BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui malaikat Jibril sebagai
petunjuk kehidupanbagi seluruh manusia. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 144
surat dan berisi tentang ajaran akidah dan syari’ah (ibadah, makanan, pakaian,
mu’amalat, jinayat). Oleh karena itu setiap muslim berkewajiban untuk memahami
dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupannya.
Firman Allah
dalam QS surat An-Nahl:89
artinya
“ (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada
tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan
kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan Kami turunkan
kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk
serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”( QS surat
An-Nahl:89)
Untuk mudah bisa memahami al-qur’an,
maka dibutuhkan aktifitas menafsirkan Al-Qur’an. Dalam peta sejarah study Al-Qur’an
konvensional, tafsir pada kenyataannya memang mendapatkan definisi yang cukup
banyak akan tetapi semua definisi tersebut, dengan berbagai perbedaan
redaksionalnya, tetap mengandung muatan pengertian yang seragam. Paling tidak
ada dua hal yang mendasar yang sering muncul dalam setiap definisi tafsir.
Pertama, semua definisi ini menunjukkan bahwa yang menjadi inti dari kegitan
penafsiran adalah mencari atau melacak maksud Allah” dengan indikasi
ujaran-ujaran yang ada dalam teks Al-qur’an. Kedua, adalah pengakuan definisi
ini bahwa proses pencarian yang dimaksud di atas adalah sebatas “kemampuan
manusia”. Sebagai satu cabang ilmu yang demikian karakternya, dengan kata lain,
tradisi study Al-Qur’an mengakui bahwa
kegiatan penafsiran semata-mata muncul sebagai tindakan yang bermuara pada teks
atau ujaran Al-Qur’an yang bersifat subjektif. Artinya, tafsir dalam bentuk
tradisionalnya adalah sangat bergantung pada teks, disamping juga bergantung
pada subjektifitas sang penafsir.
Tafsir (ta’wil) dalam pengertiannya yang semacam ini berjalan
dalam tenggang waktu yang cukup lama walau dengan variasi corak yang
berbeda-beda hingga tafsir menapaki masa modern.
Demikianlah makna-makna teks menjadi
beragam dan melebar seiring dengan perubahan, secara spasio-temporal, horizon
pembacaan. Namun demikian konsep ta’wil tidak terbatas hanya dalam kaitanya
dengan teks-teks linguistic semata, lebih dari itu konsep tersebut mencakup
pula, sebagaimana dengan jelas dari konteks pemakaiannya dalam Al-Qur’an dan
bahasa secara umum, seluruh peristiwa, kejadian dan fenomena, artinya, bahwa
konsep tersebut berkaitan dengan bagaimana berinteraksi dengan teks-teks dalam
pengertian semiotika secara umum. Atas dasar ini sejumlah ilmu tafsir harus
berubah agar ilmu-ilmu tersebut sesuai dengan watak (subtansi) teks sebagai
objek interpretasi. Atau dengan kata lain, watak (subtansi) dari “sample”
(tafsirah) yang cocok untuk (dipakai) menta’wil teks sebagai tanda harus
berubah.
Berangkat dari problem tersebut tulisan
ini akan mencoba menelusuri lebih lanjut tentang bagaimana menafsirkan sebuah
ayat dan apa saja yang berkaitan dengan proses penafsirannya karena inilah yang
menjadi objek pembahasan dari makalah yang berjudul “hukum menafsirkan
Al-Qur’an ini“
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi Al-Qur’an,
Terjemah al- Qur’an, Tafsir, ilmu Tafsir, dan Ta’wil
Menurut bahasa kata Al-Qur’an
merupakan isim masdar yang maknanya sinonim dengan kata qiro’ah ( bacaan). Kata
Al-Qur’an dengan arti qiro’ah[1]
ini digunakan Allah SWT dalam ayat 17 dan 18 surat Al-Qiyamah :
Artinya:
17. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.
18.
apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Tentang makna dan asal usul kata
Al-Qur’an, setidak-tidaknya ada lima pendapat ulama’ yang menerangkan
pengertian Al-Qur’an menurut bahasa:
1. Al-lihyani
(w.355) dan sebagian besar ulama’ lainya mengatakan bahwa kata Al-qur’an
merupakan isim masdar yang semakna yang dengan qiro’atan. Kata ini mengikuti
kata fu’lana yang diambil dengan lafadz qoro’ah – yaqro’u – qiro’atan, seperti
lafadz syakara - syukrana dan ghafar – ghufrana dengan arti berkumpul atau
menjadi satu. Dikatakan demikian karena huruf-huruf dan lafadz-lafadz yang ada
dalam kalimat Al-qur’an terkumpul menjadi satu dalam bentuk mushaf. Jadi kata
qur’an merupakan bentuk mahmuz yang hamzah-nya asli dan nun-nya zaidah
(tambahan).[2]
2.
Az Zujaz (w. 311H)
mengatakan bahwa lafadz Al-Qur’an itu berupa isim sifat yang mengikuti wazan
fu’lan yang diambil dari kata al-qar’u artinya berkumpul. Dikatakan demikian
karena semua ayat, surat, hukum-hukum (al ahkam) dan kisah-kisah (al qashash)
Al-Qur’an itu berkumpul menjadi satu. Al-Qur’an mengumpulkan semua intisari
semua kitab suci yang pernah diturunkan Allah, serta seluruh ilmu dan pengetahuan. [3]
3.
Al-Fara’ (w. 207 H)
mengakatakan bahwa kata Al-qur’an itu berupa isim musytaq yang mengikuti wazan
fu’lan yang diambil dari lafadz al qara’in bentuk jama’ dari kata qarinah yang
berarti bukti. Dinamakan Al-Qur’an karena sebagian isinya membuktikan kebenaran
sebagian lainnya. Jadi menurut pendapat ini, lafadz Al-Qur’an bukanlah isim
mahmuz sehingga nun-nya asli, sedang hamzah-nya zaidah.
4.
Imam asy syafi’i (w.
204 H) berpendirian bahwa lafadz Al-Qur’an itu bukanlah isim musytaq yang di
ambil dari kata lainnya melainkan isim murtajal yaitu isim yang sejak mula
diciptakan sudah berupa isim alam
(nama), yakni nama dari kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW dan selalu disertai oleh alif-lam atau “al”. jadi Al-Qur’an bukanlah isim
mahmuz dan bukan pula isim musytaq, serta tidak pernah lepas dari
“al”(alif-lam)
Berdasarkan lima pendapat tersebut,
pendapat pertama lebih tepat karena pendapat ini sangat relevan dengan kaidah –
kaidah bahasa arab dan ilmu shorof. Sedangkan menurut istilah al-qur’an adalah kalam mu’zijat yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW yang menjadi ibadah serta membacannya.
Secara terminology
pengertian Al-qur’an juga dapat dipahami melalui dua metode:
1.
Pengenalan definitive
(pembatasan arti), maka Al-Qur’an adalah firman yang Allah yang diwahyukan kepada nabi
Muhammad saw, melalui malaikat jibril as, mengandung aspek mu’jizat (I’jaz),
diriwayatkan secara konsesus (tawatur), serta digunakan sebagai bacaan dalam
beberapa ritus kegamaan.[4]
2.
Pengenalan deskriptif
(pengembangan wujud luar), maka Al-Qu’an adalah firman tuhan yang tertulis
diantara dua sampul mushaf, diawali dengan surat Al-fatihah dan di akhiri
dengan surat An-Nash.[5]
Definisi Al-Qur’an
menurut tiga kelompok ulama’ :
1.
Ulama yang meringkas
definisi Al-qur’an, mereka hanya menyebutkan dua sifat Al-Qur’an, atau definisi
minim, seperti yang diriwayatkan dengan mutawatir dan ditulis di dalam mushaf –
mushaf. misalnya :
“
Al-Qur’an ialah kalam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis dalam
mushaf, dan diriwayatkan secara mutawatir.”
Menurut
mereka, kedua sifat Al-Qur’an sudah cukup untuk menunjukkan maksud dari
definisi, yaitu menerangkan dan membedakan dari yang lain.
2.
Ulama’ yang
mendefinisikan Al-Qur’an secara sedang / cukupan atau middle (tengah-tengah),
yaitu yang dengan menyebutkan tiga atau empat identitasnya saja, seperti lafal
yang diturunkan Nabi, yang tertulis dalam mushaf-mushaf, dan yang diriwayatkan
dengan mutawatir, misalnya :
“
Al-Qur’an ialah lafal yang diturunkan kepada Nabi, yang tertulis dalam mushaf
dan diriwayatkan secara mutawatir.”
Menurut
mereka maksud dari definisi itu adalah mengenalkan Al-qur’an kepada orang-orang
yang tidak sependapat dengan Nabi.
3.
Ada pula ulama’ yang
membuat definisi Al-Qur’an secara maksimal, dengan panjang lebar, menyebut
semua identitas Al-Qur’an yang meliputi : kalam Allah yang mu’jiz, diturunkan
kepada Nabi, diriwayatkan secara mutawatir, tertulis dalam mushaf dan
membacannya merupakan ibadah, diawali dari awal surah Al-Fatihah dan diakhiri
dengan surah An-Nash.
Terjemah Al-Qur’an
Terjemah adalah mengalihkan atau
memindahkan suatu pembicaraan dari suatu
bahasa ke bahasa lainnya tanpa menerangkan makna dari bahasa asal yang
diterjemahkan.[6] Terjemah
lazim dibedakan menjadi dua macam yaitu : terjemah harfiah dan tafsiriah.
Terjemah harfiah yang juga umum disebut terjemah lafzhiah ialah terjemahan yang
dilakukan apa adanya bergantung pada susunan dan struktur bahasa asal yang
diterjemahkan. Muhammad Husyain al dzahabi membedakan terjemah harfiah dalam
dua model : terjemah harfiah bi al mitsil dan harfiah bi ghair
mitsil. Terjemah harfiah bi al mitsil ialah terjemah yang dilakukan apa
adanya yang terikat oleh susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan,
sedangkan terjemah harfiah bi ghair mitsil ialah terjemah yang lebih longgar
keterikatannya dengan susunan dan struktur bahasa asal yang diterjemahkan
(terjemah bebas).
Hukum menafsirkan Al Qur’an adalah
fardhu kifayah, bagi orang-orang yang memiliki kemampuan maka wajib ain untuk
menafsirkan Al Qur’an. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang menyatakan
Al amru bi syai’in amara bi wasilatihi (perintah terhadap sesuatu berarti
berarti perintah pula kepada wasilahnya)[7].
Kaum muslimin wajib untuk memahami Al-qur’an dan beramal dengannya, untuk bisa
memahami Al-qur’an dibutuhkan tafsir Al-Qur’an. Maka wajib untuk mempelajari
ilmu tafsir Al-Qur’an dan melakukan tafsir Al Qur’an ketika sudah cukup
kemampuannya.
Tafsir
Al-Qur’an
Kata tafsir diambil dari kata
fassara – yufassiru – tafsiran yang berarti keterangan atau uraian, Al-jurjani
berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah al kasyf wa al
izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan. Pada dasarnya,
pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak akan lepas dari kandungan makna al
idhah (menjelaskan), al bayan (menerangkan), al kasyf (mengungkapkan), al izhar
(menampakkan), al ibanah (menjelaskan).[8]
Adapun mengenai pengertian tafsir menurut istilah, para ulama’ mengemukakannya
dengan redaksi yang berbeda – beda.
1.
Menurut Al- Kilabi
dalam At Tashil
Tafsir
adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendaki nash, isyarat atau tujuannya.
2.
Menurur syekh Al
Jazairi dalam shahih At taujih
Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan
kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan
sinonimnya atau makna mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu
dilalahnya.
3.
Menurut Abu Hayyan
Tafsir
adalah ilmu mengenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur’an serta cara
mengungkapkan petunjuk, kandungan hukum dan makna yang terkandung.
4.
Menurut Az zarkasyi
Tafsir
adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW serta menyimpulkan kandungan-kandungan
hokum dan hikmahnya.[9]
5.
Menurut Al- Baghdadi
Tafsir
adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad SAW
dengan menggunakan pengetahuan bahasa arab (menurut makna bahasa maupun makna
syariatnya) dan as sunnah, baik untuk memahami pengertian kata (lafazh) maupun
susunan kalimatnya (tarkid al-jumal), yang berkaitan dengan akidah, syariat,
dan adab, kemudian menggali (istinbath) hukum untuk memecahkan berbagai problem
di setiap tempat dan waktu.[10]
Ilmu
Tafsir
Defenisi
ilmu tafsir masih terjadi kontradiksi antara para ulama’. Ada yang mengatakan
bahwa ilmu tafsir adalah merupakan ilmu yang menjelaskan tentang turunnya ayat,
kondisinya, sebab-sebab turunnya, penjelasan muhkam mutashabihnya, nasikh
mansukhnya, umum, khususnya, serta yang lainnya.[11]
Menurut
Abu Hayyan sendiri, ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tata cara
pengucapan, kandungan hukum-hukumnya, susunannya, serta maknanya.
Menurut
Syaikh Khalid Abdurrahman al- ak, bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang dipelajari
untuk memahami firman Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, penjelasan
makna-maknanya, hukum, dan hikmahnya.[12]
Ilmu
tafsir menurut Muhammad badr ad Din az Zarkasyi adalah ilmu untuk
memahami kitab Allah (Al Qur’an) yang diturunkan kepada nabi-Nya, Muhammad SAW,
serta menerangkan makna, hokum dan hikmah (yang terkandung didalamnya).[13]
Diibaratkan tafsir Al-qur’an adalah produk, maka ilmu tafsir adalah alatnya.
Untuk bisa melakukan tafsir Al qur’an, seseorang harus menguasai ilmu bantu
tafsir yaitu : ilmu bahasa Arab, ilmu nahwu, ilmu sharaf (konjugasi), ilmu
istiqaq (etimologi), ilmu ma’ani (retorika), ilmu bayan (kejelasan berbicara),
ilmu badi’ (efektifitas berbicara), ilmu qira’at, ilmu ushuluddin, ilmu ushul
fiqih, ilmu Asbab an Nuzul, ilmu nasikh mansuhk, Ilmu fiqih, Ilmu hadist, dan
Ilmu mauhibah.
Sedangkan ilmu tafsir sendiri oleh
Hadi pernomo diartikan :
1.
Suatu cabang ilmu yang
mempelajari al-Qur’an kandunganya, penurunanya, keotentikan penulisannya,
pembacaannya, dan hubungannya dengan hukum.
2.
Ilmu tafsir berhubungan
dengan makna al-Qur’a, menjelaskan hokum-hukumnya, dan kebijaksanaannya melalui
suatu penelitian yang mengunakan metodologi ilmu tafsir.
3.
Perbedaan ilmu tafsir
dengan tafsir itu sendiri adalah bahwa ilmu tafsir bersifat teoritis sementara
tafsir bersifat praktis. Ilmu tafsir merupakan alat bagi ilmu tafsir.
Takwil
Al-Qur’an
Secara etimologis takwil berarti
menerangkan, menjelaskan. Diambil dari kata awwala – yu’awwilu – takwilan.
Al-Qaththan dan Al-Jurjani berpendapat bahwa arti takwil menurut lughat adalah Al
Ruju’ ila al Ashl ( kembali pada pokoknya ).
Sedangkan arti takwil menurut istilah
adalah :
1.
Menurut Al Jurjani :
memalingkan suatu lafadz dari makna lahirnya terhadap makna yang dikandungnya,
apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan Al Kitab dan
As Sunnah.
2.
Menurut al Amidi takwil
adalah mengartikan kata bukan ke makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih
dapat dikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya.
3.
Menurut ulam’ khalaf :
mengalihkan suatu lafadz dari maknanya yang rajih ( kuat ) pada makna yang
marjuh ( dikuatkan atau dianggap kuat ) karena ada dalil yang lain yang
mendukung.
Tafsir dan Takwil menurut uulama’ mutaqaddimin
(dulu), seperti ibnu jarir Athh Thabari ( w. 310 H ), maknanya sama, sedangkan
menurut ulama’ muta’akhirin (sekarang), sepeti Az-Zarkasyi ( w. 794 H ),
pengertian keduanya berbeda. Menurut
Az-Zarkasyi, pendapat yang tepat adalah yang membedakan keduanya.[14]
Tafsir merujuk pada makna lahiriyah, yang masih dapat dikandung ayat,
berdasarkan dalil. Dengan ringkas An-Nabhani mengatakan, tafsir merupakan
penjelasan apa yang dimaksud oleh kata ( bayan al-marad bi al-ma’na).
Dalam esensi lain kata
Ta’wil menurut istilah ada dua makna :
Pertama,
ta’wil kalam dengan pengertian sesuatu makna yang kepadanya mutakallim
(pembicara, orang pertama) mengembalikan perkataanya, atau sesuatu makna yang
kepadanya suatu kalam dikembalikan. Dan kalam itu kembali merujuk kepada makna
hakikinya yang merupakan esensi sebenarnya yang dimaksud. Kalam ada dua macam Insya’
dan ikhbar. Salah satu yang termasuk insya’ adalah amr (kalimat
perintah).
Makna ta’wirul amr
ialah esensi perbuatan yang diperintahkan. Misalnya hadist yang diriwayatkan Aisya
r.a, ia berkata : “ adalah Rosulullah membaca didalam ruku’ dan sujudnya subhanallah
wa bi hamdika Allahummaqfir li. Beliau menta’wilkan(menjalankan perintah)
qur’an. Maksudnya firman Allah : maka bertasbilah dengan memuji Tuhanmu dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia penerima taubat.
Sedangkan ta’wil ikhbar
ialah esensi dari apa yang diberikan itu sendiri yang benar-benar terjadi.
Kedua,
ta’wil kalam dalam arti menafsirkan dan menjelaskan maknanya. Pengertian inilah
yang dimaksudkan Ibnu Jarir At-Tabari dalam tafsirnya dengan kata-kata : “ Pendapat
tentang ta’wil firman Allah ini,,,,,begini dan begitu,,” dan kata-kata ahli
ta’wil berbeda tentang ayat ini.”jadi yang dimaksud dengan kata ta’wil disini
adalah tafsir.[15]
Contoh tafsir dan ta’wil, firman Allah dalam
surah Al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi :
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡
ÏmÏù ¡
Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
“ Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa. “
La
rayba fihi (tidak ada keraguan didalamnya) jika diartikan, “ la syakka fihi”
(tidak ada kebimbangan didalamnya), maka ini adalah tafsir. Jika diartikan ”
tidak ada keraguan dikalanga kaum yang beriman “ maka ini adalah ta’wil.
Asy-syaukani
menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup ta’wil (majal al-ta’wil ) :
a)
Dalam kebanyakan
masalah-masalah furu’ (cabang), yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan
hukum-hukum syariat (yang bersifat zhanni). Takwil dalam ruang lingkup ini
tidak diperselisihkan lagi bolehnya di kalangan ulama.
b)
Dalam masalah-masalah
ushul (pokok), yakni nash – nash yang berrkaitan dengan akidah. Misalkan, nash
tentang sifat-sifat Allah SWT, bahwa Allah itu mempunyai yad (tangan), wajh (
wajah ), dan sebagainya.
B.
Perbedaan ulama’ atas hukum
menterjemahkan al- Qur’an ke bahasa lain
Ulama’ berbeda pendapat
dalam menetapkan hukum menterjemahkan al –Qur’an ke dalam bahasa lain.
Ada yang mengatakan
bahwa hukum menterjemahkan al-qur’an dengan menggunakan bahasa selain arab
adalah boleh, karena al-qur’an itu sendiri diturunkan tidak khusus kepada orang
Arab saja, akan tetapi, diperuntukkan kepada seluruh umat manusia di seluruh
alam yang memiliki bahasa yang bermacam-macam dengan syarat tidak keluar jauh
dari makna aslinya.[16]
Sementara
menterjemahkan al-qur’an dengan bahasa lain di dalam shalat terjadi perdebatan
di antara para ulama’.
Pertama: hukumnya boleh
bagi orang yang tidak bisa memakai bahasa arab. Pendapat ini adalah menurut
pendapat madzhab Hanafi. Dengan dasar bahwa dia memperbolehkan sholat
menggunakan bahasa Persia. Kemudian juga, Abu Yusuf dan Muhammad bin Husein
memperbolehkan menterjemahkan alqur’an dengan bahasa lain apabila tidak mampu
menggunakan bahasa Arab, dengan syarat tidak merusak terhadap maknanya.
Kedua : Menurut Jumhur
ulama’ termasuk Imam Malik, Syafi’ie, dan Hambali tidak memperbolehkan
menterjemahkan al-qur’an di dalam shalat dengan menggunakan selain bahasa Arab,
baik bagi yang mampu berbahasa Arab atau tidak. Karena menurut mereka,
terjemahan al-qur’an itu bukanlah al-qur’an, sementara kemu’jizatan al-qur’an
itu terletak pada lafadznya.
Menurut Ibn Hajar, dalam
kitab Fathul Bari mengatakan bahwa, jika orang yang membaca al-qur’an itu bisa
dengan menggunakan bahasa Arab maka tidak boleh menggunakan bahasa lain dan
shalatnya tidak sah. Dan jika tidak mampu, syariat memperbolehkan mengganti
bacaan al- qur’an dalam shalat dengan bacaan lain, seperti dzikir. Demikian
juga Ibn Taimiyah tidak memperbolehkan menterjemahkan al-qur’an dengan selain
bahasa Arab.[17]
Penerjemahan
secara harfiah (letterleijt) adalah haram hukumnya. Penerjemah semacam ini
menurut kebanyakan para ulama’ merupakan hal yang mustahil, karena memerlukan
beberapa persyaratan yang tidak mungkin direalisasikan, yaitu :
v Adanya
mufrodat (sinonim) perbendaharaan kata yang serupa perhurufnya antara bahasa
penerjemah dan bahasa yang akan diterjemahkan.
v Adanya
tanda baca yang sama pada bahasa penerjemah terhadap tanda baca bahasa yang
diterjemahkan atau paling tidak mirip.
v Di
dalam susunan katanya harus ada kesamaan antara kedua bahasa, baik dalam kalimat, sifat ataupun
tambahan – tambahannya.
Namun
sebagian ulam’a mengatakan bahwa menerjemahkan secara harfiah bisa terealisasi
pada sebagian ayat atau semisalnya. Sekalipun demikian ia tetap diharamkan
sebab tidak mungkin berfungsi menjadi makna yang sempurna, apalagi memiliki
pengaruh terhadap jiwa, sebagaiman pengaruh Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang
begitu jelas. Karena itu, tidak perlu mengunakan cara seperti ini karena sudah
cukup penerjemahan secara maknanya saja.
Berdasarkan hal ini,
maka sekali pun menurut perasaan penerjemahan secara harfiah dapat dimungkinkan
pada sebagian kata-kata, akan tetapi menurut syari’at ia tetap dilarang,
kecuali bila memang dapat menerjemahkan satu kata khusus dengan bahasa orang
yang diajak bicara agar ia memahaminya
dengan tanpa menerjemahkan semua susunanya, maka ketika itu tidak apa-apa.
Penerjemahan secara makna, pada
dasarnya dibolehkan karena tidak ada larangannya, bahkan terkadang bisa jadi
wajib ketika ia merupakan satu-satunya sarana untuk menyampaikan al-Qur’an dan
islam selain bangsa Arab, sebab menyampaikan hal itu adalah wajib hukumnya,
maka sesuai kaidah, ‘Maa la yatimmul waajib illa bihi fa huwa waajib ‘
(suatu tindakan hukumnya wajib jika menjadi syarat terpenuhinnya suatu
kewajiban).
C.
Memaksimalkan Penyebaran Tafsir al- Qur’an dengan usaha penafsiran
al-Qur’an.
Maksimalisasi dari penyebaran tafsir al-Qur’an itu sendiri
tergantung kepada usaha para mufassir dalam menafsirkan al- Qu’an. Usaha
penafisiran itu sudah dimulai pada masa Rosulullah saw, beliau seringkali
menerjemahkan al-qur’an sedikit demi sedikit sehingga para sahabat betul-betul
bersungguh-sungguh untuk mempelajari al- Qur’an
dengan cara merenungkan makna-makna yang terkandung di dalam al- Qur’an
itu sendiri.
Kondisi mempelajari
tafsir bagi para sahabat sangat mudah sekali, karena al-qur’an mengunakan
bahasa sesuai dengan bahasa mereka sendiri, sehingga mereka dapat langsung
memahami dan mempelajari tafsir itu dari nabi Saw secara langsung. Kemudian
mereka mengajarkan langsung kepada shabat-sahabat yang lain seperti yang
dilakukan oleh sahabat Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, dan Ubai bin Ka’b sesuai dengan
yang mereka terima dari Nabi Saw.
Para sahabat
menjalankan tafsirnya dengan bentuk diroyah dan riwayah, kemudian dengan cara
memahami asbabun nuzulnya. Kemudian setelah itu para tabi’ien mengajarkan tafsir
itu kepada generasi sesudahnya sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para
sahabat. Demikianlah berlangsung dari beberapa tingkatan-tingkat penafsir
sampai didengar oleh orang-orang isra’il dan mereka mempelajari tafsir
tersebut, sehingga terjadi penafsiran isroiliyat.
Penyebaran tafsir yang
dilakukan oleh para sahabat sampai kepada para tabi’in terus berkembang sampai
sekarang sehingga muncul beberapa tokoh tafsir dan metodologi tafsirnya sesuai
dengan disiplin mereka dalam menafsirkan al- Qur’an.[18]
Perkembangan tafsir di mulai
menjelang akhir pemerintahan bani Umayah dan awal pemerintahan Bani Abbas,
yakni tatkala terjadi pengkodifikasian besar-besaran beberapa disiplin ilmu
yang berdiri sendiri. Disusunlah kitab tafsir ayat per ayat berdasarkan susunan
mushaf. Pekerjaan ini mengalami kesempurnaan ketika berada pada tangan para
ulama’ seperti Ibnu Majah(w.310) dan An-Naisaburi (w. 318). Hal itu berlangsung
sampai sekarang.
Semenjak
itu, tafsir berkembang sampai sekarang.
Semenjak itu pula, tafsir berkembang
dan tumbuh sering dengan kegamaan yang dimiliki para mufassir sehingga sampai
kepada bentuk yang kita saksikan sekarang ini.
Ilmu tafsir tumbuh sejak
zaman Rasullulah Muhammad SAW. Rasulullah beserta para sahabatnya mentradisikan,
menguraikan dan menafsirkan Al-Qur’an sesaat setelah turunya. Tradisi itu terus
berlangsung sampai beliau wafat. Tafsir bi al ma’tsur yang bersumber dari Nabi,
para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in itu diturunkan ke generasi berikutnya
melalui periwayatan. Hal itu berlangsung sampai periode awal pengkodifikasian
hadist. yang pada saat itu, tafsir merupakan salah satu bagian kitab hadits.
Pada saat itu tafsir belum dikodifikasikan secara khusus surat per surat dan
ayat per ayat dari awal higga akhir mushaf. Yang terjadi adalah terdapat
sebagian ulama yang berkeliling daerah untuk mengumpulkan hadits.
Menjelang akhir
pemerintahan bani umayah dan awal pemerintahan bani abbas, yakni tatkala
terjadi pengkodifikasian besar-besaran beberapa disiplin ilmu, barulah tafsir
terpisah dari kitab hadits dan menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri
sendiri. Disusunlah kitab tafsir ayat per ayat berdasarkan susunan mushaf.
Pekerjaan ini mengalami kesempurnaan ketika berada pada tangan para ulama
seperti Ibnu Majah (w.310 H) dan An Naisaburi (w. 318 H) hal itu berlangsung
sampai sekarang.[19]
Selanjutnya dijumpai pula penelitian
yang dilakukan para ulama terhadap aspek-aspek tertentu dari Al-Qur’an.
Diantaranya ada yang memfokuskan penelitianya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an,
metode-metode, kaidah-kaidah dalam menafsirkan Al-Qur’an, kunci-kunci untuk
memahami Al-Qur’an, serta ada pula yang khusus meneliti mengenai corak dan arah
penafsiran Al-Qur’an yang khusus terjadi pada masa abad keempat.[20]
Tafsir
Al-Qur’an dengan sumbernya:
1.
Tafsir Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an
Sebagian ayat-ayat Al-Qur’an
memberiakn penafsiran terhadap ayat yang lain. Penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an
dengan ayat-ayat yang lain tidak ada perbedaan pandangan diantara para ulama,
karena mereka sepakat bahwa ada ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebagai
penjelasan atau kelengkapan terhadap ayat yang lainya. Sebagian ayat menjadi
lebih jelas maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat-ayat tertentu.
2.
Tafsir Al-Qur’an dengan
as-sunnah
Penafsiran Al-Qur’an dengan sunnah
didasarkan atas firman Allah:
Artinya
Dan
Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan[828] jika kamu tidak mengetahui,
keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan
supaya mereka memikirkan. (QS.16:43-44).
Peran rasul dihadapan al-Qur’an
meliputi:
a.
Menjelaskan bagian yang
mujmal (global) dan mentakhsiskan menghapuskan yang ‘amm (umum).
b.
Menjelaskan arti dan
kaitan kata tertentu dalam Al-Qur’an.
c.
Menjelaskan ketentuan
tambahan terhadap beberapa peraturan yang telah ada dalam Al-Qur’an.
d.
Menjelaskan nasakh
(penghapusan) ayat.
e.
Menjelaskan untuk
menegaskan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
3.
Tafsir Al-qur’an dengan
Qaul shahabah
Sahabat adalah orang-orang
beriman yang diridhoi Allah, yang bertemu dengan nabi pada masa hidupnya.
Mereka ikut menyaksikan peristiwa yang melatar belakangi turunnya suatu ayat
dan keterkaitan turunya dengan ayat lain. Mereka melihat dan mendengar apa yang
tidak dilihat orang lain sesudahnya. Mereka mempunyai kedalaman pengetahuan
dalam segi bahasa, saat bahasa itu digunakan, kejernihan pemahaman, kebenaran
fitrah, keyakinan yang kuat, apalagi mereka telah melakukan ijma’ dalam suatu
penafsiran.
Jika para sahabat telah ijma’ dalam
suatu permasalahan, maka hal itu menunjukkan bahwa perkara itu memiliki dasar
dari sunnah, walaupun mereka tidak menyatakan dengan jelas. Tetapi jika masih
ada perselisihan pendapat dari mereka, maka kita bebas memilih salah satu
pendapat yang kita anggap paling mendekati kebenaran atau kita menambah
pemahaman baru pada pendapat mereka. Demikian pandangan yusuf Qardhawi.[21]
Tetapi ada lagi bentuk tafsir
al-Qur’an yang kedudukanya sama dengan yang diketahui banyak kalangan, hanya
bedanya jarang muncul kepermukaan meski keberadaanya strata dengan model tafsir
yang ada, tafsir ini memang jarang digunakan karena memang tafsir Al-qur’an
model pengganti ini tidak diterima dengan alasan keberadaanya tidak sesuai
Abdullah saeed mengatakan tentang tafsir Interpretation of the Qur’an by the
successors
“with
the expantion of muslim hegemony in the wake of the conquests of the first/seventh century, convention to
islam from other religion began to take place on a large scale. The death of
the prophet meant that new muslim hat to rely on leading companion for their
understanding of the religion and the
Qur’an. Companion who settled in places such us Iraq, Syiria, Eqypt and Yemen or remained in mecca and medina,
became the authoritative exponent of the meaning of the Qur’anic text.
No doubt the Qur’an was the fundamental source for the new religion, but for
many converts who had not experienced the time of the prophet and who came from
other linguistic and religious backrounds, it was difficult to access the
meaning of the Qur’an directly. Leading companions, threfore, played a major
role in ensuring that the text was understandable To a new generation of
muslim, many of wohm did not know official qurayshi dialec of Arabic. It was
the student of the companions who became the third most important group of
exponents of the qur’an : the successor “
Dari
penjelasan saeed dapat ditarik kesimpulan bahwa menafsirkan al-Qur’an dengan
cara mengkaji teks (mengangkat pengganti) dengan melihat pada situasi saat itu.
Tapi cara ini seperti yang dijelaskan di atas tidak di akui oleh ulama’
disebabkan tertutupnya kemungkinan untuk berijtihad.[22]
D.
Macam Kesulitan memahami
kandungan makna ayat-ayat al-Qur’an
Kesulitan
dalam persoalan ini terletak kepada pemahaman setiap pembaca atau penafsir
dalam memahami kandungan setiap ayat al-qur’an. Karena al-qur’an itu
menggunakan bahasa Arab yang memang menjadi bahasa yang paling kaya di dunia.
Maka paling tidak pembaca atau penafsir dituntut untuk memahami dengan
menggunakan beberapa cara :
1.
Mengetahui asbabun
nuzul.
Asbabun
nuzul adalah merupakan instrument terpenting dalam proses pemahaman terhadap
setiap ayat al-qur’an. Karena ia diturunkan sesuai dengan kondisi yang memang
betul-betul terjadi pada waktu itu.
2.
Menguasai tata bahasa
Arab dengan baik.
Dalam
proses memahami al-qur’an tidak cukup hanya memfokuskan kepada pengetahuan
makna perkata secara denotative, tetapi, dituntut untuk mengetahui susun tata
bahasanya sehingga tidak terjandi kesalah pahaman dalam memahami al- qur’an.
Karena perubahan harkat, huruf, dan lain sebagainya bisa merubaha makna yang
dimaksud dalam ayat-ayat tertetu.
E.
Sistem dan Metode
pemilihan makna yang paling besar atas arti yang variatif
Al-
qur’an sebagai salah satu kitab yang diturunkan di Jazirah Arab, tentunya
menggunakan bahasa yang disesuaikan dengan bahasa komunikasi masyarakat di mana
al- qur’an itu diturunkan, yaitu bahasa arab.
Bahasa
Arab addalah merupakan salah satu bahasa yang dianggap paling kaya dan memiliki
kandungan makna yang paling mendalam, sehingga ia dijadikan bahasa al-qur’an
sebagai bentuk dari keluasan makna yang terkandung di dalamnya.
Setiap
orang yang berusaha untuk memahami al-qur’an secara mendalam, ia harus
mengetahui system dan metode dalam rangka memilih makna yang terkadnung di
dalamnya, yaitu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dalam proses pengambilan
makna yang meliputi tata bahasa dan pengambilan asal kata.
Bahasa
al-qur’an yang menggunakan bahasa Arab, terkadang didiskripsikan dalam bentuk
majaz (metaphor), mushtarok (dwi makna) yang keduanya membutuhkan kepada proses
berfikir dan perenungan yang lebih mendalam.
Terdapat
beberapa cara dan metode dalam rangka memilih makna yang paling dominan adalah
dengan cara :
1.
Memperhatikan symbol
kalimat yang dipakai ketika pertama kali al-qur’an diturunkan. Pemahaman
terhadap makna asal dari setiap akar kata merupakan salah satu bentuk proses
pengambilan mkna yang lebih mendekati kepada pencapaian maksud yang diinginkan.[23]
Seperti kata “ al- fiqhu” itu berbeda dengan makna yang digunakan oleh para
ahli fiqih dengan akar kata yang sesuai secara denotatif
2.
Menjaga dan
memperhatiakn sifat kekhususan dan batasan
Dalam
hal ini pedomannya kembali kepada bahasa dan batasannya dalam penggunaannya.
Seperti kata-kata “ سبيل الله dalam
surat al- Taubah ayat 60. Kalimat itu sangat umum, meliputi segala bentuk
ketaatan. Maka ketika dipahami dari aspek keumuman asal katanya, maka
memberikan zakat itu setiap orang yang bersholat, puasa, berdzikir, membaca
al-qur’an, dan lain sebagainya.
3.
Mengetahui persamaan
arti dan perbedaan fungsi penggunaan
Hal
ini dapat dilakukan oleh seorang pembaca atau penafsir alqur’an dalam rangka
untuk memahami makna al- qur’an. Setiap penafsir atau pembaca harus memahami
dan mengetahui struktur kalimat yang ada di awal dan di akhir kata yang akan
dipahami. Sperti kata “ al- dzikr” dalam 17 dan 18 surat Al-Qiyamah dengan makna berbeda kata yang sama dalam
kalimat berbeda, seperti yang dipakai dalam surat Thaha (20): ayat: 14, yang
berarti mengingat kepada Allah.
Maka
dengan demikian, pemilihan makna dalam proses memahami al- qur’an sangat
ditentukan oleh metode yang dipakai oleh setiap penafsir atau pembaca
al-qur’an, sehingga seringkali al-qur’an menjadi alat justifikasi terhadap
kepentingannya.[24]
BAB
III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Tafsir adalah hal
penting untuk memahami Al-Qur’an. Hukum melakukan tafsir Al-Qur’an adalah
fardhu kifayah, namun khusus bagi orang-orang yang memiliki kemampuan maka
hukumnya fardhu ‘ain. Tafsir Al-Qur’an berbeda dengan takwil dan terjamah
Al-qur'an. Terjemah dan takwil Al-Qur’an hukumnya boleh dilakukan namun dengan syarat-syarat
tertentu.
Dari berbagai definisi
yang telah diuraikan dalam pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa model
penelitian tafsir adalah suatu contoh, ragam, acuan, atau macam dari
penyelidikan secara seksama terhadap penafsiran Al-Quran yang pernah dilakukan
generasi dahulu untuk diketahui secara pasti tentang berbagai hal yang terkait
dengannya.
Tafsir-tafsir Al-Qur’an dalam berbagai bahasa didunia
khususnya Indonesia berada pada tahap perkembangan yang baik dengan
memperhatikan upaya-upaya sistematis untuk menciptakan tafsir-tafsir
kontemporer. Keberadaan sepuluh tafsir yang semuanya berisi lengkap 30
juz,merupakan sesuatu yang luar biasa dan patut dibanggakan, dan terdapat
studi-studi pelengkap yang cukup untuk mengangkat litertur-literatur yang
sesuai untuk digunakan pada gaya tersebut. Jumlah tafsir-tafsir tersebut
merupakan suatu prestasi penting bagi para ulama Indonesia.
[1] Abdul
Djalal. Ulumul Qur’an (Surabaya, dunia ilmu 1998). Mannaul Qatthan, Mubahith
fi ulum al- qur’an, (Riyadl: Manshurat al ashri al hadith, 1973 ), 20-21
[2] Rosihon Anwar, Ulum
Al-Qur’an, (Bandung:pustaka setia, 2008), 31
[4] Muhammad
Ali al- Shabuni, al- Tibyan fi ulum al- Qur’an, (Bairut: Muassasah
Manahilu al- Irfan, 1981), 6
[5] Ahmad sham Madyan, Peta
Pembelajaran Al-Qur’an (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), h. 37
[7] Ahmad Izzan, Ulumul
Qur’an, 250
[9] Al- Qatthan, Mubahith
fi ulum al- qur’an, (Riyadl: Manshurat al ashri al hadith, 1973 ), 323
[10] Abdurraman
Al-Baghdadi, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran Al-Qur’an, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1988), 15
[11] Abu Hayyan, Tafsir
bahru al- muhit, (Bairut: Darul kutub al- ilmiah, tt), 10
[12] Syaikh Khalid
Abdurrahman al- ak, Usulu al- tafsir wa qawaiduhu, (Bairut: Daru al-
Nafa’is, 1986), 40
[13] Rosihon Anwar, Ilmu
Tafsir, 159
[15] Ahmad
Von Denffer, Ulum al-Qur’an; An Introduction to the science of the qur’an
(London: the Islamic Foundation Liecester LE2 IZE Kingdom)123
[18] Hasbi al- Shiddiqi, Sejarah
Dan Pengantar Ilmu Qur’an Atau Tafsir, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1954),
213-214.
[20] Ibid,164
[22] Abdullah
saeed, Interpreting The Qur’an , Towards a Contemporary Approach (Canada
: Library of Congress Cataloging in Publication Data, 2006) 48.

No comments:
Post a Comment