnya ayat, kondisinya, sebab-sebab turunnya, penjelasan muhkam mutashabihnya, nasikh mansukhnya, umum, khususnya, serta yang lainnya.[11]
Menurut Abu Hayyan sendiri, ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tata cara pengucapan, kandungan hukum-hukumnya, susunannya, serta maknanya.
Menurut Syaikh Khalid Abdurrahman al- ak, bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang dipelajari untuk memahami firman Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, penjelasan makna-maknanya, hukum, dan hikmahnya.[12]
Ilmu tafsir menurut Muhammad badr ad Din az Zarkasyi adalah ilmu untuk memahami kitab Allah (Al Qur’an) yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad SAW, serta menerangkan makna, hokum dan hikmah (yang terkandung didalamnya).[13] Diibaratkan tafsir Al-qur’an adalah produk, maka ilmu tafsir adalah alatnya. Untuk bisa melakukan tafsir Al qur’an, seseorang harus menguasai ilmu bantu tafsir yaitu : ilmu bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu sharaf (konjugasi), ilmu istiqaq (etimologi), ilmu ma’ani (retorika), ilmu bayan (kejelasan berbicara), ilmu badi’ (efektifitas berbicara), ilmu qira’at, ilmu ushuluddin, ilmu ushul fiqih, ilmu Asbab an Nuzul, ilmu nasikh mansuhk, Ilmu fiqih, Ilmu hadist, dan Ilmu mauhibah.
            Sedangkan ilmu tafsir sendiri oleh Hadi pernomo diartikan :
1.    Suatu cabang ilmu yang mempelajari al-Qur’an kandunganya, penurunanya, keotentikan penulisannya, pembacaannya, dan hubungannya dengan hukum.
2.    Ilmu tafsir berhubungan dengan makna al-Qur’a, menjelaskan hokum-hukumnya, dan kebijaksanaannya melalui suatu penelitian yang mengunakan metodologi ilmu tafsir.
3.    Perbedaan ilmu tafsir dengan tafsir itu sendiri adalah bahwa ilmu tafsir bersifat teoritis sementara tafsir bersifat praktis. Ilmu tafsir merupakan alat bagi ilmu tafsir.

Takwil Al-Qur’an
           Secara etimologis takwil berarti menerangkan, menjelaskan. Diambil dari kata awwala – yu’awwilu – takwilan. Al-Qaththan dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti takwil menurut lughat adalah Al Ruju’ ila al Ashl ( kembali pada pokoknya ).
           Sedangkan arti takwil menurut istilah adalah :
1.      Menurut Al Jurjani : memalingkan suatu lafadz dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al Kitab dan As Sunnah.
2.      Menurut al Amidi takwil adalah mengartikan kata bukan ke makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya.
3.      Menurut ulam’ khalaf : mengalihkan suatu lafadz dari maknanya yang rajih ( kuat ) pada makna yang marjuh ( dikuatkan atau dianggap kuat ) karena ada dalil yang lain yang mendukung.
            Tafsir dan Takwil menurut uulama’ mutaqaddimin (dulu), seperti ibnu jarir Athh Thabari ( w. 310 H ), maknanya sama, sedangkan menurut ulama’ muta’akhirin (sekarang), sepeti Az-Zarkasyi ( w. 794 H ), pengertian keduanya  berbeda. Menurut Az-Zarkasyi, pendapat yang tepat adalah yang membedakan keduanya.[14] Tafsir merujuk pada makna lahiriyah, yang masih dapat dikandung ayat, berdasarkan dalil. Dengan ringkas An-Nabhani mengatakan, tafsir merupakan penjelasan apa yang dimaksud oleh kata ( bayan al-marad bi al-ma’na).



Dalam esensi lain kata Ta’wil menurut istilah ada dua makna :
Pertama, ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim (pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataanya, atau sesuatu makna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali merujuk kepada makna hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud. Kalam ada dua macam Insya’ dan ikhbar. Salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kalimat perintah).
Makna ta’wirul amr ialah esensi perbuatan yang diperintahkan. Misalnya hadist yang diriwayatkan Aisya r.a, ia berkata : “ adalah Rosulullah membaca didalam ruku’ dan sujudnya subhanallah wa bi hamdika Allahummaqfir li. Beliau menta’wilkan(menjalankan perintah) qur’an. Maksudnya firman Allah : maka bertasbilah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia penerima taubat.
Sedangkan ta’wil ikhbar ialah esensi dari apa yang diberikan itu sendiri yang benar-benar terjadi.
Kedua, ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah yang dimaksudkan Ibnu Jarir At-Tabari dalam tafsirnya dengan kata-kata : “ Pendapat tentang ta’wil firman Allah ini,,,,,begini dan begitu,,” dan kata-kata ahli ta’wil berbeda tentang ayat ini.”jadi yang dimaksud dengan kata ta’wil disini adalah tafsir.[15]    
  Contoh tafsir dan ta’wil, firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi :
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
“ Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. “
La rayba fihi (tidak ada keraguan didalamnya) jika diartikan, “ la syakka fihi” (tidak ada kebimbangan didalamnya), maka ini adalah tafsir. Jika diartikan ” tidak ada keraguan dikalanga kaum yang beriman “ maka ini adalah ta’wil.
Asy-syaukani menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta’wil (majal al-ta’wil ) :
a)    Dalam kebanyakan masalah-masalah furu’ (cabang), yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat (yang bersifat zhanni). Takwil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi bolehnya di kalangan ulama.
b)   Dalam masalah-masalah ushul (pokok), yakni nash – nash yang berrkaitan dengan akidah. Misalkan, nash tentang sifat-sifat Allah SWT, bahwa Allah itu mempunyai yad (tangan), wajh ( wajah ), dan sebagainya.
B.     Perbedaan ulama’ atas hukum menterjemahkan al- Qur’an ke bahasa lain
Ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan hukum menterjemahkan al –Qur’an ke dalam bahasa lain.
Ada yang mengatakan bahwa hukum menterjemahkan al-qur’an dengan menggunakan bahasa selain arab adalah boleh, karena al-qur’an itu sendiri diturunkan tidak khusus kepada orang Arab saja, akan tetapi, diperuntukkan kepada seluruh umat manusia di seluruh alam yang memiliki bahasa yang bermacam-macam dengan syarat tidak keluar jauh dari makna aslinya.[16]
Sementara menterjemahkan al-qur’an dengan bahasa lain di dalam shalat terjadi perdebatan di antara para ulama’.
Pertama: hukumnya boleh bagi orang yang tidak bisa memakai bahasa arab. Pendapat ini adalah menurut pendapat madzhab Hanafi. Dengan dasar bahwa dia memperbolehkan sholat menggunakan bahasa Persia. Kemudian juga, Abu Yusuf dan Muhammad bin Husein memperbolehkan menterjemahkan alqur’an dengan bahasa lain apabila tidak mampu menggunakan bahasa Arab, dengan syarat tidak merusak terhadap maknanya.
Kedua : Menurut Jumhur ulama’ termasuk Imam Malik, Syafi’ie, dan Hambali tidak memperbolehkan menterjemahkan al-qur’an di dalam shalat dengan menggunakan selain bahasa Arab, baik bagi yang mampu berbahasa Arab atau tidak. Karena menurut mereka, terjemahan al-qur’an itu bukanlah al-qur’an, sementara kemu’jizatan al-qur’an itu terletak pada lafadznya.
Menurut Ibn Hajar, dalam kitab Fathul Bari mengatakan bahwa, jika orang yang membaca al-qur’an itu bisa dengan menggunakan bahasa Arab maka tidak boleh menggunakan bahasa lain dan shalatnya tidak sah. Dan jika tidak mampu, syariat memperbolehkan mengganti bacaan al- qur’an dalam shalat dengan bacaan lain, seperti dzikir. Demikian juga Ibn Taimiyah tidak memperbolehkan menterjemahkan al-qur’an dengan selain bahasa Arab.[17]
Penerjemahan secara harfiah (letterleijt) adalah haram hukumnya. Penerjemah semacam ini menurut kebanyakan para ulama’ merupakan hal yang mustahil, karena memerlukan beberapa persyaratan yang tidak mungkin direalisasikan, yaitu :
v  Adanya mufrodat (sinonim) perbendaharaan kata yang serupa perhurufnya antara bahasa penerjemah dan bahasa yang akan diterjemahkan.
v  Adanya tanda baca yang sama pada bahasa penerjemah terhadap tanda baca bahasa yang diterjemahkan atau paling tidak mirip.
v  Di dalam susunan katanya harus ada kesamaan antara kedua  bahasa, baik dalam kalimat, sifat ataupun tambahan – tambahannya.
Namun sebagian ulam’a mengatakan bahwa menerjemahkan secara harfiah bisa terealisasi pada sebagian ayat atau semisalnya. Sekalipun demikian ia tetap diharamkan sebab tidak mungkin berfungsi menjadi makna yang sempurna, apalagi memiliki pengaruh terhadap jiwa, sebagaiman pengaruh Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang begitu jelas. Karena itu, tidak perlu mengunakan cara seperti ini karena sudah cukup penerjemahan secara maknanya saja.
                            Berdasarkan hal ini, maka sekali pun menurut perasaan penerjemahan secara harfiah dapat dimungkinkan pada sebagian kata-kata, akan tetapi menurut syari’at ia tetap dilarang, kecuali bila memang dapat menerjemahkan satu kata khusus dengan bahasa orang yang diajak bicara agar  ia memahaminya dengan tanpa menerjemahkan semua susunanya, maka ketika itu tidak apa-apa.
                 Penerjemahan secara makna, pada dasarnya dibolehkan karena tidak ada larangannya, bahkan terkadang bisa jadi wajib ketika ia merupakan satu-satunya sarana untuk menyampaikan al-Qur’an dan islam selain bangsa Arab, sebab menyampaikan hal itu adalah wajib hukumnya, maka sesuai kaidah, ‘Maa la yatimmul waajib illa bihi fa huwa waajib ‘ (suatu tindakan hukumnya wajib jika menjadi syarat terpenuhinnya suatu kewajiban).
C. Memaksimalkan Penyebaran Tafsir al- Qur’an dengan usaha penafsiran al-Qur’an.
Maksimalisasi dari penyebaran tafsir al-Qur’an itu sendiri tergantung kepada usaha para mufassir dalam menafsirkan al- Qu’an. Usaha penafisiran itu sudah dimulai pada masa Rosulullah saw, beliau seringkali menerjemahkan al-qur’an sedikit demi sedikit sehingga para sahabat betul-betul bersungguh-sungguh untuk mempelajari al- Qur’an  dengan cara merenungkan makna-makna yang terkandung di dalam al- Qur’an itu sendiri.
Kondisi mempelajari tafsir bagi para sahabat sangat mudah sekali, karena al-qur’an mengunakan bahasa sesuai dengan bahasa mereka sendiri, sehingga mereka dapat langsung memahami dan mempelajari tafsir itu dari nabi Saw secara langsung. Kemudian mereka mengajarkan langsung kepada shabat-sahabat yang lain seperti yang dilakukan oleh sahabat Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Ubai bin Ka’b sesuai dengan yang mereka terima dari Nabi Saw.
Para sahabat menjalankan tafsirnya dengan bentuk diroyah dan riwayah, kemudian dengan cara memahami asbabun nuzulnya. Kemudian setelah itu para tabi’ien mengajarkan tafsir itu kepada generasi sesudahnya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para sahabat. Demikianlah berlangsung dari beberapa tingkatan-tingkat penafsir sampai didengar oleh orang-orang isra’il dan mereka mempelajari tafsir tersebut, sehingga terjadi penafsiran isroiliyat.
Penyebaran tafsir yang dilakukan oleh para sahabat sampai kepada para tabi’in terus berkembang sampai sekarang sehingga muncul beberapa tokoh tafsir dan metodologi tafsirnya sesuai dengan disiplin mereka dalam menafsirkan al- Qur’an.[18]
            Perkembangan tafsir di mulai menjelang akhir pemerintahan bani Umayah dan awal pemerintahan Bani Abbas, yakni tatkala terjadi pengkodifikasian besar-besaran beberapa disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Disusunlah kitab tafsir ayat per ayat berdasarkan susunan mushaf. Pekerjaan ini mengalami kesempurnaan ketika berada pada tangan para ulama’ seperti Ibnu Majah(w.310) dan An-Naisaburi (w. 318). Hal itu berlangsung sampai sekarang.
Semenjak itu, tafsir berkembang sampai sekarang.
            Semenjak itu pula, tafsir berkembang dan tumbuh sering dengan kegamaan yang dimiliki para mufassir sehingga sampai kepada bentuk yang kita saksikan sekarang ini.
                       Ilmu tafsir tumbuh sejak zaman Rasullulah Muhammad SAW. Rasulullah beserta para sahabatnya mentradisikan, menguraikan dan menafsirkan Al-Qur’an sesaat setelah turunya. Tradisi itu terus berlangsung sampai beliau wafat. Tafsir bi al ma’tsur yang bersumber dari Nabi, para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in itu diturunkan ke generasi berikutnya melalui periwayatan. Hal itu berlangsung sampai periode awal pengkodifikasian hadist. yang pada saat itu, tafsir merupakan salah satu bagian kitab hadits. Pada saat itu tafsir belum dikodifikasikan secara khusus surat per surat dan ayat per ayat dari awal higga akhir mushaf. Yang terjadi adalah terdapat sebagian ulama yang berkeliling daerah untuk mengumpulkan hadits.
                       Menjelang akhir pemerintahan bani umayah dan awal pemerintahan bani abbas, yakni tatkala terjadi pengkodifikasian besar-besaran beberapa disiplin ilmu, barulah tafsir terpisah dari kitab hadits dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Disusunlah kitab tafsir ayat per ayat berdasarkan susunan mushaf. Pekerjaan ini mengalami kesempurnaan ketika berada pada tangan para ulama seperti Ibnu Majah (w.310 H) dan An Naisaburi (w. 318 H) hal itu berlangsung sampai sekarang.[19]
           Selanjutnya dijumpai pula penelitian yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari Al-Qur’an. Diantaranya ada yang memfokuskan penelitianya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an, kunci-kunci untuk memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada masa abad keempat.[20]
Tafsir Al-Qur’an dengan sumbernya:
1.         Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
            Sebagian ayat-ayat Al-Qur’an memberiakn penafsiran terhadap ayat yang lain. Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat yang lain tidak ada perbedaan pandangan diantara para ulama, karena mereka sepakat bahwa ada ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebagai penjelasan atau kelengkapan terhadap ayat yang lainya. Sebagian ayat menjadi lebih jelas maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat-ayat tertentu.
2.         Tafsir Al-Qur’an dengan as-sunnah
     Penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah didasarkan atas firman Allah: 
           Artinya
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui,
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan. (QS.16:43-44).
           Peran rasul dihadapan al-Qur’an meliputi:
a.       Menjelaskan bagian yang mujmal (global) dan mentakhsiskan menghapuskan yang ‘amm (umum).
b.      Menjelaskan arti dan kaitan kata tertentu dalam Al-Qur’an.
c.       Menjelaskan ketentuan tambahan terhadap beberapa peraturan yang telah ada dalam Al-Qur’an.
d.      Menjelaskan nasakh (penghapusan) ayat.
e.       Menjelaskan untuk menegaskan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
3.         Tafsir Al-qur’an dengan Qaul shahabah
                      Sahabat adalah orang-orang beriman yang diridhoi Allah, yang bertemu dengan nabi pada masa hidupnya. Mereka ikut menyaksikan peristiwa yang melatar belakangi turunnya suatu ayat dan keterkaitan turunya dengan ayat lain. Mereka melihat dan mendengar apa yang tidak dilihat orang lain sesudahnya. Mereka mempunyai kedalaman pengetahuan dalam segi bahasa, saat bahasa itu digunakan, kejernihan pemahaman, kebenaran fitrah, keyakinan yang kuat, apalagi mereka telah melakukan ijma’ dalam suatu penafsiran.
          Jika para sahabat telah ijma’ dalam suatu permasalahan, maka hal itu menunjukkan bahwa perkara itu memiliki dasar dari sunnah, walaupun mereka tidak menyatakan dengan jelas. Tetapi jika masih ada perselisihan pendapat dari mereka, maka kita bebas memilih salah satu pendapat yang kita anggap paling mendekati kebenaran atau kita menambah pemahaman baru pada pendapat mereka. Demikian pandangan yusuf Qardhawi.[21] 
          Tetapi ada lagi bentuk tafsir al-Qur’an yang kedudukanya sama dengan yang diketahui banyak kalangan, hanya bedanya jarang muncul kepermukaan meski keberadaanya strata dengan model tafsir yang ada, tafsir ini memang jarang digunakan karena memang tafsir Al-qur’an model pengganti ini tidak diterima dengan alasan keberadaanya tidak sesuai Abdullah saeed mengatakan tentang tafsir Interpretation of the Qur’an by the successors
with the expantion of muslim hegemony in the wake of the conquests  of the first/seventh century, convention to islam from other religion began to take place on a large scale. The death of the prophet meant that new muslim hat to rely on leading companion for their understanding of the  religion and the Qur’an. Companion who settled in places such us Iraq, Syiria, Eqypt  and Yemen or remained in mecca and medina, became the authoritative exponent of the meaning of the Qur’anic text. No doubt the Qur’an was the fundamental source for the new religion, but for many converts who had not experienced the time of the prophet and who came from other linguistic and religious backrounds, it was difficult to access the meaning of the Qur’an directly. Leading companions, threfore, played a major role in ensuring that the text was understandable To a new generation of muslim, many of wohm did not know official qurayshi dialec of Arabic. It was the student of the companions who became the third most important group of exponents of the qur’an : the successor “
          Dari penjelasan saeed dapat ditarik kesimpulan bahwa menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengkaji teks (mengangkat pengganti) dengan melihat pada situasi saat itu. Tapi cara ini seperti yang dijelaskan di atas tidak di akui oleh ulama’ disebabkan tertutupnya kemungkinan untuk berijtihad.[22]
D.    Macam Kesulitan memahami kandungan makna ayat-ayat al-Qur’an
Kesulitan dalam persoalan ini terletak kepada pemahaman setiap pembaca atau penafsir dalam memahami kandungan setiap ayat al-qur’an. Karena al-qur’an itu menggunakan bahasa Arab yang memang menjadi bahasa yang paling kaya di dunia. Maka paling tidak pembaca atau penafsir dituntut untuk memahami dengan menggunakan beberapa cara :
1.      Mengetahui asbabun nuzul.
Asbabun nuzul adalah merupakan instrument terpenting dalam proses pemahaman terhadap setiap ayat al-qur’an. Karena ia diturunkan sesuai dengan kondisi yang memang betul-betul terjadi pada waktu itu.
2.      Menguasai tata bahasa Arab dengan baik.
Dalam proses memahami al-qur’an tidak cukup hanya memfokuskan kepada pengetahuan makna perkata secara denotative, tetapi, dituntut untuk mengetahui susun tata bahasanya sehingga tidak terjandi kesalah pahaman dalam memahami al- qur’an. Karena perubahan harkat, huruf, dan lain sebagainya bisa merubaha makna yang dimaksud dalam ayat-ayat tertetu.
E.     Sistem dan Metode pemilihan makna yang paling besar atas arti yang variatif
Al- qur’an sebagai salah satu kitab yang diturunkan di Jazirah Arab, tentunya menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan bahasa komunikasi masyarakat di mana al- qur’an itu diturunkan, yaitu bahasa arab.
Bahasa Arab addalah merupakan salah satu bahasa yang dianggap paling kaya dan memiliki kandungan makna yang paling mendalam, sehingga ia dijadikan bahasa al-qur’an sebagai bentuk dari keluasan makna yang terkandung di dalamnya.
Setiap orang yang berusaha untuk memahami al-qur’an secara mendalam, ia harus mengetahui system dan metode dalam rangka memilih makna yang terkadnung di dalamnya, yaitu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dalam proses pengambilan makna yang meliputi tata bahasa dan pengambilan asal kata.
Bahasa al-qur’an yang menggunakan bahasa Arab, terkadang didiskripsikan dalam bentuk majaz (metaphor), mushtarok (dwi makna) yang keduanya membutuhkan kepada proses berfikir dan perenungan yang lebih mendalam.
Terdapat beberapa cara dan metode dalam rangka memilih makna yang paling dominan adalah dengan cara :
1.      Memperhatikan symbol kalimat yang dipakai ketika pertama kali al-qur’an diturunkan. Pemahaman terhadap makna asal dari setiap akar kata merupakan salah satu bentuk proses pengambilan mkna yang lebih mendekati kepada pencapaian maksud yang diinginkan.[23] Seperti kata “ al- fiqhu” itu berbeda dengan makna yang digunakan oleh para ahli fiqih dengan akar kata yang sesuai secara denotatif
2.      Menjaga dan memperhatiakn sifat kekhususan dan batasan
Dalam hal ini pedomannya kembali kepada bahasa dan batasannya dalam penggunaannya. Seperti kata-kata “ سبيل الله dalam surat al- Taubah ayat 60. Kalimat itu sangat umum, meliputi segala bentuk ketaatan. Maka ketika dipahami dari aspek keumuman asal katanya, maka memberikan zakat itu setiap orang yang bersholat, puasa, berdzikir, membaca al-qur’an, dan lain sebagainya.
3.      Mengetahui persamaan arti dan perbedaan fungsi penggunaan
Hal ini dapat dilakukan oleh seorang pembaca atau penafsir alqur’an dalam rangka untuk memahami makna al- qur’an. Setiap penafsir atau pembaca harus memahami dan mengetahui struktur kalimat yang ada di awal dan di akhir kata yang akan dipahami. Sperti kata “ al- dzikr” dalam 17 dan 18 surat Al-Qiyamah  dengan makna berbeda kata yang sama dalam kalimat berbeda, seperti yang dipakai dalam surat Thaha (20): ayat: 14, yang berarti mengingat kepada Allah.
Maka dengan demikian, pemilihan makna dalam proses memahami al- qur’an sangat ditentukan oleh metode yang dipakai oleh setiap penafsir atau pembaca al-qur’an, sehingga seringkali al-qur’an menjadi alat justifikasi terhadap kepentingannya.[24]


BAB III
PENUTUP
A.      SIMPULAN
                        Tafsir adalah hal penting untuk memahami Al-Qur’an. Hukum melakukan tafsir Al-Qur’an adalah fardhu kifayah, namun khusus bagi orang-orang yang memiliki kemampuan maka hukumnya fardhu ‘ain. Tafsir Al-Qur’an berbeda dengan takwil dan terjamah Al-qur'an. Terjemah dan takwil Al-Qur’an hukumnya  boleh dilakukan namun dengan syarat-syarat tertentu.
                        Dari berbagai definisi yang telah diuraikan dalam pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa model penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau macam dari penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Al-Quran yang pernah dilakukan generasi dahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait dengannya.
                 Tafsir-tafsir Al-Qur’an dalam berbagai bahasa didunia khususnya Indonesia berada pada tahap perkembangan yang baik dengan memperhatikan upaya-upaya sistematis untuk menciptakan tafsir-tafsir kontemporer. Keberadaan sepuluh tafsir yang semuanya berisi lengkap 30 juz,merupakan sesuatu yang luar biasa dan patut dibanggakan, dan terdapat studi-studi pelengkap yang cukup untuk mengangkat litertur-literatur yang sesuai untuk digunakan pada gaya tersebut. Jumlah tafsir-tafsir tersebut merupakan suatu prestasi penting bagi para ulama Indonesia.









[1] Abdul Djalal. Ulumul Qur’an (Surabaya, dunia ilmu 1998). Mannaul Qatthan, Mubahith fi ulum al- qur’an, (Riyadl: Manshurat al ashri al hadith, 1973 ), 20-21
[2] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung:pustaka setia, 2008), 31
[3] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya : Dunia Ilmu, 1998), 5
[4] Muhammad Ali al- Shabuni, al- Tibyan fi ulum al- Qur’an, (Bairut: Muassasah Manahilu al- Irfan, 1981), 6
[5] Ahmad sham Madyan, Peta Pembelajaran Al-Qur’an (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), h. 37
[6] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, (Bandung Tafakur, 2007), 250
[7] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an, 250
[8] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung : Pustaka Setia, 2005), 141
[9] Al- Qatthan, Mubahith fi ulum al- qur’an, (Riyadl: Manshurat al ashri al hadith, 1973 ), 323
[10] Abdurraman Al-Baghdadi, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Al-Ma’arif, 1988), 15
[11] Abu Hayyan, Tafsir bahru al- muhit, (Bairut: Darul kutub al- ilmiah, tt), 10
[12] Syaikh Khalid Abdurrahman al- ak, Usulu al- tafsir wa qawaiduhu, (Bairut: Daru al- Nafa’is, 1986), 40
[13] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, 159
[14] Taqiyudin an Nabhani, Asy-Syakhsshiyah al-Islamiyah, (Beirut: Dar Al-Ummah, 1994), 290
[15] Ahmad Von Denffer, Ulum al-Qur’an; An Introduction to the science of the qur’an (London: the Islamic Foundation Liecester LE2 IZE Kingdom)123
[16] Al- Qatthan, Mubahith fi ulum al- qur’an, (Riyadl: Manshurat al ashri al hadith, 1973 ), 316
[17] Al- Qatthan, Mubahith fi ulum,318-319
[18]  Hasbi al- Shiddiqi, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Qur’an Atau Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1954), 213-214.
[19] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, 164
[20] Ibid,164
[21] Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an(Yogyakarta : Dana Bakti Prima yasa, 1998)154
[22] Abdullah saeed, Interpreting The Qur’an , Towards a Contemporary Approach (Canada : Library of Congress Cataloging in Publication Data, 2006) 48.
[23] Yusuf Qardlawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-qur’an, (Kairo : Daru al- Syuruq, 1968), 232
[24] Qardlawi, Kaifa Nata’amal ma’a al-qur’an, (Kairo : Daru al- Syuruq, 1968), 232-323

No comments:

Post a Comment

MAKALAH VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN

VARIABEL DAN HIPOTESA PENELITIAN PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan pada hakekatnya muncul karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi d...